Kamis, 26 Desember 2013

"LADIES, COME ON!"

“LADIES, COME ON!”
(Saat ‘Sisterhood’ Sekedar Slogan)
(Ruby Astari)
            Akhir-akhir ini saya kerap melihat beberapa hal yang – menurut saya, sih – berhubungan erat:
            1.Saya membaca survei di edisi tahunan 2014 Femina dan terhenyak oleh fakta memprihatinkan:
            - 54% perempuan yang disurvei merasa yakin bahwa mereka kritikus terkejam bagi diri sendiri.
            - Perempuan Indonesia tidak merasa nyaman melukiskan diri mereka cantik – dan lebih memilih mendeskripsikan dirinya rata-rata.

            2.Masih dari majalah yang sama, saya sampai me-RT salah satu pernyataan nara sumber mereka lewat Twitter:
            “Kadang perempuan sulit maju dalam karier karena sering ambil pusing kata orang lain.” (Sylvina Savitri)

            3.Ada artikel online lama dari Kompas.com tentang tiga perempuan luar biasa. Mereka berhasil mengalahkan rasa minder akibat warna kulit albino, kulit belang akibat kelainan gen bernama ‘vitiligo’ (soalnya mirip bekas luka bakar, padahal bukan), hingga bekas luka permanen akibat kecelakaan. (http://female.kompas.com/read/2013/12/17/1156233/Memahami.Kesempurnaan.dari.Kekurangan.Fisik.3.Perempuan )

            4.Akhir-akhir ini saya mendengar cerita serupa – dan membaca status FB seorang teman tentang masalah yang sama juga:
            “Kenapa ya, kalo sekantor isinya cewek semua – pasti pada main sirik-sirikan nggak jelas?”
            “Nggak tahu kenapa, di kantor rasanya lebih nyaman deket sama cowok. Biarin dianggap kegenitan ama cewek-cewek lainnya. Abis mereka suka nggak jelas gitu. Kalo nggak nge-bully, ya...cuma baik di depan, tapi nusuk dari belakang.”

            Jujur, untuk yang terakhir – sering saya ingin teriak: “Ladies, come on!”
            Sebagai sesama perempuan, saya lelah. Bagaimana perempuan mau maju, kalau kerjanya saling menjegal sesamanya terus – atau malah sering merendahkan diri di bawah tekanan sosial, sadar tidak sadar?
            Ada juga sih, cewek-cewek yang bisa kompak. (Bagaimana pun juga, lebih enak begitu, kan? Sisterhood rules!) Meski demikian, tak ayal yang negatif lebih terlihat, gampang diingat, dan – sayangnya – yang paling dipercaya orang. Kalau sudah begini, mau menyalahkan siapa-siapa juga percuma. Berharap orang lain berubah (sesuai maunya kita) juga butuh keajaiban.
            Sepertinya, lagi-lagi saya harus mengingatkan diri sendiri duluan dan kembali mengambil langkah pertama:
            1.Untuk fakta no.1, saya memutuskan untuk mengikuti teladan ketiga perempuan luar biasa tadi di artikel Kompas.com. Tak ada manusia sempurna. Setiap orang diciptakan berbeda. Mengapa pula kita harus saling mencela?
            Mungkin ada rasa takut dicap ‘sombong’ bila kita mengakui diri sendiri cantik. Naomi Wolf dalam ‘Beauty Myth’ berpendapat bahwa perempuan yang menganggap dirinya cantik adalah seorang pemenang – dan mampu menantang dunia untuk melihat dirinya yang sebenarnya. Lagipula, beda lho, antara sombong dengan percaya diri. Anda percaya diri bila mengenali kelebihan diri dan mampu memanfaatkannya demi kebaikan diri dan bersama. Sombong adalah saat Anda menggunakan kelebihan Anda untuk merendahkan dan menjatuhkan orang lain. (“Saya lebih cantik dari dia karena...”)

            2.Untuk fakta no.2 dan 4, ada baiknya kita bercermin dulu. Apakah kita pelaku atau target? Pernahkah kita menjadi keduanya? Tidak lelah? Memang ada untungnya apa? Hidup ini sangat singkat dan semua hanya pinjaman.
            Jika Anda termasuk lebih sering jadi target pergunjingan sesama perempuan, ada baiknya Anda membaca kembali pernyataan Sylvina Savitri di atas. Tidak perlu terlalu ambil pusing sama ulah mereka. Cukup tunjukkan versi terbaik Anda lewat kerja keras dan usaha nyata. Toh, hidup Anda bukan untuk selalu menyenangkan semua orang tiap saat. Capek, lho!
            Berhubung sudah kepalang berjanji dengan diri sendiri, maka saya akan mengakhiri dengan pernyataan untuk mendukung diri sendiri:
            Saya tahu saya bukan supermodel, tapi saya juga cantik. Ada yang tidak sepakat? Maaf, saya tidak lagi peduli. Toh, setiap perempuan berhak menjadi cantik sesuai versi mereka masing-masing – kalau bisa tanpa harus saling tuding dan menggurui.

            R.
            (Jakarta, 24 Desember 2013)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar