Senin, 30 Desember 2013

"DALAM SETAHUN..."

Setahun bukan sebentar, meski terasa singkat. Banyak yang terjadi dalam setahun. Selalu begitu. Saking banyaknya, mungkin yang paling rajin menulis pun belum tentu mampu merangkum semua peristiwa. Maklum, namanya juga manusia. Ingatan pasti ada batasnya.
            Tapi saya yakin, kita semua pasti sepakat soal ini.
            Banyak yang bisa saya syukuri untuk 2013 ini. Mulai dari kesempatan untuk memeluk lagi sahabat tersayang yang sempat berkunjung kembali, teman-teman baru yang menginspirasi, hingga keberanian saya untuk kembali menggapai mimpi lama yang dulu sempat tertunda: menjadi seorang penulis.
            Jika keinginan sahabat saya untuk kembali ke Indonesia tercapai lagi tahun depan, tentu saja saya akan makin bahagia.Semoga dia juga.
            Kadang tidak butuh waktu lama untuk menyebut seseorang sebagai ‘teman’. Kehadiran mereka telah menginspirasi saya akan banyak hal. Ada yang sekilas mengingatkan saya sedikit akan ayah saya (yah, setidaknya dulu waktu beliau masih sehat dan sadar). Ada yang mengingatkan saya agar mencoba kembali mempercayai cinta, meski – jujur – rasanya masih tak mudah. Seorang dari mereka akan menikah dalam waktu dekat ini. Tak mudah menjalankan hubungan jarak jauh sampai lima tahun lamanya. Mereka telah melalui ‘badai’ yang justru menguatkan hubungan mereka.
            Ya, semua akan tiba pada waktu yang tepat. Hanya Tuhan yang bisa membantu mewujudkannya.
            Tahun ini juga, akhirnya saya berani memantapkan langkah. Ya, saya sudah muak (merasa) didikte orang lain. Saatnya lebih mendengarkan kata hati dan memberi ruang lebih bagi diri sendiri. Bukankah saya juga berhak berbahagia?
            Saya merasa lega akhirnya memberanikan diri menggapai kembali mimpi lama yang sudah terlalu lama tertunda. Berkat writing workshop Oktober lalu, saya bertemu teman-teman baru yang berhasil membangkitkan kembali semangat saya untuk berkarya lebih giat dan bagus lagi. Ya, kali ini saya tak bisa bohong lagi: menulis memang passion sejati saya.
            Semoga 2014 penuh semangat positif. Semoga presiden berikutnya bukan sekedar pengincar duit, bermental selebriti, atau bahkan yang cuma mengajak ribut. ADUH, jangan sampai, deh!
            Aamiin YRA...

            R.

            (Jakarta, 30 Desember 2013)

Kamis, 26 Desember 2013

"LADIES, COME ON!"

“LADIES, COME ON!”
(Saat ‘Sisterhood’ Sekedar Slogan)
(Ruby Astari)
            Akhir-akhir ini saya kerap melihat beberapa hal yang – menurut saya, sih – berhubungan erat:
            1.Saya membaca survei di edisi tahunan 2014 Femina dan terhenyak oleh fakta memprihatinkan:
            - 54% perempuan yang disurvei merasa yakin bahwa mereka kritikus terkejam bagi diri sendiri.
            - Perempuan Indonesia tidak merasa nyaman melukiskan diri mereka cantik – dan lebih memilih mendeskripsikan dirinya rata-rata.

            2.Masih dari majalah yang sama, saya sampai me-RT salah satu pernyataan nara sumber mereka lewat Twitter:
            “Kadang perempuan sulit maju dalam karier karena sering ambil pusing kata orang lain.” (Sylvina Savitri)

            3.Ada artikel online lama dari Kompas.com tentang tiga perempuan luar biasa. Mereka berhasil mengalahkan rasa minder akibat warna kulit albino, kulit belang akibat kelainan gen bernama ‘vitiligo’ (soalnya mirip bekas luka bakar, padahal bukan), hingga bekas luka permanen akibat kecelakaan. (http://female.kompas.com/read/2013/12/17/1156233/Memahami.Kesempurnaan.dari.Kekurangan.Fisik.3.Perempuan )

            4.Akhir-akhir ini saya mendengar cerita serupa – dan membaca status FB seorang teman tentang masalah yang sama juga:
            “Kenapa ya, kalo sekantor isinya cewek semua – pasti pada main sirik-sirikan nggak jelas?”
            “Nggak tahu kenapa, di kantor rasanya lebih nyaman deket sama cowok. Biarin dianggap kegenitan ama cewek-cewek lainnya. Abis mereka suka nggak jelas gitu. Kalo nggak nge-bully, ya...cuma baik di depan, tapi nusuk dari belakang.”

            Jujur, untuk yang terakhir – sering saya ingin teriak: “Ladies, come on!”
            Sebagai sesama perempuan, saya lelah. Bagaimana perempuan mau maju, kalau kerjanya saling menjegal sesamanya terus – atau malah sering merendahkan diri di bawah tekanan sosial, sadar tidak sadar?
            Ada juga sih, cewek-cewek yang bisa kompak. (Bagaimana pun juga, lebih enak begitu, kan? Sisterhood rules!) Meski demikian, tak ayal yang negatif lebih terlihat, gampang diingat, dan – sayangnya – yang paling dipercaya orang. Kalau sudah begini, mau menyalahkan siapa-siapa juga percuma. Berharap orang lain berubah (sesuai maunya kita) juga butuh keajaiban.
            Sepertinya, lagi-lagi saya harus mengingatkan diri sendiri duluan dan kembali mengambil langkah pertama:
            1.Untuk fakta no.1, saya memutuskan untuk mengikuti teladan ketiga perempuan luar biasa tadi di artikel Kompas.com. Tak ada manusia sempurna. Setiap orang diciptakan berbeda. Mengapa pula kita harus saling mencela?
            Mungkin ada rasa takut dicap ‘sombong’ bila kita mengakui diri sendiri cantik. Naomi Wolf dalam ‘Beauty Myth’ berpendapat bahwa perempuan yang menganggap dirinya cantik adalah seorang pemenang – dan mampu menantang dunia untuk melihat dirinya yang sebenarnya. Lagipula, beda lho, antara sombong dengan percaya diri. Anda percaya diri bila mengenali kelebihan diri dan mampu memanfaatkannya demi kebaikan diri dan bersama. Sombong adalah saat Anda menggunakan kelebihan Anda untuk merendahkan dan menjatuhkan orang lain. (“Saya lebih cantik dari dia karena...”)

            2.Untuk fakta no.2 dan 4, ada baiknya kita bercermin dulu. Apakah kita pelaku atau target? Pernahkah kita menjadi keduanya? Tidak lelah? Memang ada untungnya apa? Hidup ini sangat singkat dan semua hanya pinjaman.
            Jika Anda termasuk lebih sering jadi target pergunjingan sesama perempuan, ada baiknya Anda membaca kembali pernyataan Sylvina Savitri di atas. Tidak perlu terlalu ambil pusing sama ulah mereka. Cukup tunjukkan versi terbaik Anda lewat kerja keras dan usaha nyata. Toh, hidup Anda bukan untuk selalu menyenangkan semua orang tiap saat. Capek, lho!
            Berhubung sudah kepalang berjanji dengan diri sendiri, maka saya akan mengakhiri dengan pernyataan untuk mendukung diri sendiri:
            Saya tahu saya bukan supermodel, tapi saya juga cantik. Ada yang tidak sepakat? Maaf, saya tidak lagi peduli. Toh, setiap perempuan berhak menjadi cantik sesuai versi mereka masing-masing – kalau bisa tanpa harus saling tuding dan menggurui.

            R.
            (Jakarta, 24 Desember 2013)


Rabu, 25 Desember 2013

"DARI DUA DUNIA"

Selamat pagi.
Selamat malam.
Kau awali hari,
ku mengakhiri.
Namun, kita masih menyatu
dalam percakapan ini.

Apa kabarmu?
Baik-baik sajakah?
Kau terdengar sendu.
Aku pun resah.
Apakah kita berdua tengah merasa kalah?

Sampai bertemu lagi, rekan penyair.
Biarkan hidup ini mengalir.
Kita tak selalu pegang kemudi.
Ada kalanya kita lepas kendali.
Saat itulah, kita perlu berpasrah diri.

Saat ini,
biarlah kita saling menyemangati...
R.

(Jakarta, 18 Desember 2013)

Minggu, 22 Desember 2013

"DARI PEREMPUAN LAJANG DAN TANPA ANAK"

Bersyukurlah mereka yang diberi kesempatan menjadi seorang ibu di dunia ini. Mau ibu kandung atau tiri...sama saja. Pekerjaan mulia sepanjang masa, dengan tanggung-jawab tanpa henti terhadap perkembangan manusia. Bahkan surga pun ada di bawah telapak kakinya.
            Lantas, bagaimana dengan perempuan yang masih lajang? Bagaimana pula dengan mereka yang belum atau – maaf – tidak dikaruniai keturunan, alias anak kandung? Masih bisakah mereka menjadi – atau disebut – ibu?
            Tentu saja. Kenapa tidak? Semua yang dilakukan dengan niat tulus dari hati selalu mungkin.
            Seorang teman yang pernah berprofesi sebagai pengajar pernah ditanya begini sama anak-anak didiknya yang masih kecil-kecil:
            “Ibu sudah punya anak?”
            Namanya juga anak kecil; belum tentu mereka bermaksud usil. Daripada marah-marah karena menganggap mereka kurang sopan (padahal mungkin memang belum mengerti), teman saya lebih memilih tersenyum sebelum menjawab begini:
            “Punya. Kalian ‘kan, anak-anak Ibu.”
            “Maksudnya yang beneran.” Seperti biasa, ada yang tidak (cepat) puas dengan jawaban teman saya.
            “Maksud kalian anak kandung?” Lagi-lagi teman saya tersenyum saat mereka mengangguk. “Kalau itu belum. Untuk saat ini, kalianlah anak-anak Ibu.”
            “Kok gitu?”
            “Kan Ibu pengganti orang tua kalian selama kalian di sekolah!”
            Alkisah, ada lagi pasangan suami-istri. Keduanya telah menjadi pahlawan bagi lima bayi terlantar yang dibuang di rumah sakit. (Suami berprofesi sebagai dokter.) Berawal dari rasa tak tega, beberapa kali dokter itu membawa pulang bayi yang ditinggal ibunya selepas melahirkan. Tak terasa, sampai lima anak. Berdua mereka sepakat untuk membesarkan anak-anak malang tersebut. (Mereka sendiri tidak pernah dikaruniai anak kandung.)
            Beranjak remaja, dua anak angkat mereka sempat bertengkar dengan sengit. Menyadari betapa tidak miripnya masing-masing (bahkan ada yang usianya terlalu berdekatan, alias hanya beda bulan!), mereka saling menuding:
            “Pasti kamu anak angkat!”
            “Kamu yang anak angkat!”
            Suami-istri itu langsung melerai mereka dan mengumpulkan lima anak itu. Mau tak mau mereka harus menceritakan kebenaran. Tangis kelima anak itu pun pecah.
            “Kenapa?”
            Kedua orang tua angkat mereka menjelaskan bahwa mereka tak pernah tahu siapa ibu-ibu kandung kelima anak itu. Mereka hanya tahu mereka sangat menyayangi kelima anak itu – dan rela membantu, bila suatu saat anak-anak itu ingin melacak keberadaan orang tua kandung masing-masing. (Subhanallah, betapa mulia dan besar hatinya mereka...)
            Hingga cerita ini ditulis, saya tidak tahu apakah anak-anak itu akhirnya berhasil menemukan orang tua kandung mereka masing-masing. Yang pasti, ada yang bisa dipelajari dari dua cerita di atas:
            Tak perlu dengarkan mereka yang beranggapan bahwa Anda belum menjadi perempuan utuh/sempurna bila belum menjadi seorang ibu (kandung). Tak ada manusia sempurna. Menjadi seorang ibu tidak semudah puja-puji Anda yang kerap Anda lontarkan pada mereka. Ada yang lebih dari sekedar warisan DNA. Selain bertaruh nyawa dan segalanya, sering ibu harus berhadapan dengan realita masyarakat patriarki yang hobi ‘mendua’ : ‘katanya’  memuja ibu sebagai sosok perempuan mulia dan terhormat tingkat ‘dewi’, tapi kerap lalai dan abai terhadap hak-hak perempuan...

R.

(Jakarta, 22 Desember 2013)

Rabu, 18 Desember 2013

"RESOLUSI 2014: REALISTIS DAN SEDERHANA"

Saya akui, dulu saya sempat (terlalu) ambisius. Tiap awal tahun, saya pasti bikin resolusi sebanyak-banyaknya. Pokoknya, semua harus tercapai, entah bagaimana caranya.
Akhirnya selalu bisa ditebak: saya jadi tidak fokus. Banyak resolusi tak tercapai. Hasilnya lebih banyak capek, kecewa, dan kesal daripada bahagia.

Lelah dengan hasil yang sama, akhirnya saya memutuskan untuk mengubah strategi saya. First things first, alias mendahulukan yang paling mungkin tercapai. Bukankah inti dari resolusi adalah perbaikan diri, alias bukan sekedar ambisi?

Selain itu, saya juga berpedoman pada satu hal lainnya: make it real. Seperti taglineKratingdaeng, minuman berenergi yang ampuh membantu saya mengalahkan lelah - terutama saat kegiatan lagi banyak-banyaknya. Jadwal padat memang harus disiasati dengan tepat!

Jika ada yang bertanya mengenai resolusi 2014 saya, jawaban saya mungkin masih sama dengan tahun lalu - tanpa bermaksud terdengar seperti orang malas alias kurang semangat:
Saya hanya ingin membangun karir menulis saya dengan lebih serius, sembari mengajar dan sesekali liburan biar tidak stres. Cukup realistis dan sederhana, bukan? Tidak terlalu banyak, apalagi sampai muluk-muluk seperti dulu. Yang pasti semua itu tetap harus tercapai, meski satu-persatu. Tak perlu ngoyo ingin meraih semua dalam sekejap. Toh, kalau satu sudah tercapai - baru kerjakan yang lain. Biar efektif.

R.

(Jakarta, 18/12/2013)

Senin, 16 Desember 2013

"SAAT CINTA (LEBIH BANYAK) MERUGI..."

Saya yakin, ini bukan cerita lama. Tentang cinta tak berbalas, cinta tak terucap, hingga cinta terlarang. Apa gerangan? Cinta kepada sosok yang sebenarnya sudah ‘resmi milik orang lain’. (Nah, lho!)
            Pernah mengalami? Kalau tidak, bersyukurlah. (Semoga Anda jangan sampai pernah mengalami. Idih, amit-amit!)
            Bagi yang mengalami (entah sedang atau telah melewatinya), Anda tak sendiri. Namanya juga manusia, Anda pasti punya banyak pilihan dalam menghadapinya.
            Ada yang merasa malu dan terhina, hingga memutuskan untuk mati-matian menyembunyikannya. (Mungkin juga mereka/Anda akan berpikir: “Kayak nggak ada yang lain aja!”) Mengapa? Ah, misteri cinta. Kadang cinta datangnya memang suka-suka. Tanpa bermaksud membenarkan atau menyalahkan, rasanya tak ada yang benar-benar mudah.
            Ada yang menanggapinya dengan ‘sedikit’ lebih santai. Mungkin rasanya seperti cinta, tapi bisa saja bukan yang sejati. Seperti perubahan cuaca, bisa datang dan pergi. Yang ini tidak sampai jadi? Masih ada yang lain lagi. (Semoga yang ‘lain lagi’ itu juga masih sendiri dan tengah mencari ‘seseorang seperti kita’. Hehe, amin.)
            Ada yang memilih untuk ‘memenangkan’ cintanya, bahkan dengan segala cara. Mau sosok itu sudah terikat secara resmi dengan orang lain (baca: MENIKAH!) atau masih berstatus pacar atau tunangan seseorang, pokoknya harus segera jadi milik Anda. Namanya juga hak asasi. Boleh dong, kita mencintai siapa saja? Bukankah hidup ini penuh persaingan?
            Saya sedang tidak menuding siapa-siapa. Saya juga tidak bilang ini mudah bagi yang merasakan. Memangnya siapa sih, yang mau?
            Seorang pembaca salah satu majalah perempuan pernah mengirim sebuah artikel pengakuan. Bukan, bukan dia. Kebetulan, temannya pernah jatuh cinta dengan suami orang lain.
            Singkat cerita, si teman ngotot setelah dinasehati. Atas nama ‘cinta’, si teman tetap mengincar lelaki impian – bahkan rela jadi ‘simpanan’, alias kekasih gelap.
            Seperti banyak kasus serupa, akhirnya bisa ditebak. Lelaki ‘tercinta’ hanya menjanjikannya ‘suatu hari’. “Suatu hari nanti kita akan benar-benar bersama.” Ya, ya, yang benar saja. Pada kenyataannya, lelaki itu tak pernah mau meninggalkan sang istri.
            Lalu teman si pembaca menyadari kalau selama ini dia diperlakukan ibarat daging busuk. Disimpan di kulkas dan tidak pernah dikeluarkan. (Entah lupa atau memang sengaja enggan diingat-ingat.) Tak mungkin juga dipamerkan ke orang-orang.
            Lama-lama dia tak tahan dan minta putus. Itulah akhir ceritanya. Sekian dan terima kasih.
            Ada juga yang berhasil membuat sosok idaman akhirnya meninggalkan pasangan resmi mereka. Dari sini, hasil bisa bervariasi. Ada yang memang bertahan lama (ya, meski harus ada pihak yang tersakiti, sayangnya.) Ada yang sampai menuai benci dari banyak pihak. Ada yang akhirnya menyesal setengah mati, karena kenyataan memang tak selalu seindah impian. (Ya, seperti contoh cerita teman si pembaca tadi.) Apalagi bila ternyata, sosok impian yang awalnya sukses jatuh ke pelukan Anda, akhirnya malah meninggalkan Anda demi orang lain lagi. (Emang enak?)
            Ada juga yang memilih untuk mundur teratur, mati-matian berusaha membunuh perasaan itu – atas nama kehormatan. Yang tidak mengerti mungkin akan (tetap) memandang mereka dengan sinis, menganggap mereka munafik, sok kuat, sok suci, in denial, dan sebagainya. (Baiklah, terserah Anda). Mungkin saja yang tidak mengerti belum pernah mengalami hal serupa.
            Kadang perbuatan baik dan benar tak sejalan dengan keinginan dan ego pribadi. Memang, tak semua yang (tampak) indah di bumi harus kita miliki. (Klise sih, tapi saya yakin Anda setuju – atau minimal mencoba mengerti.) Kadang kita hanya ditakdirkan untuk mengagumi mereka dari jauh saja, dengan harapan suatu saat nanti...kita pun akan diberi keindahan yang sama – atau mungkin malah lebih dari itu. Siapa tahu?

            R.

            (Jakarta, 15 Desember 2013)

Senin, 09 Desember 2013

"TERSENYUMLAH (2) ..."

Tersenyumlah, sayang.
Sebentar lagi kau akan pulang
ke tempat yang lama kau rindukan.
Memang, hanya di sana kau (mampu) bertahan.

Tersenyumlah, sayang.
(Semoga) tak ada yang perlu kau khawatirkan.
Semoga semua baik-baik saja.
Andai kau tahu, diam-diam aku selalu berdoa.

Tersenyumlah, sayang.
Aku hanya ingin kau bahagia
dengan cinta sejati, selalu bersama.
Demi kau, aku rela menutup luka.

Tersenyumlah, sayang,
karena senyummu memang pantas kukenang
sebelum kau akhirnya pulang...

R.


(Jakarta, 29 November 2013)

"TERSENYUMLAH..."

Tersenyumlah,
saat cahaya berpendar
dari mata mereka yang bersinar,
meski diam-diam gemetar
menyembunyikan patahan hati dengan tegar.

Tersenyumlah,
saat mereka bertukar tatap dengan cinta.
Bukankah kau senang melihatnya bahagia?
Ini klise tapi nyata.
Tuhan memang ingin mereka bersama.

Tersenyumlah, sayang.
Saat ini, kau tak punya banyak pilihan.
Luka ini harus disembunyikan.
Suatu saat, akan ada yang datang
pengganti yang hilang...

R.


(Jakarta, 20 November 2013)

"MEDIA SOSIAL - ANTARA PILIHAN, DILEMA, HINGGA KEDUANYA"

Saya tergerak akibat ribuan komentar yang mengular dari artikel-artikel yang di-posting lewat sosial media, baik link maupun keseluruhan isinya. Dari berita paling gres hingga sekedar 'numpang lewat' - yang tidak dibaca pun tidak apa-apa.

Seperti saat ponsel pertama kali berjaya, awal kebangkitan media sosial juga memunculkan beragam 'kubu'. Ada yang menyambutnya sebagai ajang rekreasi di dunia maya (terutama kala jenuh dengan dunia nyata. Ya, asal jangan sampai jadi merasa bosan hidup saja, ya?)

Ada yang menjadikannya pendukung jurnalisme warga / citizen journalism. (Terutama akibat kekhawatiran akan media resmi yang 'disusupi' pihak-pihak berkepentingan tertentu.) Ada yang memanfaatkannya untuk promosi (mulai dari jualan barang, bakat, karya seni, tulisan, hingga mempromosikan ideologi. Syukur-syukur dapat pembeli, dikontrak produser musik dan film, hingga didapuk penerbit. Toh, sudah banyak contohnya.)

Yang sekedar gaya-gayaan, asal terlihat 'gaul', hingga pamer foto-foto diri hingga barang-barang mewah? Pencinta travel dan kuliner? Banyak. Ada juga yang memanfaatkannya untuk menemukan kenalan lama, mempererat hubungan keluarga (terutama yang tinggal berjauhan) dan persahabatan. Mencari jodoh apalagi. Pokoknya, semua bisa.

Ada juga yang memilih tidak memiliki akun media sosial mana pun. Ada yang merasa media sosial tidak begitu bermanfaat, malah buang-buang waktu saja. (Toh, sebelumnya mereka juga baik-baik saja - alias masih hidup!) Ada yang khawatir privasinya bakal terganggu.

Ada juga yang merasa bahwa media sosial lebih banyak menimbulkan 'drama' dan 'huru-hara'. Bisa jadi sebelumnya mereka pernah memiliki akun media sosial, hingga akhirnya lelah dan muak dengan semua yang mereka baca dan lihat di dunia maya (yang ternyata refleksi dunia nyata). Beberapa selebriti - seperti Jennifer Love-Hewitt - menutup akun mereka. Ada yang memilih tidak mau punya sama sekali, meski akun palsu atas nama mereka bertebaran di dunia maya.

Membaca komentar-komentar terkait berita kematian Paul Walker, misalnya, sempat membuat saya terperangah. Mau dari pengguna lokal hingga internasional, sama saja. Ada yang menulis ucapan belasungkawa, ekspresi kesedihan, hingga...sempat-sempatnya bercanda: "Wah, kebawa-bawa perannya di 'Fast and Furious', ya?" (HAH?!)

Ada fans mendiang yang marah besar dan langsung membela: "Lelucon buruk sekali. Pernah kepikiran nggak, kalo dia juga seorang manusia biasa - punya keluarga yang bisa sakit hati membaca komentar Anda?"

Dulu sempat ada pihak tertentu yang mengharamkan media sosial, sementara - setidaknya menurut saya, sih - semua kembali pada penggunanya. Mau apa dengan akun media sosial Anda? Apa tujuan Anda menulis atau mem-posting sesuatu?

Banyak cerita seputar posting dan komentar di media sosial yang berbuntut perkara, mulai dari tuntutan hukum hingga ditantang berkelahi di ring tinju. (Nah, lho!) Belum lagi tak terhitung hubungan keluarga dan persahabatan yang terganggu - atau rusak total - gara-gara update status atau komentar yang berpotensi bikin mata dan hati 'panas'. Tak sekedar unshare, mute, unfriend, unfollow hingga block - di dunia nyata pun mereka memutuskan untuk tidak saling berurusan lagi.

Jessica Huwae, seorang novelis, pernah menulis begini di akun Twitter-nya:

"Twit-war is not a real war. It's hanging your dirty laundry for everyone to see."

Ada juga seorang teman yang mendebat begini:

"Itu 'kan masalah hak asasi."

Memang. Semua berhak beropini. Mengeluh itu manusiawi. Marah-marah apalagi. Namanya juga kebebasan berekspresi.

Kalau mau bicara hak asasi, saya rasa hal serupa berlaku pada semua pengguna media sosial. Seperti reaksi negatif dari pengguna lain atas posting-an Anda, hingga resiko di-unfollow dan lainnya yang sudah disebut di atas. Anda mungkin beralasan hanya ingin menjadi diri sendiri atau sekedar jujur - dan Anda bukan satu-satunya.

Apa pun dilema mengenai media sosial, selalu ada pilihan. Mau memanfaatkannya demi kebaikan bersama - atau sekedar suka-suka? Mau membalas komentar negatif tentang Anda atau seseorang yang Anda kagumi di media sosial - atau memilih mengalokasikan energi dan waktu Anda untuk sesuatu yang jauh lebih berguna? Tidak mau punya akun sama sekali?

Boleh.Tak ada yang melarang maupun mewajibkan. Apa pun itu, semoga Anda siap dengan segala konsekuensinya.

R.

(Jakarta, 8 Desember 2013)

Jumat, 29 November 2013

"AKU DAN TATO TEMPORER"

Saya penyuka tato temporer, bukan permanen. Selain alasan religius, saya juga mudah bosan. Bayangkan kalau suatu saat tiba-tiba saya harus menghapus tato lama - atau malah menindihnya dengan yang baru, seperti kerjaan Johnny Depp paska putus dari Winona Ryder di tahun '90-an dulu. Belum lagi mahal dan sakitnya itu, hiih!

Mengapa saya menyukai tato temporer? Meski (masih) banyak yang mengidentifikasi tato dengan pemberontakan dan premanisme (alias hak milik para berandal belaka!), bagi saya tato merupakan ekspresi seni. Toh, saya juga tidak sering-sering melakukannya.

Kelas tiga SMA adalah kala pertama saya mencoba tato temporer. Tertarik pada salah satu desain si artis tato, saya mampir ke gerai mereka di sebuah mall. Cukup lama buat mereka untuk melukis seekor kalajengking hitam di leher saya.

Kenapa leher? Waktu itu saya masih berstatus pelajar. Takutnya ada guru yang mempermasalahkan hingga saya terpaksa keluar sekolah sebelum waktunya, alias D.O.

Alhasil, selama dua minggu, saya melindungi tato dari pandangan penghuni sekolah selama jam belajar. Hanya di luar sekolah saya baru berani menguncir rambut. Hehe, badung juga, ya.

Pas kuliah, saya kembali tertarik sama tato. Kali ini seekor kucing hitam 'mangkal' di lengan kiri saya. Setelah itu tak terhitung. Yang terbesar mungkin saat ultah Jakarta di Kemang, dimana saya minta si artis tato menggambar seekor naga raksasa di sepanjang betis kanan saya - tepatnya bagian luar. (Biar kelihatan!) Pengerjaannya memakan 1.5 jam, sampai saya sempat ketiduran di atas karpet Persia. (Untung yang jualan tidak marah, berhubung tempatnya juga pas di sebelah gerai tato.)

Awalnya, ibu saya sering geleng-geleng melihat ulah saya. "Kurang kerjaan," komentar beliau waktu itu. Ada juga teman yang bilang keren. (Sampai ada rekan kerja dari Kanada berkomentar dengan nada kecewa:"Yaah, yang asli, doong!")

Sayang, waktu itu saya belum punya ponsel berkamera dan media sosial belum semarak seperti sekarang. Tapi, saya masih ingat kalau itu salah satu tato terkeren yang pernah saya miliki.

Berikutnya ada tato hati patah dengan tulisan "Love Bites" berwarna hitam di lengan saya saat Valentine. (Jangan tanya.) Lalu, lagi-lagi seekor kalajengking hitam di lengan kiri saat saya berlibur ke Bali bersama sahabat saya tahun lalu. (Sayangnya, kali ini tato itu berakhir dengan gatal-gatal di lengan saya. Hiks, dasar alergi!)

Belum kapok juga, saya kembali mencobanya saat ke Anyer akhir Oktober lalu. Kali ini tato henna sungguhan di tangan kiri saya. Bagaimana saya yakin itu sungguhan? Setelah dilukis, perlahan-lahan kulit tangan saya mulai terasa adem. Saya bahkan tak peduli tato itu hanya bertahan seminggu, karena - kali ini - ibu saya menyukainya. Salah seorang murid saya yang masih SD bahkan berkomentar kalau saya mirip putri India, hahaha!

Ada juga yang mengira saya baru saja menikah. Sambil tertawa saya berkomentar:

"Kalo gitu, harusnya saya ditato sekujur tubuh dong, kayak pengantin Arab sama India sebelum menikah!" (Mohon koreksi saya bila saya salah.)

Sayang, lagi-lagi saya alergi. Tangan saya kembali gatal-gatal, hingga sahabat yang sudah seperti abang sendiri menegur:

"Kayaknya kamu jangan tatoan lagi, deh."

Hiks, kayaknya demikian. Tapi, entahlah kalau suatu saat nanti mendadak saya tergoda lagi. Hihihi...

R.

(Jakarta, 24 November 2013)

Senin, 25 November 2013

"TANTE YUL"

“Jeng Wanda, kok Alya dibiarin main kotor-kotoran gitu – sama anak laki-laki pula?” tegur Tante Yul, sepupu Papa yang berkunjung siang itu. “Mbok ya, dia kayak Maya gitu – main masak-masakan di dalam rumah. Lebih pantes, lebih perempuan!”
Aku tak begitu ingat penyebab Tante Yul berkomentar demikian waktu itu. Umurku masih tujuh tahun dan – menurut orang banyak – aku amat tomboy. Rambut ikalku selalu dipotong pendek, kayak George Kirrin di serial “Lima Sekawan” karya Enid Blyton. Aku juga lebih suka bercelana pendek / panjang daripada memakai rok. Pink juga warna yang paling kubenci, entah kenapa.
Aku juga lebih suka kegiatan luar rumah. Bersepeda, main sepatu roda, perang-perangan...sebut saja. (Untung dulu jalanan belum macet-macet amat kayak sekarang!) Aku lebih senang main dengan adikku Aldo daripada kakakku Andhara.
Seperti yang kulakukan siang itu.
“Ndak apa-apa, Mbak Yul,” jawab Mama sabar. “Namanya juga anak-anak. Lagipula mereka hanya lagi main kelereng. Alya juga bisa sekalian jagain adiknya.”
Tante Yul masih memandangku seakan aku tengah bergulingan di comberan. Sepupuku, Maya, duduk di samping beliau. Tampak kaku dalam gaun putih bersih, memandangi cangkir teh di depannya.
--- // ---
Beranjak remaja, mataku lebih terbuka.
“Hai, sayaang!” pekik Tante Yul saat bertemu kami di restoran Bakmi GM. Setelah berbasa-basi dengan Mama dan kedua saudaraku, beliau tersenyum lebar sambil mencubiti pipiku. “Kamu nambah gemuk aja!”
Aku cemberut. Kulihat Andhara dan Aldo berusaha tidak cekikikan sambil sikut-sikutan. Sial!
“Udah kelas berapa, Alya?”
“Dua SMA, Tante,” jawabku dingin. Aku masih tersinggung dibilang tambah gemuk sekaligus diperlakukan kayak anak kecil di depan umum. Jadi malas ngomong.
“Maya juga kelas dua.” Tante Yul sepertinya tidak merasa – atau mungkin malah tidak peduli. Tipikal orang tua. “Maya mau masuk IPA. Ya kan, nak?”
“IPS juga nggak apa-apa, Ma,” Maya menggumam di samping ibunya. Entah kenapa, mukanya tampak bete. Tambah bete lagi saat Tante Yul meliriknya dengan tatapan kurang senang.
“Kalo IPA masa depannya lebih terjamin,” tukas beliau tanpa basa-basi. Lalu, wanita kriwil dan gempal itu menatap Mama – jelas-jelas mengharap dukungan. “Ya kan, Tante Wanda? Lebih gampang dapat kerja.”
Aku memilih diam. Entah beliau akan ngomong apa kalau tahu nilai Kimia-ku jeblok. Apa boleh buat. Aku sudah berusaha keras. Papa yang sama ambisiusnya dalam mengharap setidaknya ada satu anaknya yang masuk jurusan IPA akhirnya menyerah. (Andhara juga gagal masuk IPA gara-gara tidak suka Fisika.) Tinggal Aldo harapan terakhir beliau. Beban berat si bungsu.
Lagipula, aku lebih suka Bahasa, Sosiologi, dan Sejarah. Waktu itu aku hanya kepikiran ingin jadi wartawan, penulis, atau seniman. Nggak masalah, kan?
“Mama, Erik telepon,” sela Andhara tiba-tiba sambil menunjuk HP di tangannya. Erik pacarnya di kampus. “Dia mau ngajak aku nonton. Bentar lagi ke sini.”
“Oke.” Mama langsung mengangguk paham, tapi Tante Yul langsung menyambar dengan nada menyelidik: “Erik?”
“Pacarnya, Tante,” sahutku jahil, berusaha mengalihkan perhatian beliau dariku. Andhara langsung melototiku, tapi tak lama. Sosok jangkung dan atletis berambut ikal menghampiri kami. Dia langsung mencium punggung tangan Mama layaknya gentleman, seperti biasa. Aku suka Erik jadi pacar kakakku. Dia baik dan sopan.
“Sore, Tante,” sapanya penuh hormat. Begitu melihat Tante Yul, dia pun mencium tangan Tante Yul sebelum berpaling pada Mama. “Saya mau jemput Ara untuk nonton di Plaza Senayan.”
“Okay, have fun!” Mama berpaling pada kakakku. “Jangan pulang terlalu malam.”
“Oke.” Pasangan itu pun berpamitan pada kami semua dan melenggang pergi. Tante Yul terang-terangan mendelik melihat Erik menggandeng Andhara.
“Jeng Wanda, anakmu sudah dikasih pacaran?” Duuh, apa-apaan, sih? “Trus, Andhara kok boleh pake rok mini? Aduh, Jeng Wanda! Mbok ya, punya anak gadis jangan diumbar gitu!”
Lama-lama kupikir Tante Yul kelewatan. Pertama, rok Andhara hanya sedikit di atas lutut, nggak sependek Julia Roberts di poster film “Pretty Woman”. Kedua, aku tahu Erik baik. (Kalo nggak, mana mungkin Mama kasih Andhara pacaran sama dia. Kata orang, insting ibu tiada duanya!)
Seperti membaca pikiranku, Mama memberiku delik peringatan di matanya. Kutahan mulutku dengan susah-payah. Beliau tahu aku seperti Papa – pemarah. Tak peduli yang kuhadapi lebih tua.
“Ndak apa-apa tho, Mbak Yul,” bela Mama seperti biasa. “Toh, yang penting Ara tahu bahwa kepercayaan ibunya jangan sampai dilanggar. Lagipula, anak-anak harus belajar menjaga diri sendiri, meski perempuan juga.”
Seperti biasa, Tante Yul belum puas membantah. Buru-buru kupasang earphone di HP-ku untuk mendengarkan lagu-lagu metal sebelum keburu makin naik darah!
--- // ---
“Tante Yul memang selalu begitu,” hibur Mama sepulang dari arisan keluarga, saat aku menanti pengumuman kelulusan SMA setahun setelah kejadian di resto itu. “Jangan terlalu dimasukin di hati.”
Aku dongkol. Bagaimana tidak? Setiap ketemu, Tante Yul selalu begitu. Mengkritik Mama dan praktis semua orang. Seolah-olah hidup beliau sendiri sudah yang paling beres sejagat dan Maya putri kecilnya yang sempurna, karena penurut. Beda denganku, yang menurut beliau terlalu bengal dan tomboy. (“Alya harus diingatkan pada kodratnya sebagai perempuan!”) Helloo?! Begini-begini aku masih suka laki-laki, kali! Sudah begitu, Tante Yul tanpa mengkritikku – seolah-olah beliau lebih berhak melakukannya daripada Mama. Rambut jangan terlalu pendek lah, biar kelihatan lebih perempuan. (Kayak aku pengen botak aja!) Badan jangan kegendutan lah, takut nanti susah dapat pacar. (Heh?? Kok jadi nggak konsisten gitu soal pacar? Lagipula, aku juga menjaga kesehatan badan demi diri sendiri, bukan menarik hati sembarang laki-laki. Apalagi yang berotak dangkal. Hiiih!)
Ada satu yang paling bikin aku murka. Kata Tante Yul, perempuan yang baik nggak boleh (kelihatan?) terlalu pintar – melebihi laki-laki. Kalau pun pintar, nggak perlu pamer. Nanti laki-laki jadi pada malas menghampiri.
Ha-ha, lucu sekali. Masa iya aku harus berlagak bodoh, hanya demi pacaran dengan laki-laki egois berotak dangkal? Sama saja cari mati di usia dini!
Kata Mama, Papa pernah cerita dulu Tante Yul sempat batal menikah – gara-gara laki-laki pilihan minder dengan kecerdasan beliau. Selain itu, beliau juga pernah iri dengan Papa yang berhasil diterima di ITB dan sekarang dapat karir bagus di perusahaan multinasional di Jakarta.
Mungkin, karena itulah sekarang Tante Yul rajin berkoar-koar karena menikahi Om Odie yang pengusaha kaya-raya. Tadi pas arisan, beliau juga tak lupa pamer ke semua orang:
“Maya mau kuliah di Australia.”
Waktu itu aku hanya memutar bola mata. Beliau pasti mengharapkan pujian – atas dirinya, tentu saja. Maya hanya boneka. Aku tidak buta.
Mama melihat ekspresiku. “Mungkin kamu bisa coba cari sponsor atau beasiswa.”
Aku tersenyum menenangkan. “Oke, Ma,” ucapku, tak tega melihat Mama sedih. “Aku nggak apa-apa, kok.”
--- // ---
Aku memang akhirnya memilih kuliah di jurusan D3 Sastra Inggris, dengan alasan ingin cepat kerja. Lagipula, masih banyak jalan untuk meneruskan kuliah ke luar negeri. Tinggal usaha dan berdoa.
Jujur, aku tidak pernah iri dengan Maya. Aku malah kasihan dengan sepupuku itu. Dia tak pernah benar-benar bisa jadi diri sendiri gara-gara Tante Yul. Terkekang dan selalu tertekan. Aku sendiri bisa gila kalau Mama sampai seperti itu.
Tentu saja, Tante Yul tidak pernah benar-benar mengenal putri tunggalnya sendiri. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak mau. Mama pernah memergoki Maya suatu malam, dalam perjalanan mengunjungi Tante Yul. Sekitar satu blok dari rumah mereka, sebuah Toyota hitam berhenti. Maya turun sambil menghapus sisa riasan dari wajahnya. Dari jendela taksi yang separuh terbuka, Mama melihat Maya berbicara dengan pemuda urakan di balik kemudi.
“Gue bisa mampus kalo ketahuan nyokap ke ultah Noel sama elo,” katanya panik. Tanpa mengucapkan kata perpisahan, gadis itu berlari ke arah rumahnya.
Mama tahu, Maya ahli memanjat ke jendela kamarnya di lantai dua. Beliau melihatnya sendiri malam itu, tapi tak pernah memberitahu Tante Yul. Saat Tante Yul menerima kedatangan beliau yang hanya sebentar, ibu Maya bilang anaknya sudah tidur di kamarnya.
Untung aku tidak pernah harus melakukan itu...
--- // ---
Setelah itu, aku jarang mendengar tentang Maya atau Tante Yul, kecuali saat acara keluarga yang mengharuskan semua orang hadir. Baguslah. Aku muak direndahkan orang, bahkan sama keluarga sendiri.
Waktuku banyak tersita kesibukan kuliah dan teman-teman. Aku sedang tidak begitu memikirkan urusan pacar, meski kata beberapa teman ada sejumlah lelaki yang sebenarnya tertarik padaku. Entahlah. Mungkin aku hanya belum berminat membina hubungan serius.
Beberapa kali aku memang sering keluar malam – dan itu bukan sekedar bersenang-senang. Tugas kelompok di rumah teman, riset di perpustakaan kampus, sebut saja. Aku juga mulai menjajal profesi sebagai penulis lepas di sebuah majalah online lokal. Beberapa kali aku harus keluar malam – atau bahkan pulang pagi – untuk meliput macam-macam, mulai dari acara product launching hingga konser. Meski tak melarang, Mama hanya wanti-wanti agar aku tak lupa menjaga kesehatan, keselamatan diri, hingga tetap menomorsatukan kuliah agar cepat lulus.
Aku tak begitu memikirkan Tante Yul lagi hingga beliau datang malam itu. Aku pulang dari kantor redaksi pada pukul sepuluh malam. Kulihat Mama duduk di ruang tamu bersama beliau. (Tumben.) Beliau hanya datang sendiri, tidak bersama Om Odie seperti biasanya.
Dengan enggan aku masuk. Awas saja kalau beliau sampai berkomentar macam-macam mengenai kepulanganku yang pastinya terlalu malam menurut standar sempurna beliau. Aku sedang terlalu lelah untuk ‘basa-basi’ macam itu.
“Selamat malam, Tante.”
Kedua wanita paruh-baya itu menoleh. Aku sudah berdiri dengan kaku, siap dikomentari dan mendebat. Anehnya, kali ini Tante Yul hanya tersenyum lemah padaku. Entah kenapa, wajah beliau tiba-tiba terlihat jauh lebih tua dan...lelah.
“Selamat malam, Alya.”
Aku tertegun. Tumben, Tante Yul tidak berkomentar apa-apa lagi. Kulihat Mama memberiku isyarat lewat mata beliau yang segera kumengerti. Oke. Aku mengangguk, lalu tersenyum sopan pada Tante Yul.
“Tante, aku ke kamar dulu, ya.”
“Iya.” Buru-buru aku masuk ke kamar. Entah kenapa, tiba-tiba perasaanku tidak enak. Tante Yul tampak amat tertekan. Mama tadi juga kelihatan serius.
Sepeninggal Tante Yul, Mama masuk ke kamarku. Tak hanya serius, kali ini beliau juga tampak tertekan. Aku jadi deg-degan.
“Maya harus dipulangkan dari Malaysia.”
“Lho, bukannya dia kuliah di Australia?” tanyaku heran. Mama menggeleng.
“Setelah setahun, ternyata Maya sering bolos hingga akhirnya di-DO,” jelas beliau. “Om Odie sempat memindahkan Maya ke Malaysia hingga...”
“Hingga?”
“Maya harus dipulangkan,”ulang Mama, kali ini dengan nada berat. “Dia hamil gara-gara teman sekampusnya.”
Dan aku hanya bisa ternganga...


Sabtu, 23 November 2013

"EPILOG CINTA"

Waktu seakan membeku
saat mata kita bertemu.
Inikah saat terakhir itu?

Kita bicara
meski kalah oleh suara
gemuruh gejolak jiwa
menulikan telinga.

Andai waktu sungguh mampu membeku,
akankah kita ikut membatu?
Selamanya, tanpa perlu berlalu.

Ssh, diamlah.
Kita telah kalah.
Realita ngotot ingin berdiri di tengah,
meski hati ini belum jua lelah.

Jangan menangis, sayang.
Mungkin ini hanya cobaan.
Mungkin semua akan berbeda di masa depan...

R.

(Jakarta, 5 November 2013)


Jumat, 22 November 2013

"SAAT KITA MENGHARAP SEKUEL SETELAH EPILOG"

Pernah mengalami saat-saat seperti ini? Kita membaca satu novel dan merasa sedih saat tiba di epilog. Bukan, bukan karena ceritanya sedih atau bahkan berakhir sedih. Kita tidak menyadari setelah larut dalam alur, tahu-tahu kita bertemu halaman terakhir. Rasanya mungkin sama tidak relanya dengan nonton film bagus dan akhirnya harus berjumpa juga dengan yang namanya credit title di layar. Maunya teriak (meski mungkin dalam hati) :
            “Nggak puaas! Mau lagi, aah!”
            Setelah itu, mungkin kita akan menonton lagi film yang sama (entah memutar ulang DVD-nya di rumah atau...rela boros uang hanya untuk membeli tiket lagi di bioskop.) Anda akan membaca ulang buku itu, kalau perlu sampai sampulnya lecek dan orang bosan setengah-mati melihat yang kita lakukan. Ibaratnya, kita jadi tampak seperti orang yang sulit ‘move on’, hehe...
            Mungkin kita juga akan bereaksi begini:
            “Hmm, kira-kira ada sekuelnya nggak, ya?”
            Sudah lazim bagi pekerja kreatif (seperti penulis dan sineas) untuk membuat lanjutan dari karya mereka sebelumnya – entah sekedar taktik jualan atau memenuhi permintaan penggemar, atau bahkan keduanya. Mungkin karena ide ceritanya menarik dan menginspirasi. Mungkin juga ada tokoh yang membuat kita jatuh cinta, hingga kita ingin sekali melihat kelanjutan nasib si tokoh. Apakah sosok idaman (meski fiktif) itu akan tetap jadi idaman? Akankah kita (dibuat) makin senang – atau malah kecewa dengan perubahan yang ada, baik sengaja maupun tidak?
            Begitu pula dengan dunia nyata.
            Pernah ketemu sosok yang memberi pengaruh besar bagi hidup kita, sampai-sampai kita tidak rela melepasnya pergi? Atau, pernahkah ada yang merasakan demikian tentang kita, hingga mereka sedih saat kita harus pergi – atau sedang tidak bisa sering atau terus-terusan bersama mereka?
            Apakah kita tahu orangnya? Apakah kita termasuk kategori yang disebutkan di atas? Bagaimana cara mengetahuinya?
            Bayangkan situasi ini: kita pernah ke suatu tempat dan tinggal cukup lama. Tak hanya menambah jumlah teman selama di sana, mungkin banyak juga yang lama-lama menganggap kita keluarga – seperti kita menganggap mereka saudara.
            Lalu, suatu saat – tiba-tiba kita harus pergi dan berpisah dengan mereka. Sedih? Tentu saja. Tapi itulah bagian dari hidup, sama seperti adegan terakhir dalam film dan epilog dalam novel. Tiada pertemuan tanpa perpisahan.
            Setelah itu, bayangkan bila tiba-tiba takdir (dan usaha pribadi yang nyata, tentunya) membawa kita kembali ke tempat yang sama. (Semoga ini kabar bagus, ya.) Coba hitung, ada berapa orang yang berebutan ingin ketemu kita – begitu tahu kita kembali di antara mereka, sesibuk apa pun mereka (lagi)?
            Saya tidak sedang mengajak Anda untuk ikut ‘kontes kepopuleran’. Setiap insan diciptakan berbeda. Tak perlu lantas kita berubah menjadi sosok yang selalu ingin menyenangkan semua orang, terutama hanya agar selalu dirindukan. Tetap jadilah diri sendiri – dan orang-orang yang ‘tepat’ akan mencari kita, di waktu yang tepat pula.
            Sama seperti buku dan film, yang pastinya punya pangsa pasar masing-masing. Yang pasti, alangkah menyenangkannya bila kita menjadi sosok yang selalu dinantikan – seperti pembaca novel dan penonton film yang berharap akan sekuel setelah epilog karya terakhir yang mereka nikmati...

            R.


            (Jakarta, 22 November 2013)