“Jeng
Wanda, kok Alya dibiarin main kotor-kotoran gitu – sama anak laki-laki pula?”
tegur Tante Yul, sepupu Papa yang berkunjung siang itu. “Mbok ya, dia kayak
Maya gitu – main masak-masakan di dalam rumah. Lebih pantes, lebih perempuan!”
Aku
tak begitu ingat penyebab Tante Yul berkomentar demikian waktu itu. Umurku
masih tujuh tahun dan – menurut orang banyak – aku amat tomboy. Rambut ikalku selalu dipotong pendek, kayak George Kirrin di serial “Lima Sekawan” karya Enid Blyton. Aku
juga lebih suka bercelana pendek / panjang daripada memakai rok. Pink juga warna yang paling kubenci,
entah kenapa.
Aku
juga lebih suka kegiatan luar rumah. Bersepeda, main sepatu roda,
perang-perangan...sebut saja. (Untung dulu jalanan belum macet-macet amat kayak
sekarang!) Aku lebih senang main dengan adikku Aldo daripada kakakku Andhara.
Seperti
yang kulakukan siang itu.
“Ndak
apa-apa, Mbak Yul,” jawab Mama sabar. “Namanya juga anak-anak. Lagipula mereka
hanya lagi main kelereng. Alya juga bisa sekalian jagain adiknya.”
Tante
Yul masih memandangku seakan aku tengah bergulingan di comberan. Sepupuku,
Maya, duduk di samping beliau. Tampak kaku dalam gaun putih bersih, memandangi
cangkir teh di depannya.
--- // ---
Beranjak
remaja, mataku lebih terbuka.
“Hai,
sayaang!” pekik Tante Yul saat bertemu kami di restoran Bakmi GM. Setelah berbasa-basi dengan Mama dan kedua saudaraku,
beliau tersenyum lebar sambil mencubiti pipiku. “Kamu nambah gemuk aja!”
Aku
cemberut. Kulihat Andhara dan Aldo berusaha tidak cekikikan sambil
sikut-sikutan. Sial!
“Udah
kelas berapa, Alya?”
“Dua
SMA, Tante,” jawabku dingin. Aku masih tersinggung dibilang tambah gemuk
sekaligus diperlakukan kayak anak kecil di depan umum. Jadi malas ngomong.
“Maya
juga kelas dua.” Tante Yul sepertinya tidak merasa – atau mungkin malah tidak
peduli. Tipikal orang tua. “Maya mau masuk IPA. Ya kan, nak?”
“IPS
juga nggak apa-apa, Ma,” Maya menggumam di samping ibunya. Entah kenapa,
mukanya tampak bete. Tambah bete lagi saat Tante Yul meliriknya dengan tatapan
kurang senang.
“Kalo
IPA masa depannya lebih terjamin,” tukas beliau tanpa basa-basi. Lalu, wanita
kriwil dan gempal itu menatap Mama – jelas-jelas mengharap dukungan. “Ya kan,
Tante Wanda? Lebih gampang dapat kerja.”
Aku
memilih diam. Entah beliau akan ngomong apa kalau tahu nilai Kimia-ku jeblok.
Apa boleh buat. Aku sudah berusaha keras. Papa yang sama ambisiusnya dalam
mengharap setidaknya ada satu anaknya yang masuk jurusan IPA akhirnya menyerah.
(Andhara juga gagal masuk IPA gara-gara tidak suka Fisika.) Tinggal Aldo
harapan terakhir beliau. Beban berat si bungsu.
Lagipula,
aku lebih suka Bahasa, Sosiologi, dan Sejarah. Waktu itu aku hanya kepikiran
ingin jadi wartawan, penulis, atau seniman. Nggak masalah, kan?
“Mama,
Erik telepon,” sela Andhara tiba-tiba sambil menunjuk HP di tangannya. Erik
pacarnya di kampus. “Dia mau ngajak aku nonton. Bentar lagi ke sini.”
“Oke.”
Mama langsung mengangguk paham, tapi Tante Yul langsung menyambar dengan nada
menyelidik: “Erik?”
“Pacarnya,
Tante,” sahutku jahil, berusaha mengalihkan perhatian beliau dariku. Andhara
langsung melototiku, tapi tak lama. Sosok jangkung dan atletis berambut ikal
menghampiri kami. Dia langsung mencium punggung tangan Mama layaknya gentleman, seperti biasa. Aku suka Erik
jadi pacar kakakku. Dia baik dan sopan.
“Sore,
Tante,” sapanya penuh hormat. Begitu melihat Tante Yul, dia pun mencium tangan
Tante Yul sebelum berpaling pada Mama. “Saya mau jemput Ara untuk nonton di
Plaza Senayan.”
“Okay, have fun!”
Mama berpaling pada kakakku. “Jangan pulang terlalu malam.”
“Oke.”
Pasangan itu pun berpamitan pada kami semua dan melenggang pergi. Tante Yul
terang-terangan mendelik melihat Erik menggandeng Andhara.
“Jeng
Wanda, anakmu sudah dikasih pacaran?”
Duuh, apa-apaan, sih? “Trus, Andhara kok boleh pake rok mini? Aduh, Jeng
Wanda! Mbok ya, punya anak gadis jangan diumbar gitu!”
Lama-lama
kupikir Tante Yul kelewatan. Pertama, rok Andhara hanya sedikit di atas lutut,
nggak sependek Julia Roberts di poster film “Pretty
Woman”. Kedua, aku tahu Erik baik. (Kalo nggak, mana mungkin Mama kasih
Andhara pacaran sama dia. Kata orang, insting ibu tiada duanya!)
Seperti
membaca pikiranku, Mama memberiku delik peringatan di matanya. Kutahan mulutku
dengan susah-payah. Beliau tahu aku seperti Papa – pemarah. Tak peduli yang
kuhadapi lebih tua.
“Ndak
apa-apa tho, Mbak Yul,” bela Mama seperti biasa. “Toh, yang penting Ara tahu
bahwa kepercayaan ibunya jangan sampai dilanggar. Lagipula, anak-anak harus
belajar menjaga diri sendiri, meski perempuan juga.”
Seperti
biasa, Tante Yul belum puas membantah. Buru-buru kupasang earphone di HP-ku untuk mendengarkan lagu-lagu metal sebelum keburu
makin naik darah!
--- // ---
“Tante
Yul memang selalu begitu,” hibur Mama sepulang dari arisan keluarga, saat aku
menanti pengumuman kelulusan SMA setahun setelah kejadian di resto itu. “Jangan
terlalu dimasukin di hati.”
Aku
dongkol. Bagaimana tidak? Setiap ketemu, Tante Yul selalu begitu. Mengkritik
Mama dan praktis semua orang. Seolah-olah hidup beliau sendiri sudah yang
paling beres sejagat dan Maya putri kecilnya yang sempurna, karena penurut.
Beda denganku, yang menurut beliau terlalu bengal dan tomboy. (“Alya harus
diingatkan pada kodratnya sebagai perempuan!”) Helloo?! Begini-begini aku
masih suka laki-laki, kali! Sudah begitu, Tante Yul tanpa mengkritikku –
seolah-olah beliau lebih berhak melakukannya daripada Mama. Rambut jangan
terlalu pendek lah, biar kelihatan lebih perempuan. (Kayak aku pengen botak
aja!) Badan jangan kegendutan lah, takut nanti susah dapat pacar. (Heh?? Kok
jadi nggak konsisten gitu soal pacar? Lagipula, aku juga menjaga kesehatan
badan demi diri sendiri, bukan menarik hati sembarang laki-laki. Apalagi yang
berotak dangkal. Hiiih!)
Ada
satu yang paling bikin aku murka. Kata Tante Yul, perempuan yang baik nggak
boleh (kelihatan?) terlalu pintar – melebihi laki-laki. Kalau pun pintar, nggak
perlu pamer. Nanti laki-laki jadi pada malas menghampiri.
Ha-ha,
lucu sekali. Masa iya aku harus berlagak bodoh, hanya demi pacaran dengan
laki-laki egois berotak dangkal? Sama saja cari mati di usia dini!
Kata
Mama, Papa pernah cerita dulu Tante Yul sempat batal menikah – gara-gara
laki-laki pilihan minder dengan kecerdasan beliau. Selain itu, beliau juga
pernah iri dengan Papa yang berhasil diterima di ITB dan sekarang dapat karir
bagus di perusahaan multinasional di Jakarta.
Mungkin,
karena itulah sekarang Tante Yul rajin berkoar-koar karena menikahi Om Odie
yang pengusaha kaya-raya. Tadi pas arisan, beliau juga tak lupa pamer ke semua
orang:
“Maya
mau kuliah di Australia.”
Waktu
itu aku hanya memutar bola mata. Beliau pasti mengharapkan pujian – atas
dirinya, tentu saja. Maya hanya boneka. Aku tidak buta.
Mama
melihat ekspresiku. “Mungkin kamu bisa coba cari sponsor atau beasiswa.”
Aku
tersenyum menenangkan. “Oke, Ma,” ucapku, tak tega melihat Mama sedih. “Aku
nggak apa-apa, kok.”
--- // ---
Aku
memang akhirnya memilih kuliah di jurusan D3 Sastra Inggris, dengan alasan
ingin cepat kerja. Lagipula, masih banyak jalan untuk meneruskan kuliah ke luar
negeri. Tinggal usaha dan berdoa.
Jujur,
aku tidak pernah iri dengan Maya. Aku malah kasihan dengan sepupuku itu. Dia
tak pernah benar-benar bisa jadi diri sendiri gara-gara Tante Yul. Terkekang
dan selalu tertekan. Aku sendiri bisa gila kalau Mama sampai seperti itu.
Tentu
saja, Tante Yul tidak pernah benar-benar mengenal putri tunggalnya sendiri.
Atau mungkin lebih tepatnya, tidak mau. Mama pernah memergoki Maya suatu malam,
dalam perjalanan mengunjungi Tante Yul. Sekitar satu blok dari rumah mereka,
sebuah Toyota hitam berhenti. Maya turun sambil menghapus sisa riasan dari
wajahnya. Dari jendela taksi yang separuh terbuka, Mama melihat Maya berbicara
dengan pemuda urakan di balik kemudi.
“Gue
bisa mampus kalo ketahuan nyokap ke ultah Noel sama elo,” katanya panik. Tanpa
mengucapkan kata perpisahan, gadis itu berlari ke arah rumahnya.
Mama
tahu, Maya ahli memanjat ke jendela kamarnya di lantai dua. Beliau melihatnya
sendiri malam itu, tapi tak pernah memberitahu Tante Yul. Saat Tante Yul menerima
kedatangan beliau yang hanya sebentar, ibu Maya bilang anaknya sudah tidur di
kamarnya.
Untung
aku tidak pernah harus melakukan itu...
--- // ---
Setelah
itu, aku jarang mendengar tentang Maya atau Tante Yul, kecuali saat acara
keluarga yang mengharuskan semua orang hadir. Baguslah. Aku muak direndahkan
orang, bahkan sama keluarga sendiri.
Waktuku
banyak tersita kesibukan kuliah dan teman-teman. Aku sedang tidak begitu
memikirkan urusan pacar, meski kata beberapa teman ada sejumlah lelaki yang sebenarnya
tertarik padaku. Entahlah. Mungkin aku hanya belum berminat membina hubungan
serius.
Beberapa
kali aku memang sering keluar malam – dan itu bukan sekedar bersenang-senang.
Tugas kelompok di rumah teman, riset di perpustakaan kampus, sebut saja. Aku
juga mulai menjajal profesi sebagai penulis lepas di sebuah majalah online lokal. Beberapa kali aku harus
keluar malam – atau bahkan pulang pagi – untuk meliput macam-macam, mulai dari
acara product launching hingga
konser. Meski tak melarang, Mama hanya wanti-wanti agar aku tak lupa menjaga
kesehatan, keselamatan diri, hingga tetap menomorsatukan kuliah agar cepat
lulus.
Aku
tak begitu memikirkan Tante Yul lagi hingga beliau datang malam itu. Aku pulang
dari kantor redaksi pada pukul sepuluh malam. Kulihat Mama duduk di ruang tamu
bersama beliau. (Tumben.) Beliau hanya datang sendiri, tidak bersama Om Odie
seperti biasanya.
Dengan
enggan aku masuk. Awas saja kalau beliau sampai berkomentar macam-macam
mengenai kepulanganku yang pastinya terlalu malam menurut standar sempurna
beliau. Aku sedang terlalu lelah untuk ‘basa-basi’
macam itu.
“Selamat
malam, Tante.”
Kedua
wanita paruh-baya itu menoleh. Aku sudah berdiri dengan kaku, siap dikomentari
dan mendebat. Anehnya, kali ini Tante Yul hanya tersenyum lemah padaku. Entah
kenapa, wajah beliau tiba-tiba terlihat jauh lebih tua dan...lelah.
“Selamat
malam, Alya.”
Aku
tertegun. Tumben, Tante Yul tidak berkomentar apa-apa lagi. Kulihat Mama
memberiku isyarat lewat mata beliau yang segera kumengerti. Oke. Aku mengangguk,
lalu tersenyum sopan pada Tante Yul.
“Tante,
aku ke kamar dulu, ya.”
“Iya.”
Buru-buru aku masuk ke kamar. Entah kenapa, tiba-tiba perasaanku tidak enak.
Tante Yul tampak amat tertekan. Mama tadi juga kelihatan serius.
Sepeninggal
Tante Yul, Mama masuk ke kamarku. Tak hanya serius, kali ini beliau juga tampak
tertekan. Aku jadi deg-degan.
“Maya
harus dipulangkan dari Malaysia.”
“Lho,
bukannya dia kuliah di Australia?” tanyaku heran. Mama menggeleng.
“Setelah
setahun, ternyata Maya sering bolos hingga akhirnya di-DO,” jelas beliau. “Om
Odie sempat memindahkan Maya ke Malaysia hingga...”
“Hingga?”
“Maya
harus dipulangkan,”ulang Mama, kali ini dengan nada berat. “Dia hamil gara-gara
teman sekampusnya.”
Dan
aku hanya bisa ternganga...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar