Senin, 28 Desember 2015

"BUKAN"

Aku bukan penyelamatmu
meski kau memandangku begitu
Aku tak selalu bisa
Tak selamanya aku akan ada

Aku bukan pahlawan
Mohon jangan berpikir yang bukan-bukan
Aku juga bukan bidadari
Ada kalanya aku juga lelah dan muak setengah mati

Sayang, kita harus bicara
namun kau memilih enggan percaya
Kau pikir aku mengada-ada
Padahal, kita sesama manusia biasa

Entah kapan kau mau diam dan mendengar
Aku sendiri sudah lama jauh dari sabar
Jangan salah artikan diamku
sebagai tanda tunduk dan kepatuhan total padamu

Mungkin tinggal tunggu ada yang meledak
atau strategi lain agar kau tersedak
Sabar bukan wajibnya seorang saja
sementara yang lain bisa semaunya...

R.
(Jakarta, 27 Desember 2015 - 20:30)

Sabtu, 26 Desember 2015

"UNTUK LIDAH YANG 'LUWES' SAAT LIBURAN"

Ada kisah dua teman lama yang sudah lama tidak saling bertukar kabar. Meski keduanya saling terhubung lewat jaringan media sosial, keduanya sering terlalu sibuk untuk sekedar mengecek laman masing-masing.
Hingga saat liburan mereka memutuskan untuk menyediakan waktu bertukar kabar lewat Skype.
A: "Liburan panjang ini kemana aja, lo? Gue sekarang lagi di ..... terus ke ..... " (Tidak penting nama lokasinya, pokoknya ceritanya si A lagi keliling, entah antar kota atau antar negara.)
B: "Ah, nggak kemana-mana. Di rumah aja."
A: "Serius lo?! Liburan panjang gini gak kemana-mana? Ah, nggak asyik!"
Si B tidak mengatakan apa-apa, meski A bisa melihat ekspresi wajah teman lamanya mendadak berubah muram. Tak lama, si B perlahan mundur...agar A bisa melihat kursi roda yang tengah digunakannya.
Andai saja si A sempat mengecek laman media sosial si B, mungkin dia akan tahu bahwa teman lamanya baru saja mengalami musibah kecelakaan lalu-lintas - hingga lumpuh dari pinggang ke bawah dan kini sedang menjalani fisioterapi. Mungkin A akan lebih menjaga lisannya...
Oke, mungkin kejadiannya tidak harus setragis itu. Cuma, sudah berapa kali sih, kita suka keceplosan - berkomentar sekenanya tanpa lihat-lihat situasi dan kondisi? Mungkin kita tidak bermaksud apa-apa. Mungkin kita 'hanya bercanda'.
Mungkin kita begitu senangnya bisa liburan (kemana-mana lagi), hingga tanpa sadar lidah kita ikut 'liburan'...dari menjaga lisan. Beruntunglah bila kita bisa banyak jalan-jalan kemana saja kita suka. Waktu, biaya, dan tenaga ada. Foto-foto hasil liburan tinggal dipajang di media sosial. Tak ada yang melarang. Yang sirik biarin saja, selama itu bukan niat kita yang sengaja ingin memancing pujian - atau sekedar pamer betapa menariknya hidup kita. Itu terserah kita. Berbahagialah.
Namun, harap ingat bahwa tidak semua seberuntung itu, entah dari segi ekonomi, kesehatan, hingga waktu luang. Bisa jadi ada yang sedang sakit, terikat kewajiban keluarga (mungkin merawat orang tua yang sudah lanjut usia dan tidak lagi bisa kemana-mana), hingga...harus bekerja. Bisa jadi mereka sedang tidak punya pilihan, sehingga ucapan kita yang niatnya 'hanya bercanda' itu malah memperburuk perasaan mereka. Apalagi sampai menyebut mereka payah dan enggan berpetualang. Tak perlu menunggu laporan tentang hidup mereka duluan. Cukup jaga ucapan.
Bagaimana bila mereka memang memilih untuk tidak kemana-mana selama liburan, apa pun alasannya? Bagaimana kalau mereka memang bahagia dengan pilihan mereka? Bukan urusan kita, 'kan? Mereka tidak butuh opini kita tentang bagaimana mereka harus menghabiskan waktu liburan mereka.
Bolehlah senang karena bisa liburan. Tak perlu jadi orang menyebalkan. Kita tak pernah tahu, sudah berapa kali ucapan kita yang lagi-lagi niatnya 'hanya bercanda' itu ternyata telah menyinggung perasaan mereka. Dan maaf, kadar emosi tiap manusia tidak sama. Menganggap mereka terlalu sensitif atas ucapan kita juga tidak akan membuat kita jadi orang yang lebih baik dari mereka.
Sekadar saran, daripada berkomentar yang tidak berguna, cobalah ajak mereka ikut liburan dengan kita - terutama bila kita merasa bahwa hidup kita jauh lebih baik daripada mereka. Traktir mereka kalau perlu. Bayarin, jangan bisanya cuma basa-basi. Hitung-hitung sekalian beramal, ketimbang lidah 'luwes' tapi bikin kesal...
R.
(Jakarta, 25 Desember 2015 - 15:45)

"TIDAK CUKUPKAH?"

Sendirilah kau, dengan segala kekuranganmu
Cukup hanya kau dan Tuhan yang Maha Tahu
Tiada gunanya malu
Dia selalu awas akan segala cacat dan cela itu

Mereka juga tahu,
bahkan yang (mengaku paling) menyayangimu?
Biar saja
Biarlah mereka semua kecewa
Memangnya mereka sendiri juga sempurna?
Ah, mereka tahu apa?

Sendirilah, dalam diam
Biarlah rasa ini jadi rahasia terpendam
Mereka tak perlu tahu apa-apa
meski raut dinginmu meninggalkan banyak tanya

Ah, bedebah!
Menjadi ikhlas ternyata susah,
meski mereka berharap kau selalu rela
ada kalanya kau hanya ingin menyerah

Takkan pernah cukup semua yang telah kau lakukan untuk mereka
Kau seakan tak berhak salah,
meski sesama manusia
Lucu, ya?

Jangan pernah berharap balasan
Tak perlu memancing keributan
meski merasa berhak dan sudah muak
Cukup diam tanpa dendam
berharap Tuhan sembuhkan semua luka
sebelum keburu meradang...

R.
(Jakarta, 25 Desember 2015 - 15:30)

Rabu, 23 Desember 2015

#CSW-CLUB DIARIES: STEREOTYPING"

Takkan ada habisnya bila kita membahas 'stereotyping'. Mulai dari yang berkaitan dengan gender, pakaian khas seseorang, penampilan luar, gaya hidup, agama yang dianut, kelas sosial, level pendidikan, latar belakang keluarga dan lingkungan sosial, asal-usul, dan masih banyak lagi. Manusia selalu punya pendapat akan segala sesuatu, tak peduli selalu benar atau tidak. Bisa jadi daftarnya melebihi umur mereka sendiri.
Ada yang bilang, 'stereotyping' adalah bagian dari mekanisme rasa aman (dan mungkin juga nyaman) ciptaan pikiran manusia setelah meneliti beberapa contoh sosok sejenis dengan karakter serupa di luar sana. Bukankah kita selalu paling ahli dalam hal-hal yang kita (rasa) sudah ketahui? Misalnya pakem a la Hollywood, dimana cewek pirang dan seksi pasti bodoh dan cowok berkaca mata pasti kutu buku dan cupu dalam pergaulan sosial.
Ngomong-ngomong soal pergaulan sosial, dalam kelas sosial juga begitu. Si kaya pasti sombong dan selalu mudah mendapatkan segalanya, kadang tanpa perlu banyak usaha - tinggal menyodorkan uang. Si miskin pasti pemalas. Perkara agama apalagi, terutama setelah 9/11 dan penembakan di Australia dan Prancis. Banyak yang saling menuding, seperti orang beragama (apalagi yang termasuk taat) pasti kaku, konservatif, tidak toleran dengan perbedaan, serta tidak berpikiran terbuka. Sementara orang yang memilih menjadi agnostik atau atheis sekalian pasti bejad, kelakuannya minus semua, dan tidak punya moral yang lebih baik daripada mereka yang beragama.
Ada pengakuan seorang aktivis kesehatan yang pernah memegang posisi penting dalam pemerintahan. Pendekatannya dalam pencegahan penularan HIV/AIDS melalui akses kesehatan dan pembagian kontrasepsi gratis dianggap buang-buang waktu dan biaya saja, karena mereka masih beranggapan bahwa orang Indonesia semuanya baik-baik, beragama, dan tidak mungkin berbuat amoral.
Ya, ya, ya.
Apa pun latar penyebabnya, 'stereotyping' lebih banyak merugikan - baik bagi pelaku maupun target. Pelaku jadi enggan berpikir, enggan membuka hati, dan selalu merasa paling benar sendiri - karena merasa sudah mengetahui segalanya. Mereka jadi kehilangan kesempatan untuk mengenal orang-orang yang mungkin berbeda sekali dengan mereka, namun bukan berarti lebih buruk. Sekali lihat langsung mengecap: "Ah, pasti mereka semua sama saja!" Yang beda mereka anggap ancaman. Pola pikir mereka juga lebih mudah didikte oleh media yang bias. Korban cuci otak yang sempurna.
Untuk korban stereotipe? Mereka jadi sasaran penghakiman dan kebencian orang-orang yang tidak kenal mereka dan sebaliknya. Padahal, belum tentu juga mereka mengganggu siapa-siapa. Sama halnya dengan perempuan berbusana terbuka yang dianggap pelacur sehingga pantas dilecehkan - atau perempuan berjilbab yang disangka teroris atau pasti paling alim se-umat.
Ya, seperti inilah wajah dunia - terutama akhir-akhir ini...
R.
 
(Jakarta, 19/12/2015 – 8:15. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 17 Desember 2015, pukul 20:00 di Black Canyon Coffee - Cikini. Tema: “Stereotyping”.)

"HARI (UNTUK) IBU?"

Kapan terakhir kali kau menghargai beliau?
Hari-hari sibuk dengan rutinitasmu
sampai lupa jadwal bertemu
seakan tiada sempat bertamu

Ah, hentikan basa-basimu
dan segala puja-puji semu
Bukannya mau menuduhmu palsu
namun kapan terakhir kali menyenangkan beliau?

Banyak yang mudah mengaku
mengagung-agungkan sosok ibu
tanpa tahu beliau kerap menyimpan pilu
Apakah itu juga kamu?

"Aku sayang ibu."
Benarkah begitu?
Ingatkah masa-masa kau menyusahkan beliau,
namun suka pura-pura tidak tahu?

Seharusnya Hari Ibu tiap hari
agar semua bisa lebih menghargai
kasih dan jerih-payah para perempuan yang (di)mulia(kan) ini
Bukan sekedar puja-puji
tanpa tindakan nyata sebagai wujud peduli...

R.
(Jakarta, 22 Desember 2015 - 7:20)

Sabtu, 19 Desember 2015

Catatan Mariana Amiruddin: Saya,Tionghoa dan Ratu Kalinyamat

Catatan Mariana Amiruddin: Saya,Tionghoa dan Ratu Kalinyamat: Oleh: Mariana Amiruddin Terlalu sering saya bermimpi tentang Ratu Kalinyamat, dan kini saatnya saya segera mencari literaturnya. Saya me...

"REALITA TENTANGMU"

Ini bukan fenomena baru
Kau sama saja dengan mereka
menyalahartikan diamku
dengan tidak berdaya dan mudah menerima

Baru kali ini aku benar-benar melihatmu
Kau, yang sejati dan apa adanya
Namun, masih ada rasa sayangku
meski sadar, kau takkan selalu ada dan memahami segalanya...

R.
(Jakarta, 19 Desember 2015 - 8:40)

Rabu, 16 Desember 2015

"KABAR BAIK DARI YANG SALING MENCINTA"

Cintamu adalah harapan
Kau dan dia dalam satu perjalanan
Sudah lama kalian bersama
Tak perlu lagi menunda

Ah, tidak apa
Aku ikut berbahagia
Sendiriku bukan petaka,
karena takdir urusan Yang Maha Kuasa

Bagaimana denganku?
Ah, tak perlu sendu begitu
Semua dapat giliran
terutama yang senantiasa diuji lewat kesabaran...

R.
(Jakarta, 14 Desember 2015 - 20:00)

"ADA APA DENGAN BLOGGER INI?"

"Ada apa dengan blogger ini?"

Jawabannya: tidak ada. Tidak ada apa-apa. Blogger ini hanya seperti para blogger umumnya. Hobinya membaca (harus itu!), menulis (pastinya), dan mengamati sekitar. Bahkan, saking (terlalu) seriusnya menganalisa segala sesuatu, penggemar musik rock yang syukurnya bisa menyanyi ini kadang suka lupa untuk sedikit bersantai. Minuman favoritnya saja kopi!

Blogger ini juga berprofesi sebagai pengajar Bahasa Inggris, penerjemah, dan penulis. Kegiatan-kegiatan lainnya termasuk menjadi salah satu admin sebuah komunitas penulis, menghadiri ragam acara sastra yang menurutnya menarik, hingga travelling, nonton konser, film, dan pagelaran teater...kalau lagi ada budget dan waktu.

R.

Selasa, 15 Desember 2015

"KOSONG..."

Aku merindukan kalian, bahkan sejak kita semua masih bermukim di rumah itu.
            Kalian mungkin hanya akan menganggapku mengada-ada. Bagi kalian, tidak ada yang salah. Semua baik-baik saja.
            Entah kenapa, aku merindukan masa lalu yang sepertinya takkan mungkin kembali. Dulu kita lebih banyak tertawa, saling berbagi cerita.
            Hingga saat-saat kelam itu. Ujian yang seharusnya merekatkan, bukannya menjauhkan kita.
            Ujian yang menunjukkan sisi terburuk kita.
            Mungkin, ada baiknya bila aku mulai dengan diriku sendiri dulu. Aku tidak ingin dituduh hanya bisa menyalahkan orang lain dan tidak pernah mau introspeksi. Kalian tahu, aku bukan orang yang seperti itu. Seharusnya kalian lebih mempercayaiku.
            Dari dulu, aku sudah biasa (diminta) mengalah. Ada yang bilang ini kebiasaan atau karakter khas anak tengah. Mungkin mereka benar.
            Yang kutahu, lama-lama aku juga bisa lelah. Dalam diam, aku berjuang menahan sedih, marah, muak – semuanya.
            Maafkan aku, Bunda. Entah kenapa, dari dulu aku hanya membuatmu kecewa. Aku tak pernah jadi putrimu yang (tampak) sempurna. Tumpukan lemak di tubuh ini selalu terlalu jelas di matamu, hingga menutupi semua usaha lain untuk menunjukkan cinta dan baktiku.
            Aku tahu, tak seharusnya aku meragukan kasih-sayang seorang ibu. Mungkin Bunda lelah. Sejak Ayah sakit hingga akhirnya wafat, semua berubah. Aku tidak tega menyusahkan, hingga lebih memilih diam. Mungkin salah satu putri Bunda begitu menyita perhatian sehingga menguras tenaga, pikiran, dan perasaan. Dulu aku rela mundur jadi bayang-bayang belaka, meski lelah karena harus berkorban dan selalu lebih pengertian.
            Ra, aku tahu kita dari dulu tidak pernah benar-benar dekat. Masa remaja telah lama memisahkan kita. Aku benci dan muak dengan segala komentar tolol mereka mengenai betapa berbedanya kita, seakan kamu begitu sempurna dan aku harus berubah sama.
            Kubiarkan kamu jadi pusat perhatian, sementara aku tetap dalam bayang-bayang. Tak apa, aku sudah biasa. Sama biasanya dengan kebiasaanmu dulu, yang mengenalkanku pada orang lain dengan sebutan ‘adik yang aneh’. “Maaf, dia agak aneh.” Begitu katamu selalu, kadang dengan senyum mengejek yang memuakkan itu. Entah kenapa dulu aku tidak menamparmu.
            Namun, mau tahu yang paling menyakitkan bagiku? Saat kamu lebih memilih mempercayai semua ucapannya tentangku. Aku memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan belahan jiwamu.
            Tahukah kamu? Hari dimana kamu membentakku di telepon dan menuduhku karena fitnahnya, adalah hari kamu ‘membunuhku yang dulu’.
            Re, aku sangat merindukanmu. Kita dulu seperti sahabat. Suka kemana-mana berdua, mendengarkan musik yang sama, meski kini dengan kesibukan berbeda. Apa boleh buat, kita sudah dewasa.
            Aku bersyukur, Bunda tidak pernah memanjakanmu. Hanya karena kamu putra satu-satunya, bukan berarti kamu istimewa dan berhak mendapatkan segalanya. Kamu sangat menghargai perempuan. Tidak seperti dia, yang bertingkah semena-mena – seakan dia raja atas segalanya dan harus selalu dilayani dan dipuji semua orang.
            Ah, sudahlah. Untuk apa lagi aku meratapi semuanya? Aku sudah terlalu lelah untuk marah. Mungkin akulah karakter terparah dalam drama ini. Maafkan aku yang tidak selalu bisa sesabar itu menerima semuanya.
            Kita sudah lama tinggal terpisah. Hanya sesekali aku pulang ke rumah. Kita masih juga bermain di drama yang sama, tersenyum seakan semuanya baik-baik saja.

            Aku akan selalu merindukan kalian semua, meski kini berbeda. Aku bukan lagi sosok yang sama...


Senin, 14 Desember 2015

"TENTANG PENGUNTIT (STALKER)"

Pernah dikuntit orang – alias berurusan dengan stalker? Apakah malah Anda pelakunya?
            Mungkin ‘kuntit-menguntit’ atau ‘stalking’ sudah lazim sekarang, terutama dengan fitur ‘follow’ di platform social media. Mungkin ada yang senang dikuntit, apalagi oleh banyak orang. Ibaratnya seperti selebriti yang semakin naik statusnya bila semakin banyak yang ingin tahu tentang mereka, bahkan sedetil mungkin. Kalau sudah begini, bisa-bisa selamat tinggal privasi.
            Namun, ada juga yang merasa tidak nyaman, bahkan cenderung ketakutan karena lama-lama merasa terancam. Ada juga yang tidak sadar-sadar juga bahwa mereka sudah menjadi stalker. Ada yang sadar, namun tidak peduli karena merasa yang mereka lakukan wajar-wajar saja – bahkan merasa berhak. Sejauh apa tindakan mereka sampai mereka dapat disebut ‘stalker’?

            Kegiatan khas si penguntit / stalker:
-       Membuntuti dan memata-matai sasaran atau korban. Yang ekstrim bahkan bisa dalam waktu lama hingga mengabaikan kehidupan pribadi mereka sendiri. Ibaratnya, sosok yang mereka kuntit seakan menjadi pusat kehidupan mereka.
-       Bila sudah mendapatkan akses langsung untuk menghubungi korban, seperti: nomor telepon, email, akun social media, hingga bahkan tahu lokasi rumah, kantor, dan tempat nongkrong, stalker tidak segan-segan melakukan segala cara untuk menuntut perhatian korban. Bisa menelepon berkali-kali, mengirim SMS dan email, hingga ‘menyampah’ di laman akun social media korban. Yang paling parah sampai memata-matai rumah, kantor, hingga tempat korban biasa mangkal – apalagi bila sudah saling kenal.
-       Bukannya senang, sasaran malah merasa tidak aman dan nyaman, sering menghindar, hingga jadi tidak berani pergi sendirian. Bahkan, bukan tidak mungkin korban akan marah atau ketakutan.
-       Stalker akan berusaha mencari segala bantuan dan dukungan untuk memata-matai korbannya. Bila gagal, mereka akan sakit hati dan mencoba mempengaruhi orang-orang sekitar/terdekat korban, entah untuk membenci atau ikut menyakiti si korban. (Kasus ini berlaku bila stalker dan korban saling kenal, bahkan pernah menjalin hubungan asmara.)
-       Stalker tidak suka ditolak. Bahkan, ujung-ujungnya mereka berpotensi menjadi pelaku kekerasan, mulai dari mengirim pesan ancaman, memfitnah/menjelek-jelekkan korban, meneror, menyakiti, hingga...membunuh.

Alasan seseorang menjadi stalker:
Kasih tak sampai (cinta bertepuk sebelah tangan karena tidak pernah berani menyatakan atau sosok idaman telah berdua/mencintai orang lain), patah hati/sakit hati karena ditolak/putus, dendam, rival yang ingin mencari kejelekan saingan/menjatuhkan lawan, hingga obsesi irasional sebagai ciri gangguan jiwa serta kurang kerjaan.
Yang berpotensi menjadi stalker:
Penggemar berat, rival, pacar/pasangan posesif dan cemburuan, mantan yang sakit hati, hingga psikopat yang entah kenapa bisa mendadak tertarik dengan korban. Namun, mayoritas pelaku penguntitan adalah sosok yang juga mengenal korban.
Bila Anda stalker:
1.    Penggemar berat: ada cara lain menjadi penggemar yang lebih ‘sehat’. Bisa dengan mendukung si selebriti demi kemajuan karir mereka atau – kalau beruntung – berusaha menjadi teman mereka. (Catatan: bahkan sahabat paling dekat pun tidak selalu harus bersama.)
2.    Pacar / pasangan posesif dan cemburuan: Pacar atau pasangan yang sedang bersama Anda sekarang jangan disamakan dengan barang kepemilikan. Kalian sama-sama manusia, ‘kan? Hanya rasa saling percaya, pengertian, dan kesetiaan-lah yang dapat mempertahankan sebuah hubungan. Jangan salahkan mereka bila lama-lama tidak tahan dengan sikap Anda yang mengatur mereka sesuka maunya Anda.
3.    Mantan yang sakit hati: apa pun penyebab berakhirnya hubungan kalian, menguntit mereka terus-terusan tidak akan menjamin mereka mau kembali bersama Anda. Anda pasti juga tidak suka dipaksa, bukan? Cobalah berdamai dengan masa lalu. Bila belum bisa berteman atau mantan enggan berbicara dengan Anda, ada baiknya menjauh terlebih dahulu – minimal untuk menetralkan perasaan dan suasana.
4.    Rival: apa untungnya mencari keburukan lawan dan mengganggu hidup mereka? Fokuslah pada kelebihan Anda daripada sibuk mengurusi kekurangan orang lain.
5.    Tidak sadar kebiasaan menguntit Anda mengganggu mereka? Mungkin ini saat yang tepat untuk berobat ke ahli jiwa.

Bila Anda yang dikuntit / dibayang-bayangi si stalker:
1.    Acuhkan saja.
2.    Bila mereka masih mengganggu, beritahu mereka baik-baik bahwa perbuatan mereka membuat Anda merasa tidak nyaman – terutama bila Anda dan si stalker kebetulan saling mengenal.
3.    Mereka masih keterlaluan? Mulailah membatasi akses mereka agar tidak lagi bisa mengganggu Anda. Blokir nomor HP, email, hingga akun social media mereka.
4.    Tidak perlu ‘curhat’ terlalu banyak di social media mengenai lokasi keberadaan Anda saat ini.
5.    Libatkan keluarga dan teman untuk melindungi Anda. Jika terpaksa pergi sendirian, beritahulah orang-orang terdekat mengenai keberadaan Anda. Bawalah semprotan merica atau taser / stun-gun (pistol kejut listrik) kalau perlu. Ikut kelas bela diri dan sering berlatih juga membantu.
6.    Jika terpaksa, ganti nomor HP dan pindah tempat tinggal. Cukup ceritakan pada mereka yang memang perlu tahu keberadaan Anda.
7.    Libatkan aparat hukum bila merasa si stalker semakin mengancam keselamatan Anda. Jangan lupa simpan semua bukti ulah si stalker, seperti: SMS, email, screen capture komentar mereka di laman social media Anda – apalagi yang bernada mengancam. Lebih baik lebay tapi aman.

R.



Sabtu, 12 Desember 2015

"SENDU DALAM BISU"

Aku telah kehabisan kata-kata
Mungkin kau tak percaya
mengingat cintaku akan aksara
karibku dengan bahasa

Sungguh, aku tak selalu bisa
Ada kalanya aku salah bicara,
kadang hingga kau terluka
Maaf, ada kalanya aku tak bisa menghibur,
meski dengan segala cara

Andai ada pelipur bagi setiap lara,
atau penyembuh setiap luka
hingga pengering air mata
Sayang, saat ini aku pun sama-sama tak berdaya

Kadang, telah habis kata-kata
Itu pun belum cukup juga
Tinggal doa dalam hati saja
meski entah apa jawab-Nya.

R.
(Jakarta, 12 Desember 2015 - 11:40)

Jumat, 11 Desember 2015

#CSW-CLUB DIARIES: "OLAH RAGA"

Siapa yang suka olah raga? Jangan bilang hanya para atlit. Tidak semua penyuka olah raga bercita-cita menjadi atlit. Ada yang sekedar ingin sehat. Ada yang menganggap olah raga permainan menyenangkan.
Ada juga yang melakukannya sekedar untuk keren-kerenan. Mengikuti trend menjadi salah satu cirinya. Lagi trend zumba, ikut zumba. Yang lain lagi coba yoga, mereka tidak mau ketinggalan. Tidak salah sih, asal tidak jadi kebiasaan.
Ada juga yang berolah raga agar langsing, bahkan kalau bisa kurus sekalian. Ini termasuk alasan paling populer, terutama dari kalangan perempuan yang (merasa) kelebihan berat badan. Tahu sendiri 'kan, masyarakat seperti apa?
Pilihan olah raga beragam, tergantung kecocokan yang dirasakan tiap orang. Karena itulah, seorang teman pernah mengalami ketidakadilan dalam mata pelajaran Pendidikan Kesehatan Jasmani (nama lain dari pelajaran olah raga) di sekolahnya dulu. Bayangkan, masa nilai tertinggi baru bisa didapat dari seberapa cepat seorang murid berlari? 'Kan tidak adil!
Ada juga yang sering dibuat kesal dengan olah raga. Pasalnya, badannya yang tambun membuat banyak orang menyuruhnya olah raga. Giliran baru mulai lari keliling kompleks, ada saja yang kurang kerjaan dengan berkomentar:
"Mau kurus nih, yeee!"
"Bum...bum...bum..." (Meniru bunyi benda berat jatuh setiap langkah kaki si tambun menyentuh tanah saat berlari.)
Ganggu banget, 'kan? Mending mereka sendiri juga suka olah raga atau punya kerjaan lain yang jauh lebih berguna.
Apa pun pilihan olah raganya, rasanya menyenangkan bila dilakukan dengan rasa senang - bukan terpaksa.
R.

(Jakarta, 11/12/2015 – 8:15. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 10 Desember 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee - Setiabudi One. Tema: “Olahraga”.)

Selasa, 08 Desember 2015

#CSW-CLUB DIARIES: "KEKERASAN POLITIK"

"Politics sucks. It destroys families. It makes people distrustful."
"Politik itu menyebalkan. Politik menghancurkan keluarga. Politik membuat orang jadi tidak bisa dipercaya."
Kalimat di atas diucapkan tokoh SSA (Special Secret Agent - Agen Rahasia Khusus) Emily Prentiss (diperankan oleh Paget Brewster) dalam salah satu episode serial TV "Criminal Minds". Dialog tersebut mungkin cocok untuk menggambarkan tema pertemuan #CSW-Club kali ini: kekerasan politik. Tak hanya menghancurkan satu-dua orang, namun juga keluarga, masyarakat, bangsa, hingga dunia. Cakupannya bisa luas sekali, bukan?
Sejarah telah menyebutkan banyak sekali contohnya. Terlalu banyak malah. Kita bisa fokus pada angka-angka berupa tanggal, tahun, jumlah pelaku kekerasan, korban, luas lahan yang terkena dampak, kerugian finansial, hingga data-data statistik lainnya yang terkait dengan kekerasan politik. Ada yang berpendapat bahwa kekerasan ini termasuk masif, berlapis-lapis dan penanganannya pun berlarut-larut. Bahkan, seringkali banyak yang malah tidak selesai sama sekali alias tetap menjadi misteri.
Andai para pelaku dan otak di balik semua peristiwa itu sendiri terungkap, apa yang biasanya terjadi? Benarkah mereka akan selalu diadili? Benarkah mereka bukan tumbal untuk melindungi pelaku sebenarnya?
Bagaimana bila ternyata mereka telah lama meninggal dunia? Akankah keturunan mereka diminta untuk bertanggung-jawab?
Benarkah - dalam hal ini - mereka yang jujur akan selalu terancam? Benarkah niat mereka selalu untuk mencari keadilan, bukan sekedar balas dendam atau menjatuhkan lawan?
Benarkah kita tidak pernah benar-benar (mau) belajar dari sejarah? Atau, jangan-jangan sejarah malah menjadi inspirasi kita untuk menciptakan kerusakan berikutnya yang lebih parah...
R.

(Jakarta, 5/12/2015 – 16:40. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 5 Desember 2015, pukul 20:00 di Blueberry Pancake House - Wahid Hasyim. Tema: Kekerasan Politik.)

Minggu, 06 Desember 2015

"DOA PENAWAR DUKA"

Izinkan kukirim doa
agar damai lelapmu dalam benak ber-nirwana
Semoga jiwamu aman di sana

Aku bukan sosok sempurna,
namun kuharap doa ini selalu dijabah oleh-Nya
hanya agar kamu terlindungi, dengan senantiasa

Hai,
kamu tidak pernah sendiri
Aku mungkin tak selalu di sini,
namun semoga doa ini selalu mengiringi

Apa kabarmu hari ini?
Jangan bersedih
Esok masih akan ada hari

Izinkan kukirim doa
Mungkin, saat ini kau sedang merasa tak berdaya
Jangan menyerah
Kau belum benar-benar kalah
Siapa tahu esok akan berbeda...

R.
(Jakarta, 5 Desember 2015 - 16:20)