Sabtu, 31 Oktober 2015

"DI BALIK ASAP..."

Kata mereka, hidup itu tidak mudah. Setiap cobaan adalah ujian dari Tuhan. Harus sabar menghadapi semuanya. Ini perkara keteguhan. Tak boleh ada keluhan.
Andai saja selalu seperti itu...
Mereka tidak tahu rasanya, terutama dalam jangka panjang. Mereka hanya melihat sebagian. Ah, media memang selalu begitu. Beda dengan kenyataan di lapangan.
Di sini, kami banyak kehilangan. Terlalu banyak. Asap mengaburkan semuanya, tak hanya pandangan. Aku tidak ingin percaya saat mereka mengabariku. Mereka bohong. Kamu hanya tertidur. Kamu masih ada. Kamu hanya lelah gara-gara asap sialan ini. Hutan telah terbakar parah hingga seluruh kota total menjadi kelabu. Agak sulit mengenali wajah-wajah itu.
Sayang, kita telat mengungsi. Maafkan Mamak, sayang. Asmamu memang sering kambuh, terutama akhir-akhir ini. Tapi, Mamak yakin kamu kuat, Nak. Kamu selalu bilang tidak ingin meninggalkan Mamak. Kamu ingin menjadi anak laki-laki yang bertanggung-jawab dan tidak durhaka, terutama sejak ayahmu meninggal.
Hanya kamu dan Mamak, itu yang selalu kamu inginkan. Makanya aku percaya, mereka pasti salah anak. Buktinya, aku masih bisa selalu melihatmu muncul di balik asap. Kamu akan tersenyum lemah padaku, lalu menurut saat kugandeng pulang. Kamu tidak banyak bicara, hanya napasmu yang sesekali terdengar berbunyi 'ngik-ngik' - bagai biola yang dimainkan seorang amatir. Setiap kali kutawarkan maskerku, kamu menggeleng.
"Buat Mamak saja. Anak laki harus kuat."
Ah, tidak tega aku. Mungkin karena itulah, malam ini kita sepakat untuk tidur bersama - tanpa masker. Bantuan tidak datang-datang juga. Kamu mengingatkanku agar belajar tabah, sabar, sekaligus pasrah. Mungkin kamu benar.
"Malam ini kita akan terbang ke angkasa, Mamak," katamu saat kita berbaring berhadapan. Tangan kita bertautan. "Ketemu bintang-bintang."
Aku tersenyum. Perlahan kubelai rambutmu yang halus.
"Mungkin Bapak ada di sana, Mak."
"Ya, mungkin..." Kurasakan mataku terpejam...
 ---***---
Pagi itu, pintu sebuah rumah diketuk. Terdengar suara-suara itu memanggil:
"Maryam? Maryam?" Tak ada sahutan dari dalam. "Maryam, kita dapat tabung oksigen gratis, Maryam."
Kembali pintu diketuk. Masih tak ada sahutan juga. Tiba-tiba terdengar teriakan:
"Astaga, dia biarkan jendela samping terbuka lebar!"
Kepanikan terjadi. Ada yang melompati jendela untuk membuka pintu dari dalam. Mereka menghambur ke dalam kamar yang terbuka.
Tampak, seorang perempuan paruh-baya terbaring di ranjang - memeluk foto seorang bocah laki-laki. Matanya terpejam dan senyumnya tampak damai...
R.
(Ditulis dalam pertemuan The Couchsurfing Writers' Club pada tanggal 29 Oktober 2015, pukul 20:00 di Coteca, Jakarta Barat. Tema: "Asap".)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar