Kamis, 29 Mei 2014

"BERBEDA BAGI SETIAP ORANG"

Baru saja saya terhenyak (dan pastinya hampir mau protes!) membaca cukilan fakta medis dari sebuah majalah gaya hidup urban:
"Orang yang menikah berisiko lebih kecil terkena serangan jantung dibandingkan mereka yang masih lajang."
Sempat saya berpikir: jangan-jangan propaganda sosial lagi! Setelah saya baca lebih lanjut, ternyata masalahnya sudah jelas: akibat tekanan sosial yang terus-menerus (seperti pertanyaan: "Kapan kawin?" dan semacamnya) cenderung membuat si lajang kepikiran. Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa bablas menjadi stres - hingga kesehatan tubuh menerus.
Ooh, gituu...
Kalau sudah begitu, siapa yang mau disalahkan? Si lajang yang tak kunjung menemukan 'belahan jiwa' -nya (atau kata alasan sadis mereka yang menganggap manusia masih sama dengan barang dagangan - 'belum laku')? Atau lingkungan sosial sekitar yang gemar ikut campur, bermulut nyinyir, meski pastinya mereka akan selalu membantah dengan alasan klise: "Itu tandanya orang sayang dan perhatian sama kamu, tahu!" (Sayang sih, sayang. Tapi tak perlulah, membuat orang jadi merasa kurang atau jelek - mentang-mentang belum 'berdua'. Memangnya lajang nggak boleh berbahagia dan menikmati hidup mereka?)
Ah, sudahlah. Perdebatan panjang seperti itu takkan ada habisnya. Demi hemat energi, lebih baik diam saja dan biarkan orang lain berpikir sesukanya. Ya, nggak?
Semalam saya terlibat percakapan menarik dengan dua orang teman - satu lelaki Inggris dan satu perempuan Indonesia. Si lelaki akan menikah dengan tunangannya yang juga perempuan Inggris, sementara teman saya yang perempuan Indonesia masih lajang - sama seperti saya. Pertanyaannya kepada si calon mempelai pria cukup blak-blakan:
"What relationship advice would you give singles if you could?"
Si lelaki tertawa, meski tampak berpikir keras sejenak. Lalu, entah kenapa - sesuai dugaan saya - dia menjawab:
"Semuanya perlu proses." Lalu meluncurlah cerita tentang proses hubungannya dengan si calon istri, mulai dari awal bertemu hingga akhirnya berpacaran. (Tak perlulah saya beberkan semuanya di sini, hehe.) Ibarat plot di film komedi romantis (meski menurut saya lebih khas Inggris daripada Hollywood yang lama-lama rasanya kelewat instan nan cemplang), beragam kelucuan, keanehan, dan kegilaan yang mewarnai perjalanan kisah cinta mereka sempat membuat saya dan teman saya tertawa.Semua yang awalnya tampak nyaris tidak mungkin, kata si lelaki, ternyata bisa dijalani juga. Bisa karena terbiasa. Kompromi, tanpa seratus persen mengubah kepribadian diri sendiri. (Nah, yang satu hal ini sering banget disalahgunakan - hingga akhirnya bablas, entah jadi total mengatur dan menguasai pasangan demi kepuasan ego pribadi semata...atau malah berubah mati-matian namun jadinya malah tersiksa karena menipu diri sendiri!)
"You will know when it's time," kata si calon mempelai pria saat sekilas menatap saya, seperti yang sudah sering diucapkan semua teman terbaik saya - bahkan yang lelaki. Namun, rupanya teman saya kurang sepakat.
"Tapi tetap harus ada usaha, dong!" katanya berapi-api. Jujur, saya memuji semangatnya yang tak kenal lelah mencari cinta sejati - sementara saya...yah, anggap saja masih dalam masa 'cuti' (yang lagi kata orang, cutinya terlalu lama. Oy, inget umur, Non!) "Kalau enggak, gimana bisa ketemu."
"Memang," si lelaki sepakat. "Cuma kadang kita terlalu lama terpaku pada satu hal, misalnya berusaha menemukan calon pasangan di satu tempat, padahal bisa saja tiba-tiba jodoh kita datangnya dari tempat lain. Misalnya, kamu hobi nongkrong di tempat yang sama, tapi ternyata ketemu jodoh malah di bis atau kereta, misalnya.)
Sementara kedua teman di depan saya tengah berdebat seru, saya sibuk berpikir: lagi-lagi saya diingatkan akan hal yang sama, seperti berusaha tanpa ngoyo dan bersabar tanpa henti. Yah, meski lingkungan sekitar belum tentu sesabar kita dalam mencari dan menanti. Padahal, setiap orang punya ritme hidupnya masing-masing. Ada yang sudah lama berpacaran, hanya untuk putus dan menikah dengan orang lain. Ada yang saat pacaran mesra, namun begitu menikah (amit-amit!) lebih banyak murka dan main tangan hingga akhirnya cerai. Ada juga yang menikah, punya anak, hidup makmur, namun saking makmurnya (baca: menderita obesitas!) tiba-tiba meninggal karena serangan jantung!
Ada juga yang tetap sehat meski melajang, karena sudah berdamai total dengan kenyataan hidup dan memilih lebih banyak berbuat baik kepada sesama - selama umur masih ada. Toh, statistik di atas hanya perkiraan manusia biasa. Yang mengatur takdir tetap Yang Maha Kuasa. Saat banyak yang was-was mengenai bahayanya melahirkan anak di atas usia 35 tahun, aktris Halle Berry justru masih bisa punya anak di usia 46 tahun. Padahal, dia penderita diabetes, lho!
Si lelaki Inggris juga dengan kalem memaklumi kekhawatiran calon istri yang saya yakin perempuan Indonesia tidak akan berani terang-terangan mengakui pada kekasih mereka: "Engg...gimana kalo tiba-tiba kita bosen?" Tanpa merasa tersinggung atau marah-marah, si lelaki justru menjawab dengan enteng:
"Yaah, kita liat gimana nanti. Pokoknya dicoba dulu. Aku sih, percaya diri kita bisa."
Subhanallah. Kapan lagi saya bisa melihat contoh sosok lelaki yang dewasa, bijak, dan baik hati begini?
Yang pasti, semalam saya pulang dengan perasaan tenang. Ya, selalu ada petunjuk dari-Nya agar kita para lajang senantiasa bersabar dan tetap berbahagia dengan hidup kita, apa pun yang terjadi nantinya...
R.
(Buat calon mempelai teman saya yang dewasa, bijak, dan baik hati. Thanks, B.)

"KILAU AURAMU"

Aku mencari yang hilang.
Kukira kutemukan pada dirimu.
Bukan, bukan cinta atau kasih sayang.
Hanya sesuatu yang pernah kumiliki dulu.

Memandangmu seperti berkaca.
Auramu penuh warna-warni ceria.
Kamu memang selalu apa adanya.
Ingin aku sepertimu, (tampak) bebas merdeka.

Berkatmu, semangat kembali kurengkuh.
Tembok dinginku perlahan runtuh.
Sayang, sebentar lagi kau akan pergi
pulang kepada sosok-sosok yang kau cintai.

Akankah kau mengetahui
bahwa di benakku, sosokmu 'kan abadi?

R.
(Jakarta, 11 Mei 2014)

Senin, 26 Mei 2014

"ANTARA 'GREMLINS' DAN POLITISI"

Pagi-pagi di hari Minggu, saya menemukan foto lucu di internet. Seorang mem-posting-nya di media sosial, hingga akhirnya saya latah ikutan share. Fotonya seperti ini:
Gremlins
Hehe, saya termasuk penggemar film "Gremlins" (meski sekuelnya tidak begitu saya suka.) Sempat punya pikiran dodol mau memelihara Mogwai - binatang fiktif yang berbulu halus, mungil, dan imut-imut dalam film itu - andai saja beneran ada di dunia nyata. Habis lucu, sih!
Bagaimana ceritanya si Mogwai lucu (yang diberi nama 'Gizmo' oleh Bryan, remaja yang sempat memeliharanya) berubah menjadi jelek dan beringas? Spoiler buat yang belum nonton: kalau mau memperbanyak Mogwai, cukup siram dengan air. Cuma nggak dijamin, semuanya bakalan semanis si Gizmo. Pasti ada yang badung, jahil, atau terus merengek minta makan. Nah, bahayanya baru terjadi saat mereka diberi makan selepas tengah malam. Setelah itu? Selamat menanggung resikonya. Syukur-syukur Anda selamat dan tidak sampai menumbalkan orang lain. (Nah, kalau itu makin menyusahkan namanya!)
Lantas apa hubungannya dengan politisi?
Ah, sudahlah. Masa tidak tahu? Sebenarnya tak hanya politisi, tapi juga manusia pada umumnya. Saya sempat nyengir miris saat membaca beragam komentar terkait foto di atas. Ada juga yang terang-terangan mengaku (entah serius atau cuma bercanda) :
"Seperti kekasih saya...sebelum dan sesudah pernikahan."
Waduh, sampai segitunya...
Sebenarnya filosofi di balik cerita film itu (setidaknya menurut saya, nih), sederhana: yang tampak lucu seringkali menipu. Air bersifat menumbuhkan / memperbanyak. Perkara makan (lagi?) setelah tengah malam? Bukankah semua yang berlebihan (misalnya sifat 'rakus' ) itu tidak baik? (Makanya, Mogwai yang tadinya lucu berubah jadi beringas.)
Yah, tak usah terlalu menanggapi tulisan ini dengan serius. Namanya juga pikiran dodol di hari Minggu. Cuma, kalau sampai ada politisi - atau siapa pun - yang merasa tersindir atau tersinggung karena foto maupun tulisan ini, kemungkinannya ada dua:
1.Mereka tak punya selera humor yang sama.
2.Mereka merasa disadarkan dan segera bercermin, namun tidak percaya - atau tidak suka - dengan yang mereka lihat. Sayangnya, tidak banyak yang berbesar hati maupun segera berbenah diri.
Tapi tenang saja, saya tidak menuduh semua politisi. Kalau memang kebetulan memang ada yang benar seperti itu, tak perlulah sensi dan sakit hati. Cukup tahu diri...
R.
(Jakarta,25 Mei 2014)

Jumat, 23 Mei 2014

"WAHAI, YANG MENCINTA"

Apa kabar, cinta? Ada apa denganmu, wahai yang sedang jatuh cinta dan mencinta?

Sudah lama saya tidak menyapa. Entah mengapa, diam-diam benak ini yang gelisah diliputi tanya. Mungkin karena sudah terlalu lama saya menghindar, menyingkir dari tajuk utama.

Selama ini, saya memilih menjadi penonton saja. Mengapa? Kehilangan membuat saya lelah. Tak hanya sedih, mungkin saya juga tengah muak. Saya bosan selalu harus mengalah dan (merasa) kalah. Lagi-lagi peran yang sama dalam dunia cinta, semua atas nama harga diri dan kehormatan seorang wanita. Jangan terlihat putus-asa, kata mereka. Kamulah sosok istimewa. Tak perlu menangisi mereka yang tak bisa 'melihatmu' - utuh dengan mata batin mereka yang sulit terbuka. Kamu hebat, selalu diam di tempat - berusaha tidak mengejar, bahkan saat mereka beranjak pergi dan belum tentu kembali. Kau bahkan masih bisa tersenyum, meski dengan setengah hati. Kamu sadar, takkan semudah itu kamu mati - meski pedih begitu menyayat - seakan tanpa henti. Semua kerap terjadi, terutama pada malam-malam sunyi. Hanya kamu sendiri. Selalu begini.

Ha-ha, bukankah dunia begitu mencintai orang-orang yang (sok?) tegar? Dari tampak luar, mereka terlihat tidak merepotkan. Tidak berisik mencari perhatian. Bukan pencinta drama. Mereka cukup diberi ruang kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Sisanya? Biarkan mereka yang berusaha.

Bagaimana bila mereka lelah? Apakah berarti mereka kalah dan lemah?

Lagi-lagi, entahlah. Karena itu, biarkanlah saya menjadi penontonmu. Janji saya hanya satu: saya tidak akan banyak bicara. Sudah terlalu banyak tatapan sinis, mulut nyinyir, dan suara sumbang di luar sana. Ah, biarkan saja mereka - kasak-kusuk sesukanya! Mengapa pula kau harus bersembunyi dari mata dunia? Perasaanmu, keputusanmu - sama sekali bukan urusan mereka.

Jika memang cinta, perjuangkanlah. Namun, wahai sang pencinta, tak ayal saya kerap bertanya-tanya. Siapkah kamu bila ternyata semua berakhir dengan duka? Bagaimana bila dia pergi dan takkan lagi kembali? Bagaimana bila dia enggan terus kau ikuti? Dia memang manis dan baik hati, namun apa pun bisa terjadi. Semoga saja, semua ucapannya tak sekedar janji-janji.

Semoga dia takkan meninggalkanmu dengan luka hati dan sendiri. Namun, bila itu sampai terjadi, saya yakin kau masih sanggup berdiri. Dalam beberapa hal, kau sangat berani. Karena hingga kini, diam-diam saya mengagumimu - berharap (suatu saat nanti) saya akan (kembali) seberani itu...

R.

(Jakarta, 22 Mei 2014)

Minggu, 18 Mei 2014

"STANDAR HIDUP BAHAGIA"

“Bahagia itu pilihan.”
Pasti Anda sering mendengarnya, entah dilontarkan dengan nada mencibir, (sok?) bijak, atau bahkan yang ringan-ringan saja. Mungkin yang mencibir tengah kesal pada sosok yang mereka anggap tukang mengeluh dan kurang bersyukur. Yang (sok?) bijak tengah berusaha menasihati. Yang bernada ringan mungkin hanya mengingatkan atau sekedar menghibur. (Atau mungkin juga tidak begitu peduli. ‘Kan setiap orang punya masalah sendiri-sendiri!)
Entahlah. Yang pasti, setiap orang punya kebutuhan masing-masing. Standar hidup dan bahagia tiap orang berbeda-beda. Mungkin ada yang baru berbahagia saat punya pacar. Ada yang bisa bahagia, bahkan dengan kesendirian mereka. (Tolong, jangan sekali-sekali menuduh mereka ‘in denial’. Mungkin saja mereka tengah butuh sendiri agar bisa fokus dengan diri sendiri dulu.)
Ada juga yang baru bahagia setelah mendapatkan uang banyak, alias kaya-raya. (Jujur, siapa sih, yang tidak mau? Pertanyaannya: berapa banyak yang rela bekerja keras untuk itu?) Ada yang memilih hidup berkecukupan, asal berada di lingkungan yang nyaman dan dekat dengan orang-orang yang menyenangkan.
Agak aneh juga bila seseorang lantas memaksakan standar bahagia mereka kepada orang lain. Ada juga yang menganggap kita cengeng dan lemah, (hanya) karena merasa kita kurang bersabar menghadapi situasi tak enak yang ada dan berusaha mencari kebahagiaan lainnya di luar sana. Cibiran mereka mungkin seperti ini:
“Payah, baru gitu aja udah nyerah!”
Benarkah? Benarkah semua yang mundur teratur pastinya pengecut? Benarkah harganya selalu semati itu?
Bila Anda termasuk yang dapat berbahagia dalam kondisi apa pun, selamat. Mungkin Anda termasuk manusia super langka, dambaan sejuta umat. Syukur-syukur Anda dapat menularkan kebahagiaan Anda pada orang lain, agar hidup semakin menyenangkan, semua orang sehat dan dapat berpikir positif.
Dengan kata lain, tak perlulah Anda malah menyombongkan kebahagiaan Anda pada orang lain dan berharap mereka mau mengikuti jalur Anda. Siapa tahu, mereka ditakdirkan untuk peran yang berbeda. Tak berarti Anda yang selalu lebih kuat, lebih baik, dan lebih segalanya daripada mereka, bukan?
Bagi Anda yang sedang berusaha untuk lebih berbahagia, jangan menyerah. Apa pun pilihan Anda nantinya, pastikan Anda siap menghadapi segala konsekuensinya – tanpa rasa sesal. Akan selalu ada pro dan kontra dari sekitar Anda.
“Bahagia itu pilihan.” Memang, tapi hanya Andalah yang tahu standar hidup bahagia Anda.

R.


(Jakarta, 17 Mei 2014)

Kamis, 15 Mei 2014

"DI BALIK DIAMNYA SESEORANG..."

Ada beberapa orang yang memilih diam di tengah hiruk-pikuknya dunia. Mengapa?

Alasan mereka beragam. Ada yang memang merasa nyaman dengan tidak banyak bersuara. (Mungkin mereka berpegang teguh pada pepatah "Diam itu emas".) Selain hemat tenaga, mereka juga terhindar dari huru-hara. Mungkin juga karena mereka tidak ingin terlalu banyak drama. Untuk apa? Apa gunanya bila akhirnya malah sakit kepala?

Memang, tidak selalu baik akhirnya bila apa-apa hanya dihadapi dengan diam saja. Dunia sekitar mungkin akan berpikir tidak apa-apa bila kita diinjak, dihajar, atau semacamnya. Toh, kita tidak akan berisik membela diri atau melawan. Paling-paling kita hanya akan lari atau diusir pergi.

Terkadang kita memang perlu bicara, namun apa jadinya bila kita selalu dibantah dan tak jua didengar? Yang ada hanya lelah. Saat kembali terdiam, kita kerap dituduh lemah, kalah, atau mengaku kalah. Salahkah? Entahlah. Mungkin kita terpaksa mengalah atas nama menyelamatkan kewarasan pribadi. Mungkin kita sudah berusaha keras meyakinkan mereka, meski masih tak cukup juga.

Selalu ada pilihan. Biarkan mereka memilih bicara sepuasnya, berharap akan selalu didengar dan diikuti - tanpa memberi kita sedikit pun giliran atau sekedar ruang untuk bernapas. Teruslah berpikir positif, meski tak semua ide dan rencana harus selalu kita bagi pada dunia. Toh, belum tentu mereka tertarik juga. Salah-salah mereka hanya tertawa.

Dalam diam, selalu ada rahasia. Hanya Ilahi Sang Maha Penjaga. Yang manakah diamnya Anda?

Ssst, sudahlah. Tak perlu juga bilang-bilang sama saya...

R.

(Jakarta, 15 Mei 2014)

"'GANTUNG'?"

Ada tanya di balik tatapnya.
Misteri mengambang di udara.
Dia memang tak banyak bicara,
tenggelam dalam rasa dan asa.

Ada tanya di matanya,
sorot galau yang menuntut jawab dalam diam.
Akankah dia puas dengan yang ada,
saat kau enggan juga memberi kejelasan?

Mata itu masih penuh tanya.
Awas, mungkin takkan berlangsung selamanya.
Tiada yang benar-benar ingin menunggumu dengan setia.
Ini zaman berbeda.

Benarkan ada cinta?
Tolong, jangan kau tega
buat dia berharap sia-sia...

R.

(Jakarta, 14 Maret 2014)

Senin, 12 Mei 2014

"SEHARI LAGI DENGANMU"

Aku ingin sehari lagi denganmu,
meski tak banyak waktu.
Mungkin kau sudah lama tahu
di balik sunyinya kalbu.
Katamu, kau bisa membaca mataku
meski kata-kata terpenjara dalam bisu.

Aku ingin sehari lagi denganmu,
meski waktu makin enggan memihakku.
Akankah kau tinggal atau berlalu
saat aku tak lagi sekedar membisu,
saat aksara berhenti membeku?
Maukah kau membantu
longgarkan lidah yang kelu?

Aku ingin sehari lagi denganmu,
tapi Tuhan memang Maha Tahu.
Biarlah Dia membantu.
Biarlah puisi ini mewakili rasa yang masih membeku
kaku membatu...

R.

(Jakarta, 11 Maret 2014)