Rabu, 29 Juni 2016

"5 GEJALA UMUM KELELAHAN PSIKIS" (Menurut Awam)

Akui sajalah, banyak di antara kita yang pernah punya mimpi mustahil: menjadi manusia serba bisa, selalu kuat, dan tidak pernah gagal. Namanya juga manusia. Ya, tidak mungkin. Kadang beratnya tuntutan - baik dari pihak lain maupun diri sendiri - menyebabkan seseorang lama-lama mengalami kelelahan psikis. Lima (5) di antaranya adalah:
1.Pola tidur terganggu
Kadang susah tidur, namun begitu akhirnya bisa tidur malah jadi susah bangun. Mana mimpinya juga seram-seram lagi! Bangun tidur harusnya merasa segar (apalagi kalau tidurnya cukup lama, seperti sekitar enam sampai delapan jam.) Namun, yang ada malah pusing dan lebih lelah dari sebelumnya.
Saran: Banyak berdoa dan berpuasa untuk menenangkan diri. Absen dulu dari mengonsumsi kafein. Gantilah dengan chamomile atau peppermint tea. Matikan semua peralatan elektronik sebelum tidur.  
2.Kehilangan semangat
Mau kerja kok malas? Kegiatan yang biasanya terasa mudah dan menyenangkan, sekarang malah jadi susah dan membosankan. Lalu otak mulai berulah seperti Pentium-1.
Saran: Pasang musik penyemangat saat bekerja. Carilah teman yang dapat memotivasi Anda. Buatlah daftar hadiah/reward untuk diri sendiri setiap kali menyelesaikan tugas-tugas berat dalam seminggu atau selesai presentasi. Misalnya: memanjakan diri dengan terapi spa atau membeli makanan favorit yang agak mahal. (Tapi, ini sesuai selera masing-masing, ya.)
3.Kinerja menurun
Saran: Liburan! Anda bukan robot. Jangan menyiksa diri sendiri dengan mengabaikan kebutuhan untuk beristirahat.
4.Berubah menjadi sosok menyebalkan
Mendadak enggan mendengarkan curhat teman (apalagi bila problemnya seputar mereka ribut sama teman atau baru putus dengan pacar). Berubah tidak pedulian. Cenderung menjauh dari orang-orang alias berubah menjadi anti sosial. (Bukan autis, ya. Jangan salah dan jangan asal sebut!)
Saran: Termasuk salah satu dari kategori ini? Saatnya menikmati me-time sampai tenang. Kadang sendirian memang juga perlu, kok. Tidak hanya me-recharge energi, Anda juga lebih punya kesempatan untuk mendengarkan suara hati.
5.Akhirnya...jatuh sakit
Bisa dibilang, ini tahap akhir dari kelelahan psikis. (Jangan sampai ada nomor berikutnya, karena saya sendiri terlalu ngeri membayangkannya.) Fisik drop gara-gara selama ini Anda sudah termakan ilusi bahwa Anda manusia super.
Saran: Kalau bisa sih, lain kali jangan sampai menunggu hingga tahap ini. Bahkan, dari tahap awal saja seharusnya kita sudah waspada. Segeralah beristirahat. Konsultasi dengan dokter bila perlu. Jagalah kesehatan dengan kembali menerapkan pola makan yang baik dan berolahraga secara teratur.
Tentu saja, yang paling penting adalah menerima fakta bahwa Anda hanyalah manusia biasa. Anda tidak bisa mengendalikan semuanya.
Ya, Anda hanya bisa berusaha...
R.
(Jakarta, 26 Juni 2016 - 10:00)

"JANGAN PERTANYAKAN IMANKU" (Debat Tanpa Mutu)

Jangan tanyakan imanku
saat kau rasa aku tak sesuai standarmu
begitu pula sebaliknya
Sepertinya kita memaknai iman dengan cara berbeda

Kau begini, aku begitu
Kau merasa benar, meski aku tak salah selalu
Bisa saja kali ini aku yang menang, meski kau tak sudi kalah
Pada akhirnya, kita hanya sama-sama marah

Jangan tanyakan imanku
Pada akhirnya, kita sama-sama lelah
Mulutmu (dan jari-jarimu) tak henti menghujat
dengan semua sebutan itu
sementara aku malah semakin menjauh,
terlalu malas berdebat denganmu
Tiada lagi dialog dua arah itu

Mungkin kita semua harus kembali belajar
sama-sama diam dan bergantian mendengar
Tidak mudah untuk bersabar
Namun, haruskah amarah begitu membakar
hingga kebencian akhirnya mengakar?
Jangan sampai bangsa ini bubar
hanya karena debat yang tidak kelar-kelar

Sekali lagi, jangan pertanyakan imanku
Cukup saling mendoakan yang baik-baik dan menebarkan kebaikan
daripada merasa paling tinggi sejagat
hingga yang lain langsung dilaknat...

R.
(Jakarta, 14 Juni 2016 - 4:45)

Minggu, 26 Juni 2016

"MIMPI BURUK ITU..."

Pagi ini kau berkaca dan bertanya:
Siapakah yang kulihat di sana?
Siapakah yang kulihat dengan mata terpejam
saat lelap semalam?

Lelaki dan perempuan itu berseteru
sementara kamu hanya ingin mundur teratur malam itu,
namun terlalu lamban untuk mengambil langkah seribu
hingga saat perempuan itu memandangmu

Ada murka, benci, dan dendam di mata basah itu
Air matanya tidak bisa menipu
Tetes-tetesnya mewakili pecahan hati
yang mungkin takkan pernah saling menyatu, membuatnya utuh kembali

Bisa kau lihat cinta butanya yang takkan mati
untuk lelaki yang bahkan tak peduli
Empatinya telah lama mati, mungkin malah nihil sama sekali
Yang penting hanya kepuasan diri sendiri

Cepat pergi!
Instingmu menyuruhmu berlari
Masih sempat kau katakan pada perempuan itu:
"Dia milikmu."

Namun, perempuan itu tersenyum pedih dan tergugu:
"Oh, tapi dia kembali untukmu...bukan aku..."

DOR!!

Ledakan itu melemparmu ke labirin tanpa ujung
Jiwamu terus menjeritkan doa yang sama,
memohon pada-Nya agar membiarkanmu bangun...

...bangun...bangun...

BANGUN!!

Agar kau dapat menuliskan puisi ini
semata pengingat bagi diri sendiri...

R.
(Jakarta, 26 Juni 2016 - 9:00)

Bahasa yang Membenci Perempuan | Qureta

Bahasa yang Membenci Perempuan | Qureta

Kamis, 23 Juni 2016

"UNTUK DUKA DI DALAM DIAM DAN SUSAH DI BALIK SENYAP..."

Seorang kawan yang lebih bijak pernah mengaku bahwa dia bukan tipe yang suka (terlalu) mengumbar masalah pribadinya di social media. Kalau pun akhirnya bercerita, biasanya dia hanya menunggu dulu sampai masalahnya benar-benar selesai. Itu pun bukan karena ingin minta dikasihani atau mencari simpati. Dia menjadikannya sebagai contoh kasus dalam kehidupan sehari-hari, dengan harapan pembaca akan terinspirasi dan dapat mengambil hikmah darinya. Tidak ada nama-nama yang disebut sebagai bagian dari peristiwa yang bersangkutan. (Iyalah, nggak etis juga. Salah-salah ada yang tidak suka, merasa difitnah, atau sakit hati karena merasa reputasinya dicoreng. UU ITE bisa dimanfaatkan secara maksimal, tuh. Tidak peduli siapa yang akhirnya terbukti bersalah, intinya tetap merepotkan.)
Masih menurut kawan saya, terlalu sering berkeluh-kesah di social media tidak ada gunanya. Selain terlihat sebagai tukang mengeluh dan kurang bersyukur akan karunia hidup, rasanya juga seperti menebar aib atau kelemahan diri sendiri hingga orang lain. (Boleh lho, kalau ada yang tidak sepakat.)
Makanya, kawan saya ini lebih memilih berpasrah pada Tuhan YME, baik saat sakit secara fisik maupun disakiti orang lain. Kawan ini percaya bahwa selalu akan ada akhir bahagia bagi para penyabar. Hebat sekali, bukan?
Eits, jangan lihat saya dulu. Jangankan nyaris, sedikit mendekati saja sepertinya belum. Bukannya mencari alasan atau tidak mencoba berusaha. Yang pasti, saya sepakat dengan kawan saya dalam satu hal:
Ada kalanya, dalam sebuah perdebatan (apalagi termasuk yang sengit), tidak masalah siapa yang benar dan salah. Menjelaskan satu perkara yang benar kepada pihak yang sedang dikuasai amarah sama saja dengan buang-buang waktu dan tenaga. Apalagi bila mereka hobi banget memotong ucapan lawan bicara, entah karena ingin selalu didengar, dianggap benar, atau yang paling bikin gegar...dua-duanya. Atau mungkin juga sadar bahwa mereka sebenarnya salah, namun masih terlalu gengsi hingga memutuskan untuk mati-matian membela harga diri. Pokoknya melelahkan setengah mati. Sampai mulut berbusa pun sama saja. Lebih baik diam dan menunggu situasi tenang sebelum langkah selanjutnya. Apa itu? Ya, terserah Anda. Mau kembali berusaha menyelesaikan masalah (meski belum tentu juga Anda yang memulai, apalagi salah), membiarkannya mengendap lama hingga ada penyelesaian (entah bagaimana dan kapan), atau tidak lagi menganggapnya sebagai masalah. Terserah bila pihak lawan bicara masih menganggapnya sebagai masalah, selama Anda tetap berusaha berbaik-baik dengan mereka. Kata teman saya yang lain, hidup sebegini singkat kok dibikin berat sama dendam kesumat? Sayang amat.
Mungkin saya sendiri juga sudah berubah cukup kejam bagi beberapa orang yang dulu pernah cukup dekat dengan saya. Jangan salah, ada masa di mana saya sendiri pernah amat membenci saya yang dulu (kata mereka, nih): cengeng (ini pernah ada yang bilang, bahkan kadang dengan seringai mengejek pula),tukang curhat nggak penting (yang celakanya sampai berulang dan yang mendengar membutuhkan terapi musik klasik untuk menghilangkan depresi sekunder, hihihi!), dan...ah, pokoknya semua hal yang kadang bikin saya sendiri sampai berpikir: "Para terapis jiwa itu hebat-hebat, ya? Giliran mereka curhat pada ke mana, ya?" Tidak hanya dibayar untuk menjadi 'tong sampah berjalan' bagi curhatan para klien, namun bonus point mereka adalah bila bisa membantu klien mengolah sampah mereka sendiri agar menjadi sesuatu yang "indah". Sampah beneran saja ada yang bisa didaur ulang jadi sesuatu yang berguna, berarti seharusnya masalah juga bisa begitu, dong?
Buat kupingnya yang sudah pernah mengalami 'kegendutan metaforis' akibat semua curhatan sampah saya, mohon maaf dan terima kasih telah dengan sabar meladeni saya yang kadang lebih mirip konsumen Prozac yang butuh dosis ekstra. Apakah kini saya sudah banyak berubah? Entahlah. Semoga itu pertanda baik, ya. Lagi-lagi saya hanya bisa berusaha.
Maafkan juga bila sekarang saya terkesan dingin dan tidak pedulian dalam menanggapi curhatan Anda seputar beberapa masalah ini: Anda tidak suka gaya berpakaian dan gaya ngomong si A, sentimen sama si B karena satu dan lain hal, hingga lagi musuhan sama si C, entah karena apa. (Bukan karena sekarang bulan puasa saja, tapi sepertinya untuk seterusnya.) Maaf, saya juga peduli dengan kewarasan saya. Jika si A, B, dan C tidak pernah bermasalah sama saya dan sebaliknya, tidak pantaslah berusaha bikin saya ikutan sebal atau marah sama mereka. Astaga, memangnya saya siapa? Belum tentu juga saya kenal-kenal amat sama mereka.
Saya juga mengagumi mereka yang cukup tegar untuk tidak terlalu mengumbar - atau bahkan tidak sama sekali - masalah pribadi mereka di social media. Padahal, bisa jadi masalah mereka jauh lebih berat daripada kita yang seringkali tanpa sadar kebiasaan curhat terbuka soal hal-hal yang lebih remeh, mulai dari slek sama rekan kerja, ribut sama pacar, ditolak idaman, hingga musuhan sama teman.
Bisa jadi mereka sedang menjadi korban kekerasan, baik secara berulang di rumah maupun di tempat lain. Bisa jadi mereka diam-diam memendam trauma...atau sedang dalam masa pemulihan yang tidak mudah.
Bisa jadi mereka juga sedang sakit...dan memilih untuk tidak bercerita pada siapa-siapa, bahkan mungkin Anda yang (merasa) cukup dekat dengan mereka.
Mungkin ada alasan yang takkan pernah Anda ketahui, saat akhirnya mendengar kabar mengejutkan: ternyata mereka telah berpulang. Kalau sudah begini, biasanya Anda hanya bisa berdoa agar arwah mereka tenang di alam sana...
R.
(Jakarta, 21 Juni 2016 - 13:00)

Rabu, 22 Juni 2016

"SELAMAT ULANG TAHUN, JAKARTA!"

Selamat ulang tahun, Jakarta
Maafkan aku yang terlalu sibuk
untuk sekadar merayakanmu
Aku masih di tempat yang sama
mengadu nasib, merengkuh sepi di malam sunyi
melawan kantuk sehari-hari
Semoga aku tidak kelelahan setengah-mati
mengutuk macet yang seakan tanpa henti

Semoga ada perubahan lebih baik di wajahmu
agar kita semua sama-sama lebih bahagia
dan tidak terlalu terbelenggu pilu...

R.
(Jakarta, 22 Juni 2016 - 20:40 pm)

Jumat, 17 Juni 2016

"9 HAL YANG INGIN SAYA KATAKAN PADA SAYA VERSI REMAJA - ANDAI BISA"

Saya pernah membaca tajuk editorial sebuah majalah remaja, yang kalau tidak salah judulnya "Things I Would Tell My 20-Year-Old Self" (Hal-hal yang Ingin Saya Katakan pada Saya Versi Usia 20-an). Mungkin terdengar agak melodramatis, seperti daftar penyesalan atas yang pernah dilakukan (namun ternyata salah!) dengan yang tidak. Ada juga yang menyebutnya sebagai refleksi diri dan introspeksi.
Ada yang memutuskan untuk menyimpannya sendiri, ada yang membagikannya. (Ya, seperti yang saya lakukan sekarang.) Mungkin alasan tiap penulis berbeda. Mungkin ada yang berharap yang tidak akan mengalami hal yang sama.
Jadi, jika ada mesin waktu untuk kembali ke masa lalu, inilah 9 hal yang ingin saya katakan pada saya versi remaja:
  1. Mau kurusan atau gemukan, rambut kriwil atau lurus, akan selalu ada orang yang usil berkomentar tentang fisikmu. Memang menjengkelkan sekali, sih. Mendingan tetap berusaha sehat dan bahagia. Lagipula, berat badan dan penampilan luarmu harusnya bukan urusan mereka atau siapa-siapa.
  2. School system sucks, but you still have to study every subject anyway. Memang, rasanya tidak adil bila kecerdasan seorang murid semata-mata hanya diukur dari nilai (meskipun banyak yang memperolehnya dengan cara menyontek!) Keuntungan jangka panjang dari nilai-nilai tinggi memang bisa mengantarkanmu mendapatkan beasiswa (apalagi ke luar negeri), namun selamat - kamu sudah sadar bahwa tidak menjadi murid sempurna bukanlah akhir dunia.
  3. Sering dibanding-bandingkan dengan kakakmu? Suka-suka mereka kalau begitu. Sampai mati pun, kalian akan selalu menjadi dua orang yang berbeda, meski berasal dari orang tua yang sama. Jadi, ngapain pula buang-buang waktu dan tenaga memikirkan ocehan mereka?
  4. Suka menulis? Bagus. Teruskanlah. Suatu saat nanti ini akan menjadi salah satu kegiatan penghasil uang yang paling kamu cintai, meski saat ini banyak yang menganggapnya hanya sebagai hobi - dengan masa depan yang diragukan sekali.
  5. Banyak yang menyamakan legitimasi kecantikan seorang perempuan dengan hadirnya sosok pacar, bahkan kalau perlu daftar deretan pacar yang panjangnya melebihi ular naga dalam lagu anak-anak. Guess what? Langkahmu sudah benar dengan tidak menjadikan 'pacar' sebagai satu-satunya tujuan hidupmu agar merasa cantik dan bahagia. Masih banyak hal baik lainnya yang dapat kamu lakukan di dunia ini. Kamu berhak bersama sosok yang selalu menghargai dan menyayangimu apa adanya, bukan yang selalu menuntutmu agar sesuai standar mereka. Toh, mereka juga tidak sempurna. Kamu berkembang sesuai lajumu sendiri. Orang lain masih berpikir begitu, kamu tidak usah ikutan dangkal.
  6. Belajarlah untuk bilang 'TIDAK', karena kamu tidak perlu - dan tidak akan bisa - selalu menyenangkan semua orang di dunia ini. Hal ini akan sangat berguna saat ada laki-laki yang memintamu melakukan hal yang tidak kamu inginkan, apa pun itu. Tidak usah takut ditinggal. Jangan pernah mau kompromi sama orang brengsek yang hanya mau enaknya sendiri.
  7. Tuhan dulu sebelum yang lainnya. Tidak akan mudah, karena akan selalu ada banyak godaan. Jangan menyerah, ya?
  8. Kamu galak dan pemarah? Jadikan dua hal tersebut sebagai senjata untuk melindungi dirimu, bukan alasan untuk menyakiti orang lain - apalagi hanya untuk membalas mereka.
  9. Kamu hanya punya waktu sebanyak tiga dekade dan tiga tahun untuk mengenal ayahmu. Manfaatkanlah.

R.

Kamis, 16 Juni 2016

"MULUT (DAN JARI-JARI) BESAR"

Mulutmu terbuka
atau jari-jarimu lancar mengetikkan semua kata
sehingga ada yang kerap membuatmu terlena
Ya, kamu lupa
Tanpa sadar, ada aib yang kau buka-buka
entah milikmu sendiri atau mereka...

...dan kau seharusnya tidak bangga,
meski bukan kau satu-satunya...

R.

Minggu, 12 Juni 2016

Mempertanyakan Razia Warung di Serang: Kok Tidak Ada Surat Peringatan dan Kemanakah Makanannya Disita?

Mempertanyakan Razia Warung di Serang: Kok Tidak Ada Surat Peringatan dan Kemanakah Makanannya Disita?

"DARI RUANG BENAK NAN RIUH..."

Untuk menjelaskan perihal penulis yang satu ini, cukup membaca semua tulisannya di sini (dan mungkin juga di tempat lain). Banyak dan beragam, yang pastinya menjelaskan satu hal:

Ruang benaknya begitu riuh oleh banyak pemikiran dan perasaan. Ada kalanya mereka tumpang-tindih dan bukan karena dia labil dan irasional. Seringkali daya pikirnya melaju lebih cepat dari tangannya yang menciptakan banyak tulisan.

Penulis juga sudah lama menjadi ‘blogger yang kecanduan’. Samai-sampai jejak digital-nya ada di banyak tempat. Selain itu, penulis yang juga pengajar bahasa Inggris paruh-waktu, penerjemah lepas, dan penulis lepas untuk konten situs dapat dipesan jasanya secara khusus di Kontenesia (www.kontenesia.com). Bisa sekalian beramal lagi untuk setiap transaksi (terutama selama bulan Ramadan ini) :




R.

"UNTUK TEMAN BARU"

Ada riuh di matamu,
wahai sosok di hadapanku
Banyak cerita di sana
Banyak yang ingin kau buka

Entah apa aku bisa membantu,
wahai sosok di hadapanku
Semoga masih ada waktu
bagi kita untuk sebangku
agar ada acara bertukar cerita
saling membunuh gundah-gulana

R.
(Jakarta, 8 Juni 2016 - 18:00)

Jumat, 10 Juni 2016

"6 Cerita dalam 6 Kata" (a la Hemingway)

Cerita1:
Cinta segi tiga: kau, aku, maut.
Cerita2:
Kenyang dicurhati; telinganya sekarang jadi kegendutan.
Cerita3:
Kiamat karir: email pribadi salah kirim.
Cerita4:
Restu bunda: "Siapa saja. Jangan pacarmu."
Cerita5:
Bukti setia: jadi sansak pribadi harian.
Cerita6:
Talak tiga: dia memilih yang kedua.

R.
(Jakarta, 9 Juni 2016 - untuk Tantangan Menulis "Cerita 6 Kata a la Hemingway" (http://www.openculture.com/2015/03/the-urban-legend-of-ernest-hemingways-six-word-story.htmldalam Pertemuan Mingguan Jakarta's Couchsurfing Writers' Club di Filosofi Kopi, Blok M - Melawai, Jakarta Selatan, mulai pukul 20:00.)

Kamis, 09 Juni 2016

"SAAT BERDUKA, SAAT BERANJAK"

(Awas, spoiler buat yang belum nonton serial “Criminal Minds” seputar season 8 -9!)
            Mendadak saya teringat beberapa episode dari serial favorit saya, “Criminal Minds”. Salah satu karakter utama yang sangat saya sukai, dr.Spencer Reid (yang diperankan oleh aktor Matthew Gray Gubler), kehilangan kekasihnya, Maeve. Seorang psikopat membunuh gadis itu tepat di depan matanya, semata akibat sakit hati, rasa iri, dan dendam.
            Tentu saja, trauma akibat peristiwa senaas itu tidak bisa sembuh hanya dalam semalam. Bahkan, setelah Reid sempat cuti cukup lama, perasaan itu masih saja menghantuinya. Sampai-sampai dalam  salah satu episode, dia sempat bertanya pada David Rossi, rekan seniornya di B.A.U. (Behavioural Analysis Unit) di FBI, Quantico:
            “Jadi aku harus apa setelah melewati batas masa berduka yang sesuai kebanyakan orang?”
            Pertanyaan bagus.
            Kebanyakan orang mungkin hanya akan berkomentar: “Sudahlah, move on saja. Hidup terlalu singkat untuk dipakai berduka terus.” Gampang saja, seperti mengganti pakaian atau membeli ponsel baru saat uang sudah ada.
            Memang ada benarnya juga, sih. Tapi, kenyataannya tidak semua bisa dipukul dengan sedemikian rata. Kasusnya beda-beda, begitu pula cara tiap orang berduka. Jangan samakan Anda yang sedih diputuskan pacar karena beda prinsip dengan teman yang bercerai karena salah satu berkhianat, atau kehilangan anggota keluarga karena musibah. Ya, apalagi kalau sudah menyangkut kematian. Memang, kita semua pasti sudah pernah kehilangan seseorang dan tidak ada yang bisa menghindarinya.
            Namun, bagaimana cara menghibur seseorang yang pernah kehilangan sosok tercinta karena peristiwa tragis, seperti kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, hingga kematian mendadak, sementara Anda sendiri belum pernah mengalaminya? (Semoga tidak, ya.) Akankah Anda dengan entengnya menyarankan atau meminta mereka agar segera move on, terutama bila menurut Anda mereka sudah terlalu lama berduka?
            Benarkah?
“Jadi aku harus apa setelah melewati batas masa berduka yang sesuai kebanyakan orang?”
Jawaban Rossi? Tidak ada, kecuali tatapan sedih dalam diam.
Ya, kadang diam dan mendengarkan adalah ekspresi peduli paling tulus, meski mungkin Anda sudah punya jutaan nasihat di kepala yang siap Anda muntahkan untuk mereka kapan saja. Kita tidak bisa selalu memahami, meski peduli. Kadang kita hanya bisa berdoa agar mereka cukup tangguh untuk melalui semuanya.
Ada saat berduka, ada saat beranjak. Lagi-lagi, rentang waktunya berbeda bagi setiap manusia...

R.

(Jakarta, 8 Juni 2016 – 22:15)



Rabu, 08 Juni 2016

"BISING!"

Tak perlu saling menuding
mencari yang paling miring
agar tidak sama-sama makin sinting
ibarat saling menyalak bak anjing

Cobalah seperti kucing
tidak berisik dan bikin pusing
Tak semua harus dikomentari, meski asing
Mengurus diri sendiri lebih penting

Memang, baik bila saling peduli
namun jangan terlalu usil hingga menghakimi
apalagi sampai memaki-maki
Sudahkah berkaca hari ini?

R.
(Jakarta, 4 Juni 2016 - 15:10)

Senin, 06 Juni 2016

“’PROGRAM DIET’ DAN PUASA SI GEMPAL”

Entah kenapa, masih saja ada yang menyamakan puasa dengan...program diet. Mungkin gara-gara waktu sarapan jadi bergeser lebih dini (alias mulai pukul tiga atau empat pagi hingga sebelum masuk waktu Subuh, atau disebut juga dengan ‘sahur’.) Lalu, tidak ada makan siang. (Ya, iyalah. Namanya juga orang berpuasa.)

            Waktu berbuka puasa jatuh saat azan Magrib (yang biasanya sekitar pukul enam sorean.) Biasanya, setelah ibadah shalat Magrib, barulah ada waktu makan malam.

            Terserah sih, kalau ada yang ingin menganggap waktu berpuasa sama saja dengan berdiet. Yang mengganggu paling saat mereka lantas melontarkan komentar asal (mungkin maksudnya lagi-lagi ‘hanya bercanda’) kepada sosok-sosok gempal yang mereka kenal yang kebetulan juga menjalani ibadah puasa:

            “Wah, kamu bisa sekalian diet, dong!”

            Sebentar. Apa? Diet?? Tidak hanya itu, komentar ‘asal’ berikutnya saat si gempal makan sahur dan berbuka puasa – terutama saat acara berbuka puasa bersama keluarga atau teman:

            “Udah, jangan banyak-banyak. Ntar percuma udah puasa, nggak kurus-kurus juga.”

            Sampai sini, masih belum selesai juga. Saat ketemu di acara halal bi halal keluarga untuk merayakan Lebaran, masih keluar juga pertanyaan (atau lebih tepatnya, komentar) semacam ini:

            “Hei, gimana puasanya? Udah turun berapa kilo?”

            “Masih/tambah gemuk aja. Kemaren gimana puasanya? Lancar, gak? Kok nggak turun juga beratnya?”

            Ya, sampai di sini, saya mau menarik napas panjang dulu sambil berzikir...biar tidak meledak membayangkannya. Bisa berkurang pahala puasa saya kalau sampai marah. Lagipula, percuma juga kalau pakai acara keki. Mending saya jelaskan pelan-pelan dan baik-baik di sini.

            Buat yang masih suka asal komentar seperti contoh-contoh di atas, saatnya ganti cara untuk mengakrabkan diri dengan teman/saudara yang kebetulan punya ekstra lemak di badan. Mengapa demikian? Tiga (3) alasan di bawah ini mungkin cukup masuk akal di benak Anda:
  1. Sudah banyak sekali yang bilang bukan, bahwa puasa bukan hanya perkara menahan lapar dan haus? Lisan juga termasuk, lho. Komentar asal berpotensi mengganggu konsentrasi mereka yang niatnya memang hanya untuk beribadah – bukan sekedar menurunkan berat badan seperti perkiraan Anda. Daripada hanya bisa menyuruh mereka berdiet agar mengurangi kelebihan lemak, bagaimana bila Anda sendiri juga ‘diet bicara’, alias berkomentar seperlunya untuk mengurangi ucapan yang tidak penting serta kemungkinan bikin kesal orang lain?
  2.  Ada beda antara mengingatkan dengan mencela. Daripada menyinggung-nyinggung soal berat badan mereka, mendingan cukup mengingatkan dengan ucapan seperti ini: “Jangan keasyikan makan, nanti waktu shalat kelewatan” atau “Jangan sampai kebanyakan makan, nanti pas sujudnya nggak enak.”
  3.  Tidak hanya pertanyaan kapan kawin hingga kapan punya anak atau kapan menambah anak lagi, komentar “Kok nggak kurus-kurus juga?” atau pertanyaan “Sudah turun berapa kilo selama puasa?” juga sama mengganggunya. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, nilai ibadah ‘kan, tidak dilihat dari berapa kilogram yang sukses Anda singkirkan dari tubuh. Lagipula, untuk apa mereka harus laporan sama Anda segala? Kecuali kebetulan Anda juga berprofesi sebagai ahli nutrisi yang sedang mereka bayar untuk konsultasi.


Coba deh, mulai puasa tahun ini, komentar-komentar asal semacam itu dikurangi. Ada kalanya diam memang jauh lebih baik daripada membuka mulut namun akhirnya malah bikin keki.

R.

Sabtu, 04 Juni 2016

"SESAK" (2)

Sesak adalah harapan semu
semua yang kau timpakan padaku
berharap aku akan menjadi sosok ideal itu
semua atas nama kepuasan egomu

Sesak, saat kau memintaku mengingkari
semua gejolak di dalam diri
Kau anggap aku bukan perempuan sejati
Ingin kucaci kau yang membuatku sakit hati

Maaf, saatnya menutup telinga dan beranjak pergi
Aku takut sesak setengah mati
hanya agar kau tidak kehilangan muka dan harga diri
Jangan perlakukanku bagai properti

Semoga aku dapat menemukannya
dia, yang memandangku setara
memperlakukanku seutuhnya,
bagai sesama manusia
bukan kamu dan yang lainnya
yang masih saja suka-suka
menindasku sedemikian rupa
seakan dirimu dewa pemilik segala...

R.
(Jakarta, 1 Juni 2016 - 11:00)