Minggu, 29 Juni 2014

"KEMBALINYA RAMADAN"



Ramadan telah kembali. Beruntunglah kita yang masih di sini. Akankah selalu begini?
Mungkin banyak yang dirindukan kali ini. Banyak yang terasa ‘kosong’ – ‘lowong’ di hati. Tak hanya jarang, bahkan kerap lupa menjaga hubungan baik dengan Sang Ilahi. Atau mungkin kita tengah merindukan mereka yang tak lagi di sini, entah yang jauh pergi atau sudah tak mungkin kembali lagi – karena sudah berpulang kepada Sang Ilahi. Sedih? Tentu saja. Semua mengalaminya, tak hanya Anda.
Yang membedakannya hanya cara masing-masing orang menghadapinya. Apa daya, inilah hidup. Semua terus – dan memang harus – berlanjut.
Bagaimana dengan menjaga hubungan baik dengan diri sendiri? Mungkin sudah saatnya, setelah selama ini terlalu berpusat kepada orang sekitar. Bukan, bukan berarti menjadi egois. Bukankah semua sebaiknya seimbang? Tak baik bila sampai ada yang lebih maupun kurang.
Meski demikian, tetaplah manusia tak sempurna – dan bahkan takkan pernah mendekatinya. Manusia hanya bisa berusaha, mumpung waktu dan kesempatan masih ada.
Selamat menjalankan ibadah puasa. Seperti biasa, selamat berjuang menjadi lebih baik dari sebelumnya...
R.
(Jakarta, 28 Juni 2014)

"KORBAN CINTA"



Ada lelah di matanya
gundah yang terlalu lama.
Semua karena kamu, sayang,
kamu yang sembarangan.

Ah, kamu tak tahu apa-apa.
Terlalu muda untuk mengerti cinta.
Aku terdiam menahan geram,
murka atas sikapmu yang serampangan.

Saatnya kau lepaskan dia.
Kau belum bisa disebut pria.
Hanya bocah yang tahu senang-senang,
belum pernah ditampar realita kehidupan.

Sayang, dia pun masih belum rela
masih sudi berjuang demi cinta.
Drama ini entah sampai kapan,
mungkin hingga Tuhan melempar jawaban!

R.

(Jakarta, 23 Juni 2014)

Rabu, 25 Juni 2014

"RAGAM KEBERANIAN"

Apakah definisi keberanian menurut Anda? Pasti banyak dan beragam bagi tiap orang. Mungkin dari yang termasuk ekstrim sampai yang - saking terlihat 'biasa' sekali - malah dianggap remeh. Mulai dari mencoba sesuatu yang terasa 'baru' (seperti mungkin pekerjaan baru atau tinggal di tempat baru), hingga sesuatu yang lebih berisiko, seperti olah raga ekstrim. Intinya, menjawab tantangan hidup - ketimbang hanya mencari aman terus. Sekalian menjawab rasa penasaran. Apa pun jawabannya nanti, itu urusan belakangan. Yang penting dicoba dulu.
Ada juga yang menganggap keberanian adalah usaha untuk mempertahankan sesuatu, meski kerap ada perasaan tidak enak, lelah, atau bahkan muak. Mungkin ini juga berlaku dalam urusan cinta. Kata siapa cinta selalu indah kayak cerita dongeng? Menurut beberapa teman yang sudah berpasangan, kadang mereka gemas ingin menjitak pasangan mereka di saat-saat 'kritis'. (Baca = berantem!) Tapi, lalu mereka menambahkan begini: kata siapa berantem tanda akhir sebuah hubungan, alias nggak ada yang cinta lagi? Entahlah. Yang pasti, saya mengagumi kesabaran mereka - meski kadang bertanya-tanya apakah mereka lebih sering berantem atau tidak.
Bagaimana dengan ragam keberanian lainnya? Entah kenapa, kita kerap hanya fokus pada satu sisi. Haus akan keinginan dan kemampuan untuk menaklukkan atau mengalahkan segala sesuatu membuat manusia suka lupa batas. Mereka suka lupa bahwa mereka hanyalah manusia biasa - dengan standar, batas, dan kelemahan masing-masing. Buktinya? Lihat saja. Banyak yang hanya tahu cara bersaing (terutama akhir-akhir ini, aduh!) tapi tidak sportif. Sering rasanya lebih mirip binatang buas rebutan makanan sisa. Kalau bisa, yang lain dijegal asal dia menang. Nggak ada waktu buat merasa kasihan pada sesama. Boro-boro, malah rasa kasihan sering dianggap kelemahan. Menurut mereka, ngapain terlalu baik sama orang? Hidup ini keras, Bung!
Bagaimana dengan mereka yang enggan ikut berkompetisi, apalagi dengan cara begitu? Paling apes dibilang cemen, lemah, penakut, cengeng, dan lain-lain. (Lagi-lagi kita memang paling jago - dan gesit - dalam hal mencela dan mem-bully. Padahal, bayangkan saja bila kita di posisi mereka. Nggak mau kan, jadi bahan celaan juga? Apalagi sampai ada yang bawa-bawa isu gender segala!)
Ada ragam keberanian. Termasuk keberanian untuk menyatakan mundur, menolak sesuatu yang dirasakan tidak sesuai 'kata hati'. Keberanian untuk meninggalkan hubungan yang dirasa tidak lagi sehat, lebih banyak menguras tenaga, perasaan, kewarasan, hingga air mata. (Tidak usah selalu mengikuti mereka yang kerap meminta Anda untuk bersabar, karena...jujur sajalah, mereka tahu apa, sih? 'Kan Anda yang menjalaninya!)
Atau keberanian untuk mengakui adanya masalah, bahwa Anda lelah. Anda tak selalu kuat atau berani dalam menghadapi segala hal. Anda tak selalu pintar atau benar - dan ternyata memang tidak apa-apa. Anda baru saja ditinggal anggota keluarga yang berpulang dipanggil oleh-Nya - dan mereka mengingatkan: "Baru juga enam bulan. Kata siapa kamu nggak boleh sedih lagi - atau nangis? Siapa yang akan menyebut kamu cengeng? Merasa sedih karena kehilangan itu wajar dan manusiawi!"
Memang benar; Anda hanya manusia biasa. Mereka juga. Ini bisa terjadi pada siapa saja. Yang terpenting, Anda tahu yang harus dilakukan - segera setelah berani mengakui adanya masalah, entah berupa kelelahan atau kekalahan. Apa pun keputusan Anda setelahnya, selama dilakukan dengan penuh tanggung-jawab dan (sebisa mungkin, nih!) tidak menyalahkan siapa-siapa, maka percayalah...Anda sebenarnya sudah termasuk berani!
R.
(Jakarta, 23 Juni 2014)

"KASIHAN"

Dia ilusi yang sangat indah, bukan?
Kau ingin memilikinya.
Dia terlalu menggoda untuk dibiarkan.
Salahkah kau yang kepalang jatuh cinta?

Boleh kan, kau mencoba menarik perhatian?
Siapa tahu, diam-diam dia juga suka.
Pikiran jahatmu berharap dia akan berpaling darinya.
Bukankah cinta memang harus diperjuangkan?

Ah, kasihan.
Wahai, mahluk kesepian pencari gara-gara.
Tak sadarkah dirimu akan artinya karma?
Terlalu lemah kau hadapi kenyataan.

Sayang, dia hanya menganggapmu teman.
Lebih baik kau berhenti berpura-pura,
sebelum terlanjur kecewa
saat usahamu lama-lama membuatnya bosan!

R.
(Jakarta, 17 Juni 2014)

Jumat, 20 Juni 2014

"SUATU HARI DI DALAM LIFT..."

Tenang, ini bukan cerita horor. Cuma cukilan mengenai ragam kelakuan 'ajaib' manusia saat memakai lift.
Anak kecil mainan tombol lift, alias memencet semua tombol? Sudah biasa. (Meski demikian, rada ganggu juga saat orang dewasa yang mendampingi mereka - entah ortu atau pengasuh - mendiamkan kelakuan mereka. Secara tidak langsung, anak-anak itu belajar bahwa ternyata mereka bisa sesukanya di ruang publik, tanpa peduli itu mengganggu orang lain.)
Nah, kalau orang dewasa yang begitu? Baru amat mengganggu. Okelah, kadang kita merasa  bosan saat menunggu lift mencapai lantai tujuan kita. Tapi, ayolah. Masa itu harus jadi alasan - atau bahkan pemakluman? Apalagi bila mereka sambil saling terkekeh-kekeh dengan teman mereka (entah apa yang lucu), lalu tanpa sadar memencet tombol lantai tujuan orang lain yang tengah terburu-buru. Akibatnya? Tentu saja, lantai tujuan orang itu terlewat, sementara mereka tidak merasa bersalah sama sekali. Bukannya minta maaf dan buru-buru memencet kembali tombol yang sama, saat orang itu menggerutu dan melototi mereka sambil memencet tombol yang terlewat tadi, reaksi yang didapat cuma berupa komentar: "Duh, galak amat sih, Mbak."
Hmm, sepertinya mereka belum pernah tahu rasanya telat ke kantor, cuma gara-gara terhambat ulah orang kurang kerjaan di lift? Baguslah kalau begitu. Mungkin mereka harus tahu rasanya dulu, setidaknya barang sekali-dua kali.
Ah, sudahlah.
Ada juga yang hobi mengobrol keras-keras di telepon saat di dalam lift. (Gile, sinyal ponselnya kuat juga!) Tak peduli suara mereka - yang belum tentu semerdu Pavarotti atau seempuk Waljinah - memantul di dalam lift. Bergema deh, ibarat di dalam gua. Apalagi saat mereka ngakak atau ngikik. (Yang entah kenapa, sekarang banyak ditulis "Wkwkwk!" Saya bacanya malah "Wekwekwek!" - dan itu tidak sama dengan suara bebek, apalagi angsa!)
Kalau sampai ada 'penunggu gaib' di dalam lift, jangan-jangan mereka sampai pensiun dini karena ngeri mendengar suara tawa itu. Hiii...
Yang juara dalam hal 'paling mengganggu' ada di contoh kasus nomor tiga:
Pernah nggak, Anda buru-buru mengejar lift yang pintunya mau menutup, meski ada orang lain di dalamnya? Apa pasal? Ada beragam kemungkinan:
1.Yang di dalam lift lagi bengong, alias sibuk dengan pikiran sendiri. Bahkan, saking 'sibuk'-nya, mereka seakan tidak 'menjejak' realita. Makanya, kalau sampai tidak ada yang menahan pintu lift untuk Anda meski sedang banyak orang di dalam sana, maklumi saja, deh. Jangankan menyadari kehadiran Anda, jangan-jangan mereka malah lupa punya tangan yang masih bisa dipakai. Apalagi kalau mereka berdiri dekat sekali dengan tombol-tombol di dinding...
2.Mereka...memang...egois. Akui saja, tak perlu memperhalus bahasa segala. Mereka menyadari kehadiran Anda? Ya. Apakah mereka peduli? Sayangnya tidak. Mau Anda sudah ngos-ngosan menghampiri lift dari jauh atau tangan Anda sedang terlalu penuh untuk memencet tombol di dinding luar lift, sama saja. Jangan harap mereka akan tergerak untuk membantu, terutama bila tidak mengenal Anda. Paling-paling mereka hanya menatap Anda dengan ekspresi kosong, sampai kadang Anda khawatir isi lift itu hanya ada...zombie. (Sekali lagi, hiii!)
Dengan kata lain, menurut mereka itu 'DL' - 'derita lo'.
3.Jangan-jangan...mereka memang bukan manusia sungguhan, alias cuma pajangan...atau...hiii!
Oke, yang nomor tiga barusan cuma sindiran.
Shock therapy juga belum tentu berhasil. Pernah tangan saya penuh dengan dompet dan secangkir kopi panas saat mau buru-buru masuk ke dalam lift yang pintunya akan segera menutup. Celakanya, di dalam lift sedang banyak orang - namun tak satu pun yang bersedia menahan pintunya untuk saya, meski jelas-jelas masih ada tempat. Saking geramnya (terutama karena saya juga buru-buru dan malas menunggu lift berikutnya), saya tendang saja pintu lift hingga kembali terbuka. Yang di dalam kaget? Pastinya.
"Terima kasih ya, atas bantuannya," sengaja saya sindir keras-keras saat sudah di dalam lift. Krik...krik...krik...tak ada respon. Mungkin mereka malu, ngeri melihat reaksi saya barusan, menganggap saya mahluk menyebalkan dan sok jagoan, atau - yang paling parah - tidak peduli.
Entahlah. Yang saya tahu sih, mereka manusia sungguhan - bukan sekedar pajangan, apalagi 'jadi-jadian'. (JANGAN, DONG!) Tapi, lagi-lagi ya, sudahlah. Namanya juga realita ibukota, yang katanya banyak berisi mereka yang 'berpendidikan'...
R.
(Jakarta, 17 Juni 2014)

"SEDIH"

Aku benci selamat tinggal.
Mengapa hati ini begitu bebal?
Aku berusaha melihatmu setiap hari,
mumpung kau masih di sini.

Kamu tak tahu apa-apa,
sementara aku lelah berpura-pura.
Memang, ini bukan akhir dunia.
Untuk apa kita berduka?

Namun sama saja.
Aku tetap benci perpisahan.
Rasanya ingin banjir air mata,
meski sudah ditahan-tahan.

Ah, sudahlah.
Aku lelah dan merasa kalah.
Yang bisa kulakukan hanya membuatmu senang.
Anggap saja rasa sayang tak terucapkan!

R.
(Jakarta, 7 Juni 2014)

Minggu, 15 Juni 2014

"SEKSIS? SAYA...ATAU ANDA?"

"The day you judge someone you don't even know is the day you close the door of a chance to get to know them better."
(Saat Anda menghakimi seseorang adalah saat Anda menutup kesempatan untuk benar-benar mengenal mereka.)
Jujur, manusia kerap penuh prasangka, bahkan untuk sesuatu yang belum mereka pahami. Seorang sahabat bahkan pernah berujar begini:
"We all tend to be judgmental, but only the polite ones make a difference." (Kita cenderung gemar menghakimi, namun orang yang tahu sopan-santun tahu kapan harus bicara dan kapan harus tutup mulut mungkin begitu kira-kira maksud sahabat saya.)
Begini ceritanya:
Atas undangan seorang teman, saya bergabung dengan satu perkumpulan pencinta tulis-menulis. Sudah dua kali saya datang dan menikmati acaranya. Saya mengagumi kreatifitas tiap peserta dalam menuangkan tema serupa menjadi ide dan tulisan berbeda.
Yang sempat mengusik saya secara pribadi saat itu hanya komentar satu orang. (Tak perlu sebut nama, ya? Nanti yang merasa jadi 'sensi' dan saya bisa dikenai somasi.)
Saat tengah membaca cerpen dadakan saya, ada satu dialog berbunyi begini: "Sayang, banyak yang tidak segera menyadari aslinya si gadis pemalas - terutama para lelaki." Lalu, belum selesai saya membaca cerpen saya, orang ini main berkomentar tanpa permisi: "Seksis." Saya diamkan saja dan terus membaca. Mengapa? Pertama, saya memutuskan untuk tidak menanggapinya terlalu serius. Siapa tahu dia hanya bercanda atau asal ceplos. (Biasa kan, orang yang suka ngomong tanpa mikir dulu? Eh, kok saya tiba-tiba jadi ikut menghakimi, sih? Hehe.)
Kedua, kalimat barusan dalam cerpen saya merupakan reaksi kekesalan salah satu tokoh cerpen saya yang - menurut saya, sih - manusiawi. Hayo, memangnya kita tidak sering mendengar tokoh lelaki dalam novel atau film yang kerap menggerutu "Dasar perempuan!" karena kesal? Kok nggak ada yang protes, ya? Apa iya, saking seringnya jadi (dianggap) biasa, alias wajar? Beda gitu, kalau yang terjadi sebaliknya? Standar ganda-kah ini?
Ketiga, sepertinya orang itu salah forum. (Kasihan.) Kalau mau berargumen soal gender, seksisme, atau politik dan sebangsanya - carilah di forum yang sesuai. Jangan di forum tulis-menulis yang tujuannya hanya untuk bersenang-senang, sekaligus mengulik kreatifitas tiap peserta. Mengganggu suasana saja. Lagipula santai sajalah, Bung. Tidak semua isi tulisan lantas menggambarkan kepribadian asli penulisnya. Berpikir terbukalah sedikit.
Celakanya, pertemuan kedua terjadi lagi. Kali ini gara-gara saya mengomentari berita tentang mahasiswi teladan lulusan terbaik yang diantar ayahnya ke acara wisuda dengan becak. (Sang ayah memang berprofesi sebagai supir becak.) Menurut saya, hal itu dapat menginspirasi keluarga kelas menengah ke bawah lainnya agar tidak mudah menyerah dan memberikan kesempatan pada tiap anak untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, baik lelaki maupun perempuan. Toh, apa pun yang terjadi, anak-anak berhak atas masa depan yang lebih baik daripada orang tua mereka. Harusnya begitu, bukan? Nabi Muhammad SAW saja bersabda bahwa pendidikan itu wajib bagi lelaki maupun perempuan.
"Ih, kok seksis gitu, sih?" Haah?! Masih ngomong gitu juga?? Halooo?! Seksisnya saya dimana, coba? Ajaib juga orang ini. (Kata beberapa teman yang pernah saya ceritakan soal insiden berulang yang tidak enak ini, justru orang itu yang malah seksis dan berpikiran dangkal. Belum apa-apa saya sudah dituduh seksis - sampai dua kali lagi! Nah, lho - sekarang saya malah bikin teman-teman saya sendiri ikut-ikutan menghakimi, padahal bertemu orang itu saja belum pernah. *tepok jidat dulu, dah!*)
Lalu, mulailah argumen yang rada 'keluar jalur forum'. Okelah, secara teori agama, lelaki wajib mencari nafkah dan menjadi kepala rumah tangga - karena itulah wajib sekolah setinggi-tingginya. Saya tantang lagi dengan pertanyaan ini:
"Terus kalau anaknya perempuan semua gimana?"
Eh, rupanya dia punya solusi 'pragmatis': "Ya, biasanya yang sulung yang dikorbankan."
Haah, dikorbankan? Bahasanya itu, lhooo!
Meski kali ini kesal, lagi-lagi saya memutuskan untuk tidak menanggapinya. Ya, lagi-lagi atas nama menghormati forum - alias sopan-santun dan tidak membuat suasana tidak enak bagi yang lainnya. Lagipula, saya terpaksa menerima pedihnya realita di negara ini: masih banyak yang berpikir segitu pragmatis, alias dangkal. Ego membuat mereka enggan melihat masalah dari sudut pandang lain. Sepertinya, orang ini belum pernah tersentuh tragedi. Bagaimana bila anak perempuan yang dipaksa putus sekolah untuk dinikahkan dengan alasan keterbatasan biaya keluarga, akhirnya malah ditelantarkan? Atau jadi korban KDRT (Kekerasan dalam Rumah-Tangga) tanpa mampu menuntut hak dan keadilan atas mereka, karena (kepalang dibuat) tidak mandiri dan selalu tergantung pada lelaki? Banyak lho, kejadian macam itu.
Atau, bagaimana dengan contoh kasus kedua, dimana si sulung 'dikorbankan' - seperti kata orang ini? Bagaimana bila pada akhirnya, timbul rasa iri dan benci si kakak pada adik-adiknya, akibat dipaksa 'mengalah' dengan cara demikian? Apalagi bila kemudian kondisi ekonomi keluarga membaik, hingga akhirnya para adik bisa sekolah sampai tinggi dan punya karir bagus. Sementara itu, si kakak belum tentu dapat izin suami untuk sekolah lagi - atau malah sudah kehilangan minat maupun ambisi.
Atau, tragedi bernama kematian yang akan selalu menghantui. Siapa yang bisa menjamin si suami - meski sebaik calon ahli surga pun - dapat hidup selamanya menafkahi istri? Apa yang terjadi bila - sepeninggal suami - istri tidak punya level pendidikan yang cukup tinggi untuk mendapatkan pekerjaan bagus? Mau hidup dari apa? Harta warisan keluarga? Asuransi? Mau sampai kapan? Lama-lama 'kan habis juga!
Ah, sudahlah. Mungkin mereka benar, saya hanya  buang-buang waktu dan tenaga. Percuma meladeni orang yang asal nyeletuk tanpa berpikir panjang. Nggak level gitu! Tidak ada gunanya mendebat mereka yang sudah kepalang membentuk opini (miring) di kepala mereka tentang Anda, bahkan sebelum mereka benar-benar mengenal Anda.
Kalau mereka merasa tidak perlu mengenal Anda? Ya, sudah. Toh, bukan Anda yang ajan merugi. Bukannya ngambekan ya, tapi Anda 'kan sudah berusaha berbaik-baik sama mereka!
Tuh, 'kan? Lagi-lagi saya kembali menghakimi. Ah, sudahlah - terserah yang punya otak di sana. Moga-moga hati nuraninya juga ada...
R.
(Jakarta, 15 Juni 2014)