Baru saja saya terhenyak (dan pastinya hampir mau protes!) membaca cukilan fakta medis dari sebuah majalah gaya hidup urban:
"Orang yang menikah berisiko lebih kecil terkena serangan jantung dibandingkan mereka yang masih lajang."
Sempat saya berpikir: jangan-jangan propaganda sosial lagi! Setelah saya baca lebih lanjut, ternyata masalahnya sudah jelas: akibat tekanan sosial yang terus-menerus (seperti pertanyaan: "Kapan kawin?" dan semacamnya) cenderung membuat si lajang kepikiran. Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa bablas menjadi stres - hingga kesehatan tubuh menerus.
Ooh, gituu...
Kalau sudah begitu, siapa yang mau disalahkan? Si lajang yang tak kunjung menemukan 'belahan jiwa' -nya (atau kata alasan sadis mereka yang menganggap manusia masih sama dengan barang dagangan - 'belum laku')? Atau lingkungan sosial sekitar yang gemar ikut campur, bermulut nyinyir, meski pastinya mereka akan selalu membantah dengan alasan klise: "Itu tandanya orang sayang dan perhatian sama kamu, tahu!" (Sayang sih, sayang. Tapi tak perlulah, membuat orang jadi merasa kurang atau jelek - mentang-mentang belum 'berdua'. Memangnya lajang nggak boleh berbahagia dan menikmati hidup mereka?)
Ah, sudahlah. Perdebatan panjang seperti itu takkan ada habisnya. Demi hemat energi, lebih baik diam saja dan biarkan orang lain berpikir sesukanya. Ya, nggak?
Semalam saya terlibat percakapan menarik dengan dua orang teman - satu lelaki Inggris dan satu perempuan Indonesia. Si lelaki akan menikah dengan tunangannya yang juga perempuan Inggris, sementara teman saya yang perempuan Indonesia masih lajang - sama seperti saya. Pertanyaannya kepada si calon mempelai pria cukup blak-blakan:
"What relationship advice would you give singles if you could?"
Si lelaki tertawa, meski tampak berpikir keras sejenak. Lalu, entah kenapa - sesuai dugaan saya - dia menjawab:
"Semuanya perlu proses." Lalu meluncurlah cerita tentang proses hubungannya dengan si calon istri, mulai dari awal bertemu hingga akhirnya berpacaran. (Tak perlulah saya beberkan semuanya di sini, hehe.) Ibarat plot di film komedi romantis (meski menurut saya lebih khas Inggris daripada Hollywood yang lama-lama rasanya kelewat instan nan cemplang), beragam kelucuan, keanehan, dan kegilaan yang mewarnai perjalanan kisah cinta mereka sempat membuat saya dan teman saya tertawa.Semua yang awalnya tampak nyaris tidak mungkin, kata si lelaki, ternyata bisa dijalani juga. Bisa karena terbiasa. Kompromi, tanpa seratus persen mengubah kepribadian diri sendiri. (Nah, yang satu hal ini sering banget disalahgunakan - hingga akhirnya bablas, entah jadi total mengatur dan menguasai pasangan demi kepuasan ego pribadi semata...atau malah berubah mati-matian namun jadinya malah tersiksa karena menipu diri sendiri!)
"You will know when it's time," kata si calon mempelai pria saat sekilas menatap saya, seperti yang sudah sering diucapkan semua teman terbaik saya - bahkan yang lelaki. Namun, rupanya teman saya kurang sepakat.
"Tapi tetap harus ada usaha, dong!" katanya berapi-api. Jujur, saya memuji semangatnya yang tak kenal lelah mencari cinta sejati - sementara saya...yah, anggap saja masih dalam masa 'cuti' (yang lagi kata orang, cutinya terlalu lama. Oy, inget umur, Non!) "Kalau enggak, gimana bisa ketemu."
"Memang," si lelaki sepakat. "Cuma kadang kita terlalu lama terpaku pada satu hal, misalnya berusaha menemukan calon pasangan di satu tempat, padahal bisa saja tiba-tiba jodoh kita datangnya dari tempat lain. Misalnya, kamu hobi nongkrong di tempat yang sama, tapi ternyata ketemu jodoh malah di bis atau kereta, misalnya.)
Sementara kedua teman di depan saya tengah berdebat seru, saya sibuk berpikir: lagi-lagi saya diingatkan akan hal yang sama, seperti berusaha tanpa ngoyo dan bersabar tanpa henti. Yah, meski lingkungan sekitar belum tentu sesabar kita dalam mencari dan menanti. Padahal, setiap orang punya ritme hidupnya masing-masing. Ada yang sudah lama berpacaran, hanya untuk putus dan menikah dengan orang lain. Ada yang saat pacaran mesra, namun begitu menikah (amit-amit!) lebih banyak murka dan main tangan hingga akhirnya cerai. Ada juga yang menikah, punya anak, hidup makmur, namun saking makmurnya (baca: menderita obesitas!) tiba-tiba meninggal karena serangan jantung!
Ada juga yang tetap sehat meski melajang, karena sudah berdamai total dengan kenyataan hidup dan memilih lebih banyak berbuat baik kepada sesama - selama umur masih ada. Toh, statistik di atas hanya perkiraan manusia biasa. Yang mengatur takdir tetap Yang Maha Kuasa. Saat banyak yang was-was mengenai bahayanya melahirkan anak di atas usia 35 tahun, aktris Halle Berry justru masih bisa punya anak di usia 46 tahun. Padahal, dia penderita diabetes, lho!
Si lelaki Inggris juga dengan kalem memaklumi kekhawatiran calon istri yang saya yakin perempuan Indonesia tidak akan berani terang-terangan mengakui pada kekasih mereka: "Engg...gimana kalo tiba-tiba kita bosen?" Tanpa merasa tersinggung atau marah-marah, si lelaki justru menjawab dengan enteng:
"Yaah, kita liat gimana nanti. Pokoknya dicoba dulu. Aku sih, percaya diri kita bisa."
Subhanallah. Kapan lagi saya bisa melihat contoh sosok lelaki yang dewasa, bijak, dan baik hati begini?
Yang pasti, semalam saya pulang dengan perasaan tenang. Ya, selalu ada petunjuk dari-Nya agar kita para lajang senantiasa bersabar dan tetap berbahagia dengan hidup kita, apa pun yang terjadi nantinya...
R.
(Buat calon mempelai teman saya yang dewasa, bijak, dan baik hati. Thanks, B.)
Hehe, betul. Aku selalu percaya bahwa bukan status menikah atau lajang yang membuat sesorang bahagia, tapi cara hidup seseorang itulah yang mempengaruhi :)
BalasHapusBetul sekali, Indi. :)
Hapus