Aku
merindukan kalian, bahkan sejak kita semua masih bermukim di rumah itu.
Kalian mungkin hanya akan
menganggapku mengada-ada. Bagi kalian, tidak ada yang salah. Semua baik-baik
saja.
Entah kenapa, aku merindukan masa
lalu yang sepertinya takkan mungkin kembali. Dulu kita lebih banyak tertawa,
saling berbagi cerita.
Hingga saat-saat kelam itu. Ujian
yang seharusnya merekatkan, bukannya menjauhkan kita.
Ujian yang menunjukkan sisi terburuk
kita.
Mungkin, ada baiknya bila aku mulai
dengan diriku sendiri dulu. Aku tidak ingin dituduh hanya bisa menyalahkan
orang lain dan tidak pernah mau introspeksi. Kalian tahu, aku bukan orang yang
seperti itu. Seharusnya kalian lebih mempercayaiku.
Dari dulu, aku sudah biasa (diminta)
mengalah. Ada yang bilang ini kebiasaan atau karakter khas anak tengah. Mungkin
mereka benar.
Yang kutahu, lama-lama aku juga bisa
lelah. Dalam diam, aku berjuang menahan sedih, marah, muak – semuanya.
Maafkan aku, Bunda. Entah kenapa,
dari dulu aku hanya membuatmu kecewa. Aku tak pernah jadi putrimu yang (tampak)
sempurna. Tumpukan lemak di tubuh ini selalu terlalu jelas di matamu, hingga
menutupi semua usaha lain untuk menunjukkan cinta dan baktiku.
Aku tahu, tak seharusnya aku
meragukan kasih-sayang seorang ibu. Mungkin Bunda lelah. Sejak Ayah sakit
hingga akhirnya wafat, semua berubah. Aku tidak tega menyusahkan, hingga lebih
memilih diam. Mungkin salah satu putri Bunda begitu menyita perhatian sehingga
menguras tenaga, pikiran, dan perasaan. Dulu aku rela mundur jadi bayang-bayang
belaka, meski lelah karena harus berkorban dan selalu lebih pengertian.
Ra, aku tahu kita dari dulu tidak
pernah benar-benar dekat. Masa remaja telah lama memisahkan kita. Aku benci dan
muak dengan segala komentar tolol mereka mengenai betapa berbedanya kita,
seakan kamu begitu sempurna dan aku harus berubah sama.
Kubiarkan kamu jadi pusat perhatian,
sementara aku tetap dalam bayang-bayang. Tak apa, aku sudah biasa. Sama
biasanya dengan kebiasaanmu dulu, yang mengenalkanku pada orang lain dengan
sebutan ‘adik yang aneh’. “Maaf, dia
agak aneh.” Begitu katamu selalu, kadang dengan senyum mengejek yang memuakkan
itu. Entah kenapa dulu aku tidak menamparmu.
Namun, mau tahu yang paling
menyakitkan bagiku? Saat kamu lebih memilih mempercayai semua ucapannya tentangku.
Aku memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan belahan jiwamu.
Tahukah kamu? Hari dimana kamu
membentakku di telepon dan menuduhku karena fitnahnya, adalah hari kamu ‘membunuhku yang dulu’.
Re,
aku sangat merindukanmu. Kita dulu seperti sahabat. Suka kemana-mana berdua,
mendengarkan musik yang sama, meski kini dengan kesibukan berbeda. Apa boleh
buat, kita sudah dewasa.
Aku bersyukur, Bunda tidak pernah
memanjakanmu. Hanya karena kamu putra satu-satunya, bukan berarti kamu istimewa
dan berhak mendapatkan segalanya. Kamu sangat menghargai perempuan. Tidak seperti
dia, yang bertingkah semena-mena – seakan dia raja atas segalanya dan harus
selalu dilayani dan dipuji semua orang.
Ah, sudahlah. Untuk apa lagi aku
meratapi semuanya? Aku sudah terlalu lelah untuk marah. Mungkin akulah karakter
terparah dalam drama ini. Maafkan aku yang tidak selalu bisa sesabar itu
menerima semuanya.
Kita sudah lama tinggal terpisah.
Hanya sesekali aku pulang ke rumah. Kita masih juga bermain di drama yang sama,
tersenyum seakan semuanya baik-baik saja.
Aku akan selalu merindukan kalian
semua, meski kini berbeda. Aku bukan lagi sosok yang sama...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar