“LADIES, COME ON!”
(Saat
‘Sisterhood’ Sekedar Slogan)
(Ruby
Astari)
Akhir-akhir ini saya kerap melihat
beberapa hal yang – menurut saya, sih – berhubungan erat:
1.Saya membaca survei di edisi
tahunan 2014 Femina dan terhenyak
oleh fakta memprihatinkan:
-
54% perempuan yang disurvei merasa yakin bahwa mereka kritikus terkejam bagi
diri sendiri.
-
Perempuan Indonesia tidak merasa nyaman melukiskan diri mereka cantik – dan
lebih memilih mendeskripsikan dirinya rata-rata.
2.Masih
dari majalah yang sama, saya sampai me-RT salah satu pernyataan nara sumber
mereka lewat Twitter:
“Kadang
perempuan sulit maju dalam karier karena sering ambil pusing kata orang lain.” (Sylvina Savitri)
3.Ada artikel online lama dari Kompas.com tentang tiga perempuan luar biasa.
Mereka berhasil mengalahkan rasa minder akibat warna kulit albino, kulit belang
akibat kelainan gen bernama ‘vitiligo’
(soalnya mirip bekas luka bakar, padahal bukan), hingga bekas luka permanen
akibat kecelakaan. (http://female.kompas.com/read/2013/12/17/1156233/Memahami.Kesempurnaan.dari.Kekurangan.Fisik.3.Perempuan
)
4.Akhir-akhir ini saya mendengar
cerita serupa – dan membaca status FB seorang teman tentang masalah yang sama
juga:
“Kenapa
ya, kalo sekantor isinya cewek semua – pasti pada main sirik-sirikan nggak
jelas?”
“Nggak
tahu kenapa, di kantor rasanya lebih nyaman deket sama cowok. Biarin dianggap
kegenitan ama cewek-cewek lainnya. Abis mereka suka nggak jelas gitu. Kalo
nggak nge-bully, ya...cuma baik di depan, tapi nusuk dari belakang.”
Jujur,
untuk yang terakhir – sering saya ingin teriak: “Ladies, come on!”
Sebagai
sesama perempuan, saya lelah. Bagaimana perempuan mau maju, kalau kerjanya
saling menjegal sesamanya terus – atau malah sering merendahkan diri di bawah
tekanan sosial, sadar tidak sadar?
Ada juga sih, cewek-cewek yang bisa
kompak. (Bagaimana pun juga, lebih enak begitu, kan? Sisterhood rules!) Meski demikian, tak ayal yang negatif lebih
terlihat, gampang diingat, dan – sayangnya – yang paling dipercaya orang. Kalau
sudah begini, mau menyalahkan siapa-siapa juga percuma. Berharap orang lain
berubah (sesuai maunya kita) juga butuh keajaiban.
Sepertinya, lagi-lagi saya harus
mengingatkan diri sendiri duluan dan kembali mengambil langkah pertama:
1.Untuk fakta no.1, saya memutuskan
untuk mengikuti teladan ketiga perempuan luar biasa tadi di artikel Kompas.com.
Tak ada manusia sempurna. Setiap orang diciptakan berbeda. Mengapa pula kita
harus saling mencela?
Mungkin ada rasa takut dicap ‘sombong’ bila kita mengakui diri
sendiri cantik. Naomi Wolf dalam ‘Beauty
Myth’ berpendapat bahwa perempuan yang menganggap dirinya cantik adalah
seorang pemenang – dan mampu menantang dunia untuk melihat dirinya yang
sebenarnya. Lagipula, beda lho, antara sombong dengan percaya diri. Anda
percaya diri bila mengenali kelebihan diri dan mampu memanfaatkannya demi
kebaikan diri dan bersama. Sombong adalah saat Anda menggunakan kelebihan Anda
untuk merendahkan dan menjatuhkan orang lain. (“Saya lebih cantik dari dia karena...”)
2.Untuk fakta no.2 dan 4, ada
baiknya kita bercermin dulu. Apakah kita pelaku atau target? Pernahkah kita
menjadi keduanya? Tidak lelah? Memang ada untungnya apa? Hidup ini sangat
singkat dan semua hanya pinjaman.
Jika Anda termasuk lebih sering jadi
target pergunjingan sesama perempuan, ada baiknya Anda membaca kembali
pernyataan Sylvina Savitri di atas. Tidak perlu terlalu ambil pusing sama ulah mereka.
Cukup tunjukkan versi terbaik Anda lewat kerja keras dan usaha nyata. Toh,
hidup Anda bukan untuk selalu menyenangkan semua orang tiap saat. Capek, lho!
Berhubung sudah kepalang berjanji
dengan diri sendiri, maka saya akan mengakhiri dengan pernyataan untuk
mendukung diri sendiri:
Saya
tahu saya bukan supermodel, tapi saya juga cantik. Ada yang tidak sepakat?
Maaf, saya tidak lagi peduli. Toh, setiap perempuan berhak menjadi cantik
sesuai versi mereka masing-masing – kalau bisa tanpa harus saling tuding dan
menggurui.
R.
(Jakarta, 24 Desember 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar