Senin, 25 November 2013

"TANTE YUL"

“Jeng Wanda, kok Alya dibiarin main kotor-kotoran gitu – sama anak laki-laki pula?” tegur Tante Yul, sepupu Papa yang berkunjung siang itu. “Mbok ya, dia kayak Maya gitu – main masak-masakan di dalam rumah. Lebih pantes, lebih perempuan!”
Aku tak begitu ingat penyebab Tante Yul berkomentar demikian waktu itu. Umurku masih tujuh tahun dan – menurut orang banyak – aku amat tomboy. Rambut ikalku selalu dipotong pendek, kayak George Kirrin di serial “Lima Sekawan” karya Enid Blyton. Aku juga lebih suka bercelana pendek / panjang daripada memakai rok. Pink juga warna yang paling kubenci, entah kenapa.
Aku juga lebih suka kegiatan luar rumah. Bersepeda, main sepatu roda, perang-perangan...sebut saja. (Untung dulu jalanan belum macet-macet amat kayak sekarang!) Aku lebih senang main dengan adikku Aldo daripada kakakku Andhara.
Seperti yang kulakukan siang itu.
“Ndak apa-apa, Mbak Yul,” jawab Mama sabar. “Namanya juga anak-anak. Lagipula mereka hanya lagi main kelereng. Alya juga bisa sekalian jagain adiknya.”
Tante Yul masih memandangku seakan aku tengah bergulingan di comberan. Sepupuku, Maya, duduk di samping beliau. Tampak kaku dalam gaun putih bersih, memandangi cangkir teh di depannya.
--- // ---
Beranjak remaja, mataku lebih terbuka.
“Hai, sayaang!” pekik Tante Yul saat bertemu kami di restoran Bakmi GM. Setelah berbasa-basi dengan Mama dan kedua saudaraku, beliau tersenyum lebar sambil mencubiti pipiku. “Kamu nambah gemuk aja!”
Aku cemberut. Kulihat Andhara dan Aldo berusaha tidak cekikikan sambil sikut-sikutan. Sial!
“Udah kelas berapa, Alya?”
“Dua SMA, Tante,” jawabku dingin. Aku masih tersinggung dibilang tambah gemuk sekaligus diperlakukan kayak anak kecil di depan umum. Jadi malas ngomong.
“Maya juga kelas dua.” Tante Yul sepertinya tidak merasa – atau mungkin malah tidak peduli. Tipikal orang tua. “Maya mau masuk IPA. Ya kan, nak?”
“IPS juga nggak apa-apa, Ma,” Maya menggumam di samping ibunya. Entah kenapa, mukanya tampak bete. Tambah bete lagi saat Tante Yul meliriknya dengan tatapan kurang senang.
“Kalo IPA masa depannya lebih terjamin,” tukas beliau tanpa basa-basi. Lalu, wanita kriwil dan gempal itu menatap Mama – jelas-jelas mengharap dukungan. “Ya kan, Tante Wanda? Lebih gampang dapat kerja.”
Aku memilih diam. Entah beliau akan ngomong apa kalau tahu nilai Kimia-ku jeblok. Apa boleh buat. Aku sudah berusaha keras. Papa yang sama ambisiusnya dalam mengharap setidaknya ada satu anaknya yang masuk jurusan IPA akhirnya menyerah. (Andhara juga gagal masuk IPA gara-gara tidak suka Fisika.) Tinggal Aldo harapan terakhir beliau. Beban berat si bungsu.
Lagipula, aku lebih suka Bahasa, Sosiologi, dan Sejarah. Waktu itu aku hanya kepikiran ingin jadi wartawan, penulis, atau seniman. Nggak masalah, kan?
“Mama, Erik telepon,” sela Andhara tiba-tiba sambil menunjuk HP di tangannya. Erik pacarnya di kampus. “Dia mau ngajak aku nonton. Bentar lagi ke sini.”
“Oke.” Mama langsung mengangguk paham, tapi Tante Yul langsung menyambar dengan nada menyelidik: “Erik?”
“Pacarnya, Tante,” sahutku jahil, berusaha mengalihkan perhatian beliau dariku. Andhara langsung melototiku, tapi tak lama. Sosok jangkung dan atletis berambut ikal menghampiri kami. Dia langsung mencium punggung tangan Mama layaknya gentleman, seperti biasa. Aku suka Erik jadi pacar kakakku. Dia baik dan sopan.
“Sore, Tante,” sapanya penuh hormat. Begitu melihat Tante Yul, dia pun mencium tangan Tante Yul sebelum berpaling pada Mama. “Saya mau jemput Ara untuk nonton di Plaza Senayan.”
“Okay, have fun!” Mama berpaling pada kakakku. “Jangan pulang terlalu malam.”
“Oke.” Pasangan itu pun berpamitan pada kami semua dan melenggang pergi. Tante Yul terang-terangan mendelik melihat Erik menggandeng Andhara.
“Jeng Wanda, anakmu sudah dikasih pacaran?” Duuh, apa-apaan, sih? “Trus, Andhara kok boleh pake rok mini? Aduh, Jeng Wanda! Mbok ya, punya anak gadis jangan diumbar gitu!”
Lama-lama kupikir Tante Yul kelewatan. Pertama, rok Andhara hanya sedikit di atas lutut, nggak sependek Julia Roberts di poster film “Pretty Woman”. Kedua, aku tahu Erik baik. (Kalo nggak, mana mungkin Mama kasih Andhara pacaran sama dia. Kata orang, insting ibu tiada duanya!)
Seperti membaca pikiranku, Mama memberiku delik peringatan di matanya. Kutahan mulutku dengan susah-payah. Beliau tahu aku seperti Papa – pemarah. Tak peduli yang kuhadapi lebih tua.
“Ndak apa-apa tho, Mbak Yul,” bela Mama seperti biasa. “Toh, yang penting Ara tahu bahwa kepercayaan ibunya jangan sampai dilanggar. Lagipula, anak-anak harus belajar menjaga diri sendiri, meski perempuan juga.”
Seperti biasa, Tante Yul belum puas membantah. Buru-buru kupasang earphone di HP-ku untuk mendengarkan lagu-lagu metal sebelum keburu makin naik darah!
--- // ---
“Tante Yul memang selalu begitu,” hibur Mama sepulang dari arisan keluarga, saat aku menanti pengumuman kelulusan SMA setahun setelah kejadian di resto itu. “Jangan terlalu dimasukin di hati.”
Aku dongkol. Bagaimana tidak? Setiap ketemu, Tante Yul selalu begitu. Mengkritik Mama dan praktis semua orang. Seolah-olah hidup beliau sendiri sudah yang paling beres sejagat dan Maya putri kecilnya yang sempurna, karena penurut. Beda denganku, yang menurut beliau terlalu bengal dan tomboy. (“Alya harus diingatkan pada kodratnya sebagai perempuan!”) Helloo?! Begini-begini aku masih suka laki-laki, kali! Sudah begitu, Tante Yul tanpa mengkritikku – seolah-olah beliau lebih berhak melakukannya daripada Mama. Rambut jangan terlalu pendek lah, biar kelihatan lebih perempuan. (Kayak aku pengen botak aja!) Badan jangan kegendutan lah, takut nanti susah dapat pacar. (Heh?? Kok jadi nggak konsisten gitu soal pacar? Lagipula, aku juga menjaga kesehatan badan demi diri sendiri, bukan menarik hati sembarang laki-laki. Apalagi yang berotak dangkal. Hiiih!)
Ada satu yang paling bikin aku murka. Kata Tante Yul, perempuan yang baik nggak boleh (kelihatan?) terlalu pintar – melebihi laki-laki. Kalau pun pintar, nggak perlu pamer. Nanti laki-laki jadi pada malas menghampiri.
Ha-ha, lucu sekali. Masa iya aku harus berlagak bodoh, hanya demi pacaran dengan laki-laki egois berotak dangkal? Sama saja cari mati di usia dini!
Kata Mama, Papa pernah cerita dulu Tante Yul sempat batal menikah – gara-gara laki-laki pilihan minder dengan kecerdasan beliau. Selain itu, beliau juga pernah iri dengan Papa yang berhasil diterima di ITB dan sekarang dapat karir bagus di perusahaan multinasional di Jakarta.
Mungkin, karena itulah sekarang Tante Yul rajin berkoar-koar karena menikahi Om Odie yang pengusaha kaya-raya. Tadi pas arisan, beliau juga tak lupa pamer ke semua orang:
“Maya mau kuliah di Australia.”
Waktu itu aku hanya memutar bola mata. Beliau pasti mengharapkan pujian – atas dirinya, tentu saja. Maya hanya boneka. Aku tidak buta.
Mama melihat ekspresiku. “Mungkin kamu bisa coba cari sponsor atau beasiswa.”
Aku tersenyum menenangkan. “Oke, Ma,” ucapku, tak tega melihat Mama sedih. “Aku nggak apa-apa, kok.”
--- // ---
Aku memang akhirnya memilih kuliah di jurusan D3 Sastra Inggris, dengan alasan ingin cepat kerja. Lagipula, masih banyak jalan untuk meneruskan kuliah ke luar negeri. Tinggal usaha dan berdoa.
Jujur, aku tidak pernah iri dengan Maya. Aku malah kasihan dengan sepupuku itu. Dia tak pernah benar-benar bisa jadi diri sendiri gara-gara Tante Yul. Terkekang dan selalu tertekan. Aku sendiri bisa gila kalau Mama sampai seperti itu.
Tentu saja, Tante Yul tidak pernah benar-benar mengenal putri tunggalnya sendiri. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak mau. Mama pernah memergoki Maya suatu malam, dalam perjalanan mengunjungi Tante Yul. Sekitar satu blok dari rumah mereka, sebuah Toyota hitam berhenti. Maya turun sambil menghapus sisa riasan dari wajahnya. Dari jendela taksi yang separuh terbuka, Mama melihat Maya berbicara dengan pemuda urakan di balik kemudi.
“Gue bisa mampus kalo ketahuan nyokap ke ultah Noel sama elo,” katanya panik. Tanpa mengucapkan kata perpisahan, gadis itu berlari ke arah rumahnya.
Mama tahu, Maya ahli memanjat ke jendela kamarnya di lantai dua. Beliau melihatnya sendiri malam itu, tapi tak pernah memberitahu Tante Yul. Saat Tante Yul menerima kedatangan beliau yang hanya sebentar, ibu Maya bilang anaknya sudah tidur di kamarnya.
Untung aku tidak pernah harus melakukan itu...
--- // ---
Setelah itu, aku jarang mendengar tentang Maya atau Tante Yul, kecuali saat acara keluarga yang mengharuskan semua orang hadir. Baguslah. Aku muak direndahkan orang, bahkan sama keluarga sendiri.
Waktuku banyak tersita kesibukan kuliah dan teman-teman. Aku sedang tidak begitu memikirkan urusan pacar, meski kata beberapa teman ada sejumlah lelaki yang sebenarnya tertarik padaku. Entahlah. Mungkin aku hanya belum berminat membina hubungan serius.
Beberapa kali aku memang sering keluar malam – dan itu bukan sekedar bersenang-senang. Tugas kelompok di rumah teman, riset di perpustakaan kampus, sebut saja. Aku juga mulai menjajal profesi sebagai penulis lepas di sebuah majalah online lokal. Beberapa kali aku harus keluar malam – atau bahkan pulang pagi – untuk meliput macam-macam, mulai dari acara product launching hingga konser. Meski tak melarang, Mama hanya wanti-wanti agar aku tak lupa menjaga kesehatan, keselamatan diri, hingga tetap menomorsatukan kuliah agar cepat lulus.
Aku tak begitu memikirkan Tante Yul lagi hingga beliau datang malam itu. Aku pulang dari kantor redaksi pada pukul sepuluh malam. Kulihat Mama duduk di ruang tamu bersama beliau. (Tumben.) Beliau hanya datang sendiri, tidak bersama Om Odie seperti biasanya.
Dengan enggan aku masuk. Awas saja kalau beliau sampai berkomentar macam-macam mengenai kepulanganku yang pastinya terlalu malam menurut standar sempurna beliau. Aku sedang terlalu lelah untuk ‘basa-basi’ macam itu.
“Selamat malam, Tante.”
Kedua wanita paruh-baya itu menoleh. Aku sudah berdiri dengan kaku, siap dikomentari dan mendebat. Anehnya, kali ini Tante Yul hanya tersenyum lemah padaku. Entah kenapa, wajah beliau tiba-tiba terlihat jauh lebih tua dan...lelah.
“Selamat malam, Alya.”
Aku tertegun. Tumben, Tante Yul tidak berkomentar apa-apa lagi. Kulihat Mama memberiku isyarat lewat mata beliau yang segera kumengerti. Oke. Aku mengangguk, lalu tersenyum sopan pada Tante Yul.
“Tante, aku ke kamar dulu, ya.”
“Iya.” Buru-buru aku masuk ke kamar. Entah kenapa, tiba-tiba perasaanku tidak enak. Tante Yul tampak amat tertekan. Mama tadi juga kelihatan serius.
Sepeninggal Tante Yul, Mama masuk ke kamarku. Tak hanya serius, kali ini beliau juga tampak tertekan. Aku jadi deg-degan.
“Maya harus dipulangkan dari Malaysia.”
“Lho, bukannya dia kuliah di Australia?” tanyaku heran. Mama menggeleng.
“Setelah setahun, ternyata Maya sering bolos hingga akhirnya di-DO,” jelas beliau. “Om Odie sempat memindahkan Maya ke Malaysia hingga...”
“Hingga?”
“Maya harus dipulangkan,”ulang Mama, kali ini dengan nada berat. “Dia hamil gara-gara teman sekampusnya.”
Dan aku hanya bisa ternganga...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar