Sabtu, 31 Oktober 2015

#CSW-CLUB DIARIES: "ASAP"

Tiada asap tanpa api. Pepatah itu populer. Tak ada masalah bila tak ada penyebabnya.
Selain ramainya musibah kebakaran hutan yang menyebabkan Riau, Borneo, dan sekitarnya dikepung asap tebal, banyak hal lain yang terkait dengan asap. Mulai dari asap akibat ada yang memasak di dapur (apalagi bila diikuti aroma yang harum semerbak), asap knalpot kendaraan bermotor di kota yang tampaknya tidak berkurang juga, asap rokok (terutama dari mahluk-mahluk yang tidak peduli dengan kehadiran ibu hamil, anak kecil, hingga bayi di sekitar mereka), hingga asap di tempat kremasi jenazah, asap akibat ada yang membakar sampah, hingga asap yang ditimbulkan biang es untuk efek di panggung pertunjukan dan adegan dalam film.
Tentu saja, yang paling melumpuhkan tetaplah asap akibat pembakaran hutan. Semoga bencana ini segera berlalu - dan Tuhan Maha Pengampun masih sudi memberi kita napas untuk melanjutkan hidup ini dengan sebaik mungkin. Aamiin...
R.
(Jakarta, 30/10/2015 – 15:20. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 29 Oktober 2015, pukul 20:00 di Coteca, Jakarta Barat. Tema: “Asap”.)

"DI BALIK ASAP..."

Kata mereka, hidup itu tidak mudah. Setiap cobaan adalah ujian dari Tuhan. Harus sabar menghadapi semuanya. Ini perkara keteguhan. Tak boleh ada keluhan.
Andai saja selalu seperti itu...
Mereka tidak tahu rasanya, terutama dalam jangka panjang. Mereka hanya melihat sebagian. Ah, media memang selalu begitu. Beda dengan kenyataan di lapangan.
Di sini, kami banyak kehilangan. Terlalu banyak. Asap mengaburkan semuanya, tak hanya pandangan. Aku tidak ingin percaya saat mereka mengabariku. Mereka bohong. Kamu hanya tertidur. Kamu masih ada. Kamu hanya lelah gara-gara asap sialan ini. Hutan telah terbakar parah hingga seluruh kota total menjadi kelabu. Agak sulit mengenali wajah-wajah itu.
Sayang, kita telat mengungsi. Maafkan Mamak, sayang. Asmamu memang sering kambuh, terutama akhir-akhir ini. Tapi, Mamak yakin kamu kuat, Nak. Kamu selalu bilang tidak ingin meninggalkan Mamak. Kamu ingin menjadi anak laki-laki yang bertanggung-jawab dan tidak durhaka, terutama sejak ayahmu meninggal.
Hanya kamu dan Mamak, itu yang selalu kamu inginkan. Makanya aku percaya, mereka pasti salah anak. Buktinya, aku masih bisa selalu melihatmu muncul di balik asap. Kamu akan tersenyum lemah padaku, lalu menurut saat kugandeng pulang. Kamu tidak banyak bicara, hanya napasmu yang sesekali terdengar berbunyi 'ngik-ngik' - bagai biola yang dimainkan seorang amatir. Setiap kali kutawarkan maskerku, kamu menggeleng.
"Buat Mamak saja. Anak laki harus kuat."
Ah, tidak tega aku. Mungkin karena itulah, malam ini kita sepakat untuk tidur bersama - tanpa masker. Bantuan tidak datang-datang juga. Kamu mengingatkanku agar belajar tabah, sabar, sekaligus pasrah. Mungkin kamu benar.
"Malam ini kita akan terbang ke angkasa, Mamak," katamu saat kita berbaring berhadapan. Tangan kita bertautan. "Ketemu bintang-bintang."
Aku tersenyum. Perlahan kubelai rambutmu yang halus.
"Mungkin Bapak ada di sana, Mak."
"Ya, mungkin..." Kurasakan mataku terpejam...
 ---***---
Pagi itu, pintu sebuah rumah diketuk. Terdengar suara-suara itu memanggil:
"Maryam? Maryam?" Tak ada sahutan dari dalam. "Maryam, kita dapat tabung oksigen gratis, Maryam."
Kembali pintu diketuk. Masih tak ada sahutan juga. Tiba-tiba terdengar teriakan:
"Astaga, dia biarkan jendela samping terbuka lebar!"
Kepanikan terjadi. Ada yang melompati jendela untuk membuka pintu dari dalam. Mereka menghambur ke dalam kamar yang terbuka.
Tampak, seorang perempuan paruh-baya terbaring di ranjang - memeluk foto seorang bocah laki-laki. Matanya terpejam dan senyumnya tampak damai...
R.
(Ditulis dalam pertemuan The Couchsurfing Writers' Club pada tanggal 29 Oktober 2015, pukul 20:00 di Coteca, Jakarta Barat. Tema: "Asap".)

Kamis, 29 Oktober 2015

"CERMIN PRIBADI YANG RETAK (2)"

Ada yang mengerikan
Caramu memandang membuat hati tak tenang,
wahai mahluk kurang kerjaan!

Entah apa saja yang sebenarnya kau lakukan
Setiap hari ada saja yang kau keluhkan
Setiap orang kau perhatikan
demi mencari cacat yang bisa kau salahkan

Untuk apa jauh-jauh memandang
hanya agar yang kau anggap aib mereka bisa kau gunjingkan?
Apa kabar cermin di hadapan?
Masihkah retak, hingga mata sendiri gagal melihat
semua yang sesungguhnya begitu dekat?

R.
(Jakarta, 27 Oktober 2015 - 15:15)

Minggu, 25 Oktober 2015

“SAYA PERNAH DIKUNTIT STALKER TAK DIKENAL SELAMA ENAM BULAN...”

Langsung saja, ya. Bagaimana ceritanya?
            Beberapa tahun lalu, saya sedang mencari pekerjaan baru. Berhubung waktu itu belum punya laptop sendiri dan koneksi wi-fi belum sepopuler sekarang, saban hari saya ke warnet untuk e-mail CV. Kadang sekalian juga e-mail cerpen ke majalah-majalah tertentu, siapa tahu dapat honor tambahan.
            Sore itu, saya tidak begitu ngeh bahwa bilik warnet yang tengah saya pakai ternyata terlalu ‘terbuka’. Maksudnya? Siapa pun yang kebetulan lewat di belakang saya dapat melihat layar komputer di depan saya.
            Saat tengah merapikan CV, mendadak HP saya berbunyi. Kening saya berkerut saat membaca SMS dari nomor yang tidak dikenal:
            “Hai, Ruby. Ajarin bikin puisi, dong. Kayaknya kamu jago nulis, deh.”
            Siapa ini? Saat itu saya tidak begitu memusingkan, karena masih sibuk mengetik. Mungkin hanya teman iseng. Namun, SMS berikutnya langsung bikin saya bergidik:
            “Kok bengong? Itu yang tertulis di CV kamu, ‘kan? Jangan bingung begitu, dong. Tapi mukamu jadi lucu.”
            Deg! Saya langsung melirik sekeliling dengan cemas. Tak ada sosok yang tampak mencurigakan, tidak ada seorang pun yang tengah memandangi saya. Tidak juga ada seorang pun yang segera menghampiri saya, mengajak kenalan, sekaligus mengaku sebagai pengirim SMS barusan.
            Tentu saja, saya ogah menanti saat itu. Buru-buru saya selesaikan semua urusan – e-mail CV dan cerpen, lalu menghapus semua file yang perlu dihapus di hard drive. Setelah itu saya buru-buru log out, membayar di kasir, dan segera kabur dari situ. Eh, masih saja saya dapat SMS:
            “Lho, kok pergi? Kita belum sempat ngobrol dan kenalan, nih!”
            Tak tahan lagi diganggu-ganggu terus, akhirnya saya balas juga SMS-nya:
            “Ini siapa? Darimana bisa tahu nama dan nomor HP saya?”
            Jawaban berikutnya semakin bikin saya merinding. Singkat cerita, dia meminta maaf karena telah berlaku lancang. (Iyalah!) Dia mengaku bernama berinisial ‘K’. (Tidak perlu disebut lengkap, ya? Bikin trauma saja.) Sesuai yang saya takutkan sebelumnya, dia mengaku melihat saya di warnet itu dan langsung tertarik ingin berkenalan dengan saya. Namun, dia belum berani menunjukkan diri dengan alasan malu dan takut.
            Apakah lantas dia akan berharap saya jatuh kasihan dan memberinya kesempatan? Tentu saja tidak. Saya sudah terlanjur takut dan antipati. Habis, dari awal caranya sudah mencuri-curi begitu, sih!
            Akhirnya, ‘K’ saya cuekin. Eh, sialnya dia tidak terima. Maka, dimulailah serangkaian ‘teror’ berupa SMS dan missed call. Tidak tanggung-tanggung, bisa tiap dini hari saya mendapatkan missed call dari dua nomor yang sama – bergantian pula. Tidak pernah saya angkat, karena pernah sekalinya saya angkat saat separuh sadar (akibat terbangun dari tidur dan tanpa mengecek nomor penelepon), yang saya dengar hanya desahan napas seseorang yang berulang-ulang. (Hiiih!)
            SMS-SMS yang dikirim ‘K’ juga tak kalah mengganggu. Mulai dari puisi-puisi ‘alay’ (astaga, masih zaman merayu perempuan dengan cara demikian?), keluh-kesahnya mengenai betapa kejamnya saya yang enggan memberinya kesempatan alias menolaknya mentah-mentah, hingga ekspresi amarah berupa kata makian dan ancaman. Menurutnya, seharusnya saya tidak boleh sombong dan bersyukur bahwa setidaknya masih ada laki-laki yang sudi memperhatikan saya. (Halo, siapa dia? Apa maksudnya, coba?)
            Meski melecehkan sekali, saya masih berusaha cuek. (Sayang sekali, waktu itu belum ada teknologi memblokir langsung nomor HP dari nomor yang tidak diinginkan.) Bahkan, saat banyak teman yang menyarankan agar saya segera mengganti nomor HP, saya tetap bergeming. Alasannya? Saya enggan mengalah dan ‘kabur’ seperti pengecut hanya karena seorang laki-laki tak dikenal yang entah kenapa tiba-tiba terobsesi dengan saya. Seram sekali, bukan? Masa iya saya harus bertanggung-jawab atas perasaan orang yang sama sekali tidak dikenal? Kalau bisa, dia saja yang bosan dan sekalian berhenti mengganggu saya.
            Situasi bertambah mengerikan saat ‘K’ mengirim SMS seperti ini:
            “Hari Minggu ini sibuk, nggak? Aku main ke rumahmu boleh, ya? Kamu masih tinggal di .....?” (Disebutkannya alamat lengkap saya, dengan nomor rumah, RT/RW, hingga kode pos!)
            Saat saya cuek seperti biasa, SMS berikutnya seperti ini:
            “Jawab, dong! Boleh, nggak?”
            Akhirnya saya batal pulang ke rumah dan memilih menginap di tempat kerja, yang waktu itu kebetulan juga usaha milik keluarga.
            Tak tahan lagi diteror terus, akhirnya saya memilih hanya memberitahu beberapa teman ‘terpercaya’. Mengapa demikian? Sayang sekali, di negara ini, kasus penguntitan (stalking) belum diperlakukan sebagai tindakan kriminal serius. Biasanya, pihak hukum baru bertindak kalau: a) korban terbukti diserang secara fisik atau, b) korban terbunuh. (Hiiih!)
            Jujur, saya ogah menunggu sampai ‘kejadian’.
            Selain itu, yang tidak (atau enggan) memahami mungkin akan berkomentar begini:
            “Positive thinking ajalah. Katanya mau punya pacar.”
            “Bersyukurlah. Anggap aja lo punya penggemar rahasia. Seenggaknya ada yang perhatian ama lo.” (Persis banget dengan ucapan si stalker. Padahal, waktu itu belum zaman orang malah bangga karena banyak follower di akun social media mereka.)
            “Kasih kesempatan dululah. Siapa tahu malah jodoh.” (APAAA???)
            “Kamu juga sih, nggak hati-hati.” (Lho, kok malah nyalahin korban? Ini bisa terjadi pada siapa saja, lho!)
            “Baru gitu aja udah parno. Lebay.” (Jujur saja, yang ngomong kayak begini sama saya waktu itu ingin sekali saya timpuk pakai sandal pas di muka!)
            Jujur, saya makin eneg. Apalagi, SMS berikutnya dari si ‘K’ makin ngaco:
            “Hai, Ruby. Mau s*x phone, gak?”
            Singkat cerita, gangguan dari stalker ini berlangsung hingga enam bulan lamanya. Selain tidak bisa tidur nyenyak, saya jadi paranoid sendiri. Was-was dan curigaan sama orang banyak. Kalau pergi sendirian – apalagi malam-malam – saya suka bawa semprotan merica bikinan sendiri. (Botol parfum bekas isi bubuk cabe dan merica yang dikocok sampai bercampur dengan air.) Beberapa tahun setelah kejadian itu, saya menerima taser dari seorang sahabat.
            Teman-teman saya yang tahu dengan kejadian ini akhirnya tergerak membantu. Seperti saya (akhirnya), mereka menyebarkan nomor HP si ‘K’ di dunia maya, dengan tagline: “Pemilik nomor HP ini hobi mengganggu / melecehkan perempuan lewat SMS dan missed-call. Silakan ganggu dia sesuka Anda. Terima kasih.” Kadang saya mendaftarkan nomor HP si stalker dengan akun seadanya untuk langganan SMS blast produk kecantikan agar pulsanya kemakan habis. Biar saja. Memang jahat juga sih, tapi mau bagaimana lagi? Dia enggan berhenti.
            Teman saya sampai ada yang mengerahkan teman-temannya, terutama laki-laki yang jago gertak dan berkelahi. Beramai-ramai mereka mengancam balik si stalker lewat SMS dan telepon agar berhenti mengganggu saya – atau didatangi untuk dihajar.
            Setelah enam bulan, ‘K’ mendadak berhenti mengganggu saya. Akhirnya, tak ada lagi SMS maupun missed-call yang mengganggu dan bernada melecehkan. Meski lega setengah-mati, ada trauma yang membekas dalam diri saya hingga kini:
1.    Saya jadi ekstra hati-hati – bahkan mendekati paranoid – saat sedang di luar rumah sendirian, apalagi malam-malam.
2.    Saya tidak pernah menjawab telepon dari nomor yang tidak dikenal, kecuali bila mereka memperkenalkan diri dulu lewat SMS. Setelah itu, tetap terserah saya.
3.    Saya jadi sulit percaya dengan lawan jenis. (Maaf ya, Tuan-tuan.) Mungkin kalian akan berargumen: “Tidak semua laki-laki”, tapi inilah kenyataannya. Boleh saja menuduh saya mudah menghakimi, tapi itulah kecenderungan sesama manusia – bahkan yang (dianggap) paling baik pun. (Hayo, ngaku saja, deh.) Saya butuh waktu dan proses, tidak bisa dipaksa harus sesuai maunya kalian. Selamat bersabar dan berusaha bagi yang bersedia.

Buat Tuan-tuan dan Mas-mas yang sedang berusaha mencari calon pasangan hidup / sekedar ‘pendekatan’ (PDKT), mohon cara di atas jangan dicoba. Tidak semua perempuan menganggapnya romantis, malah mengerikan. Indahnya akhir kisah cinta antara si penggemar rahasia dengan sosok pujaannya hanya ada di novel dan film roman picisan belaka. Mohon perlakukan mereka seperti manusia, bukan objek sasaran belaka yang harus segera Anda dapatkan, miliki, dan kuasai – apa pun caranya.
Satu hal lagi: jangan suka memaksa perempuan, apa pun alasannya. Kalau dia sudah bilang ‘tidak’, artinya ‘tidak’. Jangan selalu berasumsi bahwa mereka hanya ‘sok jual mahal’ (apalagi bila sudah menolak Anda sampai tiga kali atau lebih.) Kalau masih belum paham juga artinya, mungkin Anda harus cek KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Seingat saya sih, tidak ada bedanya – mau yang ngomong laki-laki atau perempuan. Yang ada hanya asumsi pribadi dan manipulasi emosi belaka yang (mencoba) membuat perempuan merasa bersalah karena menolak.
            Bila belum paham juga, tanyakan guru sekolah Anda.
            Bagaimana bila ini terjadi pada saudari/putri/sahabat perempuan Anda? Mohon tanggapi cerita mereka dengan serius dan jangan menuduh mereka berlebihan dan paranoid. Lakukan yang harus dilakukan. Libatkan aparat hukum bila stalker sudah dalam taraf mengancam keselamatan mereka. Mengapa?
Saudari/putri/sahabat perempuan Anda belum tentu akan seberuntung saya, apalagi bila Anda hanya menganggap sepi masalah mereka...

R.

Sabtu, 24 Oktober 2015

#CSW-CLUB DIARIES:"KERIPUT"

Apa yang tercetus di benak Anda saat mendengar kata "keriput"? Mungkin Anda akan langsung terbayang wajah kakek-nenek - atau mungkin orang tua Anda yang sudah sepuh. Tua, alias berusia senja. Kulit yang tidak lagi mulus dan kencang, alias mulai kendur dan banyak garis-garis bermunculan di tempat-tempat 'strategis', seperti dahi, pipi, pinggir mata dan mulut, leher...sebut saja.
Keriput juga sama artinya dengan 'kerut' atau 'kisut'. Seorang teman pencinta ilmu alam bahkan juga mengingatkan bahwa buah pun permukaannya berkerut bila sudah melewati 'batas kematangan'- nya.
Apa boleh buat. Meski keriput proses yang tidak bisa sepenuhnya dihindari alias hanya diperlambat dengan gaya hidup, pengobatan, hingga teknologi tertentu, tak ayal banyak yang enggan - dan bahkan takut - menghadapinya. Kaum Hawa termasuk yang paling panik dalam berurusan dengan keriput, terutama mereka yang bekerja di media dan bidang kecantikan. Inilah realita, dimana dunia masih cenderung memandang dan menilai mereka dari segi fisik belaka. Menyedihkan sekali, bukan? Serba salah memang. Di satu sisi mereka ingin sekali menyenangkan pasangan (pacar, suami) dengan terus menjaga penampilan agar (selalu) dianggap cantik, bahkan dengan kosmetik termahal supaya kelihatan awet muda - alias tidak keriputan. Di sisi lain, tetap saja ada yang akan menuding mereka dangkal hanya karena mau segitu repotnya mempercantik diri.
Kalau dipikir-pikir, ketakutan mereka masuk akal. Sudah banyak cerita suami meninggalkan istri atau mencari istri muda, HANYA karena yang pertama sudah keriput. (Jangan tersinggung, Tuan-tuan - ini fakta. Tak perlu marah bila Anda bukan salah satu dari mereka.)
Selain media, kehadiran dokter bedah plastik juga mendukung mereka yang segitu inginnya mengenyahkan keriput dari wajah, kalau bisa selamanya. Keinginan yang tidak realistis, bukan? Bayar mahal tak masalah. Resiko kesehatan dan kemungkinan nyawa melayang juga dipikir belakangan. Mau menghakimi mereka juga? Percuma, karena bisa jadi mereka juga terluka - dan 'dilukai' - secara sosial oleh harapan mustahil masyarakat tentang kecantikan sejati yang ideal bagi seorang perempuan: selalu awet muda, tanpa keriput.
Ada juga yang mengaitkan keriput dengan ketidakseimbangan gaya hidup dan penyakit - terutama bagi yang tinggal di daerah perkotaan yang padat penduduk dan berpolusi tingkat tinggi. Akibatnya, stres melanda dan lantas memunculkan keriput sebelum wakttunya, alias penuaan dini. Belum lagi stres karena terlalu memikirkan omongan orang lain yang tidak penting, hingga sering berpikir negatif dan lupa bahagia. Ada juga yang karena sakit parah menahun, yang sepertinya wajar saja bila mereka tidak selalu bisa bahagia karena terserang depresi. (Untuk yang satu ini, semoga mereka selalu diberi ketabahan dan kekuatan oleh-Nya - serta didukung orang-orang tersayang yang selalu menyayangi mereka.)
Namun, keriput tidak selalu buruk. Alangkah menyenangkan bila keriput tercipta lebih banyak karena senyum dan tawa. Anggap saja setiap garis di wajah berupa cerita. Toh, pada akhirnya semua manusia akan beranjak tua. Hanya menjadi dewasa yang merupakan pilihan...

R.
(Jakarta, 23/10/2015 – 15:20. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 22 Oktober 2015, pukul 20:00 di Bangi Kopi Tiam - Sabang, Jakarta. Tema: “Keriput”.)

Rabu, 21 Oktober 2015

"TENTANG KAMU, DIA, DAN REALITA"

"Kenapa kau mau dengannya?"
"Apa yang dilihatnya darimu?"
Ah, seperti biasa
Lagi-lagi komentar tanpa mutu

Tidak masalah seperti apa dia
Mungkin dia bersungguh-sungguh
Mungkin sebaiknya juga kau tak terlena
Jangan-jangan dia hanya tukang tipu

Bagaimana bila realita lagi-lagi berakhir duka?
Luka lama akan kembali menganga bak ditikam sembilu
Akankah mereka memandangmu perempuan bodoh belaka
yang percaya bahwa kali ini cinta sejati menghampirimu?

Tak perlu bertanya-tanya tentang dirinya
Biarkan hatimu terlindung kembali oleh dinding tebal ciptaanmu
Jangan sampai kau serapuh yang mereka kira
bila lagi-lagi cinta membuatmu jatuh

'Cinta'?
Ah, tidak juga
Entah apa maunya
Kau juga tidak pernah menjanjikan apa-apa
kecuali menanti waktunya pergi
dan kau kembali (dibiarkan) sendiri...

R.
(Jakarta, 20 Oktober 2015, 12:45)

Sabtu, 17 Oktober 2015

#CSW-CLUB DIARIES: "BULAN (PURNAMA)"

Ide awalnya 'bulan purnama'. (Maklum, menjelang Halloween, meski sebenarnya bukan perayaan khas negeri ini.) Pastinya jadi yang seram-seram dan kayak rada-rada mistik gimana, gitu.
Meski pada saat menulis banyak yang lebih ingin mengeksplorasi bulan secara keseluruhan (alias tidak spesifik 'purnama' saja), tak ayal sempat ada juga diskusi pendek seputar mitos 'bulan purnama'. Tak hanya kisah tentang legenda manusia serigala seperti film "The Wolfman", tentu saja.
Entahlah. Mungkin ada hubungannya dengan air laut yang cenderung pasang / tinggi saat bulan purnama. Ada yang percaya bahwa beberapa kejadian tidak enak dalam hidup mereka ada kaitannya dengan energi yang 'terisap' / 'terkuras'  saat bulan purnama. Mulai dari kelelahan fisik luar biasa (padahal belum tentu banyak kegiatan juga), pertengkaran, kecelakaan, hingga depresi yang menimpa orang-orang tercinta.
Terdengar aneh? Mungkin Anda termasuk yang skeptis dalam hal ini. Mungkin Anda tidak percaya, karena: "Masa iya itu cuma gara-gara bulan purnama? Kapan manusia mau bertanggung-jawab atas perbuatan mereka?"
Bagaimana pun juga, bulan purnama tetap indah dipandang, apalagi bila sedang tidak ada kerjaan. Haha.
R.

(Jakarta, 16/10/2015 – 15:20. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 15 Oktober 2015, pukul 20:00 di Petamburan. Tema: “Bulan (Purnama)”.)

"DEMI HATI, AKUI ILUSI"

Setengah-mati kucoba yakinkan diri
bahwa kau hanyalah ilusi
Bila nyata, kau hanya akan melukai
terutama saat kau pergi

Ah, penyangkalan memang bisa indah
Tak perlu bertarung sampai lelah
hingga kemudian tenggelam dalam gundah
meski sumpah, kadang rasanya muak saat kalah

Maaf, aku harus percaya ini tidaklah nyata
Sudah terlalu sering kecewa
Kadang lebih baik memang berpura-pura
bahwa kita selalu baik-baik saja
hanya agar tiada yang (terlalu) kecewa maupun terluka...

R.
(Jakarta, 17 Oktober 2015 - 12:35)

M

Rabu, 14 Oktober 2015

#CSW-CLUB DIARIES: "KARAOKE"

Siapa yang suka nyanyi di karaoke? Silakan tunjuk tangan. Tidak masalah bila Anda beneran bisa nyanyi atau sekedar cuap-cuap atau bahkan teriak-teriak. Yang penting buat senang-senang.
Dalam bahasa Jepang (lewat riset seorang teman), 'karaoke'  berarti 'opera kosong' (empty opera). Mungkin kurang lebih sama seperti istilah 'minus one', dimana ada rekaman instrumen musik sebuah lagu, namun bagian vokal aslinya bisa dihilangkan dengan mesin dan bisa diganti dengan suara siapa saja.
Kalau tidak hapa lirik lagunya? Tinggal lihat teks di layar.
Tak hanya di Jepang, karaoke termasuk kegiatan komunal yang populer di Indonesia. Mulai dari karaoke rumahan (sejak zaman LD, CD, hingga mesin karaoke yang entah berapa harganya) hingga tempat-tempat khusus karaoke. Yang paling sering terjadi adalah rombongan manusia yang lelah selepas overtime kerjaan di kantor (seperti Anda dan teman-teman, mungkin?) langsung cabut ke tempat karaoke dan menyanyi sepuas hati.
Ada juga yang memanfaatkan tempat karaoke untuk tempat latihan sebelum ikutan audisi atau lomba menyanyi. Bahkan, ada juga yang anti karaoke, yang berpendapat begini:
"Ngapain bayar mahal-mahal, hanya untuk duduk-duduk dalam ruangan sempit lalu teriak-teriak di mikrofon?"
Seperti biasa, lagi-lagi semua hanya masalah selera...
R.
(Jakarta, 9/10/2015 – 18:00. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 8 Oktober 2015, pukul 20:00 di Taman Suropati - Menteng. Tema: “Karaoke”.) 

Selasa, 13 Oktober 2015

“12 CARA SEMBUHKAN PATAH HATI A LA PENULIS ‘GILA KERJA’ “

1.    Berlawanan dengan cara beberapa orang yang mungkin akan dengan senang hati pamer pada Anda bahwa mereka (sok) kuat karena bisa cepat move on, langkah pertama yang harus Anda ambil adalah: akui masalah. Jujurlah pada diri sendiri bahwa ya, Anda patah hati. Sakit itu benar-benar ada ‘di sini’ (*sambil menunjuk dada – dan mungkin juga kepala, bila sampai pakai acara pusing segala!*)

Sayangnya, tidak semua orang di dunia ini akan (selalu) mengerti masalah Anda, jadi tidak perlulah ‘diumbar’ kepada sejuta umat, meski ada social media segala. Walaupun ada beberapa teman dekat yang bisa jadi tempat curhat, tetap jangan sering-sering juga membanjiri telinga mereka dengan cerita sedih yang sama. Bukan apa-apa, Anda pasti juga eneg ‘kan, bila selalu disuguhi cerita yang sama? Kecuali bila Anda terapis handal.

2.    Banyak-banyak berdoa. Ya, maaf. Ini harusnya memang di urutan pertama. Caranya? Terserah agama dan kepercayaan masing-masing.

3.    Puas-puasin deh, melampiaskan emosi – selama masih dalam takaran wajar dan cara yang sehat. Mau menangis pas lagi sendirian di kamar? Silakan. Sambil dengerin lagu-lagu mellow atau yang heavy metal sekalian? (‘Kan tergantung selera masing-masing.) Tidak ada yang melarang. Kalau sampai ada, cuekin saja. Memangnya siapa mereka? Suka-suka Anda, dong!

Mau pakai acara banting-banting barang atau “pecahkan saja gelasnya, biar ramai...biar gaduh sampai mengaduh” kayak puisinya Rangga yang dibacakan Cinta? Jangan. Selain berisik dan asli bisa ganggu orang sekitar, ada kemungkinan besar Anda akan menyesal saat menyadari bahwa ternyata Anda masih membutuhkan barang-barang tersebut, namun sayangnya sudah terlanjur Anda pecahkan semua. Nah, lho.

4.    Lakukan selective hearing dan sharing. Meski sedang sangat haus akan perhatian, pengertian, dan dukungan – ada baiknya Anda tidak bercerita kepada sembarang orang. (Darimana Anda bisa tahu? Maaf, saya sendiri juga bukan ahli nujum. Selamat berburu.) Selain tidak / belum tentu semua orang akan mengerti masalah Anda, kemungkinan terburuk adalah Anda yang malah akan disalahkan. “Cewek/cowok kayak gitu kok, diharapin.” Atau: “Sudahlah, masih banyak ikan di laut ini.” (Padahal, jelas-jelas Anda maunya sama orang, bukan ikan!)

Meski dalam hal ini kebetulan memang Anda yang salah, yakin Anda mau mendengar omelan mereka? Apa gunanya coba? Sudah kejadian. (Dengan catatan: Anda cukup dewasa dan berbesar hati untuk mengakui bahwa Anda manusia biasa yang banyak salah, bukan selalu bertingkah seperti korban tak berdaya.)

5.    Saatnya libur jadi ‘orang dewasa dengan segudang problema/drama’. Sediakan sehari dimana Anda bisa (pura-pura) jadi anak-anak lagi. Mau nonton film kartun, baca buku cerita anak, main sama keponakan yang masih kecil, menggambar, terserah. Percaya atau tidak, cara ini cukup ampuh mengusir stres dan bikin rileks, dengan catatan: tidak keterusan dan tidak dilakukan saat jam kerja, kecuali ingin atasan mengirim Anda ke ahli jiwa atau meminta Anda berhenti bekerja – atau malah keduanya!

6.    Sibukkan diri Anda dengan berbagai kegiatan yang lebih berguna. Kalau bisa, sampai Anda tidak punya waktu lagi untuk memikirkan si penyebab patah hati. Kerja kek, nongkrong dengan teman-teman (semoga nggak ada yang menyinggung-nyinggung ‘sosok itu’), berkumpul dengan keluarga (semoga nggak ada yang ribut bertanya kapan Anda akan berhenti melajang dan segera menikah sesuai harapan mereka), dan mengerjakan hobi. (Ya, terutama menulis.)

7.    Mungkin Anda bukan tipe yang banyak bicara atau tukang curhat, tapi biarkanlah karya Anda yang ‘berbicara’. Mau melukis, menari, menyanyi, menulis puisi, cerpen, novel, atau artikel semacam ini? Terserah. Mau ada yang mengejek Anda sebagai sosok cengeng atau kayak Taylor Swift yang hobi menyindir mantan lewat lagu-lagu ciptaannya? Aminkan saja untuk ejekan terakhir, siapa tahu Anda beneran bisa jadi ngetop dan tajir kayak Taylor Swift. Bayangkan, siapa sih, yang tidak ingin karyanya laku keras di pasaran dan diingat banyak orang?

8.    “Kapan lo liburan?” Ini yang sering banget ditanyakan pada penulis gila kerja. Saran ini boleh dicoba. Tidak hanya sukses mengusir rasa jenuh dan (semoga) menyembuhkan patah hati, Anda juga bisa kembali dengan ide-ide baru dan segar untuk calon-calon tulisan berikutnya.

9.    Saatnya lebih berprestasi, baik di tempat kerja maupun dalam berkarya. Jangan lupa jaga kesehatan. Rugi banget kalau Anda sampai jatuh sakit hanya gara-gara memikirkan mereka yang belum tentu peduli perasaan Anda. Mau ikut lomba menulis? Tinggal cari lewat Google atau subscribe situs tulis-menulis pilihan Anda. Selain bisa dapat penghasilan tambahan, Anda juga bisa terkenal dan – siapa tahu – dapat menginspirasi sesama.

10. Relakan, bersyukur, dan berbahagialah. Tiada yang abadi. Coba ingat-ingat lagi, sebelum ketemu sosok itu, Anda masih bernapas, ‘kan? Sesudahnya juga sama saja, ‘kan? Cukup ingat-ingat saat-saat terindah bersama mereka. Kalau tidak kuat, tidak usah dipaksa.

Mungkin Anda merasa masih (dan akan selalu) mencintai mereka, tapi belum tentu mau/bisa bersama...atau enggan kembali bersama. Cukup kirim doa agar mereka selalu baik-baik saja. Tidak perlu menyimpan marah, sakit hati, maupun dendam. Rugi bandar, apalagi kalau sampai kelamaan. Salah-salah gagal deh, usaha Anda untuk terlihat seawet muda mungkin, hehe.

11. Terlepas dari ‘apa kata banyak orang’, tidak perlu langsung menerima sosok baru dalam hidup Anda bila ternyata Anda memang belum siap. Yang tahu kapan butuh hanya Anda, bukan mereka. Jangan sampai Anda menumbalkan sosok itu jadi rebound, alias pelampiasan belaka. ‘Kan kasihan kalau ternyata mereka beneran mau serius dengan Anda.

12. Masih susah move on? Silakan kunjungi terapis terdekat. (Maaf, saya tidak sedang mengejek Anda, karena ini bisa terjadi pada siapa saja – terutama mereka yang merasa kuat, padahal sebenarnya tidak juga.)

Bagaimana bila cara-cara di atas tidak berhasil juga? Maaf, saya hanya penulis ‘gila kerja’, bukan terapis berlisensi!

R.

(Jakarta, 30 September 2015 – 11:00)


"GARA-GARA KAMU!"

Ada banyak tanya menggantung di benaknya
Siapa kamu?
Dia terperangkap dalam hening alam raya
susah-payah mencoba mengeluarkanmu dari dalam kepala

Ah, sama saja
Kamu masih kokoh bercokol di dalam sana
Takutnya, lama-lama dia bisa gila
terutama bila kamu tidak pergi-pergi juga

Sayangnya, dia juga ingin kamu tinggal
meski sadar tiada yang kekal
kecuali Yang Maha Kuasa
yang sayangnya enggak kamu percaya
Kalau sudah begini, dia harus bagaimana?

Mungkin doa hanya satu-satunya
Sementara itu, dia belum memutuskan juga
apakah kamu racun penyebar pilu
atau obat penawar rindu...

Aduh, kenapa pula harus ada kamu?
Sebelumnya, dia tidak sebegini sendu...

R.
(Jakarta, 14 Oktober 2015 - 1:15)

Jumat, 09 Oktober 2015

"KAMU (DAN AKU YANG MEMBEKU DALAM RAGU)"

Kamu datang tanpa kupinta,
mengacaukan semua yang ada
membuatku bertanya-tanya:

Apa artinya ini?
Ada takut merasuki hati
antara ingin kau tinggal dan usahaku untuk tidak peduli
bila suatu saat kau akan pergi.

Apa-apaan ini?
Kini, duniaku tak sama lagi,
meski ragu masih menghantui
setiap kau di sini.

Mungkin caramu bisa kucoba
Cukup rasio dan logika
Simpan emosi dan rasa
agar tiada yang harus terluka.

Ah, aku enggan menyebutnya
Anggap saja kata itu tak ada
Bagimu, semua ilusi belaka
Mungkin ini hanya sementara
Mungkin aku akan baik-baik saja,
meski suatu saat kamu akan entah dimana...

R.
(Jakarta, 9 Oktober 2015 - 16:30)

Senin, 05 Oktober 2015

"SEMALAM SAJA"

Ada yang kosong dari matamu,
meski dengan senyum itu
sejak kita bertemu.

Kata mereka, aku harus waspada.
Kau tak seperti yang kukira.
Tak seharusnya kuacuhkan tanda bahaya.

Ah, ternyata...
Kita hidup dalam dua dunia, dua dimensi alam raya
Benak kita terlalu berbeda.

Kurasa cukup sampai di sini.
Tak perlu lebih dari sekali.
Toh, suatu saat kamu juga akan pergi.

Semoga Tuhan bersedia mengisi hatimu
yang segelap dan sepekat langit malam itu,
atau mungkin...dasar sial, aku yang terlalu lugu
diam-diam jatuh kasihan padamu
hingga nyaris saja lupa menjaga diriku...

R.
(Jakarta, 5 Oktober 2015 - 9:30)

Kamis, 01 Oktober 2015

"CELAKA, AKU MASIH MENCINTAIMU!"

Celaka, sepertinya aku masih mencintaimu! Darimana kutahu? Dari sejak kamu memberitahuku mengenai kedatanganmu ke pernikahan teman kita di sini...dan ajakanmu agar aku pergi denganmu. Waktu itu, tentu saja aku mau. Tak hanya itu, aku bahkan praktis menghabiskan sepanjang akhir pekan itu denganmu.
            Lalu, bagaimana denganmu? Apakah kamu tahu juga perasaanku?
            Ya, tahun lalu. Sebelum kamu pindah ke luar kota di lain pulau, aku sempat memberikan sesuatu. Tiga lembar, lima halaman surat itu kuselipkan di antara halaman buku yang pernah kupinjam darimu. Kutinggalkan buku itu di meja kerjamu malam itu, sebelum kabur seperti pengecut.
            Tentu saja kamu membacanya. Kukira kamu akan marah padaku. Syukurlah, kamu hanya menolakku baik-baik, dengan alasan kamu tidak sedang memikirkan hal itu. Meski sedih, aku mengerti. Kamu baru saja putus dengan pacar terakhirmu. Kamu butuh waktu.
            Lagipula, kita berdua sudah dewasa, sama-sama harus realistis. Entah bagaimana denganmu, tapi aku enggan dengan hubungan jarak jauh. Kamu sudah muak dengan sesaknya kota ini, sementara aku tidak yakin mau pindah hanya demi mengikutimu belaka.
            Kamu memang lelaki yang baik. Kamu tetap memperlakukanku seperti biasa. (Ada temanku yang tidak seberuntung aku, langsung dijauhi lelaki pujaannya begitu tahu temanku mencintainya. Benar-benar kekanak-kanakan!)
            Mungkin, karena itulah aku merasa benar-benar kehilangan saat akhirnya kamu berpamitan padaku...
-***-
            Celaka, sepertinya aku masih mencintaimu! Tahukah kamu? Haruskah aku memberitahumu?
            Kata mereka begitu. Percuma bila aku tetap membisu. Namun, lidahku seringkali kelu. Hatiku berat oleh ragu. Rasa takut membuat keberanianku membeku. Untunglah, dari tampak luar aku masih berusaha keras agar tidak jadi bersikap kaku di hadapanmu.
            Seperti sebelumnya, kata mereka aku tidak punya banyak waktu. Kali ini, tidak setiap hari kita bisa bertemu. (Astaga, kemana saja aku dulu, sewaktu kamu masih dekat denganku?)
            Entahlah. Yang kutahu, aku sangan senang saat kamu mengajak bertemu. Sabtu sore itu, kita berdua duduk dan minum kopi sambil mengobrol, seperti dulu. Padahal, setahun lebih sudah berlalu. Lihat, kamu bahkan masih mengantarku pulang setelahnya, layaknya seorang gentleman sejati. Kamu juga masih ingat tempat tinggalku.
            Aku sangat terkesan. Tak hanya itu, aku sangat bahagia.
            “Kujemput jam sembilan nanti malam, ya?” janjimu sambil mengecup pipiku. Kamu baru mau beranjak pergi saat aku sudah di balik gerbang dengan aman.
            Bagi orang Indonesia, mungkin yang kamu lakukan barusan seperti memberi ‘harapan’. Namun, aku tahu bahwa itu hal biasa bagi lelaki Barat. Meski demikian, aku percaya bahwa kamu masih memperlakukanku dengan hormat. Kamu bukan lelaki yang akan memaksa.
            Malam itu, kita nongkrong bareng teman-teman lama kita setelah makan malam. Kukira mereka sedikit bertanya-tanya mengenai kemunculan kita berdua. Bahkan, sahabatmu yang berambut merah juga terang-terangan bilang padaku bahwa seharusnya kamu menikahiku saja sekalian. Entah bagaimana pendapatmu soal itu. Kamu, yang telah terlalu sering terluka oleh masa lalu.
            Kamu, yang ternyata belum bisa melupakannya – bahkan setelah setahun berlalu.Memang, kalian berdua masih berteman baik. Itu hakmu.
            Mata birumu tak bisa bohong saat bercerita tentangnya malam itu. Kamu masih sangat mencintainya.
            Mungkin karena itulah, akhirnya aku batal jujur soal perasaan cintaku yang belum juga berlalu. Namun, aku tetap memasang senyum saat menemanimu ke pernikahan teman kita...dan Senin itu, hari terakhirmu di kota ini.
            “Berbahagialah.” Hanya itu yang kukatakan padamu saat kita akhirnya berpisah. Jawabmu: “Kamu juga.”
            Dasar sial, kenapa juga aku masih mencintaimu seperti ini?

            Mungkin suatu saat kamu akan membaca ini dan tahu. Mungkin mereka yang akan memberitahumu, begitu sadar siapa sosok bermata biru yang terlalu sering kusebut dalam banyak tulisanku...

Tulisan ini juga diikutsertakan dalam: http://www.kompasiana.com/rubyastari/kc-celaka-aku-masih-mencintaimu_560ddf7323afbd6305b501b5 )