Banyak
yang bilang, hidup ini selalu penuh dengan kompetisi. Suka nggak suka kamu
tetap harus terima dan hadapi.
Contohnya, dari kecil kamu sudah
harus bersaing dengan saudara-saudaramu sendiri. (Yah, kecuali kalo kamu
ternyata anak tunggal.) Siapa yang paling disayangi Papa dan Mama? Mungkin
orang tuamu akan menyangkal habis-habisan:
“Nggak, Papa dan Mama sayang kalian
semua.” Mungkin benar, tapi pada kenyataannya – perhatian yang didapat tiap
anak nggak selalu sama, kan? Hayo, ngaku aja, deh! Apalagi kalo salah satu ada
yang BEGITU EGOIS hingga menyita perhatian semua orang, hingga yang lain harus
tersingkir dan terpaksa mengalah.
Ah, sudahlah. Nggak usah getir gitu.
Cengeng amat, sih? Kan nggak semuanya harus selalu sama. Percaya deh, pasti ada
alasan di balik itu, meski saat ini kamu belum paham atau bisa terima.
Lalu, sekolah dan kuliah. Ah,
selamat datang di sistem pendidikan berstandar. Ada kalanya, nilai 100 bukan
pertanda dia pintar. Memang, ini dunia nyata. Jangan harap semua bermain sesuai
aturan. Semua atas nama pencitraan, biar dianggap cerdas. Tak semua karena rasa
malas. Ada yang frustrasi – bahkan hingga nyaris bunuh diri – karena bakat unik
mereka tak terlihat, boro-boro mau diakui. Niat pendidik yang tak kalah lelah
untuk memotivasi malah seperti penghakiman harga mati:
“Kamu kenapa nggak bisa kayak dia,
sih?”
Ah, lagi-lagi. Bahkan dalam
pergaulan sosial pun begitu. Ada yang percaya, populer berarti banyak teman.
Ada yang percaya, kamu baru dianggap cantik / keren kalau sudah sekurus lidi,
pake merk ternama, dandan seperti boneka porselen, hingga punya pacar ganteng –
bahkan kalo bisa, BANYAK! Kalau tidak, lupakan saja.
Maka itu, habislah uang jajanmu –
bahkan untuk sesuatu yang tidak begitu perlu. Kamu panik setengah-mampus saat
ukuran pinggangmu melenceng dari 27 ke 28, atau 29 ke 30, 31 ke 32, dan
seterusnya. Waduh, gimana kalo si yayang sang pangeran tampan berpaling ke
putri lain?
Dunia kerja juga sama saja. Kadang
niat baik saja tidak cukup. Masih saja ada yang berusaha keras menjegalmu,
bahkan saat kamu sudah berbaik-baik dengan sesama dan berusaha tidak ikut
campur urusan orang lain. Ah, itu biasa. Begitulah kalo hidup dikelilingi
sosok-sosok gila drama. Tragedi seakan tiada habisnya.
Capek? Apa iya, hidup harus selalu
sesulit ini?
Ah, nggak juga. Sebenarnya banyak
yang bisa dipilah, kalo mata batinmu jeli terbuka.
Boleh jadi Papa dan Mama sudah
percaya dengan kemandirianmu, jadi kamulah yang lebih banyak dilepas sendiri.
Dengan kata lain, kamulah yang sebenarnya sang pemenang. Lalu, ada kabar baik
untukmu. Meski masih banyak ortu yang berharap anaknya jadi pengacara, dokter,
atau ekonom...percayalah, dunia ini juga butuh guru, penulis, dan artis.
Kamu dianggap payah karena nggak
bisa kayak si A atau B? Terus kenapa? Kamu ya, kamu. Hanya ada satu kamu di
dunia ini. Memangnya mereka bisa apa? Marah-marah karena nggak bisa terima kamu
apa adanya? Ya, sudah.
Teman banyak mudah dicari, tapi mana
yang benar-benar sejati? Ada kalanya kamulah yang harus jadi sahabat terbaik
bagi diri sendiri. Cowok ganteng itu keberatan dengan ekstra lemak di tubuhmu?
Ya, tinggal olah raga, terus cari cowok lain yang lebih baik. Gampang, kan?
Singkat cerita, hidup ini memang
akan selalu penuh dengan kompetisi. Namun, percaya atau tidak, saingan
terberatmu akan selalu berupa egomu sendiri.
Kamu juga bisa selalu memilih. Mau
terus berkompetisi, atau sesekali beristirahat dan mengalah. Toh, nggak selalu
menang nggak berarti mati atau kehilangan harga diri...
R.
(Jakarta, 18 Desember
2014 – hasil dari Couchsurfing Writers’ Club Meeting di Anomali Cafe, Setiabudi
One, pukul 20:00 – 23:00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar