Minggu, 23 Maret 2014

"INSOMNIA"

Dia tertidur dengan mata terbuka.
Entah kenapa.
Ini sudah kesekian kalinya
hingga lelah luar biasa.

Dia tertidur dengan mata terbuka.
Lagi-lagi demikian adanya.
Langit malam tak hanya di luar sana,
namun tengah bersemayam di benaknya.

"Mengapa?
Oh, mengapa dikau enggan jua memejamkan mata?"

"Sudah kucoba,"
keluhnya putus-asa,
"bahkan dengan doa-doa.
Wajahnya ibarat sosok abadi di ruang jiwa.
Tolong, Tuhan - aku hanya ingin berhenti merindukannya!"

R.

(Jakarta, 25 Februari 2014)

"SENJATA MELAWAN ONLINE BULLYING"

Anda punya senjata melawan online bullying paling sederhana, cepat, dan bebas drama:

1.Sikap tidak peduli.

2.Sistem blokir pada situs. (Tinggal 'klik' langsung jadi.)

3.Tombol 'DEL', alias 'delete' pada keyboard.

4.Admin situs yang bisa Anda jadikan tempat mengadu. (Biasanya sih, admin yang baik dan benar akan memonitor dan menindak pelaku bullying, demi kenyamanan sesama pengguna.)

5.Tinggalkan situs yang bersangkutan. Sudah banyak yang melakukannya dan hidup mereka malah lebih baik.

Gampang, kan?

R.

Kamis, 13 Maret 2014

"SENYUMMU"

Tiada yang lebih menarik.
Hari-hari berjalan biasa.
Tak ada yang istimewa.
Tak ada yang bisa jadi cerita.

Tiada yang lebih menarik.
Semua tampak sama,
atau hanya kebosanan akut belaka?
Adakah yang berbeda?

Tiada yang lebih menarik.
Mungkin benar, aku hanya bosan setengah-mati.
Mata ini liar mencari-cari
sesuatu yang kata mereka belum pasti.

Tiada yang paling menarik,
selain melihat senyummu saat ini.
Tiba-tiba semangat bangkit dalam diri
berharap melihatmu esok hari.

R.

(Jakarta, 22 Februari 2014)

Senin, 03 Maret 2014

"BALADA SANG PENCERITA"

Wahai, sang pencerita:
Sampai kapan kau di balik layar?
Yang terdengar hanya suara samar
pelantun kisah yang tak jua kelar.

Halaman-halaman tertulis
tanpa pernah benar-benar habis.
Kapan kau beristirahat
meski sekedar melepas penat?
Mereka harus mengenalmu
meski tersamar di balik bayang kelabu.

Wahai, sang pencerita:
Mungkin ini saatnya
kau jadi tokoh utama.
Mereka harus rela bergantian
agar penonton tidak bosan
dan kamu pun dapat perhatian...

R.

(Jakarta, 11 Februari 2014)

"MENGAJARI MULUT KURANG AJAR"

Sabtu pagi, saya terburu-buru ke kantor. Hujan rintik-rintik berpotensi biang kemacetan. Saya takut terlambat.

Sayangnya, cobaan tidak sampai di situ saja. Lampu sen depan motor si tukang ojek tiba-tiba mati, hingga dia tidak berani mengantar saya terlalu jauh ke tengah kota. (Tumben, ternyata masih ada juga tukang ojek / pengendara motor yang patuh pada peraturan lalu-lintas.)

Meski terburu-buru, saya tidak sampai hati memaksa. Jadilah saya turun di pinggir jalan, di tengah guyuran hujan.

Tak lama, sebuah taksi putih* melintas. (*Saya memutuskan untuk tidak menyebut nama taksinya, mengingat saya masih percaya masih banyak supir taksi di luar sana.) Tanpa pikir panjang, saya langsung menyetopnya dan naik. (Sejak maraknya kasus kejahatan dalam taksi, saya selalu memilih duduk pas di samping supir saat naik taksi sendirian.)

"WUIH, GEDE BANGET!"

Saya kaget. Normalnya, supir taksi yang sopan (dan WARAS!) akan memberikan sapaan dan pertanyaan standar macam: "Selamat pagi/siang/sore/malam, Bu/Mbak. Mau kemana?" 

Sayangnya, pagi itu saya mendapatkan supir yang mulutnya...yah, begitulah. Kurang ajar, seperti tidak pernah dididik orang tua dengan baik dan benar serta masuk sekolah.

"Mbak gede banget, sih. Beratnya berapa?"

Oke, sayang sekali pagi itu saya sedang sangat terburu-buru. Kalau tidak, mungkin saya sudah meninju wajahnya yang - maaf - bopengan sebelum keluar dari taksi.

"Belum sampai tiga digit, kan?"

"Sial banget, salah masuk taksi!"  akhirnya saya tak tahan lagi dan membalas dengan pedas. "Ternyata supirnya comel, kepo (usil), dan sotoy (sok tahu) lagi!"

Supir taksi itu terdiam. Mungkin dia kaget, sama sekali tidak menyangka penumpang perempuan yang asal dia komentari ternyata marah dan berani membalas.

"Maaf deh, Mbak," katanya malu. Wajahnya langsung tampak memelas. "Saya 'kan cuma bercanda."

'Cuma bercanda'? Ha-ha, sepertinya masih ada yang terlalu - maaf - bodoh dan tidak pedulian untuk menyadari bedanya bercanda dengan menghina. Memangnya dia sudi saya katai - lagi-lagi maaf - 'muka bopengan'?

Untunglah saya masih ingat sopan-santun dan sadar harus mengerem mulut. Jangan sampai saya jadi ikut-ikutan seperti dia. Sama saja, dong!

"Sayang sekali, lelucon sampeyan busuk!" Tentu saja, saya tidak sampai berhenti di sana. Meski si supir taksi sudah tidak banyak mulut, tetap saja saya mengirim SMS keluhan kepada bagian pelayanan pelanggan yang nomornya tertera di pintu taksi:

"Mohon perhatian: untuk Sdr. XXX yang menyupiri Taksi XXX no.seri XXX pada pukul delapan pagi agar lain kali mengontrol mulutnya dengan tidak mengomentari berat badan penumpang, demi kenyamanan penumpang. Atas perhatiannya, terima kasih."

Sampai tujuan, argo menunjukkan nominal Rp.40.000. Saya berikan selembar lima puluh ribuan, berharap kembali sepuluh ribu.

"Aduh, Mbak - saya nggak ada kembalian sepuluh ribu," katanya dengan nada menyesal. Lalu dia memberikan selembar dua puluh ribu rupiah. "Nggak apa-apa deh, Mbak. Saya ikhlas, kok."

Ya, sudah. Lagi-lagi karena sedang terburu-buru, saya terima uangnya sebelum turun dari taksi. Toh, dia sudah bilang ikhlas.

Apakah saya kelewatan? Mungkin bagi yang tidak mengerti (atau malah enggan berusaha memahami) akan beranggapan demikian. Saya lebay-lah, kelewat sensi-lah, sadis-lah. Seolah-olah saya tak punya hak untuk marah atau membela diri, alias harus terima-terima saja.

Pertama, bukan saya yang memulai. Kedua, bahkan bila saya sebesar truk pun (untungnya tidak, jadi masih bisa muat naik taksi, hehe!), supir taksi itu - atau SIAPA PUN - sama sekali TIDAK BERHAK mengomentari apa pun tentang saya. Haha, memangnya dia siapa, sih? Kenal saya saja tidak. Lupa berkaca rupanya.

"Maklumlah, level pendidikannya nggak tinggi."

Oke, haruskah selalu dimaklumi? Haruskah selalu jadi alasan?

Menurut saya sih, tidak pernah ada kata 'terlambat' untuk mendidik mulut-mulut kurang ajar yang hobi berkomentar tanpa berpikir dulu - tanpa peduli kalau ucapan mereka yang sembarang keluar akan menyakiti orang lain. Terlalu serius? Masalahnya memang serius! Apalagi, entah kenapa, banyak yang melakukannya karena masih merasa 'berhak' (meski tidak jelas siapa persisnya yang memberi mereka hak berbuat demikian.)

Coba bayangkan: apa jadinya bila supir taksi tadi merasa bebas berkomentar apa saja pada penumpangnya - terutama yang PEREMPUAN? Apa iya semua orang bisa sabar dan cuek? Memangnya dia rela kalau entah istrinya/putrinya/ibunya/siapa saja juga dikomentari demikian?

Seperti biasa, silakan pikir sendiri.

R.

(Jakarta, 22 Februari 2014)