Senin, 31 Oktober 2016

"BULLY" (PENINDAS)

Memang benar lidah tak bertulang
Luwesnya bukan kepalang
Bercakap tanpa henti
meski telinga lelah setengah mati

Tinju mudah melayang
terutama mereka yang merasa jagoan
Yang penting lawan terjengkang
kalau bisa tunggang-langgang ketakutan

Tiada hangat di sorot mata
Bibir mencibir penuh hina
Ada dingin dalam tawa
Ah, mereka kira mereka segalanya

Mereka kira akan dapat kehormatan
dengan nyali kerdil dan mental bajingan
Tinggal tunggu tanggal mainnya
saat ada yang ingin melenyapkan mereka
selamanya dari dunia…

R.
(Jakarta, 7 Oktober 2016 – 7:30 am)

Minggu, 30 Oktober 2016

#MyBodyMyPride: Ini Tubuhku. Kok Kalian yang Ribut?

Tumbuh sebagai sosok chubby, kriwil, dan pendek bukan perkara mudah. Apalagi, kakak perempuanku termasuk yang dianggap cantik gara-gara dia tinggi, langsing, dan berambut lurus serta panjang. Gara-gara fisik kami begitu berbeda, mulai deh, berbagai celaan keluar untukku. Dari yang masih bisa dicuekin hingga yang bikin bete plus sakit hati, ada semua.
Mereka cukup tega lho, membanding-bandingkan aku dan kakak secara terang-terangan. Menurut mereka, kakakku lebih cantik. Entah apa gunanya mereka ngomong gitu sama aku.
Akibatnya, sempat aku minder setengah mati dan enggan satu sekolah, kampus, maupun tempat kerja dengan kakakku sendiri. Memang jahat sih, kedengarannya. Habis, mulut mereka juga enggan diam, meski aku sebenarnya nggak suka cari masalah.
Lalu, bagaimana akhirnya aku menepis rasa minder itu, meski orang-orang bermulut usil dan jahat sayangnya akan selalu ada?
Pertama, aku masih punya banyak hal baik dalam hidupku. Pekerjaan bagus. Teman-teman baik dan suportif. Bersyukur sekali mereka bukan tipe yang berpikir dangkal dengan mempermasalahkan penampilanku. Mereka hanya rajin mengingatkanku agar jangan lupa menjaga kesehatan. Biasanya, yang hobi berkomentar jahat begini yang ogah aku jadikan teman:
“Gimana mo dapet cowok kalo nggak kurus-kurus?”
            Oke, saat menulis ini, aku memang masih single. Terus kenapa? Usaha menurunkan berat badan mah, untuk diri sendiri – bukan hanya menyenangkan orang lain. Aku malah seram kalau sampai jatuh cinta sama laki-laki yang hanya menilai perempuan dari fisik belaka.
Lagipula, ada juga kok, laki-laki yang suka model chubby kayak aku. Buktinya, salah seorang sahabat yang juga chubby sudah bersuamikan laki-laki yang baik sekali dan mereka sudah punya anak, lho. Aktor Iko Uwais juga termasuk suami yang baik, karena membela istrinya, Audy Item, saat dikatai gemuk sama netizen di media sosial.
Jadi, ngapain nakut-nakutin saya dengan ancaman ‘susah dapet jodoh karena badan gemuk’? Udah nggak zaman ah, mem-bully siapa pun dengan cara begitu. Lagipula, ada tiga (3) keuntungan yang kudapat karena gemuk, yaitu:
  1. Keponakan yang masih bayi cepat pulas saat kugendong.
Kata kakaknya yang juga masih kecil: “Habis Bibi empuk.” Hahaha.
  1. Jadi nggak cepat ‘gelap mata’ saat berbelanja pakaian.
Ya, habis mau gimana lagi? Nggak semua model cocok di aku juga.
  1. Nggak mudah diculik.
Haha, ini candaan yang sering kulontarkan setiap kali masih ada saja yang mengejek ekstra lemak di badanku. Ya, iyalah. Pasti penculik males juga ngangkut-ngangkut yang berat dan serba salah. Pas masih sadar, mereka bisa kena gampar. Pas dibius, yang mencoba mengangkat bisa tepar.
Nggak usah jauh-jauh menculik. Pas mau menceburkanku ke kolam renang dalam rangka ngerjain aku yang ultah, butuh enam orang laki-laki kuat untuk melakukannya. Hihihi…
Pada tahu Adele, Rebel Wilson, dan Melissa McCarthy, ‘kan? Mereka chubbynamun berprestasi. Mereka juga cantik tanpa perlu menonjolkan kecantikan mereka. Bagi saya, mereka adalah inspirasi. Meski demikian, aku masih kok, mau usaha menyehatkan badan. Cuma, aku merasa nggak perlu laporan ke siapa-siapa buat pembuktian.
Lagipula, ini badanku. Kok kalian yang ribut?
R.
(Tulisan ini juga disertakan untuk Lomba Menulis Vemale.com dengan Tema: #MyBodyMyPride)

"Perempuan yang Lewat di Depan Rumah"

Apa yang kalian pikirkan saat melihatku lewat di depan rumah kalian? Seorang perempuan yang terlihat amat sibuk, dengan pakaian yang terlihat meriah untuk tubuh besarnya dan tas yang tampak berat. Yang tampak dingin dan berjarak. Tidak ramah seperti beberapa tetangga perempuan lainnya di kompleks perumahan itu.

(Baca lanjutannya di : http://ruangbenakruby.com/wp/2016/10/30/perempuan-yang-lewat-di-depan-rumah/ )

Kamis, 20 Oktober 2016

"SAAT HUJAN BAGAI PELURU..."

Kadang tetes hujan melesat bagai peluru,
berkali-kali menghajar wajahku
Setidaknya, mereka tidak kejam menghunus
menembus hati yang sedang membiru

Lalu, ada saja duka lama
menggedor-gedor pintu
bagai candu yang menuntut lebih dari sebelumnya
membuatku lari bersembunyi
merebahkan diri di lantai
Ah, kukira sudah kutendang pergi

Itukah tawa Iblis?
Tak pernah kudengar dia begitu sinis
Aku tetap sendiri berjuang
menyuruh mereka diam
Diamlah!
Kepala ini sudah penat oleh masalah
hingga dingin kuacuhkan
meski hanya angin penawar dekapan…

Kata mereka, para malaikat turun bersama hujan
mendengarkan setiap doa,
yang mengirim mereka kembali pada Sang Maha Pencipta
Inginkah Dia agar aku melalui hal yang sama?
Baiklah
Tergantung Kebijakan-Nya
kapan ingin mengangkat semua luka…

R.
(Jakarta, 14 Oktober 2016 – 5:00)


Rabu, 19 Oktober 2016

#Lilanna

Foto. Video. Ucapan sayang. Sapaan hangat penuh kasih. Pamer kemesraan sana-sini.
Pokoknya meyakinkan sekali. Buktinya? Banyak yang komen. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang suka, ada yang mencela.
Ada juga yang menghujat dengan sedemikian rupa. Kata mereka, kami perusak moral bangsa. Kami meracuni isi kepala anak-anak muda. Padahal, itu tanggung jawab mereka sebagai orang tua. ‘Kan mereka bisa mengajarkan anak-anak mereka tentang pilihan dan tanggung-jawab.
Malah kami yang (di)jadi(kan) kambing hitam. Huh, malas rasanya. Sepertinya mereka semua masih belum benar-benar dewasa. Semua serba dilarang. Dikit-dikit gampang tergoda.
“Alanna?” panggil Lilo. Aku melirik dan mendapati sosok jangkung, atletis, dan ganteng itu berlutut di sampingku. Berdua kami memandang salah satu foto kami di akun social media-ku.
Di sana, aku tampak sedang memejamkan mata sambil tersenyum. Ada wajah Lilo di leherku, sementara kedua lenganku yang bertato naga hitam raksasa melingkari lengannya. Aku hanya mengenakan bikini, sementara Lilo bertelanjang dada.
“Cukup meyakinkan, nggak?” tanyaku. Kalau melihat semua komen di bawah foto kami, aku sudah tahu jawabannya. Isinya beragam, mulai dari sekadar “aw co cwiiit” ala anak alay sampai makian dengan frase semacam “neraka jahanam”.
“Banget,” jawab Lilo datar. Mendadak ponsel kami berdua berdering. Di layarku ada nama Clarissa. Kulirik sekilas ponsel Lilo. Ada nama David di layarnya.
Kami menjawab ponsel kami berbarengan:
“Hi, baby.”
Yah, beginilah nasib anak tunggal di keluarga. Entah sampai kapan kami berdua harus terus bersandiwara…
R.
(Jakarta, 6 Oktober 2016 – ditulis untuk Tantangan Menulis Mingguan Klub Penulis Couchsurfing Jakarta di Anomali Coffee – Setiabudi One. Topik: “romansa media sosial/social media romance”.)


Selasa, 04 Oktober 2016

"SI PATAH HATI DAN SI MATI RASA"

Ada merah di matanya,
dengan marah bersemayam di sana
bercampur rindu dan rasa kalah
Mungkin hatinya sedang patah

“Apa kabar temanmu?”
Ah, dia gagal menyembunyikan sendu
Bahkan, sepertinya dia ingin aku tahu
meski saat itu aku lebih memilih membisu

Ada rindu dari tanya itu
Sayang, tiada solusi di benakku
Apalagi, aku sedang enggan berurusan dengan cinta
Takut kembali berakhir sepertinya:
lagi-lagi kecewa…

R.
(Jakarta, 13 September 2016)


Senin, 03 Oktober 2016

"INSIDEN TELUR"

Waktu kecil, banyak kenakan khas yang mungkin kamu pernah lakukan. Apalagi kalau kamu tumbuh di era 80-90an. Kayak cerpen atau film zaman dulu, daftar kenakalan khas anak-anak pasti seputar: mencuri mangga dari pohon tetangga, menjahili orang, hingga berantem for the sake of berantem. Udah, gitu aja.
Kalau aku? Hmm, aku sudah pernah cerita soal ini ke sahabatku dan acara radio lokal dulu. Waktu itu, sahabatku baru saja putus dan minta ditemani ke Bandung. Ceritaku ini sempat bikin dia ngakak habis-habisan.
Baguslah. Setidaknya, aku bisa bikin dia berhenti menangis.
Kalau acara radio lokal, sebenarnya waktu itu lagi super random. Di Twitter, mereka membuka sesi curhat dengan tema: “Kenakalan Masa Kecil”. Entah kenapa, ceritaku dianggap menarik. Aku ditelepon penyiarnya dan diminta untuk menceritakan versi lengkapnya…secara ON-AIR.
Seperti sahabatku, kedua penyiar radio pagi itu ngakak hebat. Penasaran? Giliran kalian yang memutuskan.
Kalau mau tahu kisah kenakalanku secara lengkap, silakan tanya Mama. Di sini, aku cuma mau cerita satu saja.
Ada masa di mana Mama enggan mengajakku ke toserba (toko serba ada, yang sekarang lebih terkenal dengan sebutan convenient store atau mini market. Entah kenapa.) Waktu itu, aku masih TK dan lagi senang-senangnya nonton film kartun. Gara-gara itulah insiden yang sama sempat berulang.
Sumpah, waktu itu aku nggak bermaksud menyusahkan. Aku hanya ingin melihat…anak ayam. Anak ayam, bebek, itik, dan…pokoknya semua unggas yang pastinya bertelur.
PRAK! PRAK!! CEPROT!!!
“RUBYYY!”
Wajah Mama merah-padam oleh geram. Anehnya, waktu itu aku malah cekikikan. Kedua tanganku sudah belepotan kuning telur mentah, sementara pecahan cangkangnya berserakan di lantai swalayan.
“Mau lihat anak ayam/bebek/itik…”
Hanya itu yang selalu jadi alasanku. Nggak kebayang Mama dulu harus membayar ratusan ribu, hanya untuk biaya ganti rugi pecahnya telur-telur itu. Aduh, bila mengingatnya sekarang, aku jadi malu. Ajaib Mama masih sabar punya anak badung sepertiku.
Pernah juga Nini (yang sekarang sudah almarhumah) mengajakku berbelanja. Pulang-pulang, beliau menenteng sekantung plastik…namun berisi telur-telur yang sudah pecah. Mama heran dan langsung bertanya:
“Ma, itu telur udah pada pecah kenapa dibeli?”
Dengan wajah datar, Nini waktu itu hanya menudingku yang – entah kenapa – masih juga berani cekikikan.
“Tanya anakmu.”
Ups.
Kalau sekarang, kami sudah bisa menertawakan ‘insiden telur’ tersebut. Tapi, diam-diam aku khawatir juga.
Duh, nanti kalau sudah punya anak sendiri, bakal kayak begini juga nggak, ya? Kualat, deh!
R.
(Jakarta, 9 September 2016 – ditulis saat Pertemuan Mingguan Klub Menulis Couchsurfing Jakarta, Slipi – Petamburan)