Senin, 29 Desember 2014

"DIA"

Dia merindukan masa kecilnya denganmu,
saat semua terasa begitu mudah.
Tak ada seteru.
Tak ada istilah menang-kalah.

Dia remaja pemberontak di matamu,
selalu sulit dipahami dan keras kepala.
Sadarkah dia cerminan dirimu di masa lalu?
Dia sedang meniti jalan hidupnya.

Kini, dia sosok dewasa nan sendu,
terlalu sedih dan lelah.
Kapan kalian akan berhenti berseteru
serta menjadi jiwa-jiwa asing yang resah?

Jangan sampai akhirnya kalian saling kehilangan.
tanpa berusaha mengerti maupun (kembali) menumbuhkan rasa sayang.
Ayah, anakmu sudah bisa memutuskan jalan hidupnya.
Relakan dia...

R.

(Jakarta, 27 Desember 2014)

Minggu, 21 Desember 2014

Jumat, 19 Desember 2014

"KAMU"

Banyak yang bilang, hidup ini selalu penuh dengan kompetisi. Suka nggak suka kamu tetap harus terima dan hadapi.
            Contohnya, dari kecil kamu sudah harus bersaing dengan saudara-saudaramu sendiri. (Yah, kecuali kalo kamu ternyata anak tunggal.) Siapa yang paling disayangi Papa dan Mama? Mungkin orang tuamu akan menyangkal habis-habisan:
            “Nggak, Papa dan Mama sayang kalian semua.” Mungkin benar, tapi pada kenyataannya – perhatian yang didapat tiap anak nggak selalu sama, kan? Hayo, ngaku aja, deh! Apalagi kalo salah satu ada yang BEGITU EGOIS hingga menyita perhatian semua orang, hingga yang lain harus tersingkir dan terpaksa mengalah.
            Ah, sudahlah. Nggak usah getir gitu. Cengeng amat, sih? Kan nggak semuanya harus selalu sama. Percaya deh, pasti ada alasan di balik itu, meski saat ini kamu belum paham atau bisa terima.
            Lalu, sekolah dan kuliah. Ah, selamat datang di sistem pendidikan berstandar. Ada kalanya, nilai 100 bukan pertanda dia pintar. Memang, ini dunia nyata. Jangan harap semua bermain sesuai aturan. Semua atas nama pencitraan, biar dianggap cerdas. Tak semua karena rasa malas. Ada yang frustrasi – bahkan hingga nyaris bunuh diri – karena bakat unik mereka tak terlihat, boro-boro mau diakui. Niat pendidik yang tak kalah lelah untuk memotivasi malah seperti penghakiman harga mati:
            “Kamu kenapa nggak bisa kayak dia, sih?”
            Ah, lagi-lagi. Bahkan dalam pergaulan sosial pun begitu. Ada yang percaya, populer berarti banyak teman. Ada yang percaya, kamu baru dianggap cantik / keren kalau sudah sekurus lidi, pake merk ternama, dandan seperti boneka porselen, hingga punya pacar ganteng – bahkan kalo bisa, BANYAK! Kalau tidak, lupakan saja.
            Maka itu, habislah uang jajanmu – bahkan untuk sesuatu yang tidak begitu perlu. Kamu panik setengah-mampus saat ukuran pinggangmu melenceng dari 27 ke 28, atau 29 ke 30, 31 ke 32, dan seterusnya. Waduh, gimana kalo si yayang sang pangeran tampan berpaling ke putri lain?
            Dunia kerja juga sama saja. Kadang niat baik saja tidak cukup. Masih saja ada yang berusaha keras menjegalmu, bahkan saat kamu sudah berbaik-baik dengan sesama dan berusaha tidak ikut campur urusan orang lain. Ah, itu biasa. Begitulah kalo hidup dikelilingi sosok-sosok gila drama. Tragedi seakan tiada habisnya.
            Capek? Apa iya, hidup harus selalu sesulit ini?
            Ah, nggak juga. Sebenarnya banyak yang bisa dipilah, kalo mata batinmu jeli terbuka.
            Boleh jadi Papa dan Mama sudah percaya dengan kemandirianmu, jadi kamulah yang lebih banyak dilepas sendiri. Dengan kata lain, kamulah yang sebenarnya sang pemenang. Lalu, ada kabar baik untukmu. Meski masih banyak ortu yang berharap anaknya jadi pengacara, dokter, atau ekonom...percayalah, dunia ini juga butuh guru, penulis, dan artis.
            Kamu dianggap payah karena nggak bisa kayak si A atau B? Terus kenapa? Kamu ya, kamu. Hanya ada satu kamu di dunia ini. Memangnya mereka bisa apa? Marah-marah karena nggak bisa terima kamu apa adanya? Ya, sudah.
            Teman banyak mudah dicari, tapi mana yang benar-benar sejati? Ada kalanya kamulah yang harus jadi sahabat terbaik bagi diri sendiri. Cowok ganteng itu keberatan dengan ekstra lemak di tubuhmu? Ya, tinggal olah raga, terus cari cowok lain yang lebih baik. Gampang, kan?
            Singkat cerita, hidup ini memang akan selalu penuh dengan kompetisi. Namun, percaya atau tidak, saingan terberatmu akan selalu berupa egomu sendiri.
            Kamu juga bisa selalu memilih. Mau terus berkompetisi, atau sesekali beristirahat dan mengalah. Toh, nggak selalu menang nggak berarti mati atau kehilangan harga diri...
            R.

            (Jakarta, 18 Desember 2014 – hasil dari Couchsurfing Writers’ Club Meeting di Anomali Cafe, Setiabudi One, pukul 20:00 – 23:00)

Minggu, 14 Desember 2014

4/11/2014 - 33

Hari itu ingin kuucapkan pada diri:
“Selamat datang di usia 33.”
Tak perlu muram atau bersedih hati.
Semua manusia pasti bertambah usia.

Dewasa...atau hanya tua?
Semua tergantung pilihan pribadi.
Ada yang masih merasa harus meraih segala.
Semoga tak lupa bersyukur pada pemberian Ilahi.

Biarkan mulut nyinyir bernyanyi:
“Belum dapat suami juga?”
Hidup lebih dari sekedar mencari tambatan hati.
Berbahagialah, selama masih berkarya dan berguna bagi sesama.

R.

(Jakarta, 13 Desember 2014)


Senin, 17 November 2014

"PERJALANAN ITU..."



Aku takkan pernah melupakan perjalanan kita pada waktu liburan itu...

“Kapan sih, kamu mau belajar menyetir?” gerutumu siang itu, sembari menyetir di jalanan sepi. “Kamu perlu bisa, lho.”

Aku mendesah kesal. Lagi-lagi topik itu, rutukku dalam hati. “Aku tahu,” ucapku akhirnya, sambil memalingkan muka. Aku enggan memandangmu setiap kali kita bertengkar, karena sungguh...secakep apa pun kamu, wajahmu tetap tidak enak dilihat kala merengut begitu. Tolong, deh. “Cuma belum ada waktu.”

“Terus kapan?” tuntutmu. “Dari tahun-tahun lalu, jawabanmu selalu itu.”

Ah, kamu. Aku ‘kan, sudah jutaan kali bercerita. Tentang kakak dan adikku yang jauh lebih jago menyetir. Tentang aku yang pernah nyaris menabrakkan mobilku ke arah bus yang tengah melaju, gara-gara meleng. Cukup traumatis. Setelah itu, bukannya makin didukung agar jangan mudah menyerah – Mama malah menepuk kepalaku sambil berkata:

“Nggak apa-apa, kamu jadi ibu bos aja. Biar orang lain yang menyetirimu kemana-mana.”

Entah kenapa, aku menangkapnya sebagai sindiran. Aku merasa gagal...

--- // ---

Aku takkan pernah melupakan liburan itu, saat dimana aku menyesal kenapa begitu mudah menyerah untuk belajar menyetir sampai bisa – tak peduli ucapan Mama dulu.

Kamu lelah. Ah, harusnya kita menepi dulu sore itu. Entah kenapa, meski lelah dan sering menggerutu oleh ketidakmampuanku menyetir, kamu tidak berhenti. Tanggung, katamu waktu itu. Lebih baik kita segera sampai tempat penginapan terdekat, agar dapat tidur lebih nyenyak di kasur. Tidur di mobil membuat lehermu pegal-pegal. Kamu tidak suka.

Aku hanya ingat cahaya lampu depan truk di depan kita – dan suara nyaring klakson sebelum benturan keras itu melemparkan kesadaranku dalam kegelapan...


Sudah setahun, namun masih terasa bagai kemarin. Sayang, kurasa kamu takkan sempat melihatku mulai belajar menyetir lagi, setelah sekian lama. Beruntunglah mereka menyediakan mobil khusus untukku, agar aku tidak perlu susah-payah turun dari kursi rodaku...

Senin, 03 November 2014

"JENDELA JIWAMU"

Andai aku dapat mengabadikan salah satu bagian terindah darimu, manakah yang akan kupilih? Jawabanku hanya satu: matamu.

Ya, matamu. Mata birumu yang indah, namun selalu tersaput misteri. Entah apa yang kerap hinggap di benakmu. Tak banyak yang tahu, tapi diam-diam aku sering memperhatikanmu. Sorot matamu kerap berubah-ubah. Seringnya tampak lebih dingin, sedingin es atau besi yang terlalu lama membeku. Mata yang mengingatkanku pada langit biru di Kutub Utara. Ah, aku memang suka sok tahu kadang-kadang, karena sebenarnya aku sendiri belum pernah ke sana. Aku hanya mengira-ngira, entah dari film-film yang pernah kutonton atau buku-buku yang kubaca. Gambar-gambar yang kulihat di lukisan atau foto-foto.

Tahukah kamu, butuh waktu teramat lama bagiku untuk menyadari warna matamu? Dua tahun, sebelum akhirnya aku benar-benar memperhatikan. Terkadang warna matamu seperti berubah, entah sedikit kehijauan atau...hazel. Mungkin aku yang kurang perhatian atau awas. Mungkin kaca matamu yang membuat perhatianku teralihkan – hingga sempat mengacaukan ingatanku tentang persisnya warna matamu.

Yang tidak mengenalmu dengan baik mungkin menyangka kamu selalu serius. Padahal, ada kalanya matamu bersinar hangat saat tertawa, entah karena menceritakan atau mendengar lelucon yang benar-benar lucu. (Sulitnya membuat orang cerdas tertawa – atau membuat lelucon yang bisa membuat orang cerdas tertawa!)

Kadang sorot matamu melembut, seperti saat menatap sosok yang kau cintai – atau menceritakan hal-hal yang menyenangkan. Atau saat kau mencoba menghiburku yang sedang menangis. Ada kalanya sorot matamu tak hanya tampak lembut, namun juga...rapuh. Mungkin kau percaya tak ada yang tahu – atau mungkin peduli – namun kesedihan dan kemarahanmu dapat tertangkap dengan jelas oleh mata batinku, bahkan kadang sebelum kau mulai bercerita mengenai apa yang tengah mengganggu benak dan hatimu. Amarahmu jarang menyala-nyala, kecuali bila mereka sudah kelewatan bagimu.

Kesedihanmulah yang paling nyata pedihnya. Saat kau bercerita tentang mantan kekasih yang enggan mengenalkanmu pada orang tuanya, hingga akhirnya kamu menyadari bahwa tidak akan pernah ada masa depan bagi kalian berdua. Saat teman-teman terbaikmu pindah kerja. Saat bercerita bahwa ya, kamu juga bersedih saat ayahmu meninggal – sama sepertiku...

Entah kenapa kamu hanya meneteskan air mata di depanku. (Mungkin juga tidak, aku tidak benar-benar tahu.) Ada beberapa dalihmu yang benar-benar kusuka saat itu terjadi, seperti:

“Ada debu di mataku.”

“Ah, aku harus membersihkan lensa kaca mataku. Kelilipan sama debu.”

“Aku nggak apa-apa.”

Dan aku tidak perlu mengatakan apa-apa, namun kita berdua tahu bahwa kamu tengah berbohong. Atas nama sopan-santun – dan mungkin juga gengsi – aku selalu menahan diri untuk tidak beranjak untuk memelukmu.

Kadang mata birumu membuat lututku lemas, sekaligus kaku pada saat bersamaan. Aneh, ya?

Waktu berlalu begitu cepat, terlalu singkat. Tinggal menghitung sisa hari-hari ini sebelum akhirnya kau beranjak pergi. Aku ingin sekali mengingatmu, terutama mata birumu. Aku ingin mengabadikannya agar tidak akan pernah lupa.

Masalahnya? Banyak. Aku tidak bisa menggambar. Aku tidak bisa memotretmu tanpa membuatmu curiga. Takutnya kau berpikir aku gila.


Yang paling parah? Aku tak pernah berani memandangmu lama-lama. Akankah benakku cukup untuk merekam semua ingatan tentangmu, terutama mata birumu?


Senin, 27 Oktober 2014

JUDUL : "CINTA DATANG TERLAMBAT"

Entah siapa atau apa yang harus kusalahkan. Mungkin tidak ada. Dua tahun kita bekerjasama dan saling mengenal, baru kali ini rasa itu datang. Rasa yang datang terlambat.

Rasa cinta...

Mengapa terlambat? Sederhana saja: rasa cinta ini baru muncul saat sebentar lagi kau akan pergi. Ya, kau yang telah lama lelah dan muak dengan hiruk-pikuk ibukota ini. Macetnya, banjirnya, hingga polusinya yang sempat membuatmu terserang radang tenggorokan parah. Celakanya, saat kau pulang ke negaramu dan berobat ke dokter di sana, dokter itu sampai menyuruhmu berhenti merokok.

Padahal, kita berdua tahu bahwa kau tidak pernah merokok. Tidak seperti almarhum ayahku yang kemudian berakhir menutup usianya akibat stroke. Kau salah satu orang tersehat yang pernah kukenal, bahkan jauh lebih sehat dariku. Sudah tak terhitung berapa kali kau menggantikanku di tempat kerja, bahkan sebelum aku memintanya. Katamu aku tak perlu merasa bersalah karena telah merepotkanmu.

Kurasa aku tidak berlebihan bukan, bila kusebut kau sebagai pahlawanku?

Terus terang, saat kau memberitahuku mengenai keinginanmu untuk pindah kerja ke Pulau Dewata mulai akhir tahun ini, aku gamang. Setelah itu, aku sempat menangis di kamarku malam itu hingga jatuh tertidur. Butuh waktu cukup lama untuk menyadari sesuatu:

Aku tidak ingin kehilanganmu...

“Main-main ya, ke Bali,” ajakmu waktu itu. Meski kuiyakan, kusadari bahwa semuanya akan berbeda nantinya. Tak ada lagi acara meminjam buku-buku darimu, membahas penulis-penulis favorit kita, hingga diam-diam menikmati pesona mata biru dan senyum hangatmu. Ah, begitu cepatnya waktu berlalu...

“Kau harus memberitahunya mengenai perasaanmu.” Begitu saran para sahabatku. Jujur, aku takut. Takut sekali. Aku begitu menghormatimu hingga khawatir kau akan menertawakanku...atau menganggapku terlalu agresif dan mengerikan. Namun, mereka tak henti menyemangatiku.

“Yang penting dia tahu dulu,” kata mereka. “Perkara dia merasakan yang sama atau tidak, itu urusan belakangan.”

Ah, sudahlah. Daripada aku mati penasaran, lebih baik kucoba. Karena masih tidak berani mengatakannya langsung di hadapanmu, kutinggalkan surat itu di mejamu. Andai kau menolakku, semoga kau tidak melakukannya di depan orang lain – atau bahkan dengan kasar hingga aku malu.

Tak lama, tiba juga saat itu. Malam itu, kita berjalan bersama, karena tujuan pulang kita searah. Kau tidak keberatan mengantarku duluan.

“Aku sudah baca.” Deg! Jantungku berdebar-debar keras, namun kau hanya tersenyum hangat padaku saat berkata:”Terima kasih, ya.”

“Oke.”

“Tapi maaf, aku lagi nggak mikirin itu.”

“Nggak apa-apa.” Aku balas tersenyum, meski ada segores pedih di hatiku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Kita harus realistis.


Tak semua mampu menjalani hubungan jarak jauh...


Sabtu, 25 Oktober 2014

"KANGEN"

Lagi-lagi aku merindukanmu,
wahai pemilik mata biru.
Senangkah kau sekarang di sana?
Legakah rasanya?

Dalam sunyi aku berdoa
semoga kau selalu bahagia.
Bertahap kuterima realita ini,
masih belajar merelakanmu pergi.

Ah, aku harus berhenti merasa sedih.
Toh, kita bukan sepasang kekasih
meski rasa ini begitu nyata
enggan mati, amat keras kepala.

Lagi-lagi ada yang tercipta
puisi yang lahir dari hampa.
Di sini, kerap kuhitung hari
sembari berharap, waktu segera membunuh rasa cinta di hati ini...

R.
(Jakarta, 25 Oktober 2014)

Jumat, 24 Oktober 2014

"DATANGLAH PADAKU!"

Datang, datanglah padaku!
Akan kujemput dirimu,
meski jarak begitu jauh.

Datang, datanglah padaku!
Dengan sabar kau kutunggu.
Aku janji takkan mengeluh.

Datang, datanglah padaku!
Kali ini kau tak lagi ragu.
Di tanah ini, kau tanam cinta yang kian tumbuh.

Datang, datanglah padaku!
Semoga kali ini tiada yang semu,
harapan kosong yang dapat membuat kita jatuh.

Datang, datanglah padaku!
Wahai, harapan baru...

R.
(Jakarta, 24 Oktober 2014)

Senin, 20 Oktober 2014

"MENGAPA SAYA TAK INGIN JADI PUTRI TIDUR..."

Saya tak pernah bermimpi
 menjadi seorang putri raja.
 Mau tahu kenapa? Saya terlalu gagah perkasa!
 Saya juga ogak kehilangan hari-hari
 sesuram bulan maupun secerah mentari
 di atas kasur apak yang tahunan tak tercuci. (Hiii!)

 Kelopak mata ini 'kan memberat.
 Jiwa ini bisa tua dan sekarat.
 Otak pun berkarat.
 Mental tak lagi kuat.

 Saya tak mau menunggu pangeran.
 Buat apa? Percuma!
 Buang-buang waktu saja!
 Saat ini, saya tidak butuh ciuman
 tapi tamparan dan tendangan
 supaya saya sadar
 sebelum penonton bosan dan keburu bubar.
 Tolong, bangunkan saya!
R.
(Jakarta, 26 April 2014)

"TRAGEDI BONEKA..."

Aku hanya ingin meminjam bonekanya sebentar. Seharusnya Dina nggak boleh pelit. Ibu hanya bisa ngasih satu, itu pun hasil dari berburu di Bantar Gebang – sembari mengumpulkan plastik untuk daur ulang. Boneka itu lalu dicuci di sungai sebelum diberikan pada kami.

Namun, Dina egois. Dia sama sekali nggak mau aku menyentuh boneka itu. Malam itu, Ibu lagi menerima tamu-tamu langganannya di rumah Mamah Eka. Aku dan Dina ditinggal berdua di rumah.

“Sini! Itu punyaku.” Kali ini, entah kenapa, aku bosan mengalah. Setelah tarik-tarikan boneka, dengan marah kudorong Dina hingga jatuh keluar jendela...dan kecebur sungai. Arusnya lagi deras.


Dina nggak bisa berenang...


Sabtu, 11 Oktober 2014

"CINTA DAN LUKA DI KASTIL SUNYI"

Aku mencintai kalian,
meski kalian kerap membuatku gila.
Kalian berkah sekaligus cobaan.
Mungkin aku sendiri juga sama.

Terlalu lama aku diam.
Terlalu lihai kalian berpura-pura.
Terlalu banyak yang dipendam.
Tolong, jangan bilang tidak ada apa-apa!

Di balik senyum, kita ibarat bom waktu berjalan.
Anggap saja (hanya) aku yang sakit jiwa.
Sandiwara ini mau sampai kapan?
Bangunlah, sebelum kita semua terlalu parah terluka.

Kita tak pernah benar-benar bicara.
Masalah yang nyata kita biarkan terbenam.
Kita hanya bertukar kabar sekenanya,
tanpa sudi mengenali bahaya yang mengancam.

Ah, cinta...
Mungkin aku terlalu kejam.
Betapa sulitnya untuk tidak membuat kalian terluka,
saat kukatakan bahwa mungkin kalian juga
penyebab jiwa ini menjadi kelam...

R.
(Jakarta, 9 Oktober 2014)

Rabu, 08 Oktober 2014

"ATAS NAMA CINTA"

“Tolong, Oom. Saya hanya pengen ketemu Vanya. Sebentar saja.”

Lelaki tua di hadapan Andre itu tidak bergeming. Matanya menyorot dingin, memicing. Sia-sia Andre berusaha membujuknya; keputusan Pak Victor sudah bulat. Beliau sama sekali tidak merestui hubungan Andre dengan putri semata wayangnya, Vanya. Alasannya klasik: perbedaan kelas sosial. Apalagi Vanya sebentar lagi akan dijodohkan dengan Alan, lelaki pilihan sang ayah yang putra tunggal sahabatnya yang pengusaha kaya. (Siapa sih, yang tidak mau?)

Di kamar, Vanya mendengar percakapan pendek itu dengan muka cemberut. Iiih, Ayah! Memangnya masih zaman Siti Nurbaya, dimana anak perempuan harus diam, manut menerima perjodohan paksa? Enak saja! Alasannya demi masa depan Vanya yang (katanya) bakalan ‘lebih cerah’. Idih, males! Padahal, Andre baik. Meski ayahnya tidak punya sepuluh mobil seperti ayah Alan (padahal, konyol – mengingat Jakarta macetnya sudah dalam taraf bisa bikin orang sakit jiwa!), Andre bukan pemalas – alias pekerja keras. Siapa tahu nantinya dia juga bisa sukses dan kaya, mungkin bahkan bisa jauh lebih kaya dari Alan yang bisanya cuma bermalas-malasan dan menyuruh-nyuruh semua orang seenaknya – mentang-mentang bapaknya orang kaya! Beda gitu, antara dia yang beneran kaya sama yang hanya numpang kekayaan orang tua.

Namun, semua cara sudah ditempuhnya. Dari menolak baik-baik, marah-marah, hingga aksi tutup mulut. Ayahnya sekeras batu, tidak pernah mau mendengar. Dipikir Vanya nggak bisa berpikir sendiri apa? Kan perempuan juga berhak memilih calon pendamping hidup sendiri!

Akhirnya, Vanya memilih cara paling drastis – yang diharapkan dapat mengubah pikiran ayahnya dan...bikin Alan dan keluarganya ilfil setengah-mati.

Pada jamuan makan malam berikutnya, Vanya dipanggil turun ke meja makan. Alangkah shock-nya semua orang saat mendapati gadis itu gundul. Ya, gundul. Kesal karena selama ini tidak pernah didengarkan, akhirnya Vanya nekat mencukur habis rambut ikalnya yang indah. Memang, ayahnya sukses muntab sampai mukanya pucat-pasi. Alan dan keluarganya langsung ilfil setengah-mati.

Sejak saat itu, Alan dan keluarganya tak pernah datang lagi. Ayahnya mendiamkan Vanya, tapi gadis itu tak peduli. Baru setelah ibu melerai mereka berdua, ayahnya akhirnya mau minta maaf dan mulai lebih mendengarkan permintaan putri semata wayangnya.

Bagaimana dengan Andre? Meski sempat ikutan shock saat melihat ulah kekasihnya, pemuda itu akhirnya tertawa.


“Nggak apa-apa, sayang,” katanya santai. Dibelainya kepala botak Vanya yang mulai kembali ditumbuhi rambut, meski masih sedikit-sedikit. “Toh nanti juga tumbuh lagi!”

"OSCAR"

“Maafkan aku.”

Kutatap Toby, sosok jangkung dan tampan di hadapanku, tanpa berkedip. Wajah tampannya tampak penuh penyesalan. Bahkan, bibirnya tampak bergetar sedikit – pertanda dia berusaha keras agar tidak menangis.

“Tamara, sumpah,” ucapnya lagi berkeras. “Aku sama sekali nggak tahu. Selama ini kukira dia mencintaiku.”

“Sama,” lanjutku, kali ini berusaha tenang. Maklum, di antara kami berdua, akulah yang paling tenang dan tidak mudah emosian – berlawanan dengan anggapan umum orang yang cenderung seksis tentang perempuan. Tapi...ah, mereka tahu apa, sih?

Berdua kami menatap sosok tampan lainnya yang kini terkapar tak bergerak di tanah. Darah telah mengering di kepalanya.

“Kukira Oscar juga mencintaiku,” ujarku pelan, seraya mengangkat bahu. Teringat bujuk-rayu lelaki itu yang sempat membuatku terlena – yang ternyata juga dia lampiaskan pada Toby, sahabatku. Aku bergidik oleh perasaan jijik.

“Mungkin dia sebenarnya mencintai kita berdua,” duga Toby. “Dia hanya tidak bisa memilih salah satu.”

“Atau mungkin, dia memang tidak mau memilih,” tukasku dingin. “Dia tidak ingin kehilangan kita berdua. Dasar buaya darat.”

Hening sesaat. Setelah kulempar pentungan yang penuh darah kering Oscar itu ke danau di samping kami, kugandeng Toby dan kami berdua pun pergi dari situ – meninggalkan jenazah Oscar di sana malam itu.

“Ah, sudahlah,” bujukku cuek. “Kita akan menemukan gantinya.”

“Iya.”

“Kalo lagi-lagi buaya darat, kita tahu harus berbuat apa.”

“Betul.”

Kami berdua pun tertawa. Sepasang sahabat yang kembali berdamai.


Rabu, 17 September 2014

"BIRU DALAM RINDU 2"

Waktu terlalu cepat berlalu,
terlalu singkat untuk hanya menunggu.
Aku tahu namanya masih di hatimu,
namun mau sampai kapan kamu tenggelam dalam biru?

Kutatap gadis dalam cermin itu.
Seperti biasa, lagi-lagi dia hanya membisu.
Matanya sendu.
Sosoknya kaku, bagai terjebak dalam waktu.

"Aku tahu,"
matanya seakan berkata padaku.
"Cinta ini begitu semu,
namun bukankah kau juga sama - merasakan pilu?"

Malam itu,
untuk kesekian kalinya kami berdua tergugu...

R.
(Jakarta, 15 September 2014)

Selasa, 16 September 2014

"RAMUAN AJAIB MIMPI INDAH"

Waktu terasa panjang dan lama sejak Sang Raja jatuh sakit. Kastil itu sekarang disebut sebagai Kastil Sunyi. Sang Raja telah kehilangan kemampuannya untuk berjalan maupun berbicara. Beliau lebih banyak duduk-duduk dan berbaring. Matanya tampak lelah. Sesekali mata itu meneteskan air mata.

Semua penghuni berduka. Sri Ratu tak lagi banyak tertawa. Tuan Putri lebih banyak berpura-pura bahwa semuanya masih sama, baik-baik saja. Pangeran Manis – anak termuda Sang Raja dan Sri Ratu, sekaligus pewaris tahta kerajaan di masa mendatang – berubah menua beberapa tahun dalam sekejap. Diam tak dapat menyembunyikan ketakutan yang tampak di matanya. Pangeran Manis belum siap, meski hanya dia satu-satunya putra dalam keluarga. Sri Ratu membutuhkannya lebih dari sebelumnya. Jangan sampai tahta dan seisi Kastil Sunyi jatuh ke tangan orang lain selain keluarga mereka.

Bagaimana dengan Penjaga Kastil? Putri kedua Sang Raja dan Sri Ratu yang terang-terangan menolak gelar – maupun perilaku khas – Tuan Putri ini lebih memilih menjadi Penjaga Kastil, meski jelas-jelas dia perempuan. Penjaga Kastil memilih melakukan semua yang bisa dilakukannya, terutama dalam rangka menyembunyikan luka hatinya. Mungkin karena  Penjaga Kastil memiliki kemampuan seorang empath (dapat merasakan emosi orang-orang di sekitarnya jauh lebih dalam daripada manusia normal pada umumnya, terutama bila orang-orang tersebut sangat dia sayangi dan begitu dekat dengannya), tragedi ini terasa lebih berat baginya. Tak hanya lebih banyak diam dan jarang tertawa, namun Penjaga Kastil juga lebih sering uring-uringan – dan dia berusaha keras menyembunyikannya dari semua orang.

Akibatnya, Penjaga Kastil banyak menebarkan aura – dan energi – negatif. Hanya beberapa teman sejati – biasanya sesama empath – yang tahan berdekatan dengannya. Kekasih terakhirnya kehilangan rasa sayang dan berpaling kepada gadis lain. Tidurnya tak lagi lelap. Tak hanya itu, Penjaga Kastil pun mulai ikut sering sakit-sakitan. Kadang yang muncul berupa sesak napas, kadang sakit kepala tak tertahankan. Kalau sudah begitu, Penjaga Kastil harus berbaring dan kehilangan sehari dalam hidupnya. Benar-benar menjengkelkan!

Ini sama sekali tidak bisa dibenarkan, pikir gadis pemberani itu dengan gusar. Bagaimana dia bisa melakukan tugasnya, menjaga semua orang dalam Kastil Sunyi itu, bila dia sering sakit-sakitan begini? Ini tidak boleh dibiarkan terus!

Namun, apa yang dapat dilakukan Penjaga Kastil? Semua orang punya masalah masing-masing. Tak banyak tempat untuk bercerita. Dia merasa sendirian. Apalagi, kerap Sang Raja memandangnya dengan mata basah oleh air mata, seakan ingin mengatakan sesuatu. Seakan ingin mengatakan banyak hal yang selama beliau masih dapat berbicara, beliau tak pernah sempat atau mau mengatakannya.

Hingga suatu saat, lewatlah seorang tabib di depan Kastil Sunyi. Entah apa yang membuat Penjaga Kastil tergoda untuk memanggil Sang Tabib dan meminta pengobatan yang paling manjur untuk baik ayahnya, Sang Raja, dengan dirinya. Apa pun akan dilakukannya untuk mengembalikan kebahagiaan dan kesehatan semua penghuni kastil itu seperti sedia kala, terutama agar kastil itu tidak lagi disebut sebagai Kastil Sunyi.

Sang Tabib setuju mengobati penyakit Penjaga Kastil. Namun, entah kenapa, Sang Tabib tidak begitu antusias saat diminta untuk mengobati Sang Raja juga.

“Penyakit Paduka sudah berlangsung terlalu lama,” ucap Sang Tabib, saat memeriksa kesehatan Sang Raja di tempat tidur. Saat itu, Sang Raja sudah sangat kurus sekali dan nyaris kehilangan selera makan. Tak hanya itu, beliau mulai sering kehilangan kesadaran. "Entah apa obat-obatan hamba dapat cukup membantu.”

“Tolonglah, Tabib,” pinta Penjaga Kastil putus-asa. Tuan Putri menangis, sementara Pangeran Manis tampak pucat-pasi dalam diamnya. Anehnya, hanya Sri Ratu yang tampak luar biasa tenang. Penjaga Kastil menatap ibunya yang seakan mengangguk paham pada Sang Tabib. Entah kenapa, ada perasaan tak enak merambat di dalam hati.

“Baiklah,” akhirnya Sang Tabib mengalah. Dikeluarkanlah dua botol ramuan – satu untuk Sang Raja dan satu untuk Penjaga Kastil. Anehnya, beliau tidak memberi apa pun bagi Sri Ratu, Tuan Putri, maupun Pangeran Manis. Namun saat ditanya oleh Penjaga Kastil, dengan tenang Sang Tabib menjawab:

“Ampuni hamba, namun hamba hanya memberikan pengobatan kepada yang membutuhkan.”

Meski masih merasa heran dalam hati, anehnya Penjaga Kastil tidak bertanya lagi. Diterimanya botol itu dengan kening berkerut. Lalu, dengan sabar Sang Tabib menjelaskan:

“Itu ramuan mimpi indah,” ucapnya. “Dengan meminumnya seteguk sekali setiap malam sebelum tidur, maka Paduka Putri dapat tidur lelap dan tidak merasakan sakit yang mengganggu. Bahkan, Paduka dapat bertemu dan berbicara dengan siapa pun yang Paduka inginkan dalam mimpi.”

“Lalu bagaimana dengan botol itu?” tanya Penjaga Kastil, melihat botol yang satu lagi untuk ayahnya. “Untuk apa?”

“Yang itu sama,” jelas Sang Tabib, masih dengan sabar. Setelah itu, Sang Tabib mohon diri. Hanya beberapa saat setelah keluar dari kastil, sosoknya lenyap dengan cepat.

Malam itu juga, Penjaga Kastil yang penasaran akan khasiat obat itu segera mencobanya. Setelah sekali teguk, dia pun jatuh tertidur dan bermimpi.

Dalam mimpi itu, Penjaga Kastil bertemu Sang Raja di sebuah taman yang sangat indah. Bidadari berpakaian serba putih berlarian, bermain gembira. Penjaga Kastil melihat ayahnya sehat-walafiat, kembali seperti sediakala. Beliau dapat berjalan dan berbicara, tersenyum dan tertawa. Tak ada lagi air mata. Keduanya mengobrol seperti biasa, seperti dulu sebelum sakit mencuri gerak dan suara Sang Raja dan mengubah semuanya.

Karena itulah, Penjaga Kastil tak bahagia saat terbangun dari tidurnya. Saat ke kamar Sang Raja, tampak beliau kembali seperti sebelumnya – sakit dan terbaring tanpa daya. Merasa kecewa, Penjaga Kastil tak sabar menanti malam. Kembali dia meneguk ramuan mimpi indah.

Mimpi kedua juga sama. Kali ini, Penjaga Kastil dan Sang Raja berbincang-bincang tentang buku kesukaan mereka. Sama seperti waktu Penjaga Kastil masih kecil.

Namun, seperti sebelumnya, mimpi itu berlangsung begitu singkat. Kembali Penjaga Kastil terbangun dengan perasaan sedih dan kecewa. Bukankah seharusnya obat itu juga menghilangkan rasa sakit Sang Raja? Mengapa kondisi beliau masih tetap sama? Kembali Penjaga Kastil tak sabar menanti malam berikutnya.

Namun, alangkah terkejutnya dia saat menyadari bahwa isi botol itu tinggal seteguk. Apa yang akan terjadi bila dia menghabiskannya? Akankah kali ini Sang Raja benar-benar sembuh, karena Sri Ratu juga menunjukkan bahwa isi botol ramuan mimpi indah untuk Sang Raja juga sudah tinggal seteguk.

Merasa putus-asa dan tidak punya pilihan lain, akhirnya Penjaga Kastil itu menghabiskan isi botol ramuan mimpi indah miliknya. Kembali dia bertemu Sang Raja dalam mimpinya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Sang Raja tidak lagi berbicara. Beliau hanya tersenyum lembut saat menggandengnya keluar dari taman itu. Di luar gerbang, tampak sosok Sri Ratu, Tuan Putri, dan Pangeran Manis menantinya.

Penjaga Kastil berpaling pada ayahnya dengan tatapan bingung. Namun, Sang Raja hanya tersenyum lembut sebelum mengecup keningnya. Lalu beliau mendorong Penjaga Kastil agar segera menghampiri keluarga mereka.

“Ta-tapi...” Penjaga Kastil kembali menoleh. Jantungnya berdebar-debar keras sekali saat menyadari Sang Raja tak lagi berada di belakangnya. Taman yang indah itu juga hilang.

Dan Penjaga Kastil pun terbangun, kali ini dengan rasa takut yang luar biasa. Benar saja, saat berlari ke kamar Sang Raja – tampak penghuni seisi Kastil Sunyi berada di sana. Tuan Putri menangis keras. Pangeran Manis menyeka air matanya, masih dalam diam. Sementara itu, Sri Ratu hanya duduk di samping suaminya yang kali ini tak lagi bernyawa. Wajahnya tampak tenang oleh rasa rela, meski pedih masih di sana.

“Sang Tabib bohong!” pekik Penjaga Kastil penuh amarah. Air matanya berderai-derai. “Katanya obat itu dapat menghilangkan rasa sakit!”

“Lihat ayahmu, nak,” pinta Sri Ratu dengan tenang. Tetes-tetes air matanya mulai menitik, meski beliau masih berusaha tersenyum. “Sang Tabib sama sekali tidak berbohong.”


Penjaga Kastil tertegun. Sang Raja tampak seperti tersenyum dalam tidurnya. Tak hanya itu, beliau tidak lagi tampak kesakitan...

Jumat, 12 September 2014

"BIRU DALAM RINDU"

Rindu ini sangat mengganggu
ibarat aksara yang gagal berkumpul,
kalimat gagal terbentuk hingga ingin mengutuk
benak membuntu
lidah kelu.

Ah, rindu...
aku lelah dan muak oleh hadirmu.
Kukira kau akan berhenti merisaukanku.
Aku ingin bisa merelakan sosok itu berlalu.

Bagaimana bila aku masih merindukannya,
bahkan saat dia ada?
Setiap kepergiannya menuai badai menyiksa.
Hadirnya pun sama saja,
meski bercampur bahagia.

Aku hanya ingin berhenti merindukannya!

R.
(Jakarta, 12 September 2014)

Rabu, 10 September 2014

"CUKILAN SISA WAKTU DENGANMU"

Akankah seperti ini?
Kita hanya bisa bertemu sesekali
sebelum berjalan sendiri-sendiri
meski namamu masih di hati.

Kukira aku sudah siap,
meski langkahmu kian mantap,
keputusanmu tetap
sementara diam-diam aku gelisah dalam lelap.

Ah, perubahan.
Aku tahu saatnya melepaskan,
meski belum sepenuhnya merelakan.
Tuhan, akankah rindu selalu senyeri ini saat bersemayam?

Suka tidak suka,
aku harus terima.
Waktuku semakin sedikit untuk menikmati senyummu,
memandang mata birumu,
sebelum masing-masing dari kita berbalik arah dan berlalu...

R.
(Jakarta, 10 September 2014)

Minggu, 17 Agustus 2014

"MALAM INI..."

Malam ini,
aku hanya ingin sendiri
- seperti malam-malam sebelumnya
dimana aku sudah (terlalu?) terbiasa.

Kata mereka,
ini berbahaya.
Lalu kenapa?
Memangnya aku tak boleh bebas merdeka?

Aku hanya ingin bebas dari sedih,
lepas dari perih.
Mengapa patah hati harus disesali?
Patah hati tak berarti mati!

Maka itu,
Tuhan, mohon bunuhlah rasa ini.
Jika dia memang bukan untukku,
jika kami memang terlalu berbeda untuk bersatu,
rasa ini tak ada gunanya lagi!

R.
(Jakarta, 15 Agustus 2014)

Jumat, 15 Agustus 2014

"REALITA KITA"

Ini realita kita.
Kau masih terluka.
Aku tahu kau butuh waktu lama.
Entah kapan kau akan pulih segera.

Ini realita kita.
Di hati ini ada cinta.
Sayang, cinta tak selalu penjamin segala,
karena cinta belum tentu artinya bisa bersama.

Ini (masih) realita kita.
Ah, akankah bisa berbeda?
Kita hanya dua jiwa kesepian yang mengembara
berusaha mengobati luka dengan gila kerja.

Ah, realita.
Akankah ada jalan untuk kita?
Akankah jalan kita malah berbeda?

R.
(Jakarta, 11 Agustus 2014)