Rabu, 17 September 2014

"BIRU DALAM RINDU 2"

Waktu terlalu cepat berlalu,
terlalu singkat untuk hanya menunggu.
Aku tahu namanya masih di hatimu,
namun mau sampai kapan kamu tenggelam dalam biru?

Kutatap gadis dalam cermin itu.
Seperti biasa, lagi-lagi dia hanya membisu.
Matanya sendu.
Sosoknya kaku, bagai terjebak dalam waktu.

"Aku tahu,"
matanya seakan berkata padaku.
"Cinta ini begitu semu,
namun bukankah kau juga sama - merasakan pilu?"

Malam itu,
untuk kesekian kalinya kami berdua tergugu...

R.
(Jakarta, 15 September 2014)

Selasa, 16 September 2014

"RAMUAN AJAIB MIMPI INDAH"

Waktu terasa panjang dan lama sejak Sang Raja jatuh sakit. Kastil itu sekarang disebut sebagai Kastil Sunyi. Sang Raja telah kehilangan kemampuannya untuk berjalan maupun berbicara. Beliau lebih banyak duduk-duduk dan berbaring. Matanya tampak lelah. Sesekali mata itu meneteskan air mata.

Semua penghuni berduka. Sri Ratu tak lagi banyak tertawa. Tuan Putri lebih banyak berpura-pura bahwa semuanya masih sama, baik-baik saja. Pangeran Manis – anak termuda Sang Raja dan Sri Ratu, sekaligus pewaris tahta kerajaan di masa mendatang – berubah menua beberapa tahun dalam sekejap. Diam tak dapat menyembunyikan ketakutan yang tampak di matanya. Pangeran Manis belum siap, meski hanya dia satu-satunya putra dalam keluarga. Sri Ratu membutuhkannya lebih dari sebelumnya. Jangan sampai tahta dan seisi Kastil Sunyi jatuh ke tangan orang lain selain keluarga mereka.

Bagaimana dengan Penjaga Kastil? Putri kedua Sang Raja dan Sri Ratu yang terang-terangan menolak gelar – maupun perilaku khas – Tuan Putri ini lebih memilih menjadi Penjaga Kastil, meski jelas-jelas dia perempuan. Penjaga Kastil memilih melakukan semua yang bisa dilakukannya, terutama dalam rangka menyembunyikan luka hatinya. Mungkin karena  Penjaga Kastil memiliki kemampuan seorang empath (dapat merasakan emosi orang-orang di sekitarnya jauh lebih dalam daripada manusia normal pada umumnya, terutama bila orang-orang tersebut sangat dia sayangi dan begitu dekat dengannya), tragedi ini terasa lebih berat baginya. Tak hanya lebih banyak diam dan jarang tertawa, namun Penjaga Kastil juga lebih sering uring-uringan – dan dia berusaha keras menyembunyikannya dari semua orang.

Akibatnya, Penjaga Kastil banyak menebarkan aura – dan energi – negatif. Hanya beberapa teman sejati – biasanya sesama empath – yang tahan berdekatan dengannya. Kekasih terakhirnya kehilangan rasa sayang dan berpaling kepada gadis lain. Tidurnya tak lagi lelap. Tak hanya itu, Penjaga Kastil pun mulai ikut sering sakit-sakitan. Kadang yang muncul berupa sesak napas, kadang sakit kepala tak tertahankan. Kalau sudah begitu, Penjaga Kastil harus berbaring dan kehilangan sehari dalam hidupnya. Benar-benar menjengkelkan!

Ini sama sekali tidak bisa dibenarkan, pikir gadis pemberani itu dengan gusar. Bagaimana dia bisa melakukan tugasnya, menjaga semua orang dalam Kastil Sunyi itu, bila dia sering sakit-sakitan begini? Ini tidak boleh dibiarkan terus!

Namun, apa yang dapat dilakukan Penjaga Kastil? Semua orang punya masalah masing-masing. Tak banyak tempat untuk bercerita. Dia merasa sendirian. Apalagi, kerap Sang Raja memandangnya dengan mata basah oleh air mata, seakan ingin mengatakan sesuatu. Seakan ingin mengatakan banyak hal yang selama beliau masih dapat berbicara, beliau tak pernah sempat atau mau mengatakannya.

Hingga suatu saat, lewatlah seorang tabib di depan Kastil Sunyi. Entah apa yang membuat Penjaga Kastil tergoda untuk memanggil Sang Tabib dan meminta pengobatan yang paling manjur untuk baik ayahnya, Sang Raja, dengan dirinya. Apa pun akan dilakukannya untuk mengembalikan kebahagiaan dan kesehatan semua penghuni kastil itu seperti sedia kala, terutama agar kastil itu tidak lagi disebut sebagai Kastil Sunyi.

Sang Tabib setuju mengobati penyakit Penjaga Kastil. Namun, entah kenapa, Sang Tabib tidak begitu antusias saat diminta untuk mengobati Sang Raja juga.

“Penyakit Paduka sudah berlangsung terlalu lama,” ucap Sang Tabib, saat memeriksa kesehatan Sang Raja di tempat tidur. Saat itu, Sang Raja sudah sangat kurus sekali dan nyaris kehilangan selera makan. Tak hanya itu, beliau mulai sering kehilangan kesadaran. "Entah apa obat-obatan hamba dapat cukup membantu.”

“Tolonglah, Tabib,” pinta Penjaga Kastil putus-asa. Tuan Putri menangis, sementara Pangeran Manis tampak pucat-pasi dalam diamnya. Anehnya, hanya Sri Ratu yang tampak luar biasa tenang. Penjaga Kastil menatap ibunya yang seakan mengangguk paham pada Sang Tabib. Entah kenapa, ada perasaan tak enak merambat di dalam hati.

“Baiklah,” akhirnya Sang Tabib mengalah. Dikeluarkanlah dua botol ramuan – satu untuk Sang Raja dan satu untuk Penjaga Kastil. Anehnya, beliau tidak memberi apa pun bagi Sri Ratu, Tuan Putri, maupun Pangeran Manis. Namun saat ditanya oleh Penjaga Kastil, dengan tenang Sang Tabib menjawab:

“Ampuni hamba, namun hamba hanya memberikan pengobatan kepada yang membutuhkan.”

Meski masih merasa heran dalam hati, anehnya Penjaga Kastil tidak bertanya lagi. Diterimanya botol itu dengan kening berkerut. Lalu, dengan sabar Sang Tabib menjelaskan:

“Itu ramuan mimpi indah,” ucapnya. “Dengan meminumnya seteguk sekali setiap malam sebelum tidur, maka Paduka Putri dapat tidur lelap dan tidak merasakan sakit yang mengganggu. Bahkan, Paduka dapat bertemu dan berbicara dengan siapa pun yang Paduka inginkan dalam mimpi.”

“Lalu bagaimana dengan botol itu?” tanya Penjaga Kastil, melihat botol yang satu lagi untuk ayahnya. “Untuk apa?”

“Yang itu sama,” jelas Sang Tabib, masih dengan sabar. Setelah itu, Sang Tabib mohon diri. Hanya beberapa saat setelah keluar dari kastil, sosoknya lenyap dengan cepat.

Malam itu juga, Penjaga Kastil yang penasaran akan khasiat obat itu segera mencobanya. Setelah sekali teguk, dia pun jatuh tertidur dan bermimpi.

Dalam mimpi itu, Penjaga Kastil bertemu Sang Raja di sebuah taman yang sangat indah. Bidadari berpakaian serba putih berlarian, bermain gembira. Penjaga Kastil melihat ayahnya sehat-walafiat, kembali seperti sediakala. Beliau dapat berjalan dan berbicara, tersenyum dan tertawa. Tak ada lagi air mata. Keduanya mengobrol seperti biasa, seperti dulu sebelum sakit mencuri gerak dan suara Sang Raja dan mengubah semuanya.

Karena itulah, Penjaga Kastil tak bahagia saat terbangun dari tidurnya. Saat ke kamar Sang Raja, tampak beliau kembali seperti sebelumnya – sakit dan terbaring tanpa daya. Merasa kecewa, Penjaga Kastil tak sabar menanti malam. Kembali dia meneguk ramuan mimpi indah.

Mimpi kedua juga sama. Kali ini, Penjaga Kastil dan Sang Raja berbincang-bincang tentang buku kesukaan mereka. Sama seperti waktu Penjaga Kastil masih kecil.

Namun, seperti sebelumnya, mimpi itu berlangsung begitu singkat. Kembali Penjaga Kastil terbangun dengan perasaan sedih dan kecewa. Bukankah seharusnya obat itu juga menghilangkan rasa sakit Sang Raja? Mengapa kondisi beliau masih tetap sama? Kembali Penjaga Kastil tak sabar menanti malam berikutnya.

Namun, alangkah terkejutnya dia saat menyadari bahwa isi botol itu tinggal seteguk. Apa yang akan terjadi bila dia menghabiskannya? Akankah kali ini Sang Raja benar-benar sembuh, karena Sri Ratu juga menunjukkan bahwa isi botol ramuan mimpi indah untuk Sang Raja juga sudah tinggal seteguk.

Merasa putus-asa dan tidak punya pilihan lain, akhirnya Penjaga Kastil itu menghabiskan isi botol ramuan mimpi indah miliknya. Kembali dia bertemu Sang Raja dalam mimpinya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Sang Raja tidak lagi berbicara. Beliau hanya tersenyum lembut saat menggandengnya keluar dari taman itu. Di luar gerbang, tampak sosok Sri Ratu, Tuan Putri, dan Pangeran Manis menantinya.

Penjaga Kastil berpaling pada ayahnya dengan tatapan bingung. Namun, Sang Raja hanya tersenyum lembut sebelum mengecup keningnya. Lalu beliau mendorong Penjaga Kastil agar segera menghampiri keluarga mereka.

“Ta-tapi...” Penjaga Kastil kembali menoleh. Jantungnya berdebar-debar keras sekali saat menyadari Sang Raja tak lagi berada di belakangnya. Taman yang indah itu juga hilang.

Dan Penjaga Kastil pun terbangun, kali ini dengan rasa takut yang luar biasa. Benar saja, saat berlari ke kamar Sang Raja – tampak penghuni seisi Kastil Sunyi berada di sana. Tuan Putri menangis keras. Pangeran Manis menyeka air matanya, masih dalam diam. Sementara itu, Sri Ratu hanya duduk di samping suaminya yang kali ini tak lagi bernyawa. Wajahnya tampak tenang oleh rasa rela, meski pedih masih di sana.

“Sang Tabib bohong!” pekik Penjaga Kastil penuh amarah. Air matanya berderai-derai. “Katanya obat itu dapat menghilangkan rasa sakit!”

“Lihat ayahmu, nak,” pinta Sri Ratu dengan tenang. Tetes-tetes air matanya mulai menitik, meski beliau masih berusaha tersenyum. “Sang Tabib sama sekali tidak berbohong.”


Penjaga Kastil tertegun. Sang Raja tampak seperti tersenyum dalam tidurnya. Tak hanya itu, beliau tidak lagi tampak kesakitan...

Jumat, 12 September 2014

"BIRU DALAM RINDU"

Rindu ini sangat mengganggu
ibarat aksara yang gagal berkumpul,
kalimat gagal terbentuk hingga ingin mengutuk
benak membuntu
lidah kelu.

Ah, rindu...
aku lelah dan muak oleh hadirmu.
Kukira kau akan berhenti merisaukanku.
Aku ingin bisa merelakan sosok itu berlalu.

Bagaimana bila aku masih merindukannya,
bahkan saat dia ada?
Setiap kepergiannya menuai badai menyiksa.
Hadirnya pun sama saja,
meski bercampur bahagia.

Aku hanya ingin berhenti merindukannya!

R.
(Jakarta, 12 September 2014)

Rabu, 10 September 2014

"CUKILAN SISA WAKTU DENGANMU"

Akankah seperti ini?
Kita hanya bisa bertemu sesekali
sebelum berjalan sendiri-sendiri
meski namamu masih di hati.

Kukira aku sudah siap,
meski langkahmu kian mantap,
keputusanmu tetap
sementara diam-diam aku gelisah dalam lelap.

Ah, perubahan.
Aku tahu saatnya melepaskan,
meski belum sepenuhnya merelakan.
Tuhan, akankah rindu selalu senyeri ini saat bersemayam?

Suka tidak suka,
aku harus terima.
Waktuku semakin sedikit untuk menikmati senyummu,
memandang mata birumu,
sebelum masing-masing dari kita berbalik arah dan berlalu...

R.
(Jakarta, 10 September 2014)