Sabtu, 29 Agustus 2015

#CSW-CLUB DIARIES 6: "TEMPAT FAVORIT"

Apa tempat favorit Anda? Seperti biasa, jawaban tiap orang pasti berbeda. Ada yang bisa menyebut satu, beberapa, hingga: “Banyak!” Untuk jawaban terakhir, biasanya karena kesulitan memilih. Begitulah bila Anda kebetulan sangat suka jalan-jalan dan sudah pernah mengunjungi banyak tempat yang indah-indah.
            Apa alasan Anda memilih suatu tempat sebagai tempat favorit? Sama seperti pertanyaan sebelumnya, jawaban bisa beragam. Namun, alasan emosional menempati urutan pertama. Kebanyakan mengaitkan tempat favorit mereka dengan kehadiran sosok-sosok tercinta atau orang-orang terpenting dalam hidup mereka, seperti: keluarga, sahabat, hingga pasangan. Lagipula, bukankah kita sudah sering mendengar ungkapan “Home is where the heart is”? Dimana pun mereka berada, semua akan tampak indah bila hati merasa sungguh-sungguh bahagia. Meski tinggal di istana emas paling besar pun, tak ada gunanya bila hati merasa tidak bahagia alias terpenjara. (Jiahh!)
            Tapi ya, lagi-lagi bahagia itu masalah pilihan. Seperti kata seorang kawan: “Sebenarnya, kalau mau lebih jeli melihat, tidak ada pilihan yang benar-benar baik atau pun buruk. Semua hanyalah masalah persepsi.” Pemikiran yang positif dan brilian, meski mungkin bagi sebagian orang lainnya akan terdengar begitu utopis – alias tidak objektif maupun realistis. Dengan kata lain: in denial (dalam penyangkalan). Mungkin akan ada yang membantah begini: “Kalau kenyataannya emang lagi jelek, ya jelek aja. Nggak usah berlagak nggak ada apa-apa alias semuanya baik-baik aja!”
            Kalau seseorang sudah merasa cukup berbahagia berada di tempat paling sederhana yang mungkin bagi yang lain termasuk ‘enggak banget’, lalu siapa kita yang (merasa) berhak menghakimi pilihan hidup mereka? Begitu pula sebaliknya. Ngakunya sih, sudah merasa cukup puas dengan standar hidup sendiri yang sudah ada, alias nggak mau berusaha meningkatkan kualitas atau ‘naik kelas’. Tapi, diam-diam – atau mungkin malah terang-terangan – malah nyinyir sama mereka yang (dianggap) hidup ‘berlebihan’ serta doyan banget jalan-jalan kemana-mana. Kok malah jadi ngatur-ngatur dan memaksakan selera? Kalau pun tidak suka atau sepaham, ya cuekin saja selama nggak ada yang saling mengganggu! Yakin, situ sudah beneran ‘ikhlas’ dengan realita yang ada?

            R.

            (Jakarta, 29/8/2015 – 19:00. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 27 Agustus 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee – Setiabudi One, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tema: “Tempat Favorit”.)

"TIDURLAH, TIDUR..."

Selamat malam, sayangku.
Tidurlah yang lelap,
meski banyak yang menggayuti benakmu.
Berusahalah untuk nyenyak.

Esok 'kan datang.
Hari lain 'kan kita jelang.
Untuk saat ini, biarkan jiwamu bebas mengembara
ke dunia mimpimu yang seluas alam raya...

R.
(Jakarta, 29 Agustus 2015 - 11:15)

Rabu, 26 Agustus 2015

#CSW-CLUB DIARIES 5: "PERMAINAN"

Siapa yang suka main? Pasti banyak yang tunjuk tangan. Tak hanya anaka-anak, sepertinya semua kalangan suka. Entah bagaimana ceritanya bila sampai ada yang tidak suka atau belum pernah bermain apa pun seumur hidupnya.
Main apa? Setiap orang pasti punya permainan favorit masing-masing. Mau main sendiri, sama orang lain, atau per grup? Terserah dan pasti ada saja macamnya. Mulai dari permainan-permainan angkatan 'lama' macam petak umpet, benteng, hingga board games macam catur, halma, ular-tangga, monopoli, dan sebagainya. (Kalau sekarang mungkin lebih banyak yang main online games.)
Ada juga yang memilih olah raga sebagai permainan, tidak sekedar menyehatkan badan. Apa saja jenisnya, selama yang melakoni senang.
Bagaimana dengan yang lainnya?
Ada yang bilang, hidup ini ibarat permainan. Ada yang memilih ikut aturan (layaknya anak baik-baik) agar menghindari kesulitan dan pelanggaran. Ada juga yang memilih mencari-cari 'celah' untuk dilanggar, terutama dengan alasan klise: hanya ingin bersenang-senang. Sekedar cari tantangan. Ah, mumpung masih muda. Hidup cuma sekali. Kapan lagi?
Ada yang cepat ketahuan dan langsung dapat ganjaran. Ada yang lama sebelum akhirnya menerima hukuman.
Ada yang lolos? Ah, tidak juga. Kata siapa? Bukankah Tuhan Maha Kuasa? Justru lebih ngeri lagi, kalau bayarnya di akhirat sana...
Seorang kawan pernah menyayangkan fakta menyedihkan ini: kadang orang hobi mempermainkan orang lain. Mulai dari sekedar bercanda yang konsekuensinya ringan (seperti bikin bingung dan kesal si objek penderita) hingga yang paling merugikan, bahkan mencelakakan diri sendiri maupun orang lain. Yang sering terlupa hanya satu fakta di bawah ini:
Karma berbicara.
Bisa jadi, suatu saat giliran kita yang dipermainkan orang lain. Jangan sampai nanti ada yang berkomentar begini sama kita:
"Are you playing the game or is the game playing you?" (dari film "Romeo Must Die")
R.
(Jakarta, 23/8/2015 – 14:00. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 20 Agustus 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee – Setiabudi One, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tema: “Permainan”.)

Selasa, 25 Agustus 2015

"CINTA MANUSIA"

Kau tak tahu
badai yang senantiasa berkecamuk di balik senyumku
Biarlah sunyi ini menenangkanmu
agar tiada ragu maupun pilu

Jangan siksa aku dengan air matamu
meski hati ini tak selalu setuju
'Kan kusembunyikan cemas dan takutku
hanya agar kau tak lagi tergugu

Semoga Tuhan mengampuni kelemahan dan kesalahan kita
manusia biasa yang tak henti jua menuai murka

Terlalu banyak dosa yang harus ditanggung,
sebanyak pertanyaan yang sulit terjawab
semua atas nama cinta
yang kata mereka seharusnya tak pernah ada...

R.
(Jakarta, 23 Agustus 2015 - 12:00 )

"SENYUM BULAN SABIT-MU"

Entah sejak kapan aku berubah menjadi pelukis bulan. Mungkin sejak aku bertemu denganmu. Mungkin juga sejak tanpa sengaja aku membaca status Twitter seseorang tentang bulan sabit...atau mendengar lagu “Firasat”-nya Marcell (yang kemudian dinyanyikan lagi oleh Raisa) :
            “Bulan sabit melengkungkan senyummu...”
            Lalu aku mulai bertanya-tanya pada diri sendiri: apakah memang senyummu seperti itu? Ibarat bulan sabit di tengah gelapnya langit. Setiap malam aku memandang ke atas, mencari-cari bulan. Kadang dia tampak, kadang tertutup awan. Tergantung cuaca hingga polusi ibukota.
            Setelah itu, aku akan menyimpan ingatan tentang bulan itu dalam benakku. Namun, entah kenapa, setiap kali aku berusaha melukiskannya, hasilnya tidak pernah benar-benar mirip aslinya. Bulan sabit, bulan separuh, hingga bulan purnama...semuanya. Hasilnya sama saja; tidak ada yang beres.
            Kusadari bahwa aku selalu memikirkanmu setiap mencoba melukis bulan. Mengapa? Mungkin karena banyak hal yang sepertinya berkaitan dengan bulan. Seperti kita yang dulu sering bertemu di malam hari. Kamu yang sesekali suka memandangi bulan saat kita berbicara. Senyummu yang memang mengingatkanku pada bulan sabit, terutama karena deretan gigi putihmu yang rapi dan kulit legammu. Pipimu yang tidak halus-halus amat karena jerawatan. Yah, lagi-lagi mirip permukaan bulan. Lucunya, aku tidak peduli. Kamu lucu dan selalu dapat menghiburku. Seperti saat bulan purnama yang anehnya selalu mengingatkanmu pada salah satu episode “Sesame Street” yang pernah kau tonton waktu kecil dulu. Cookie Monster menganggap bulan purnama mirip dengan kue kesukaannya, sehingga terobsesi untuk memakannya. Maka, naiklah dia ke atas roket dan melaksanakan niatnya.
            Lalu, apa yang terjadi? Setelah memakan habis bulan purnama, dunia di sekeliling Cookie Monster mendadak gelap-gulita! Rupanya bulan memang tidak boleh (dan tak mungkin pula) dimakan, karena merupakan sumber cahaya di malam hari.
            Untunglah, Cookie Monster hanya bermimpi.
            “Kamu aneh,” tawa dan komentarku waktu itu. Kamu sendiri hanya nyengir dan menjawil daguku dengan gemas.
            “Tapi kamu suka, ‘kan?”
            Ah, ya. Tentu saja.
            Kau hanya menghilang setiap suamiku pulang dari penerbangannya. Tentu lebih baik memang begitu. Sayangnya, tak semudah itu aku melupakanmu. Aku rindu, meski sebaiknya dia memang tak pernah tahu. Ini tak mudah bagiku.
            Karena itulah aku mulai sering melukis bulan. Aku tak mungkin melukis wajahmu di depan dia, suamiku yang sebenarnya tampan – namun lama-kelamaan tampak bosan...dan membosankan...


           
            R.

            (Jakarta, 24 Agustus 2015)

Selasa, 18 Agustus 2015

"KISAH BARUKU (YANG TAK PERLU KAU TAHU)"


Jadi, kau ingin tahu tentangku? Apa saja yang ingin kau tahu?
            Mengapa kau begitu ingin tahu? Apa untungnya bagimu? Apakah kau sedang berusaha mencari-cari ‘cacat’-ku?
            Maaf, aku bukan siapa-siapa. Aku bukan selebriti ternama, apalagi sang primadona. Aku bahkan tidak tahu caranya menjadi diva. Aku mungkin punya cukup banyak akun social media dan kuyakin aku bukan satu-satunya. Tak ada yang istimewa.
            Lalu, apa yang masih ingin kau tahu tentangku? Kenapa? Untuk apa, sih?
            Kalau kau ingin mencari tahu lewat update akun social media-ku, silakan. Selamat berburu. Kurasa kau akan kecewa, karena tidak banyak lagi yang bisa kau temukan. Tak banyak yang ingin kuceritakan. Untuk apa? Tidak semua perlu kau tahu. Tidak semua harus kubuka pada seluruh dunia. Jika memang demikian adanya, apa lagi yang akan tersisa dariku? Aku bukan milik mereka. Tak seharusnya aku jadi ‘konsumsi’ semua orang, terutama mata-mata yang ‘lapar’ dan ‘haus’ akan drama dan sensasi belaka. Mata-mata yang akan mencari-cari aibku untuk kemudian disebar kemana-mana – semata-mata hanya agar aku terpuruk begitu rendah dan hina, sementara mereka akan tertawa. Ya, tawa puas nan beringas akan nasibku yang (menurut mereka) naas.
            Apakah kau salah satunya? Aku tahu, tuduhan ini takkan pernah sudi kau terima. Andai saja, kali ini aku masih bisa percaya.
            Mengapa? Semua sudah berubah; tidak lagi sama. Kita tidak mungkin lagi bisa seperti sedia kala.
            Dulu kita memang pernah dekat. Saling berbagi cerita, suka dan duka. Masalah keluarga, teman, pekerjaan, hingga cinta. Semuanya. Katamu kita sahabat dan akan selalu demikian selamanya. Kau juga berjanji sama pada mereka.
            Kini, semua tak lagi sama. Tidak bisa. Hanya itu yang kurasa dan aku bukan satu-satunya. Mereka juga. Terus-terang, saat ini kami tak begitu peduli bila kau marah dan terluka. Karenamu, sudah banyak drama yang tidak perlu namun tercipta. Karena itu, kami pun lama-lama lelah dan gerah. Kau paling tidak sudi mengalah.
            Maafkan aku. Maafkan kami yang lama-lama tidak sabar dan (terlalu) lelah menghadapimu. Cukuplah kau tahu aku yang dulu, hanya agar kau selalu (merasa) benar. Aku yang waktu itu sering merasa kesepian di tengah keramaian, sulit dimengerti orang. Aku yang kau anggap cengeng dan lemah tak berdaya, tidak bisa dan tidak mengerti apa-apa.
            Aku yang bagimu seperti tidak tahu terima kasih dan balas budi. Baiklah. Terserah kamu. Sudah lebih dari cukup kulihat banyak posting-mu di social media yang bernada ‘menjatuhkan’ semua yang pernah membuatmu kecewa, baik sengaja atau tidak. (Termasuk aku, tentunya.) Percuma juga bila dulu kita sudah saling memaafkan, bila pada akhirnya kau selalu mengungkit-ungkit cerita lama. Kukira kau sudah rela.
            Mungkin bagimu penting untuk mendapat perhatian seluruh dunia. Maka itu, jangan marah bila aku – dan yang lain – pada akhirnya enggan berbagi cerita. Cukup tahu sekedarnya. Semua berhak punya rahasia.
            Masih ingin tahu tentangku? Sama seperti manusia pada umumnya, aku pun tak sempurna. Namun, aku tak perlu mengaku dosa padamu. Cukup Tuhan yang tahu. Kamu cukup tahu bahwa aku baik-baik saja...dan masih mendoakanmu agar menemukan cara untuk bahagia, tanpa mencari-cari pihak lain untuk dicela.

            Tertanda,

            -Mantan Sahabatmu-

"MERAH"

Merah ini bukan sekedar darah,
namun hati yang diliputi amarah.
Inilah dirimu yang ingin merdeka.

Merahmu membara,
mempesona sekaligus membutakan mereka.
Ada rasa terancam dari jiwa-jiwa yang tak terima.

Ah, apa salah si merah?
Hanya rasa percaya diri yang istimewa.
Mengapa pula mereka harus usil dan tak suka?

Merah juga warna cinta,
hati yang penuh hasrat terbuka.
Seharusnya ada yang bahagia,
bukannya berduka dan terluka.

Haruskah kau mengganti merah dengan putih,
yang kata mereka lebih suci
meski diam-diam merintih?

Merah tak selalu noda
atau pun hasrat tercela.
Untuk apa mereka menghina,
bila mereka juga memilikinya?

Merahmu adalah kejujuran sejati,
meski kalah dengan putih sang lambang suci.
Namun, putih tak pernah abadi.

Setialah dengan merahmu.
Kau bukan penggoda, hanya tangguh dalam hidup berliku.
Luka pasti ada, setajam sembilu.

R.
(Jakarta, 15 Agustus 2015 – 23:00 – 00:00. Dari #puisimalam nulisbuku.com bertopik: "MERAH".) 

Senin, 17 Agustus 2015

#CSW-CLUB DIARIES 4: "DALAM KERUMUNAN"

Pernah mendengar istilah "Sendirian dalam kerumunan" (alone in the crowd)? Ingat, sendirian bukan berarti kesepian (lonely).
Mungkin, bagi yang belum terbiasa, sendirian di tempat ramai (alias pergi tanpa kenalan, keluarga, teman, atau pasangan) akan terasa 'kagok' pada awalnya. (Sayangnya, hal ini banyak dialami kaum Hawa, makanya di sini saya merasa sedih...dan bukan kadang-kadang lagi!) Belum lagi fakta bahwa tidak semua bisa secuek itu. Ada yang langsung merasa risih saat dilihat segerombolan manusia lain hingga bete saat dicap 'aneh'. (Lagian ngapain juga ngurusin orang lain - terutama yang nggak saling kenal?)
Yah, selama nggak mengusik atau menyakiti orang lain di ruang publik, maka sah-sah saja bila (lagi) ingin sendirian. Semua tergantung keperluan. Ada juga yang mengatasnamakan kemandirian. ("Kalau mau kemana-mana harus dikawal terus atau nunggu ada yang bisa nemenin, kapan perginya?")
Begitulah. Bila sampai ada yang menyangka Anda tidak punya teman cuma gara-gara (lebih) sering terlihat sendirian di kerumunan, biarkan saja. Justru Anda patut berbangga dengan kemandirian Anda. Biarkan mereka yang sepertinya harus selalu bersama orang lain hanya untuk menunjukkan eksistensi diri.
Sendirian di keramaian juga dapat memperkaya pengalaman hidup Anda. Tidak percaya? Mungkin sebelumnya Anda terbiasa 'ikut arus' alias lebih sering mengikuti apa kata teman. Kali ini, Anda harus berani memutuskan sendiri semuanya. Dengan kata lain, nasib Anda hanya bergantung di tangan Anda (dan Tuhan, tentunya.)
Bagi penulis, tidak masalah. Biasanya mereka akan menganggap suasana dan orang-orang di sekeliling mereka sebagai gudang ide atau inspirasi tulisan. (Makanya mereka tidak pernah benar-benar merasa kesepian. Toh, banyak juga kerjaan.)
Anda juga bisa mendapatkan kenalan baru tanpa sengaja, misalnya saat nonton konser dan sambil menunggu musisi favorit tampil di panggung. Bisa saja tiba-tiba ada yang mengajak Anda mengobrol atau Anda tertarik menegur sosok yang berdiri di dekat Anda. (Cowok / cewek keren yang kebetulan juga datang sendirian, mungkin?)
Mungkin juga Anda tengah mencari sosok yang Anda rindukan di keramaian. Adakah mereka di sana?
R.
(Jakarta, 15/8/2015 – 22:00. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 13 Agustus 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee – Setiabudi One, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tema: “Dalam Kerumunan”.) 

Minggu, 16 Agustus 2015

"UNTUKMU, WAHAI MATA BIRU..."

Apa kabarmu,
wahai sosok bermata biru?
Sudah lama kita tidak bertemu
berbicara tentang ini dan itu.
Jujur, aku rindu.

Bagaimana kabarku?
Semoga baik selalu.
Sepertinya kita memang harus kembali bertemu
agar dapat menyambung yang lalu
atau mungkin menciptakan kisah baru.

Semoga takdir setuju
dan kita segera kembali bertemu...

R.
(Jakarta, 15 Agustus 2015 - 18:50)

Rabu, 12 Agustus 2015

"TENTANG PENONTON DI BALIK LAYAR"


“What’s the story, morning glory?” nyanyi Liam Gallagher bersama band-nya, Oasis. Mendengarnya, kamu selalu teringat dengan pertanyaan salah satu sahabat terdekatmu – saat kalian pertama kali bertemu dulu.
            “How are you?”(Apa kabarmu?) Lalu kamu akan berkedip, terdiam sesaat. Entah kenapa, butuh waktu agak lama bagimu untuk menjawab. Kadang bukan karena kamu sedang bersedih, lalu ingin berpura-pura bahwa kamu baik-baik saja.
            Mungkin akan berbeda bila pertanyaan barusan diganti dengan: “Ceritakan tentang dirimu.” Apa? Tidak juga? Yah, baiklah. Mungkin hanya berhasil saat wawancara kerja. (Mau tidak mau harus cerita, dong. Saat itu, kamu bisa cerita tentang yang perlu kamu ceritakan – seperti kenapa kamu melamar / menginginkan pekerjaan itu, apa kelebihanmu, hingga seberapa besar kamu menginginkan pekerjaan itu, dan seterusnya.)
            Bagaimana dengan situasi informal, misalnya saat kumpul dengan teman-teman baru atau...kencan pertama? Oke, untuk sementara – lupakan dulu ‘prospek masa depan’ bernama ‘calon pasangan hidup’. Diammu dan sifat (sok?) misteriusmu kerap menyulitkanmu mencapai kemungkinan itu. Mungkin banyak yang akan menyalahkanmu seperti biasa, tapi...soal jodoh siapa sih, yang benar-benar tahu? Ada juga kok, yang (kelewat) bawel sampai akhirnya ditinggal pergi.
            Ah, sudahlah. Tak perlu saling menuding. Cukup berkaca pada cermin masing-masing. Tak usah menilai diri terlalu rendah / tinggi. Masa mau mengambil-alih pekerjaan Sang Ilahi? Memangnya bisa?
            Apa yang bisa kau ceritakan tentang dirimu pada mereka? Kau, yang selalu merasa sudah terbiasa menjadi sekedar penonton, berdiri di balik layar pula. Kau yang lebih banyak diam dan memperhatikan, lalu merekam semuanya dalam ingatan. Sering kau mengubahnya menjadi sekumpulan aksara bermakna di atas lembar-lembar kertas atau layar laptopmu. Kau merasa bahwa hanya dengan itu, kau dapat ‘berbicara’ dengan lebih jelas, keras, dan lancar – meski belum tentu mereka akan membaca dan (setidaknya berusaha) memahaminya. Setidaknya, dengan itu kamu bisa mengurangi resiko disela dan dicela dengan segera.
            Kau, yang sangat menyayangi ibumu, terutama setelah ayahmu berpulang. Mungkin karena itulah kau lebih memilih diam daripada membuat beliau resah saat ada masalah. Kadang beliau tahu, tapi tak pernah bertanya. Yang lebih sering beliau tanyakan adalah kabarmu, apakah kau akan pulang akhir pekan ini...hal-hal semacam itu.
            Pekerjaanmu? Baik-baik saja. Kau sedikit bertualang, meski setidaknya berhasil mencapai impianmu menjadi penulis yang dibayar. Kau menikmatinya. Bahkan, kadang kau terlalu menyibukkan diri untuk menghindari perasaan kesepian dan kekhawatiran akan perasaan tidak berguna.
            Kau sudah berada di satu saat dimana persahabatan bukan lagi perkara kuantitas. Ya, kau memang berteman dengan semua, namun hanya benar-benar bercerita pada beberapa yang benar-benar kau percaya. (Daftar khusus ini telah melalui seleksi ketat dan bisa berubah kapan saja, tergantung mereka.) Itu pun jarang dan kadang harus dipaksa. Soal cinta? Banyak yang tidak menyadari bahwa kau selalu menempatkan mereka sebagai tokoh utama, meski sayangnya mereka hanya menganggapmu teman biasa – atau malah bukan siapa-siapa.
            Ah, memang belum saja. Sabarlah...
            “Hei, kamu!” tegur sahabat terdekatmu pada satu waktu. “Kamu sadar nggak sih, kalau sebenarnya kamu itu tidak selalu hanya jadi penonton? Banyak juga kok, yang perhatian sama kamu!”

            Benarkah? Jika demikian, mungkin memang sesekali saatmu untuk bercerita. Begitulah, bila kamu adalah aku...

Senin, 10 Agustus 2015

"JIWA YANG TERSESAT"

Dia telah tersesat
Bisa Kau lihat
usahanya untuk kembali
hanya kepada-Mu Yang Sejati

Dia telah tersesat
Dia hanya ingin bertobat
meski mereka bilang terlambat
meski sesalnya kian memberat

Akankah Kau me-rdhoi-nya,
anak manusia yang tak luput dari dosa?
Apakah Kau telah begitu murka,
sehingga selamanya dia akan celaka?

Semoga dia belum tersesat terlalu jauh,
hingga masih terjangkau ampunan-Mu...

R.

(Jakarta, 4 Agustus 2015 – 16:00)

Sabtu, 08 Agustus 2015

#CSW-CLUB DIARIES 3: “SYARAT DAN KETENTUAN”

Dijamin, banyak kening yang akan berkerut saat membaca “syarat dan ketentuan yang berlaku” pada produk atau situs mana pun. Boro-boro baca, mendengarnya saja sudah jiper duluan! Bahkan, saking jipernya, kebanyakan dari kita pasti lebih memilih tidak membaca semuanya atau malah skip semuanya saja sekalian. (Hayo, ngaku aja, deh!) Alasannya standar: mulai dari males, ribet, hingga nggak ngerti bahasa teknis / hukum.
            Kalau di kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ada dua kemungkinan: kita merasa ditipu dan lantas mencak-mencak ke yang punya produk – atau panik setengah-mati saat kena tuntutan hukum. Nah, lho! Gimana, tuh? Semua gara-gara tidak membaca semuanya atau sama sekali.
            Bagaimana dengan yang ‘tidak tertulis’ di dunia nyata? Banyak! Suka tidak suka, mau tidak mau kita terpaksa berurusan dengan “syarat dan ketentuan” yang berlaku dalam situasi atau relasi tertentu, meski sebenarnya hati tidak berkenan.
            Bagi yang tidak punya masalah, mungkin akan mengikuti tanpa banyak ribut. Bagi yang segan tapi malas ribut, mungkin masih akan mengikuti – tapi pakai acara ngedumel dalam hati.
            Nah, bagi yang tidak suka? Biasanya mereka juga punya dua pilihan: melawan habis-habisan (tanpa peduli resiko dimusuhi sejagat) atau memilih hengkang sekalian atau berhenti menggunakan produk yang bersangkutan. Begitu pula dalam urusan cinta. Wajar bila setiap orang punya idealisme tertentu mengenai hubungan macam apa yang ingin mereka jalani...atau kriteria calon pasangan idaman mereka. (Lagi-lagi namanya juga manusia!) Kalau sudah begini, istilah ‘kasih tanpa syarat’ terdengar begitu utopis. Terlalu sempurna.
            Sebelum ada yang keburu berargumen, benarkah kasih ibu tanpa syarat? Tanpa mengurangi rasa hormat para perempuan dengan peran mulia ini, bukankah ibu juga manusia – yang punya pengharapan tertentu pada sang anak – dan bisa lelah juga bila si anak (dianggap) bermasalah?
            Sebaiknya tidak perlu dijawab di sini, karena toh pengalaman hidup tiap orang berbeda-beda. Begitu pula pemahaman mengenai ‘cinta tanpa syarat’. Ah, memangnya beneran ada? Mungkin hanya sampai titik tertentu kali. Manusia adalah mahluk dengan kemampuan terbatas. Sering mereka hanya bisa mencoba mengikuti “syarat dan ketentuan yang berlaku”, bahkan dengan kelemahan mereka masing-masing...
R.

(Jakarta, 4/8/2015 – 21:00. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 6 Agustus 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee – Setiabudi One, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tema: “Syarat dan Ketentuan”.) 

Jumat, 07 Agustus 2015

"SEHARI BERSAMA CINTA"

Selamat pagi, cinta
Kau menyapa bagai sang surya
yang sinarnya menembus jendela
Senyummu kebahagiaan sederhana

Selamat siang, cinta
Semoga hari ini lancar bagi kita
Tiada drama maupun huru-hara
Walau ada, mari kita hadapi bersama

Selamat malam, cinta
Hanya kepadamu-lah aku ingin pulang
setelah bertarung mati-matian di luar sana
cobaan dan tantangan tanpa henti di dunia nyata

Saatnya kita terlelap di peraduan,
dengan sosokmu, wahai penawar kedamaian...

R.


(Jakarta, 7 Agustus 2015 – 18:30)

"PAPA"



Seperti akhir pekan sebelumnya, seharian itu aku duduk memperhatikan Papa. Dalam kamarnya yang telah disulap menjadi bengkel seni pribadinya, beliau bekerja dengan tekun. Mulai dari mengamplas kayu hingga halus permukaannya, hingga membentuknya jadi macam-macam dalam beragam ukuran. Ada kepala, badan, tangan, dan kaki. Beliau juga menyambung-nyambungkan bagian-bagian tersebut dengan ahli. Tak heran, karena inilah Mama dulu sampai jatuh cinta.

            Dari kecil, aku selalu suka melihat Papa bekerja. Menurutku, Papa seperti Gepetto yang membuat Pinocchio – sebelum memohon kepada Ibu Peri agar dapat menghidupkannya menjadi anak manusia sungguhan. Ya, Gepetto seorang pembuat boneka kesepian yang sangat menginginkan kehadiran seorang putra.

            Seharusnya Papa tidak perlu merasa kesepian. ‘Kan masih ada aku...

            Kulihat Papa mulai melukis wajah boneka itu dengan cat warna permanen. Mata, hidung, bibir, dan alis. Wajah perempuan, aku langsung mengenalinya, bahkan sebelum beliau mulai menempelkan rambut palsu berwarna hitam dari fiber dan memakaikan gaun biru tua sederhana namun indah.

            Wajah itu begitu familiar. Kurasakan tenggorokanku tercekat. Susah-payah aku mengatur napas, sementara badai tengah bergemuruh liar dalam benak dan hatiku. Ada yang mengambang di pelupuk mata, terancam tumpah. Berat dan panas. Pedih.

            Kurasakan tangan dr.Wanda Wiryawan di pundakku. Aku bahkan tidak menyadari bahwa beliau sudah di sampingku cukup lama.

            Aku masih terus memandangi Papa. Wajah keriput beliau kini berhias seulas senyum puas. Matanya tampak bercahaya.

            Entah kenapa, mendadak beliau tampak seperti anak kecil yang kesenangan. Setelah jadi, dia menyerahkan boneka itu padaku.

            “Ini adikmu,” kata beliau tanpa ragu, seakan tengah menggendong seorang anak kecil dan memindahkannya ke tanganku. “Anna cantik, ya?”

            Entah apa lagi yang harus kukatakan pada Papa. Mungkin benturan di kepala beliau juga menjadi penyebab. Yang pasti, Papa tidak sengaja. Itu hanya kecelakaan, akibat supir mabuk yang menabrak mobil mereka malam itu. Mama dan Anna sekarang sudah tenang di alam sana. Aku sudah rela...


            Ah, andai saja Papa juga bisa merelakan mereka...

Kamis, 06 Agustus 2015

#CSW-CLUB DIARIES 2: “LIFT”

Kehidupan urban tidak bisa lepas dari penggunaan lift. Lihat saja, nyaris tidak ada gedung yang tidak berfasilitas lift. (Apalagi yang berlantai banyak. Kecuali kalau pengelolanya cukup ‘kreatif’ dalam mengajak pengunjungnya untuk ‘berolah raga gratisan’. Dijamin banyak yang akan bilang: “Makasih, dah!” lalu mengambil langkah seribu. Sekian.)
            Buat yang ingin buru-buru dan tidak ingin membuang waktu dan tenaga (iyalah!), memakai lift sudah biasa. Lain cerita bila mereka penderita klaustrofobia (ketakutan irasional akan berada di tempat sempit dan tertutup, apalagi dalam waktu lama.) Ya, meski sebenarnya mereka juga belum tentu senang bila harus naik tangga ke lantai delapan, misalnya.
            Banyak cerita seputar kejadian di dalam lift, mulai dari terjebak saat mati listrik – baik sendirian maupun sama orang lain – hingga kekhawatiran dan rasa takut saat terjadi gempa di tempat tinggi. Percaya atau tidak, ada lho, yang sampai menolak tawaran pekerjaan – hanya gara-gara letak kantornya di lantai atas dan cukup tinggi sekali. (Mau tidak mau harus pakai lift setiap hari!) Alasannya: “Daripada kerja jadi nggak tenang, tiap saat khawatir ada gempa?” Apalagi bagi yang sudah pernah mengalaminya. Sekali saja cukup.
            Belum lagi yang sudah pernah nonton film-film horor macam “The Eye” dan “Final Destination 2”. (Iya, yang ada adegan di dalam lift-nya – dengan tingkat keseraman yang berbeda.) Makin nggak nyaman aja deh, pas naik lift – apalagi kalau sampai dipikirin banget-banget. (Makanya jangan. Lain kali juga jangan nonton film horor kalau tidak siap dengan efek sesudahnya!)
            Tak hanya rasa takut kejebak di dalam lift. Ada lagi hal-hal yang dapat menambah rasa takut – bahkan setelah Anda terjebak di dalam lift, seperti:
1.      Kalau kejebaknya bareng orang yang kalem dan tidak mudah panik sih, syukurlah. Namun bagaimana kalau tidak, misalnya kejebak sama anggota keluarga – apalagi anak kecil yang berpotensi lebih banyak menangis ketakutan? Alamat Anda yang harus memberanikan diri menangani situasi agar satu lift jangan sampai mati kalau tiba-tiba ada kabel suspensi yang lepas. Hiiih...!
2.      Kejebak seorang diri, tanpa bisa melihat keluar dengan jelas gara-gara pintunya tidak berjendela (seperti lift di mall). Jadi, nggak tahu pasti penyebab lift mendadak mati. Gangguan listrik, longgarnya kabel suspensi, atau...korslet hingga kebakaran? Apalagi bila tombol emergency-nya juga ikut mati!

Semoga tidak perlu ada yang sampai mengalami contoh-contoh kejadian di atas saat naik lift...

R.

(Jakarta, 4/8/2015 – 21:00. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 30 Juli 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee – Setiabudi One, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tema: “Lift”.)

Rabu, 05 Agustus 2015

"MESRA...SEBATANG KARA..."

terlalu lama dingin dalam jiwa
sepi merajalela,
hingga lupa rasanya mesra
tiada belahan jiwa

ah, aku tahu apa?
mesra hanya milik mereka yang berdua
aku hanya penonton biasa,
bisu berselimut lara

jiwa ini masih dingin,
saat mesra hanya sebatas ingin
rasa yang lama asing,
meski hasrat ingin bersanding

bayangan pun enggan bermesraan denganku,
si gila yang tak henti memikirkanmu
meski gagal bercumbu

jadilah ilusiku,
racun tanpa penawar berupa kemesraan semu
biar hati ini perlahan membiru,
diracuni rindu

mungkin besok rindu akan menjelma sembilu
biarkan kuresapi mesra dengan realita itu
 kau dan dia, bukannya aku

selamat tinggal, ilusi terindahku
 selamat bermesraan dengannya
mungkin senyumku akan kaku,
sementara tawamu ceria

malam ini, kasih tak sampai bermetamorfosa,
mesra dengan kebengisan realita
 habislah tanpa sisa!

akankah ada alasan lagi untuk merengkuh mesra?
yang ada hanya lelah
 rasa termanis pun berubah mentah

R.

(Jakarta, 1 Agustus 2015 – 23:00 – 00:00. Dari #puisimalam nulisbuku.com bertopik: "MESRA".)

Selasa, 04 Agustus 2015

“ADVANX7: TABLET BEROTAK CANGGIH UNTUK INDONESIA”

Kabar baik bagi pencinta tablet untuk pertengahan Agustus 2015 ini: AdvanX7 akan segera hadir di tengah-tengah kita. Dari Advan Intel Bloggers’ Gathering yang diadakan di Fairmount, Senayan (3/8/2015), AdvanX7 diresmikan.



Mengapa AdvanX7? Didukung oleh Intel dan Indosat, tablet berotak canggih ini diharapkan dapat menjadi produk lokal bercita rasa internasional yang disukai dan terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat, seperti halnya di India – dimana produk-produk lokal yang berkaitan dengan teknologi lebih berjaya daripada produk-produk impor.
Bapak Andi Gusena selaku Brand Director Advan menyatakan bahwa saat ini Advan sudah menjadi nomor satu di Indonesia. Bapak Harry K.Nugraha selaku Country Manager Intel Indonesia juga menerangkan mengenai keunggulan AdvanX7. Atom X3, baterai untuk AdvanX7, telah terbukti lebih irit.



Apa lagi keunggulan-keunggulan lainnya? Bapak Yakobus selaku Product Manager Advan menerangkan bahwa AdvanX7 memiliki RAM sebesar 1 GB dan ROM 8 GB. Besar sekali, bukan? Selain itu, Advan X7 bisa didapatkan lewat Android Kitkat 5.7 Lollipop sebagai suporter. Dual camera dan dual SIM Card-nya juga menguntungkan. Bayangkan, satu SIM Card bisa buat browsing, sementara satu lagi untuk menelepon, SMS, atau mengirim pesan lewat Whatsapp.
Meski besar, Advan X7 lewat Android Kitkat 5.7 Lollipop cukup tipis dan ringkas, sehingga masih bisa dimasukkan ke dalam kantong celana tanpa terkesan terlalu menggembung. Bagi pebisnis super sibuk, fitur multimedia editing-nya lebih powerful dan dapat melancarkan multitasking, misalnya: Anda ingin browsing sambil membalas email dari kantor atau ingin mengecek trending topic di akun social media Anda. Tidak ada acara lelet atau pun boros.

Satu lagi nilai plus-nya: fasilitas Advan VoiceTag, dimana data berupa rekaman suara Anda dapat dikonversi menjadi teks. Hal ini sangat berguna bagi pengguna teknologi berkebutuhan khusus, seperti penyandang tuna netra misalnya.