Rabu, 07 Agustus 2013

"LIBURAN MINIM STRES DAN BUDGET"

“Aah, liburan tiba juga akhirnya!”

Itulah ekspresi sangat lega saya sejak terakhir kali bekerja minggu kemarin. Cuma seminggu, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Liburan ini ibarat surga dunia bagi para workaholic, terutama yang akut macam saya. (Bayangkan, enam hari seminggu bekerja tetap – dan sisanya proyek lepasan kalau lagi ada.) Tak ada stres, lelah, hingga serangan migraine yang berpotensi melumpuhkan kemampuan berpikir saya untuk sesaat. (Curcol? Biarin.) Ibarat gadget yang keseringan dipakai online, ada saatnya di-recharge. Begitu pun tubuh manusia. Mustahil Anda mengharap – bahkan memaksa – seseorang untuk terus bekerja tanpa lelah, kecuali bila manusia super memang hidup beneran di dunia nyata. (Selamat berharap.)

Apakah saya lantas ikutan ‘mudik’, seperti tradisi tahunan warga Jakarta (atau/dan mereka yang hari-hari biasa mencari penghasilan di ibukota)?

Tidak. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kami sekeluarga tetap di Jakarta Lebaran ini. Alasannya:

1.Ayah saya masih belum bisa diajak jalan-jalan terlalu jauh (baca: luar kota) karena stroke yang sudah diderita beliau selama empat tahun terakhir.

2.Banyak kerabat bermukim di ibukota. Kenapa tidak berkumpul di sini saja?

3.Minim budget. (Bukannya pelit, tapi realistis. Kalau memang dana belum ada, untuk apa memaksa?)

4.Ngeri lihat berita. (Hmm, mungkin yang ini sebenarnya alasan saya pribadi.) Jumlah pemudik naik tiap tahun, terutama yang lewat jalan darat pakai motor. Jumlah korban kecelakaan ikut meningkat, terutama akibat sesama pengguna jalan yang ugal-ugalan – serasa lupa kemarin-kemarin mereka belajar bersabar lewat puasa.

Singkat kata: tidak. Terima kasih. Kalau yang masih sanggup dan bersedia menjalankannya, silakan. Itu masalah pilihan.

Kangen jalan-jalan? Tentu saja. Jenuh sama Jakarta? Pastinya.

Setelah pernah tahu rasanya berlibur saat ‘off-season’, pandangan saya berubah. Apalagi jam kerja saya tidak selazim orang kantor kebanyakan yang model 9 to 5 – entah lima atau enam hari seminggu. Saya jadi terbiasa libur saat orang lain kerja – dan juga sebaliknya. (Meski kadang ‘sesak’ juga rasanya saat mau bikin janji dengan teman-teman yang jam kerjanya lebih umum. Selain susah, ada kalanya saya merasa tak enak hati saat mereka menunggui saya selesai kerja. Kadang malah akhirnya saya tidak bisa ikut serta, serasa terlempar dari ‘orbit’ bernama pergaulan sosial. Memang sudah resiko, tapi tetap saja...)

Seperti sekarang ini. Saya bersyukur bisa menikmati Jakarta yang lebih sunyi dari biasanya. (Kapan lagi?) Istirahat dari macet, bising, kebanyakan polusi yang bikin paru-paru kita terlihat sama dengan perokok berat saat dicek dokter – meski kita sudah mencoba hidup sehat. Tidak perlu takut ditabrak pengendara motor saat melenggang santai di trotoar yang memang sudah haknya pejalan kaki. (Yang punya motor tidak perlu merasa tersinggung, ya. Selama Anda bukan pelakunya, santai saja.)

Memang benar pepatah orang bijak:

Sering kita terlalu tenggelam dalam hal-hal besar hingga lupa menghargai yang kecil dan sederhana, tapi tak kalah penting dan bermakna. Seperti menikmati hari-hari pendek bebas stres, yang sepi dan damai di ibukota. Tanpa drama, otak dan batin bisa beristirahat dengan lebih lega.

Kapan ya, Jakarta bisa seperti ini lagi?

Ah, sudahlah. Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.

R.

(Jakarta, 7 Agustus 2013)