Jumat, 29 November 2013

"AKU DAN TATO TEMPORER"

Saya penyuka tato temporer, bukan permanen. Selain alasan religius, saya juga mudah bosan. Bayangkan kalau suatu saat tiba-tiba saya harus menghapus tato lama - atau malah menindihnya dengan yang baru, seperti kerjaan Johnny Depp paska putus dari Winona Ryder di tahun '90-an dulu. Belum lagi mahal dan sakitnya itu, hiih!

Mengapa saya menyukai tato temporer? Meski (masih) banyak yang mengidentifikasi tato dengan pemberontakan dan premanisme (alias hak milik para berandal belaka!), bagi saya tato merupakan ekspresi seni. Toh, saya juga tidak sering-sering melakukannya.

Kelas tiga SMA adalah kala pertama saya mencoba tato temporer. Tertarik pada salah satu desain si artis tato, saya mampir ke gerai mereka di sebuah mall. Cukup lama buat mereka untuk melukis seekor kalajengking hitam di leher saya.

Kenapa leher? Waktu itu saya masih berstatus pelajar. Takutnya ada guru yang mempermasalahkan hingga saya terpaksa keluar sekolah sebelum waktunya, alias D.O.

Alhasil, selama dua minggu, saya melindungi tato dari pandangan penghuni sekolah selama jam belajar. Hanya di luar sekolah saya baru berani menguncir rambut. Hehe, badung juga, ya.

Pas kuliah, saya kembali tertarik sama tato. Kali ini seekor kucing hitam 'mangkal' di lengan kiri saya. Setelah itu tak terhitung. Yang terbesar mungkin saat ultah Jakarta di Kemang, dimana saya minta si artis tato menggambar seekor naga raksasa di sepanjang betis kanan saya - tepatnya bagian luar. (Biar kelihatan!) Pengerjaannya memakan 1.5 jam, sampai saya sempat ketiduran di atas karpet Persia. (Untung yang jualan tidak marah, berhubung tempatnya juga pas di sebelah gerai tato.)

Awalnya, ibu saya sering geleng-geleng melihat ulah saya. "Kurang kerjaan," komentar beliau waktu itu. Ada juga teman yang bilang keren. (Sampai ada rekan kerja dari Kanada berkomentar dengan nada kecewa:"Yaah, yang asli, doong!")

Sayang, waktu itu saya belum punya ponsel berkamera dan media sosial belum semarak seperti sekarang. Tapi, saya masih ingat kalau itu salah satu tato terkeren yang pernah saya miliki.

Berikutnya ada tato hati patah dengan tulisan "Love Bites" berwarna hitam di lengan saya saat Valentine. (Jangan tanya.) Lalu, lagi-lagi seekor kalajengking hitam di lengan kiri saat saya berlibur ke Bali bersama sahabat saya tahun lalu. (Sayangnya, kali ini tato itu berakhir dengan gatal-gatal di lengan saya. Hiks, dasar alergi!)

Belum kapok juga, saya kembali mencobanya saat ke Anyer akhir Oktober lalu. Kali ini tato henna sungguhan di tangan kiri saya. Bagaimana saya yakin itu sungguhan? Setelah dilukis, perlahan-lahan kulit tangan saya mulai terasa adem. Saya bahkan tak peduli tato itu hanya bertahan seminggu, karena - kali ini - ibu saya menyukainya. Salah seorang murid saya yang masih SD bahkan berkomentar kalau saya mirip putri India, hahaha!

Ada juga yang mengira saya baru saja menikah. Sambil tertawa saya berkomentar:

"Kalo gitu, harusnya saya ditato sekujur tubuh dong, kayak pengantin Arab sama India sebelum menikah!" (Mohon koreksi saya bila saya salah.)

Sayang, lagi-lagi saya alergi. Tangan saya kembali gatal-gatal, hingga sahabat yang sudah seperti abang sendiri menegur:

"Kayaknya kamu jangan tatoan lagi, deh."

Hiks, kayaknya demikian. Tapi, entahlah kalau suatu saat nanti mendadak saya tergoda lagi. Hihihi...

R.

(Jakarta, 24 November 2013)

Senin, 25 November 2013

"TANTE YUL"

“Jeng Wanda, kok Alya dibiarin main kotor-kotoran gitu – sama anak laki-laki pula?” tegur Tante Yul, sepupu Papa yang berkunjung siang itu. “Mbok ya, dia kayak Maya gitu – main masak-masakan di dalam rumah. Lebih pantes, lebih perempuan!”
Aku tak begitu ingat penyebab Tante Yul berkomentar demikian waktu itu. Umurku masih tujuh tahun dan – menurut orang banyak – aku amat tomboy. Rambut ikalku selalu dipotong pendek, kayak George Kirrin di serial “Lima Sekawan” karya Enid Blyton. Aku juga lebih suka bercelana pendek / panjang daripada memakai rok. Pink juga warna yang paling kubenci, entah kenapa.
Aku juga lebih suka kegiatan luar rumah. Bersepeda, main sepatu roda, perang-perangan...sebut saja. (Untung dulu jalanan belum macet-macet amat kayak sekarang!) Aku lebih senang main dengan adikku Aldo daripada kakakku Andhara.
Seperti yang kulakukan siang itu.
“Ndak apa-apa, Mbak Yul,” jawab Mama sabar. “Namanya juga anak-anak. Lagipula mereka hanya lagi main kelereng. Alya juga bisa sekalian jagain adiknya.”
Tante Yul masih memandangku seakan aku tengah bergulingan di comberan. Sepupuku, Maya, duduk di samping beliau. Tampak kaku dalam gaun putih bersih, memandangi cangkir teh di depannya.
--- // ---
Beranjak remaja, mataku lebih terbuka.
“Hai, sayaang!” pekik Tante Yul saat bertemu kami di restoran Bakmi GM. Setelah berbasa-basi dengan Mama dan kedua saudaraku, beliau tersenyum lebar sambil mencubiti pipiku. “Kamu nambah gemuk aja!”
Aku cemberut. Kulihat Andhara dan Aldo berusaha tidak cekikikan sambil sikut-sikutan. Sial!
“Udah kelas berapa, Alya?”
“Dua SMA, Tante,” jawabku dingin. Aku masih tersinggung dibilang tambah gemuk sekaligus diperlakukan kayak anak kecil di depan umum. Jadi malas ngomong.
“Maya juga kelas dua.” Tante Yul sepertinya tidak merasa – atau mungkin malah tidak peduli. Tipikal orang tua. “Maya mau masuk IPA. Ya kan, nak?”
“IPS juga nggak apa-apa, Ma,” Maya menggumam di samping ibunya. Entah kenapa, mukanya tampak bete. Tambah bete lagi saat Tante Yul meliriknya dengan tatapan kurang senang.
“Kalo IPA masa depannya lebih terjamin,” tukas beliau tanpa basa-basi. Lalu, wanita kriwil dan gempal itu menatap Mama – jelas-jelas mengharap dukungan. “Ya kan, Tante Wanda? Lebih gampang dapat kerja.”
Aku memilih diam. Entah beliau akan ngomong apa kalau tahu nilai Kimia-ku jeblok. Apa boleh buat. Aku sudah berusaha keras. Papa yang sama ambisiusnya dalam mengharap setidaknya ada satu anaknya yang masuk jurusan IPA akhirnya menyerah. (Andhara juga gagal masuk IPA gara-gara tidak suka Fisika.) Tinggal Aldo harapan terakhir beliau. Beban berat si bungsu.
Lagipula, aku lebih suka Bahasa, Sosiologi, dan Sejarah. Waktu itu aku hanya kepikiran ingin jadi wartawan, penulis, atau seniman. Nggak masalah, kan?
“Mama, Erik telepon,” sela Andhara tiba-tiba sambil menunjuk HP di tangannya. Erik pacarnya di kampus. “Dia mau ngajak aku nonton. Bentar lagi ke sini.”
“Oke.” Mama langsung mengangguk paham, tapi Tante Yul langsung menyambar dengan nada menyelidik: “Erik?”
“Pacarnya, Tante,” sahutku jahil, berusaha mengalihkan perhatian beliau dariku. Andhara langsung melototiku, tapi tak lama. Sosok jangkung dan atletis berambut ikal menghampiri kami. Dia langsung mencium punggung tangan Mama layaknya gentleman, seperti biasa. Aku suka Erik jadi pacar kakakku. Dia baik dan sopan.
“Sore, Tante,” sapanya penuh hormat. Begitu melihat Tante Yul, dia pun mencium tangan Tante Yul sebelum berpaling pada Mama. “Saya mau jemput Ara untuk nonton di Plaza Senayan.”
“Okay, have fun!” Mama berpaling pada kakakku. “Jangan pulang terlalu malam.”
“Oke.” Pasangan itu pun berpamitan pada kami semua dan melenggang pergi. Tante Yul terang-terangan mendelik melihat Erik menggandeng Andhara.
“Jeng Wanda, anakmu sudah dikasih pacaran?” Duuh, apa-apaan, sih? “Trus, Andhara kok boleh pake rok mini? Aduh, Jeng Wanda! Mbok ya, punya anak gadis jangan diumbar gitu!”
Lama-lama kupikir Tante Yul kelewatan. Pertama, rok Andhara hanya sedikit di atas lutut, nggak sependek Julia Roberts di poster film “Pretty Woman”. Kedua, aku tahu Erik baik. (Kalo nggak, mana mungkin Mama kasih Andhara pacaran sama dia. Kata orang, insting ibu tiada duanya!)
Seperti membaca pikiranku, Mama memberiku delik peringatan di matanya. Kutahan mulutku dengan susah-payah. Beliau tahu aku seperti Papa – pemarah. Tak peduli yang kuhadapi lebih tua.
“Ndak apa-apa tho, Mbak Yul,” bela Mama seperti biasa. “Toh, yang penting Ara tahu bahwa kepercayaan ibunya jangan sampai dilanggar. Lagipula, anak-anak harus belajar menjaga diri sendiri, meski perempuan juga.”
Seperti biasa, Tante Yul belum puas membantah. Buru-buru kupasang earphone di HP-ku untuk mendengarkan lagu-lagu metal sebelum keburu makin naik darah!
--- // ---
“Tante Yul memang selalu begitu,” hibur Mama sepulang dari arisan keluarga, saat aku menanti pengumuman kelulusan SMA setahun setelah kejadian di resto itu. “Jangan terlalu dimasukin di hati.”
Aku dongkol. Bagaimana tidak? Setiap ketemu, Tante Yul selalu begitu. Mengkritik Mama dan praktis semua orang. Seolah-olah hidup beliau sendiri sudah yang paling beres sejagat dan Maya putri kecilnya yang sempurna, karena penurut. Beda denganku, yang menurut beliau terlalu bengal dan tomboy. (“Alya harus diingatkan pada kodratnya sebagai perempuan!”) Helloo?! Begini-begini aku masih suka laki-laki, kali! Sudah begitu, Tante Yul tanpa mengkritikku – seolah-olah beliau lebih berhak melakukannya daripada Mama. Rambut jangan terlalu pendek lah, biar kelihatan lebih perempuan. (Kayak aku pengen botak aja!) Badan jangan kegendutan lah, takut nanti susah dapat pacar. (Heh?? Kok jadi nggak konsisten gitu soal pacar? Lagipula, aku juga menjaga kesehatan badan demi diri sendiri, bukan menarik hati sembarang laki-laki. Apalagi yang berotak dangkal. Hiiih!)
Ada satu yang paling bikin aku murka. Kata Tante Yul, perempuan yang baik nggak boleh (kelihatan?) terlalu pintar – melebihi laki-laki. Kalau pun pintar, nggak perlu pamer. Nanti laki-laki jadi pada malas menghampiri.
Ha-ha, lucu sekali. Masa iya aku harus berlagak bodoh, hanya demi pacaran dengan laki-laki egois berotak dangkal? Sama saja cari mati di usia dini!
Kata Mama, Papa pernah cerita dulu Tante Yul sempat batal menikah – gara-gara laki-laki pilihan minder dengan kecerdasan beliau. Selain itu, beliau juga pernah iri dengan Papa yang berhasil diterima di ITB dan sekarang dapat karir bagus di perusahaan multinasional di Jakarta.
Mungkin, karena itulah sekarang Tante Yul rajin berkoar-koar karena menikahi Om Odie yang pengusaha kaya-raya. Tadi pas arisan, beliau juga tak lupa pamer ke semua orang:
“Maya mau kuliah di Australia.”
Waktu itu aku hanya memutar bola mata. Beliau pasti mengharapkan pujian – atas dirinya, tentu saja. Maya hanya boneka. Aku tidak buta.
Mama melihat ekspresiku. “Mungkin kamu bisa coba cari sponsor atau beasiswa.”
Aku tersenyum menenangkan. “Oke, Ma,” ucapku, tak tega melihat Mama sedih. “Aku nggak apa-apa, kok.”
--- // ---
Aku memang akhirnya memilih kuliah di jurusan D3 Sastra Inggris, dengan alasan ingin cepat kerja. Lagipula, masih banyak jalan untuk meneruskan kuliah ke luar negeri. Tinggal usaha dan berdoa.
Jujur, aku tidak pernah iri dengan Maya. Aku malah kasihan dengan sepupuku itu. Dia tak pernah benar-benar bisa jadi diri sendiri gara-gara Tante Yul. Terkekang dan selalu tertekan. Aku sendiri bisa gila kalau Mama sampai seperti itu.
Tentu saja, Tante Yul tidak pernah benar-benar mengenal putri tunggalnya sendiri. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak mau. Mama pernah memergoki Maya suatu malam, dalam perjalanan mengunjungi Tante Yul. Sekitar satu blok dari rumah mereka, sebuah Toyota hitam berhenti. Maya turun sambil menghapus sisa riasan dari wajahnya. Dari jendela taksi yang separuh terbuka, Mama melihat Maya berbicara dengan pemuda urakan di balik kemudi.
“Gue bisa mampus kalo ketahuan nyokap ke ultah Noel sama elo,” katanya panik. Tanpa mengucapkan kata perpisahan, gadis itu berlari ke arah rumahnya.
Mama tahu, Maya ahli memanjat ke jendela kamarnya di lantai dua. Beliau melihatnya sendiri malam itu, tapi tak pernah memberitahu Tante Yul. Saat Tante Yul menerima kedatangan beliau yang hanya sebentar, ibu Maya bilang anaknya sudah tidur di kamarnya.
Untung aku tidak pernah harus melakukan itu...
--- // ---
Setelah itu, aku jarang mendengar tentang Maya atau Tante Yul, kecuali saat acara keluarga yang mengharuskan semua orang hadir. Baguslah. Aku muak direndahkan orang, bahkan sama keluarga sendiri.
Waktuku banyak tersita kesibukan kuliah dan teman-teman. Aku sedang tidak begitu memikirkan urusan pacar, meski kata beberapa teman ada sejumlah lelaki yang sebenarnya tertarik padaku. Entahlah. Mungkin aku hanya belum berminat membina hubungan serius.
Beberapa kali aku memang sering keluar malam – dan itu bukan sekedar bersenang-senang. Tugas kelompok di rumah teman, riset di perpustakaan kampus, sebut saja. Aku juga mulai menjajal profesi sebagai penulis lepas di sebuah majalah online lokal. Beberapa kali aku harus keluar malam – atau bahkan pulang pagi – untuk meliput macam-macam, mulai dari acara product launching hingga konser. Meski tak melarang, Mama hanya wanti-wanti agar aku tak lupa menjaga kesehatan, keselamatan diri, hingga tetap menomorsatukan kuliah agar cepat lulus.
Aku tak begitu memikirkan Tante Yul lagi hingga beliau datang malam itu. Aku pulang dari kantor redaksi pada pukul sepuluh malam. Kulihat Mama duduk di ruang tamu bersama beliau. (Tumben.) Beliau hanya datang sendiri, tidak bersama Om Odie seperti biasanya.
Dengan enggan aku masuk. Awas saja kalau beliau sampai berkomentar macam-macam mengenai kepulanganku yang pastinya terlalu malam menurut standar sempurna beliau. Aku sedang terlalu lelah untuk ‘basa-basi’ macam itu.
“Selamat malam, Tante.”
Kedua wanita paruh-baya itu menoleh. Aku sudah berdiri dengan kaku, siap dikomentari dan mendebat. Anehnya, kali ini Tante Yul hanya tersenyum lemah padaku. Entah kenapa, wajah beliau tiba-tiba terlihat jauh lebih tua dan...lelah.
“Selamat malam, Alya.”
Aku tertegun. Tumben, Tante Yul tidak berkomentar apa-apa lagi. Kulihat Mama memberiku isyarat lewat mata beliau yang segera kumengerti. Oke. Aku mengangguk, lalu tersenyum sopan pada Tante Yul.
“Tante, aku ke kamar dulu, ya.”
“Iya.” Buru-buru aku masuk ke kamar. Entah kenapa, tiba-tiba perasaanku tidak enak. Tante Yul tampak amat tertekan. Mama tadi juga kelihatan serius.
Sepeninggal Tante Yul, Mama masuk ke kamarku. Tak hanya serius, kali ini beliau juga tampak tertekan. Aku jadi deg-degan.
“Maya harus dipulangkan dari Malaysia.”
“Lho, bukannya dia kuliah di Australia?” tanyaku heran. Mama menggeleng.
“Setelah setahun, ternyata Maya sering bolos hingga akhirnya di-DO,” jelas beliau. “Om Odie sempat memindahkan Maya ke Malaysia hingga...”
“Hingga?”
“Maya harus dipulangkan,”ulang Mama, kali ini dengan nada berat. “Dia hamil gara-gara teman sekampusnya.”
Dan aku hanya bisa ternganga...


Sabtu, 23 November 2013

"EPILOG CINTA"

Waktu seakan membeku
saat mata kita bertemu.
Inikah saat terakhir itu?

Kita bicara
meski kalah oleh suara
gemuruh gejolak jiwa
menulikan telinga.

Andai waktu sungguh mampu membeku,
akankah kita ikut membatu?
Selamanya, tanpa perlu berlalu.

Ssh, diamlah.
Kita telah kalah.
Realita ngotot ingin berdiri di tengah,
meski hati ini belum jua lelah.

Jangan menangis, sayang.
Mungkin ini hanya cobaan.
Mungkin semua akan berbeda di masa depan...

R.

(Jakarta, 5 November 2013)


Jumat, 22 November 2013

"SAAT KITA MENGHARAP SEKUEL SETELAH EPILOG"

Pernah mengalami saat-saat seperti ini? Kita membaca satu novel dan merasa sedih saat tiba di epilog. Bukan, bukan karena ceritanya sedih atau bahkan berakhir sedih. Kita tidak menyadari setelah larut dalam alur, tahu-tahu kita bertemu halaman terakhir. Rasanya mungkin sama tidak relanya dengan nonton film bagus dan akhirnya harus berjumpa juga dengan yang namanya credit title di layar. Maunya teriak (meski mungkin dalam hati) :
            “Nggak puaas! Mau lagi, aah!”
            Setelah itu, mungkin kita akan menonton lagi film yang sama (entah memutar ulang DVD-nya di rumah atau...rela boros uang hanya untuk membeli tiket lagi di bioskop.) Anda akan membaca ulang buku itu, kalau perlu sampai sampulnya lecek dan orang bosan setengah-mati melihat yang kita lakukan. Ibaratnya, kita jadi tampak seperti orang yang sulit ‘move on’, hehe...
            Mungkin kita juga akan bereaksi begini:
            “Hmm, kira-kira ada sekuelnya nggak, ya?”
            Sudah lazim bagi pekerja kreatif (seperti penulis dan sineas) untuk membuat lanjutan dari karya mereka sebelumnya – entah sekedar taktik jualan atau memenuhi permintaan penggemar, atau bahkan keduanya. Mungkin karena ide ceritanya menarik dan menginspirasi. Mungkin juga ada tokoh yang membuat kita jatuh cinta, hingga kita ingin sekali melihat kelanjutan nasib si tokoh. Apakah sosok idaman (meski fiktif) itu akan tetap jadi idaman? Akankah kita (dibuat) makin senang – atau malah kecewa dengan perubahan yang ada, baik sengaja maupun tidak?
            Begitu pula dengan dunia nyata.
            Pernah ketemu sosok yang memberi pengaruh besar bagi hidup kita, sampai-sampai kita tidak rela melepasnya pergi? Atau, pernahkah ada yang merasakan demikian tentang kita, hingga mereka sedih saat kita harus pergi – atau sedang tidak bisa sering atau terus-terusan bersama mereka?
            Apakah kita tahu orangnya? Apakah kita termasuk kategori yang disebutkan di atas? Bagaimana cara mengetahuinya?
            Bayangkan situasi ini: kita pernah ke suatu tempat dan tinggal cukup lama. Tak hanya menambah jumlah teman selama di sana, mungkin banyak juga yang lama-lama menganggap kita keluarga – seperti kita menganggap mereka saudara.
            Lalu, suatu saat – tiba-tiba kita harus pergi dan berpisah dengan mereka. Sedih? Tentu saja. Tapi itulah bagian dari hidup, sama seperti adegan terakhir dalam film dan epilog dalam novel. Tiada pertemuan tanpa perpisahan.
            Setelah itu, bayangkan bila tiba-tiba takdir (dan usaha pribadi yang nyata, tentunya) membawa kita kembali ke tempat yang sama. (Semoga ini kabar bagus, ya.) Coba hitung, ada berapa orang yang berebutan ingin ketemu kita – begitu tahu kita kembali di antara mereka, sesibuk apa pun mereka (lagi)?
            Saya tidak sedang mengajak Anda untuk ikut ‘kontes kepopuleran’. Setiap insan diciptakan berbeda. Tak perlu lantas kita berubah menjadi sosok yang selalu ingin menyenangkan semua orang, terutama hanya agar selalu dirindukan. Tetap jadilah diri sendiri – dan orang-orang yang ‘tepat’ akan mencari kita, di waktu yang tepat pula.
            Sama seperti buku dan film, yang pastinya punya pangsa pasar masing-masing. Yang pasti, alangkah menyenangkannya bila kita menjadi sosok yang selalu dinantikan – seperti pembaca novel dan penonton film yang berharap akan sekuel setelah epilog karya terakhir yang mereka nikmati...

            R.


            (Jakarta, 22 November 2013)

Minggu, 17 November 2013

"J."

Ada masa dimana kamu pernah menjadi segalanya. Entah apa yang merasukiku saat itu. Yang pasti, aku amat tergila-gila padamu sampai mengorbankan ambisi dan impian pribadiku sejak kecil. Semua hanya agar aku selalu bisa dekat denganmu.
            Tenang, aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Semua pilihan kuambil dalam keadaan sadar.
            Ah, semester satu. Aku akan selalu ingat saat-saat itu. Saat kamu – yang waktu itu belum mengenalku – enteng saja menggenggam tanganku di kelas, hanya karena melihatku gemetar ketakutan di hadapan para senior galak. Saat kita tanpa sengaja jadi sering mengobrol dan nongkrong bareng, hingga akhirnya berteman (cukup) dekat di kampus. Berawal dari main ‘surat-suratan’ di kelas saat jam kuliah. Kalau diingat-ingat lagi, lucu juga. Kelakuan kita mirip anak-anak SMA yang tengah tukeran contekan pas ujian. Untung saja dosen tidak melihat dan menegur. Bisa malu kita nanti.
            Entah apa yang membuatmu waktu itu mau nongkrong denganku. (Harap maklum, saat itu aku masih amat minder.) Bisa kulihat tatapan iri dan penasaran beberapa mahasiswi cantik yang terang-terangan tertarik padamu saat berpapasan dengan kita berdua. Aku tak menyalahkan mereka; cewek normal mana pun pasti ingin berada di posisiku saat itu. Kamu tak hanya tampan, tapi juga berkharisma. Auramu dingin, misterius, dan...ehem, menggiurkan. Rambut ikal gelapmu selalu kamu biarkan tergerai lepas sebahu. Hitam warna favorit pakaianmu.
            Kamu juga teguh dan penuh percaya diri. Kamu termasuk yang tidak peduli dengan omongan orang lain, karena kamu tahu apa yang kamu mau. Waktu itu, diam-diam aku juga berharap sepertimu.
            Senin itu, tiba-tiba kamu mengajakku bolos kuliah sore. Iseng saja, alasanmu waktu itu. Aku pun terpengaruh. Bersama keempat teman sekelas kita lainnya yang juga cowok-cowok (hanya aku yang cewek), kita ramai-ramai naik Timor putihmu ke PIM. Tentu saja, aku mendapatkan ‘kehormatan’ duduk di sampingmu yang pastinya menyetir. Kapan lagi bisa begini?
            Sepanjang jalan kita semua bernyanyi-nyanyi dan bersenda-gurau. Kamu suka ngebut, tapi aku tak peduli. Belum pernah aku sebahagia ini!
            Saat kembali ke kampus untuk nongkrong lagi, langit sudah menggelap. Beruntunglah, waktu itu kampus kita di Depok masih banyak area hijaunya. Udara bertambah sejuk menjelang malam.
            Jon, salah satu teman sekelas kita memberitahu kita kabar bahwa sebenarnya dosen hari itu tidak masuk. Kamu hanya memandangku dengan geli sebelum akhirnya kita terbahak. Berarti tidak ada kuliah hari itu!
            Lalu kita duduk berdua, memandang langit berbintang. Romantis? Tentu saja, hingga kamu mengucapkan sesuatu yang nyaris membuatku terguling dari kursi:
            “B., cariin gue cewek, dong!”
--- // ---
            Ada masa dimana aku ‘gamang’. Bagaimana tidak? Di satu sisi, aku ingin menjadi teman baik – dengan mencarikanmu jodoh. (Meski dalam hati aku bertanya-tanya, apa susahnya cowok setampan dan sebaik kamu mendapatkan pacar. Kulihat pasti banyak yang mau, termasuk aku. Hehe.)
            Di sisi lain, aku enggan. Tentu saja. Aku gila apa, menyakiti diriku sendiri dengan cara demikian? Aku sudah cukup lama berada di dekatmu – dan kamu masih menginginkan cewek lain. Aku kurang apa? Huh!
            Banyak teman yang menyarankan agar aku ‘menembak’-mu duluan. Aduh, mau ditaruh dimana mukaku? Bagaimana kalau kamu menolak, lalu enggan bersahabat denganku lagi?
            “Setidaknya elo tahu persis perasaan dia sama elo, jadi elo gak ‘mati penasaran’ dan buang-buang waktu lagi deketin dia,” kata mereka waktu itu.
            Sayang, tak semua mahasiswi berusia 19 tahun cerdas dan dewasa. Akulah salah satu bukti hidup fakta tersebut. (Sial.) Pada masa itu, banyak yang diam-diam telah kukorbankan hanya untuk selalu berdekatan denganmu.
            Sebenarnya, waktu itu aku sudah lolos audisi untuk ikutan paduan suara universitas yang sudah jaminan mutu. (Beberapa kali mereka sudah pernah bertanding dan tampil di luar negeri.) Coba tebak? Aku melepaskan kesempatan émas’ itu, hanya karena kamu bergabung di klub film yang tengah dirintis salah seorang seniorku. Jadwalnya sering bentrok dengan jadwal latihan paduan suara, jadi aku harus mengorbankan salah satu.
            Di situlah kamu mulai lebih dikenal. Tiba-tiba banyak mahasiswi yang juga ingin mendekatimu. Tampaknya kamu juga menikmati perhatian dari mereka.
            Suatu siang, di tengah-tengah jam istirahat sebelum kuliah sore, Andita menghampiriku. Cewek cantik berkulit putih dan berambut lurus sebahu itu tampak nelangsa.
            “Dia nolak gue!” curhatnya tentangmu. Aku terkesiap. Astaga, nekat juga Andita! Kalau yang secantik dia saja sudah ditolak, bagaimana denganku? Makin takut saja aku.
            Seperti yang sudah diperkirakan beberapa teman terdekatku, aku gagal mencarikanmu jodoh. Sesuai dugaanku, sebenarnya kamu sama sekali tidak perlu bantuanku. Kulihat kamu mulai dekat dengan Diana, salah satu teman kita di klub film.
            Dengan kata lain, kesempatanku tertutup sudah!
            Ajaib, aku masih bisa tersenyum saat memberimu selamat malam itu, saat semua kru film tengah break syuting. Kita makan malam di warung terdekat. Kamu duduk pas di hadapanku. Jujur, belum pernah kamu tampak setampan itu. Mungkin karena kamu juga sangat bahagia. Matamu tampak berbinar-binar saat bercerita pada semua orang tentang Diana. Dadaku jadi semakin sesak. Ah, teman macam apa aku ini?
            “Selamat, ya.”
            “Makasih, B,” katamu sambil tersenyum hangat. Kupaksakan senyum meski mataku mulai memanas. Untunglah, perhatianku segera teralihkan oleh kru lain. Aku menunduk dan tiba-tiba menyadari sesuatu:
            Astaga, ternyata dari tadi aku sudah mencabik-cabik potongan udang di atas piringku dengan sendok dan garpu!
--- // ---
            Malam itu, aku pulang dan menangis di kamarku. Setelah itu, hari-hari penuh perjuangan berat menanti. Ya, hari-hari dimana aku harus pura-pura bahagia, seakan tidak ada apa-apa. Lagi-lagi semua hanya demi kamu. Konyol, ya?
            Semester dua, kita tidak sekelas lagi. Mungkin memang lebih baik begitu. Kita hanya sesekali bertemu, terutama di klub film. Ada yang bilang kamu kangen aku. Wajahmu tampak sedih saat aku lebih memilih bicara dengan kru lain dan jarang denganmu, tak seperti dulu.
            “Kalo emang bener, harusnya dia duluan dong, yang nyamperin gue.” Ah, kadang aku bisa sangat keras kepala. Sebenarnya aku takut. Entah kenapa, aku takut perasaanku akan terbaca jelas olehmu di wajahku. Aku bahkan tak mau tahu, kamu masih pacaran atau lagi sendiri. Kudengar kamu sudah tidak bersama Diana lagi.
            Maafkan aku...
            Semester tiga, kuputuskan untuk total fokus pada diriku sendiri. IPK-ku berantakan. Aku terpaksa keluar dari klub film. Sedih memang, tapi mau bagaimana lagi?
            Untuk sesaat, semuanya terasa lebih ringan. Aku juga bergaul dengan teman-teman lain di luar klub film dan fokus kuliah. Hanya sesekali kita berpapasan, saling tersenyum sopan – dan kaku. Apa boleh buat, kita memang tidak bisa lagi sedekat dulu. Kulihat kamu juga sudah punya pacar baru. Sosok mungil berambut ikal yang beruntung.
            Saat wisuda, lagi-lagi teman-teman dekatku ‘mengompori’.
            “Just tell him how you feel,” saran Putri waktu itu. “Gue liat elo masih penasaran. Nggak usah ngarepin jawaban dia. This is your last chance. Yang penting dia tahu. Kalo lo malu, toh elo gak perlu ketemu dia lagi. Belum tentu juga bakal ketemu lagi dalam waktu yang lama.”
            Sialnya, lagi-lagi aku ‘terprovokasi’. Tapi sepertinya Tuhan tahu yang terbaik untukku. Hingga upacara wisuda berakhir, tak kutemukan juga sosokmu. Sepertinya Tuhan tahu aku takkan kuat.
            Cara terakhir yang kutempuh waktu itu adalah mengirimimu e-mail. Setelah itu, aku hanya bisa pasrah. Wallahu álam...
--- // ---
            Butuh tiga tahun bagiku untuk akhirnya total menghapus semua perasaan ini.
            Kutemukan namamu di media sosial dan ku-add. Kamu menerimaku dengan tangan terbuka. Aku senang? Tentu saja.
            Aku tak pernah tahu apa kamu telah membaca e-mail terakhir dariku. Aku tak pernah dapat balasan apa pun. Mungkin sebaiknya memang tidak usah.
            Mungkin saat kamu membaca ini suatu hari tanpa sengaja, kamu akan tahu dengan sendirinya. Mungkin kamu akan menganggapku menggelikan, mungkin juga tidak. Mungkin kamu juga sudah tidak lagi peduli. Itu hanya masa lalu, toh?
            Yang kutahu, sekarang kamu sudah menikah dan punya anak. Kamu bahagia dan bagiku itu sudah lebih dari cukup.
            Hmm, mungkin ini yang dinamakan ‘move on’...
-selesai-

(Jakarta, 16/9/2013 – 9:45 am)

"JAUH..."

Aku ingin menggandengmu
tanpa harus peduli tatapan mereka.
Aku ingin merasa bangga
saat menunjukkanmu pada dunia
bahwa kau (memilih) bersamaku.

Aku ingin memelukmu
hanya agar kau berhenti menangis.
Tersenyumlah untukku,
karena lukamu begitu pedih mengiris.
Sayang, aku hanya bisa tertegun kaku.

Sepertinya, kita tak mungkin bersatu.
Dunia ini akan mengutuk, meski namamu telah merasuk ke dalam kalbu.
Aku hanya bisa mencintaimu
walau diam-diam dan hanya dari jauh...

R.

(Jakarta, 20 Oktober 2013)


"SEBUAH ASUMSI DAN GENERALISASI"

Ini masih cerita tentang saya dan sahabat yang sudah saya anggap abang sendiri. Kebetulan, dia orang asing. Dari posturnya yang tinggi dan kulitnya yang putih sudah ketahuan.
            Entah kenapa, masih banyak orang di luar sana yang hobi berasumsi tentang banyak hal, hingga berbuntut menggeneralisasi / stereotyping. (Akhirnya malah menilai dan menghakimi sesuka hati, tanpa peduli kemungkinan mereka salah asumsi. Hiks!)
            Contoh sederhana? (Terlalu) banyak! Misalnya, saya yang – ahem! – tambun (tapi tetap seksi dong, hihihi!) ini kerap dituduh senang (selalu) makan banyak sekali. (Baca = rakus!) Kalau ada makanan habis, pastilah saya tersangka utama. Lalu cewek yang cantiknya (dianggap) setara supermodel macam Kimmy Djayanti atau Agyness Deyn pasti gampang punya pacar dan mantannya se-penjuru negeri. (Aih, lebay!) Cowok yang gantengnya ‘kelewatan’ (sampai Iko Uwais sama Brad Pitt pun ‘lewat’, deh!) pasti entah: playboy, bajingan, atau malah...doyan yang ganteng juga. Nah, lho!
            Masih ada lagi. Yang kerap bikin saya bete: kalau cewek Indo sama cowok bule terlihat jalan berdua, pasti ada yang langsung mengecap mereka...bule dan ‘ayam’-nya. (Dan saya tidak sedang membicarakan ayam goreng KFC atau yang masih utuh dan tengah bertelur di peternakan!)
            Mending kalau masih dikira suami-istri. Seperti tahun lalu, saat saya dan sahabat liburan berdua ke Bali. Beberapa kali kami harus mengkonfirmasi gara-gara pertanyaan yang itu-itu lagi. Yang paling menarik saat kita memutuskan untuk bikin tato temporer di sebuah toko tato di Kuta.
            “Bu, itu suaminya, ya?”
            “Bukan.” Yang paling gigih bertanya waktu itu seorang cowok yang ternyata temannya si tukang tato (yang tengah mengerjakan ornamen di belakang leher sahabat saya, sementara saya duduk menunggu giliran dengan anteng.)
            “Kalo gitu, itu pacarnya?”
            “Bukan juga.”
            “TTM*?” (TTM = Teman Tapi Mesra – kayak lagunya Ratu.)
            “Waah, itu malah lebih bukan lagii!” Aje gile.
            Cowok itu tertawa. Sahabat saya dan si tukang tato juga tertawa. (Untung tatonya tidak sampai bubar jalan, alias berantakan!) Habis itu, si cowok langsung meminta nomor HP saya. (Oh, ternyata.) Tanpa merasa terpaksa atau bersalah,saya tolak. (Maklum, ogah dikira gampangan. Saya juga tidak tertarik. Ngapain?)
            “Iya deh, Mbak nggak mau saya ganggu.” Cowok itu langsung nyengir pasrah. Maaf, ya. Eh, dia masih balik lagi ke topik semula saat menatap sahabat saya. “Are you afraid that he might be jealous?” (Takut dia cemburu?)
            “No, I’m not.” Sahabat saya langsung menggeleng tegas sambil nyengir geli. (Sumpah, saat itu saya sempat ingin menimpuknya karena kurang berusaha keras untuk tidak menertawakan saya!)
            “Maybe not, but you’ll be angry,” cowok itu masih bercanda dan sahabat saya tertawa. Yeee, dasar!
            Untung cowok itu tidak marah. Toh, namanya juga usaha, hehe.
            Kadang saya memutuskan untuk tidak peduli. Bosan. Ngapain ngurusin orang-orang usil dan sok tahu? Toh, lama-lama mereka juga akan bosan sendiri.
            Justru sahabat saya yang kadang kehabisan kesabaran dan merasa (amat) terganggu. Beberapa kali kami jalan berdua di Blok M dan banyak pasang mata mengamati. Ada juga yang kasak-kusuk. (Berasa selebriti, hehe.)
            “Kenapa sih, mereka ngeliatin kita terus?”
            “Kenapa sih, cewek sama cowok kalo jalan berdua pasti suka dikira pacaran – atau enggak suami-istri? Emang nggak bisa ya, kalo cuma temen?”
            Iya juga. “Yaah, palingan mereka cuma nggak ada kerjaan lain yang lebih penting,” jawab saya waktu itu. Tapi, diam-diam saya kadang berpikir juga:
            Kenapa, ya? Padahal asli, kami hanya jalan bersisian – tanpa gandengan. (Kecuali kalau sedang menyeberang jalan.) Rangkulan juga tidak. Rambut saya juga tetap hitam, tidak (mendadak) ingin dicat pirang atau semacamnya.
            Sementara itu, kalau profilnya dibalik – yang jalan berdua itu cowok Indo sama cewek bule – persepsi orang pasti tidak semiring sebelumnya. Bahkan, si cowok Indo kayak dianggap jagoan – bisa dapat cewek bule. Apa emang dasar standar gandanya patriarki, ya?
            “Wajar, dong. Soalnya contoh yang ada udah banyak!”
            Memang, tak bisa dipungkiri bila contoh nyata yang ada cenderung mempengaruhi persepsi kita akan suatu hal. Tapi, mau sampai kapan kita (memilih) untuk terjebak sama pemikiran yang itu-itu saja?
            Suatu sore, saya dan sahabat saya naik bus Trans-Jakarta. Kami duduk berseberangan, sementara beberapa penumpang lain berdiri di antara kami. Biasa, jam-jam penuh.
            Sempat saya tertidur di tengah jalan, sebelum sahabat akhirnya membangunkan saya karena kami sudah tiba di tujuan. Begitu turun dari bus, dia baru bercerita. Salah seorang penumpang yang berdiri di antara kami melihat saya yang jatuh tertidur, lalu berpaling pada sahabat saya. Pria itu bertanya:
            “Sir, is that your wife? I think she’s asleep.”
            “She’s just a friend.” Sahabat saya hanya tersenyum tipis sembari membangunkan saya waktu itu. “Thanks.”
            Reaksi saya mendengar ceritanya hanya satu: ngakak.
            Ah, sudahlah...

            R.
            (Jakarta, 15 November 2013)


Rabu, 13 November 2013

"HANYA UNTUK DIRI"

Di ultah ke-32, sahabat yang sudah seperti abang sendiri memberi saya sepaket DVD untuk olah raga zumba. Alasannya?

            “Kamu pernah bilang kamu tertarik dengan olah raga zumba. Kamu juga pernah bilang kamu takut berakhir seperti ayahmu.”

            Saya tertegun. Jujur, kalimat terakhir sempat membuat saya sedih. Memang, pada kenyataannya, saya hanya punya kurang dari tiga dekade untuk memastikan saya takkan berakhir seperti beliau.

            Tiga dekade bukan waktu yang lama. Sebaiknya jangan diremehkan.

            Ayah saya memang bukan pria sempurna (seperti halnya manusia). Beliau pernah kelebihan berat badan, menjadi perokok berat, nyaris tidak pernah olah raga, pencinta makanan ‘enak-enak’ (berlemak, bergula, sebut sajalah), hingga suka bergadang dan minum kopi hitam. Kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, masalah jantung...semua beliau punya.

            Mungkin selama ini kita merasa akan selalu berada di posisi enak. Bebas memanjakan diri, mumpung (merasa) masih bisa. Malas bergerak, dengan alasan (takut) capek dan ogah berkeringat. Sering menyuruh-nyuruh orang lain, bahkan untuk hal paling sepele sekali pun – yang sebenarnya masih bisa (dan harus) kita lakukan sendiri. Alasannya? Mulai dari sibuk (entah sibuk beneran atau sok sibuk), tidak bisa (entah beneran tidak mampu atau hanya enggan belajar / malas), hingga sekedar...malas. Bahkan, ada komentar orang malas yang seperti ini:

            “Selama masih ada yang bisa disuruh-suruh, ngapain capek-capek ngerjain sendiri!”

            Terserah Anda. Semua hanya masalah pilihan. Memang, tidak semua (selalu) bisa dikerjakan sendiri. Ada kalanya kita tetap membutuhkan bantuan orang lain. Sampai sejauh mana? Apakah lantas kita hanya akan ongkang-ongkang kaki, sementara semuanya dikerjakan orang lain?

            Berkuasa dengan cara demikian atas orang lain mungkin terasa enak...setidaknya di awal. (Tidak perlu banyak berpikir. Bahkan kalau bisa, tidak usah berpikir sama sekali.) Tinggal duduk tenang sembari terima laporan. Kalau masih tidak puas juga, tinggal tunjuk sana-sini. Persis lagu “Radja” – nya /rif.

            Bayangkan, bila suatu saat semuanya mendadak berubah 180 derajat. Saat semua orang pergi, karena terlalu sibuk atau enggan disuruh-suruh lagi. (Yang masih ‘tidak sadar’ juga biasanya kembali berusaha mencari orang-orang lain lagi yang bisa disuruh-suruh.)

            Bayangkan, bila semua yang dulu pernah kita sepelekan mendadak hilang. Tiba-tiba kita tidak bisa lagi berpikir – dan berbicara. Bayangkan Anda bangun suatu pagi dan tiba-tiba tidak bisa berjalan lagi, meski sebenarnya masih punya kaki.

            Bayangkan ayah saya, yang sudah berjuang melawan stroke selama 4.5 tahun terakhir. Bayangkan orang-orang lain di luar sana yang perjuangannya mungkin jauh lebih berat dan panjang.

            Saya rasa, membayangkannya saja sudah lebih dari cukup. Semoga kita (yang masih diberi kesempatan untuk bergerak tanpa batas) tidak perlu sampai mengalaminya sendiri, apalagi di usia senja nanti.

            Banyak hal sederhana di dunia ini yang sebenarnya wajib diperjuangkan dan haram disepelekan. Salah satunya: kesehatan. Tak hanya untuk kini, tapi juga nanti. Tak hanya untuk diri, tapi juga bersama.

            R.


            (Jakarta, 8 November 2013)

Rabu, 06 November 2013

"PERCAKAPAN SENIN MALAM"

Kau pernah bertanya:
Mengapa aku berselimut sepi?
Apakah aku bahagia
meski hanya sendiri?

Ah, kau tak mengerti.
Nasib kita berdua berbeda.
Kau telah memiliki tambatan hati,
sementara jiwaku masih bebas mengembara.

Haruskah aku menderita?
Ah, tidak juga.
Semua tergantung pilihan rasa.
Aku hanya enggan (terus) bermuram-durja.

Jangan cemas, kawan.
Aku baik-baik saja.
Seperti ucapmu malam itu:
Takdir hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

R.


(Jakarta, 6 Oktober 2013)

"MENGEJAR MIMPI"

Ada yang bilang, bercita-citalah setinggi langit – terutama menyangkut karir impian. Mimpi itu wajib dikejar, berapa pun usia Anda.
            Benarkah demikian?
            Hmm, mungkin kita tetap butuh realita untuk berpijak. Ada juga yang bilang kalau kita terbang terlalu tinggi, sebisa mungkin jangan sampai jatuh. Jika jatuh, siap-siaplah menerima sakit. (Semoga tidak sampai hancur berantakan!)
            Begitu juga dengan mengejar mimpi. Tanpa strategi, belum tentu hasilnya akan memuaskan diri. Salah-salah malah tidak berarti.
            Bagaimana bila masih gagal juga? Bisa dicoba lagi, atau cari yang lain. Terus begitu. Hanya orang-orang kalah yang mudah menyerah!
            Di usia yang ke-32 ini (ya, saya akui memang tidak semuda usia 22), saya memutuskan untuk mengejar impian saya yang sempat lama tertunda: saya ingin menjadi penulis!
            Doakan saya. Aamiin YRA.

            R.

            (Jakarta, 6 November 2013)