Ini
masih cerita tentang saya dan sahabat yang sudah saya anggap abang sendiri.
Kebetulan, dia orang asing. Dari posturnya yang tinggi dan kulitnya yang putih
sudah ketahuan.
Entah kenapa, masih banyak orang di
luar sana yang hobi berasumsi tentang banyak hal, hingga berbuntut
menggeneralisasi / stereotyping.
(Akhirnya malah menilai dan menghakimi sesuka hati, tanpa peduli kemungkinan
mereka salah asumsi. Hiks!)
Contoh sederhana? (Terlalu) banyak!
Misalnya, saya yang – ahem! – tambun
(tapi tetap seksi dong, hihihi!) ini kerap dituduh senang (selalu) makan banyak
sekali. (Baca = rakus!) Kalau ada makanan habis, pastilah saya tersangka utama.
Lalu cewek yang cantiknya (dianggap) setara supermodel macam Kimmy Djayanti
atau Agyness Deyn pasti gampang punya pacar dan mantannya se-penjuru negeri. (Aih, lebay!) Cowok yang
gantengnya ‘kelewatan’ (sampai Iko
Uwais sama Brad Pitt pun ‘lewat’,
deh!) pasti entah: playboy, bajingan,
atau malah...doyan yang ganteng juga. Nah, lho!
Masih ada lagi. Yang kerap bikin
saya bete: kalau cewek Indo sama cowok bule terlihat jalan berdua, pasti ada
yang langsung mengecap mereka...bule dan
‘ayam’-nya. (Dan saya tidak sedang membicarakan ayam goreng KFC atau yang
masih utuh dan tengah bertelur di peternakan!)
Mending kalau masih dikira
suami-istri. Seperti tahun lalu, saat saya dan sahabat liburan berdua ke Bali.
Beberapa kali kami harus mengkonfirmasi gara-gara pertanyaan yang itu-itu lagi.
Yang paling menarik saat kita memutuskan untuk bikin tato temporer di sebuah
toko tato di Kuta.
“Bu,
itu suaminya, ya?”
“Bukan.”
Yang paling gigih bertanya waktu itu seorang cowok yang ternyata temannya si
tukang tato (yang tengah mengerjakan ornamen di belakang leher sahabat saya,
sementara saya duduk menunggu giliran dengan anteng.)
“Kalo
gitu, itu pacarnya?”
“Bukan
juga.”
“TTM*?”
(TTM
= Teman Tapi Mesra – kayak lagunya Ratu.)
“Waah,
itu malah lebih bukan lagii!” Aje gile.
Cowok itu tertawa. Sahabat saya dan
si tukang tato juga tertawa. (Untung tatonya tidak sampai bubar jalan, alias
berantakan!) Habis itu, si cowok langsung meminta nomor HP saya. (Oh,
ternyata.) Tanpa merasa terpaksa atau bersalah,saya tolak. (Maklum, ogah dikira
gampangan. Saya juga tidak tertarik. Ngapain?)
“Iya
deh, Mbak nggak mau saya ganggu.” Cowok itu langsung nyengir pasrah. Maaf,
ya. Eh, dia masih balik lagi ke topik semula saat menatap sahabat saya. “Are you afraid that he might be jealous?” (Takut dia cemburu?)
“No,
I’m not.” Sahabat saya langsung menggeleng tegas sambil
nyengir geli. (Sumpah, saat itu saya sempat ingin menimpuknya karena kurang
berusaha keras untuk tidak menertawakan saya!)
“Maybe
not, but you’ll be angry,” cowok itu masih bercanda dan sahabat saya tertawa.
Yeee, dasar!
Untung cowok itu tidak marah. Toh,
namanya juga usaha, hehe.
Kadang saya memutuskan untuk tidak
peduli. Bosan. Ngapain ngurusin orang-orang usil dan sok tahu? Toh, lama-lama
mereka juga akan bosan sendiri.
Justru sahabat saya yang kadang
kehabisan kesabaran dan merasa (amat) terganggu. Beberapa kali kami jalan
berdua di Blok M dan banyak pasang mata mengamati. Ada juga yang kasak-kusuk.
(Berasa selebriti, hehe.)
“Kenapa
sih, mereka ngeliatin kita terus?”
“Kenapa
sih, cewek sama cowok kalo jalan berdua pasti suka dikira pacaran – atau enggak
suami-istri? Emang nggak bisa ya, kalo cuma temen?”
Iya
juga. “Yaah, palingan mereka cuma nggak
ada kerjaan lain yang lebih penting,” jawab saya waktu itu. Tapi, diam-diam
saya kadang berpikir juga:
Kenapa, ya? Padahal asli, kami hanya
jalan bersisian – tanpa gandengan. (Kecuali kalau sedang menyeberang jalan.)
Rangkulan juga tidak. Rambut saya juga tetap hitam, tidak (mendadak) ingin
dicat pirang atau semacamnya.
Sementara itu, kalau profilnya
dibalik – yang jalan berdua itu cowok Indo sama cewek bule – persepsi orang
pasti tidak semiring sebelumnya. Bahkan, si cowok Indo kayak dianggap jagoan –
bisa dapat cewek bule. Apa emang dasar standar gandanya patriarki, ya?
“Wajar,
dong. Soalnya contoh yang ada udah banyak!”
Memang,
tak bisa dipungkiri bila contoh nyata yang ada cenderung mempengaruhi persepsi
kita akan suatu hal. Tapi, mau sampai kapan kita (memilih) untuk terjebak sama
pemikiran yang itu-itu saja?
Suatu sore, saya dan sahabat saya
naik bus Trans-Jakarta. Kami duduk
berseberangan, sementara beberapa penumpang lain berdiri di antara kami. Biasa,
jam-jam penuh.
Sempat saya tertidur di tengah
jalan, sebelum sahabat akhirnya membangunkan saya karena kami sudah tiba di
tujuan. Begitu turun dari bus, dia baru bercerita. Salah seorang penumpang yang
berdiri di antara kami melihat saya yang jatuh tertidur, lalu berpaling pada
sahabat saya. Pria itu bertanya:
“Sir,
is that your wife? I think she’s asleep.”
“She’s
just a friend.” Sahabat saya hanya tersenyum tipis
sembari membangunkan saya waktu itu. “Thanks.”
Reaksi
saya mendengar ceritanya hanya satu: ngakak.
Ah,
sudahlah...
R.
(Jakarta, 15 November 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar