Selasa, 15 Desember 2015

"KOSONG..."

Aku merindukan kalian, bahkan sejak kita semua masih bermukim di rumah itu.
            Kalian mungkin hanya akan menganggapku mengada-ada. Bagi kalian, tidak ada yang salah. Semua baik-baik saja.
            Entah kenapa, aku merindukan masa lalu yang sepertinya takkan mungkin kembali. Dulu kita lebih banyak tertawa, saling berbagi cerita.
            Hingga saat-saat kelam itu. Ujian yang seharusnya merekatkan, bukannya menjauhkan kita.
            Ujian yang menunjukkan sisi terburuk kita.
            Mungkin, ada baiknya bila aku mulai dengan diriku sendiri dulu. Aku tidak ingin dituduh hanya bisa menyalahkan orang lain dan tidak pernah mau introspeksi. Kalian tahu, aku bukan orang yang seperti itu. Seharusnya kalian lebih mempercayaiku.
            Dari dulu, aku sudah biasa (diminta) mengalah. Ada yang bilang ini kebiasaan atau karakter khas anak tengah. Mungkin mereka benar.
            Yang kutahu, lama-lama aku juga bisa lelah. Dalam diam, aku berjuang menahan sedih, marah, muak – semuanya.
            Maafkan aku, Bunda. Entah kenapa, dari dulu aku hanya membuatmu kecewa. Aku tak pernah jadi putrimu yang (tampak) sempurna. Tumpukan lemak di tubuh ini selalu terlalu jelas di matamu, hingga menutupi semua usaha lain untuk menunjukkan cinta dan baktiku.
            Aku tahu, tak seharusnya aku meragukan kasih-sayang seorang ibu. Mungkin Bunda lelah. Sejak Ayah sakit hingga akhirnya wafat, semua berubah. Aku tidak tega menyusahkan, hingga lebih memilih diam. Mungkin salah satu putri Bunda begitu menyita perhatian sehingga menguras tenaga, pikiran, dan perasaan. Dulu aku rela mundur jadi bayang-bayang belaka, meski lelah karena harus berkorban dan selalu lebih pengertian.
            Ra, aku tahu kita dari dulu tidak pernah benar-benar dekat. Masa remaja telah lama memisahkan kita. Aku benci dan muak dengan segala komentar tolol mereka mengenai betapa berbedanya kita, seakan kamu begitu sempurna dan aku harus berubah sama.
            Kubiarkan kamu jadi pusat perhatian, sementara aku tetap dalam bayang-bayang. Tak apa, aku sudah biasa. Sama biasanya dengan kebiasaanmu dulu, yang mengenalkanku pada orang lain dengan sebutan ‘adik yang aneh’. “Maaf, dia agak aneh.” Begitu katamu selalu, kadang dengan senyum mengejek yang memuakkan itu. Entah kenapa dulu aku tidak menamparmu.
            Namun, mau tahu yang paling menyakitkan bagiku? Saat kamu lebih memilih mempercayai semua ucapannya tentangku. Aku memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan belahan jiwamu.
            Tahukah kamu? Hari dimana kamu membentakku di telepon dan menuduhku karena fitnahnya, adalah hari kamu ‘membunuhku yang dulu’.
            Re, aku sangat merindukanmu. Kita dulu seperti sahabat. Suka kemana-mana berdua, mendengarkan musik yang sama, meski kini dengan kesibukan berbeda. Apa boleh buat, kita sudah dewasa.
            Aku bersyukur, Bunda tidak pernah memanjakanmu. Hanya karena kamu putra satu-satunya, bukan berarti kamu istimewa dan berhak mendapatkan segalanya. Kamu sangat menghargai perempuan. Tidak seperti dia, yang bertingkah semena-mena – seakan dia raja atas segalanya dan harus selalu dilayani dan dipuji semua orang.
            Ah, sudahlah. Untuk apa lagi aku meratapi semuanya? Aku sudah terlalu lelah untuk marah. Mungkin akulah karakter terparah dalam drama ini. Maafkan aku yang tidak selalu bisa sesabar itu menerima semuanya.
            Kita sudah lama tinggal terpisah. Hanya sesekali aku pulang ke rumah. Kita masih juga bermain di drama yang sama, tersenyum seakan semuanya baik-baik saja.

            Aku akan selalu merindukan kalian semua, meski kini berbeda. Aku bukan lagi sosok yang sama...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar