Seperti
akhir pekan sebelumnya, seharian itu aku duduk memperhatikan Papa. Dalam
kamarnya yang telah disulap menjadi bengkel seni pribadinya, beliau bekerja
dengan tekun. Mulai dari mengamplas kayu hingga halus permukaannya, hingga
membentuknya jadi macam-macam dalam beragam ukuran. Ada kepala, badan, tangan,
dan kaki. Beliau juga menyambung-nyambungkan bagian-bagian tersebut dengan
ahli. Tak heran, karena inilah Mama dulu sampai jatuh cinta.
Dari kecil, aku selalu suka melihat
Papa bekerja. Menurutku, Papa seperti Gepetto yang membuat Pinocchio – sebelum memohon
kepada Ibu Peri agar dapat menghidupkannya menjadi anak manusia sungguhan. Ya,
Gepetto seorang pembuat boneka kesepian yang sangat menginginkan kehadiran
seorang putra.
Seharusnya
Papa tidak perlu merasa kesepian. ‘Kan masih ada aku...
Kulihat
Papa mulai melukis wajah boneka itu dengan cat warna permanen. Mata, hidung,
bibir, dan alis. Wajah perempuan, aku
langsung mengenalinya, bahkan sebelum beliau mulai menempelkan rambut palsu
berwarna hitam dari fiber dan memakaikan gaun biru tua sederhana namun indah.
Wajah itu begitu familiar. Kurasakan
tenggorokanku tercekat. Susah-payah aku mengatur napas, sementara badai tengah
bergemuruh liar dalam benak dan hatiku. Ada yang mengambang di pelupuk mata,
terancam tumpah. Berat dan panas. Pedih.
Kurasakan tangan dr.Wanda Wiryawan
di pundakku. Aku bahkan tidak menyadari bahwa beliau sudah di sampingku cukup
lama.
Aku masih terus memandangi Papa.
Wajah keriput beliau kini berhias seulas senyum puas. Matanya tampak bercahaya.
Entah kenapa, mendadak beliau tampak
seperti anak kecil yang kesenangan. Setelah jadi, dia menyerahkan boneka itu
padaku.
“Ini adikmu,” kata beliau tanpa
ragu, seakan tengah menggendong seorang anak kecil dan memindahkannya ke
tanganku. “Anna cantik, ya?”
Entah apa lagi yang harus kukatakan
pada Papa. Mungkin benturan di kepala beliau juga menjadi penyebab. Yang pasti,
Papa tidak sengaja. Itu hanya kecelakaan, akibat supir mabuk yang menabrak
mobil mereka malam itu. Mama dan Anna sekarang sudah tenang di alam sana. Aku sudah
rela...
Ah, andai saja Papa juga bisa
merelakan mereka...
Sedih....
BalasHapusIya
HapusSiapa itu dr. Wanda Wiryawan? Apa perannya dalam cerita?
BalasHapusPsikiater ayahnya si narator.
Hapus