Jumat, 31 Juli 2015

"CERMIN PRIBADI YANG RETAK / PECAH"

Kadang kita kelewat sibuk
dalam usaha membetulkan semua di depan mata
sementara lupa melihat
yang sebenarnya selalu harus jadi perhatian utama

Yang di depan mata selalu mudah terlihat
terbuka, rapuh akan kritik dan gunjingan
yang dapat berbuah penghakiman
dan masalah yang tidak diperlukan

Jangan terlalu sibuk
memaksa mereka berkaca
sementara cermin pribadi retak atau pecah
begitu parah hingga rasanya
kau tidak perlu mendekat untuk melihat lebih seksama...

R.
(Jakarta, 30 Juli 2015 - 10:45)

Selasa, 28 Juli 2015

"TANPA KEMBARANKU..."

MIRA:
            Sudah setahun. Kupandangi cermin dan selalu teringat kamu, versi lain diriku. Padahal kamu lelaki dan hanya berjarak lima menit kelahiran dariku. Kata Papa dan Mama, kita berdua termasuk kasus yang cukup unik.
            Ah, andai saja kita bisa selalu seunik ini...
            Malam itu, aku pulang dan menemukan seluruh keluarga kita berkumpul di ruang tamu, lengkap dengan kue ulang tahun berlilin angka 18 yang menyala.
            “Kejutan!” seru mereka berbarengan. Apakah aku senang? Tidak. Aku murka. Tak kukira mereka akan begitu tega, seakan tahun lalu tidak terjadi apa-apa.
            Seakan mereka tidak pernah merasa kehilanganmu. Tak hanya itu, mereka juga berani mengundangnya. Aku tahu dia sahabatmu, tapi... tapi...
            Gara-gara dia, aku tidak bisa lagi merayakan ultahku denganmu. Aku tidak mau!
            “Apa-apaan ini?!” bentakku, yang langsung membunuh keceriaan di ruangan itu. Kutuding sosok itu dengan penuh kebencian dan dendam. “Dan ngapain dia ada di sini?”
            “Mira!” Papa dan Mama tampak pucat. Aku tak lagi peduli. Aku berbalik dan segera hengkang.
            Aku harus segera pergi dari sini!

MIKO:
            Sudah setahun. Dia masih membenciku. Buktinya, malam itu dia berbalik dan lari dariku... dari kami semua. Kami langsung mengejarnya, berusaha mencegahnya pergi. Apa daya, Mira sudah keburu loncat ke atas motornya dan kabur. Dia memang selalu gesit, sama gesitnya dengan Amir dulu.
            Amir, sahabatku. Amir, kakak kembarnya. Seperti anak kembar lain pada umumnya, keduanya memang sangat dekat.
            Aku telah merenggut kedekatan mereka...
            Aku tidak sengaja. Malam itu aku hanya terlalu lelah. Bukannya mencari pembenaran atau membela diri. Amir juga, tapi kuputuskan agar biar aku saja yang menyetir.
            Ini bisa terjadi pada siapa saja. Aku meleng saat mobil lain ngebut dari belokan yang kulewati malam itu. Kami kena terjang dari samping. Amir yang kena duluan. Aku sendiri hanya luka-luka ringan...
            Mereka menemukan Mira. Dia terjungkal dari motornya karena menabrak pembatas jalan. Untung dia memakai helm... dan masih bernapas...
            Mira, bertahanlah!

MIRA:
            Sepertinya kepalaku terantuk sesuatu. Terakhir kali, yang kuingat hanyalah mengendarai motor.
            “Mira...”
            Mataku terbuka. Samar-samar kulihat sosok familiar itu, seperti berkaca di cermin.
            “Amir?”
            Kembaranku tersenyum sedih. Kurasakan tangannya yang lembut di pipiku sebelum kesadaranku kembali hilang...
            “Maafin gue, Mira...”
            Suara itu. Kali ini aku benar-benar sadar. Kulihat Miko, menangis di antara keluargaku. Miko, dengan air mata penyesalannya. Semua cemas menatapku.
            Dan air mataku pun mengalir. Amir, apakah kau mencoba mengatakan sesuatu padaku? Jika ini memang benar permintaanmu, baiklah. Akan kupenuhi.

            “Maafin gue juga, Mik...” Dan maafin gue, Mir. Kali ini gue akan mengenangmu tanpa dendam padanya...




"UNTUK SEMUA MATA YANG TAJAM MENUDUH..."(3)

Aku tak ingin terpenjara
lagi-lagi oleh mata-mata seperti itu
tatapan tajam menuduh
cara bicara mereka yang angkuh

Aduh!
Ini juga duniaku
Untuk apa mereka memandang dengan tatapan tercela
seakan aku mahluk paling hina
dan mereka tahu segalanya?

Ah, sudahlah!
Biar mereka menilaiku
sesuka yang mereka mau
Aku hanya bisa berdoa
agar mereka bertambah sibuk
dan berhenti mengusik yang sama sekali enggan diganggu!

R.
(Jakarta, 27 Juli 2015 - 17:52)

Sabtu, 25 Juli 2015

"UNTUK PERJALANAN KITA, SAHABAT!"

Mungkin aku mencintaimu, terutama setelah Singapura, Bali, dan Bandung - untuk alasan sama:
            Kamu selalu habis putus. Aku sedang tidak punya kegiatan. Ada yang sok tahu dengan menuduhku tidak punya teman, selalu menempelimu kemana-mana. Tak perlu membuktikan mereka apa-apa. Selama ini, kamu selalu baik padaku. Kita tak selalu sepakat, tapi semua selalu bisa dibicarakan.
            Singapura, dimana kita banyak berjalan dan tertawa. Bali, dimana aku ‘bandel’ sejenak dengan mabuk dan menyesalinya. Aku nyaris tenggelam dan kau menyelamatkanku, ibarat film-film roman picisan. Semoga Tuhan mau mengampuni semua kesalahanku.
            Bandung, saat kau lebih banyak berurai air mata. Dia nyaris sempurna, katamu waktu itu. Sayang, kalian tidak mungkin bersama.
            Aku memang mencintaimu, tapi aku tidak sebodoh itu. Aku bukanlah sosok yang akan pernah kau dambakan. Aku juga bukan mahluk suci. Biar kusimpan rasa ini – berharap akan musnah sendiri.
            Sementara itu, mari kita teruskan perjalanan ini, meski tak selalu bersama...dan mungkin takkan pernah ditakdirkan berdua...

            R.

            (Jakarta, 26 Juli 2015 – 13:36)

#CSW CLUB DIARIES (COUCHSURFING WRITERS’ CLUB DIARIES) : “OLEH-OLEH”

Saat mendengar kata “oleh-oleh”, apa yang pertama kali tercetus di benak Anda? Mungkin banyak yang lantas mengasosiasikannya dengan pemberian / buah tangan dari keluarga / teman / pasangan yang bepergian ke luar kota / negeri. Sayangnya, konsep itu sedikit terdistorsi dengan sikap oportunis dan memaksa mereka yang hobi main todong: “Oleh-olehnya, dong!” setiap kali ada yang (ketahuan) hendak ke luar kota atau negeri. Bukankah namanya berubah jadi “pesanan” / “permintaan”, alias bukan “oleh-oleh” lagi?
Tentu saja, seperti biasa, tidak banyak yang sadar. Bukankah oleh-oleh terbaik adalah yang diberikan dari hati, tanpa diminta, dan – kalau bisa – tanpa ada unsur “utang budi”? Perkara yang diberikan berkenan atau tidak, itu urusan nanti. (Kalau sampai tidak, itu namanya kebangetan alias “tidak tahu terima kasih” – apalagi kalau sebelumnya mereka sampai pakai acara menodong atau merengek-rengek!) Yang penting ikhlas dari lubuk hati yang terdalam dan insya Allah di-ridhoi Ilahi. (Aamiin ya rabbal ‘aalamiin…)
Kalau yang lain, mungkin sebutannya lebih cocok kado / hadiah. Misalnya, kado ulang tahun atau pernikahan. Waktu kecil, mungkin bagi sebagian dari kita merasa bahwa kado ultah itu penting, sepenting jumlah teman yang datang ke pesta ultah kita. Kita jadi tahu berapa banyak yang perhatian sama kita. Apalagi bila kadonya kebetulan sesuai sekali dengan keinginan kita. Berarti pemberinya benar-benar mengenal kita dan sangat ingin kita bahagia. (Biasanya, lho.)
Semakin beranjak dewasa, arti kado atau oleh-oleh bisa berubah. Bisa saja pemberian berarti sang pemberi ingin agar kita selalu mengingat mereka. (Jadi, nggak semua harus tentang kita, ya.)
Tak hanya itu, kadang pemberian tak perlu berupa barang, apalagi (sampai) yang mahal punya. Ada juga karya seni yang dibuat dengan sepenuh hati. Ada juga berupa waktu yang sudah diluangkan seseorang untuk mendampingi dan membantu kita, karena waktu takkan pernah kembali. Mungkin kita sendiri sudah pernah melakukannya, sadar tidak sadar. Kalau (merasa) belum, bolehlah dicoba – terutama bila benar-benar menyayangi sosok yang bersangkutan. (Insya Allah nggak akan pakai acara pamrih.)
Sah-sah juga bila sesekali kita menghadiahi diri sendiri. Bukankah kita harusnya jadi orang pertama yang menyayangi diri sendiri? Selain sebagai motivasi, hadiah untuk diri sendiri dapat juga meningkatkan harapan kita akan hidup yang lebih baik serta kesadaran bahwa…ya, kita amat berharga.
R.
(Jakarta, 24/7/2015 – 11:08. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 23 Juli 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee – Setiabudi One, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tema: “Oleh-oleh”.)
11792039_10153499710087288_4856712843578344962_o

Panduan Agar Tidak Jadi Tolol di Internet

Panduan Agar Tidak Jadi Tolol di Internet

"DARIKU UNTUKMU"

Aku mencintaimu, Edo. Aku tahu kau mengerti dan mencintaiku juga. Mereka belum tentu mengerti, tapi hanya itulah satu-satunya caraku untuk mengekspresikan rasa sayangku padamu.
Kamu penyelamatku waktu aku kecil. Anak-anak tetangga di sekitar kompleks perumahanmu memang benar-benar jahat. Aku tidak pernah menyakiti mereka. Mentang-mentang tubuhku mungil dan ringkih, dengan enaknya mereka menceburkanku ke dalam got. Jadilah aku berlumuran air hitam di seluruh tubuh.
Aku sedih sekali. Memangnya aku salah apa, sih?
Lalu kau datang menyelamatkanku. Kau berteriak marah pada anak-anak itu: "Jangan, dong! 'Kan kasihan." Namun, mereka hanya tertawa-tawa sebelum kabur begitu saja. Jadilah kamu yang rela bersusah-payah mengangkatku dari dalam got, lalu membawaku pulang.
Di rumah, kamu memandikanku dengan air hangat, lalu memberiku makan dan minum. Aku tahu, kamu harus sembunyi-sembunyi dari mamamu. Entah kenapa, beliau juga tidak menyukaiku. Beliau memandangiku seakan-akan aku begitu menjijikan.
Mengertikah kamu, Edo? Aku hanya ingin membalas semua kebaikanmu. Kamu tak hanya memberiku makan dan minum, tapi juga senang bermain denganku. Tapi, lagi-lagi mamamu tidak suka dengan oleh-oleh dariku yang sengaja kutinggalkan di bawah mejamu. Bahkan, terakhir kali beliau mengejar-ngejarku dengan sapu. Pakai teriak-teriak segala lagi:
"Kitty, jangan suka ninggalin kadal mati di bawah meja, dong!"
R.
(Ditulis dalam pertemuan The Couchsurfing Writers' Club pada tanggal 23 Juli 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee - Setiabudi One, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tema: "Oleh-oleh".)

Jumat, 24 Juli 2015

"SEMOGA..."

Pernahkah ini terjadi padamu?
Kau kedatangan sosoknya dari masa lalu
setelah lama tak bertemu
dengan sekian rindu

Lalu kau tak pernah menyangka
semua akan begini jadinya
Kau kembali dengannya
merajut kisah lama yang tertunda

Hanya sebuah bisikan
maka terciptalah keajaiban
Wajah-wajah berhias senyuman
saat terciptanya kesepakatan

Inikah cinta?
Semoga ini benar-benar nyata
Semoga ini berlangsung lama
Semoga...kau tidak terluka...

R.
(Jakarta, 14 Juli 2015 - 10:45 am)

Selasa, 21 Juli 2015

"PERCAKAPAN ANTAR MEJA"

Mahogani berkaki satu dan bercakar empat itu sibuk meloncat-loncat. Aku tidak bisa menyalahkannya, karena dua pria besar di dekatnya sesekali menggebrak-gebrak permukaannya sambil tertawa-tawa. Entah apa yang mereka bicarakan.
Sementara itu, kulihat si Jati berkaki dua seperti menari-nari. Seorang gadis pendek dan mungil bertopang dagu di atasnya, sambil sesekali mengayun-ayunkan badannya ke kanan dan ke kiri. Gelas wine-nya sudah hampir kosong. Pipi gadis itu tampak merah, sementara seringai menghiasi wajahnya. Kulihat si Jati tampak senang.
"Aduh, kuharap mereka berhenti menendangi kakiku!" Tiba-tiba kudengar si Besi Hitam berkaki tiga. Bisa kulihat tiga orang yang duduk di sana. Kaki-kaki mereka saling bertabrakan, sesekali menendang kaki-kaki si Besi Hitam. Ah, andai saja mereka bisa mendengar rintihannya...
"Ahh, ada untungnya jadi aku!" komentar si Plastik berkaki empat dengan pongah. "Biar kata dari plastik, aku masih tetap tegak berdiri."
Aku melongo. Baru saja si Plastik berkata begitu, ketika tiba-tiba dia terguling. Dua pria yang sudah amat mabuk berkelahi dan menabraknya.
Aku masih melongo saat sepasang tangan terjulur di atas kepalaku. Aku mendongak. Sosok sahabatku tampak kabur, namun kurasakan dia khawatir.
"Bisa berdiri?" tanyanya datar. Kusambut tangannya dengan susah-payah. Dia membantuku bangun. Berdua kami keluar dari bar, terseok-seok.
Sial, aku kebanyakan minum!
R.
(Ditulis dalam pertemuan The Couchsurfing Writers' Club pada tanggal 9 Juli 2015, pukul 20:00 di Food Court Plaza Festival, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tema: "Kaki Meja".)

"ADA CINTA DAN LUKA DI HARI RAYA"

Banyak yang ingin kuucap padamu di Hari Raya
Tak hanya maaf, namun juga kata cinta

Ada tanya di tatapmu
Kau takut akan air mataku
Kau di benakku yang seluas alam raya
Ada harap dan cinta di sana

Kita berbeda, terutama perihal Hari Raya
Kita takkan bisa bersama, kecuali keajaiban belaka

Ada getar dalam benakku saat kau mencintainya
Biarlah senyum ini palsu, asal kau bahagia

Selamat merayakan cinta
Biar kurangkul duka dengan sisa-sisa air mata
Kau tak perlu merasa berdosa

Tiada dendam, hanya rindu yang (harus) didustakan
Biar kularut sunyi dalam sendiri, luka hati yang dirayakan!

R.
(Dari #puisimalam nulisbuku.com bertopik: "RAYA".)

Senin, 20 Juli 2015

"SEKALI LAGI, LEBARAN SEDERHANA (DAN ISTIMEWA) DI JAKARTA..."

Bagi yang tidak mudik dan tinggal di Jakarta sepanjang liburan Lebaran (apa pun alasannya), berbahagialah. Jarang-jarang kita bisa menikmati ketenangan di metropolitan, yang bahkan di beberapa lokasi nyaris menyamai pekuburan. (Hiii? Ah, enggak!) Setelah seharian penuh bercengkerama dengan keluarga besar dan sibuk mengurus rumah (termasuk cuci piring dan pakaian, berhubung PRT biasanya pada mudik semua dan yang anfaal belum tentu terjangkau bagi semua), Anda bisa suka-suka.
Bersyukurlah kita tidak akan ketemu macet yang biasanya (terpaksa) jadi makanan sehari-hari, kadang bisa sampai bikin kita mau muntah. (Hayo, ngaku aja, deh!) Mau itu angkot atau bus yang mengetem sesuka mereka seperti biasa, jalanan masih (relatif) muat. Bahkan seorang sahabat yang gemar naik motor (dengan baik dan benar tentunya, alias mengikuti aturan lalu-lintas) berseru bahagia saat suatu siang tiba di rumah keluarga saya:
"Ruby, I got here in twenty minutes!" (Ruby, aku sampai di sini dalam dua puluh menit!)
Alhamdulillah banget, bukan? Sampai-sampai keluar meme di social media mengenai bahwa yang Jakarta butuhkan untuk mengatasi macet hanyalah Lebaran, bukan gubernurnya. ("Maaf ya, Pak!") Nggak ada sumpah-serapah di jalanan atau keluhan akan pengendara lain yang ugal-ugalan dan kurang ajar. Apalagi mengingat sahabat saya pernah terjungkal dari motor gara-gara disalip mendadak sama pengendara motor lain, hingga cedera lutut. Nyebelin? Banget!
65985_10153476263737288_6305817444860258445_n
Sayangnya, seperti banyak cerita indah lainnya, kenyamanan super langka ini pun sepertinya harus berakhir. Selepas liburan Lebaran ini, semuanya akan kembali sama. Pemudik akan kembali dan langit Jakarta akan terpolusi. Jalan-jalan bakalan macet lagi. Kebiasaan-kebiasaan lama (dan buruk) pengendara kita akan kembali dan barangkali mereka juga sudah lupa kalau kemarin-kemarin sudah berniat dan berjanji untuk memperbaiki diri.
Entah kapan perubahan yang berarti (beneran) akan terjadi...
R.

Minggu, 12 Juli 2015

"SETIAP RAMADHAN BERLALU..."

Lagi-lagi aku merasa dungu
Ah, betapa lalainya diriku
Lagi-lagi biarkan Ramadhan berlalu
dengan usaha dan harapan nan semu

Manusia memang suka begitu
Tiada mudah berubah seperti yang lalu
Janji kadang tertahan di lidah yang kelu
hingga sesal tertinggal dalam pilu

Ah, Ramadhan...
Masihkah akan Kau berikan pada kami, Tuhan?
Meski sudah sering sangat kelewatan,
kami sebenarnya sangat takut siksaan
Kami juga teramat butuh belas kasihan dan ampunan...

R.
(Jakarta, 11 Juli 2015 - 11:18)

"HALAL BI HALAL DAN DAFTAR PERTANYAAN 'GENERIK' "

Halal bi halal...dan daftar pertanyaan 'generik'? Hah, apaan tuh??
Sebelumnya, halal bi halal itu apa, sih? Bagi yang merayakan Idul Fitri, kita mengenalnya sebagai tradisi berkumpul bersama keluarga, bertemu kawan lama saat dan setelah Lebaran - minimal setahun sekali. Biasanya berupa makan bareng, saling bermaaf-maafan, hingga bertukar cerita.
Lalu, apa maksud saya dengan 'pertanyaan generik'? Yang pasti, pertanyaan-pertanyaan yang termasuk berpotensi bikin jengah dan 'mengganggu' niat luhur silaturahmi, apalagi bila disampaikan dengan nada yang 'kurang enak' didengar - apalagi bagi kaum Hawa yang masih lajang.
Ini dia - daftar pertanyaan generik yang suka keluar pas halal bi halal:
"Kok gendutan?"
"Mana pacarnya?"
"Belum ada pacar? Tante kenalin ama anaknya Om .... , ya?"
"Ini pacarnya? Kapan nikah?"
"Kapan punya momongan?" / "Gimana, udah 'isi' belum?" --> Ini dia pertanyaan yang paling makjleb bagi pasangan yang belum juga dikaruniai anak, apalagi bila mereka sudah cukup lama menikah. Ngomong-ngomong soal 'isi', menurut saya cara nanyanya juga 'enggak banget'. Memangnya badan perempuan ibarat gentong yang harus diisi-isi? Udah ada isinya, kali - yaitu organ tubuh. (Dan please deh, gak usah pake acara komentar: "Hiiih!")
"Si .... (nama anak) kapan punya adik?"
(Selanjutnya silakan ditambah sendiri)
Oke, sebelum pada menuduh saya kelewat sinis, sensi, nyinyir, nggak bersyukur udah / masih diperhatikan, atau apalah namanya... begini aja, deh. Mendingan kita semua saling bekerja sama agar suasana halal bi halal lebih menyenangkan dan nyaman bagi semua pihak. Bukan apa-apa, masalahnya banyak teman-teman saya (lagi-lagi terutama sesama perempuan lajang) yang kadang jadi enggan - hingga cenderung ogah-ogahan - menyambut acara akbar ini. Ada yang jadi bete, uring-uringan, hingga memilih kerja pas hari libur atau kabur ke luar kota / negeri dengan beragam alasan, dimana mereka nggak perlu mendengar pertanyaan-pertanyaan 'generik' barusan. Serius.
"Ya udah, cuekin aja mereka."
Serius? Serba salah, nih. Dari tahun ke tahun yang ditanya itu-itu saja. Memangnya nggak pada eneg, ya? Kalau dicuekin (apalagi bila yang bertanya lebih tua dan - aduh! - termasuk figur dominan yang dihormati di keluarga besar), bisa-bisa kita yang dituduh kurang ajar alias nggak sopan. (Biasa, 'kan?) Kalau membantah atau pasang wajah bete juga begitu. Meski pertanyaan-pertanyaan (dan komentar-komentar) tersebut bikin panas kuping dan hati, tetap saja kita yang akan disalahkan bila bereaksi terlalu 'keras' alias negatif. (Apa iya Indonesia akan selalu begini?)
Kalau sok cool dan meladeni dengan senyum palsu, tetapi dalam hati sebenarnya dongkol? Ya, itu namanya sama saja dengan menyiksa diri sendiri. Yang bertanya (atau menginterogasi?) juga tidak akan merasa salah alias sah-sah saja bila mereka kepo dan mengkritik begitu mendapat respon yang tidak mereka harapkan. Apalagi bila akhirnya mereka selalu memberi wejangan serupa dari tahun ke tahun ibarat siaran ulang. Kalau masih pada tahan sih, nggak masalah. Kalau enggak? Apalagi bila kita sudah mengikuti semua saran mereka (terutama yang kata mereka "dijamin ampuh" ), namun ternyata Tuhan memang belum berkehendak. Nah, lho! Hasilnya masih sama atau malah lebih parah. (Terus bagaimana, dong?) Yang ada, lagi-lagi malah kita yang dituduh 'kurang usaha'. Hiks. Seolah mereka guru paling killer di sekolah dan kita selalu (dianggap) gagal meraih skor 100 sesuai maunya mereka. Kriteria sempurna yang seakan menjadi tolak ukur kesuksesan kita dalam hidup sebagai anak manusia. Pendikte kebahagiaan hidup kita.
"Elo kok, sinis banget gitu, sih?" Tuh, 'kan. Lagi-lagi... "Mereka 'kan cuma bermaksud baik. Kenapa nggak jawab: 'Doain aja'? Gitu aja susah banget!"
Oke, sekilas memang terdengar amat mudah. Namun, yang tidak menyenangkan adalah tuntutan 'berat sebelah' a la para feodalis sejati. Kesannya yang lebih tua (yang bertanya) selalu merasa paling benar dan berhak ngomong apa saja tanpa perlu khawatir atau peduli bakal menyinggung yang lebih muda (alias yang ditanya). Sementara itu, yang lebih muda (yang ditanya) diharapkan selalu sopan dan mengalah untuk menjaga 'perdamaian', alias kelancaran acara halal bi halal - dengan mengorbankan perasaan dan harga diri mereka.
Hasilnya bisa ditebak: halal bi halal yang tujuan utamanya merekatkan tali silaturahmi antar keluarga dan kawan lama berubah jadi ajang penghakiman dan kritikan. Bukannya tambah dekat, malah makin berjarak. Apalagi bila sampai tercetus di benak mereka: "Hhh, untung cuma ketemu si A / Tante B setahun sekali."
Nah, lho! Nggak mau, 'kan? Kecuali kalau perasaan mereka sama sekali tidak penting bagi Anda.
Daripada terus-terusan mengandalkan daftar pertanyaan 'generik' di atas untuk bahan obrolan basa-basi (yang lama-lama berpotensi beneran jadi basi), mendingan coba beberapa alternatif di bawah ini:
"Kok gendutan?" Daripada mengajak 'ribut' (meski niat Anda bukan begitu) dengan pertanyaan itu, mendingan tanya: "Gimana kabarnya? Sehat?" Atau pujilah penampilan mereka hari itu, seperti baju baru (yang mungkin dibeli khusus untuk merayakan Lebaran) misalnya - dengan catatan: NGGAK PALSU, alias tulus.
"Mana pacarnya?" Kalau mereka bilang baru putus atau belum ada, bolehkah menawarkan:"Belum ada pacar? Tante kenalin ama anaknya Om .... , ya?" - dengan catatan: NGGAK MAKSA. Bisa saja mereka masih patah hati dengan hubungan sebelumnya dan masih butuh waktu untuk sembuh. Sampai kapan? Hanya Tuhan dan mereka yang tahu. Tidak perlu menghakimi dan menggurui dengan nasihat: "Ngapain nunggu lama-lama? Ingat umur." Percayalah, mereka tidak sebodoh itu sampai harus berulang-kali diberitahu. Tidak perlu membuat mereka merasa kurang atau jelek karena sesuatu yang belum mereka dapatkan, apalagi bila ternyata mereka masih enjoy dengan status lajang mereka. Tidak perlu mendikte. Kata siapa semua harus jadi urusan Anda juga?
Ingin menjodohkan mereka dengan seseorang? Kadang nggak perlu langsung bilang-bilang. Ajak saja mereka hang-out dengan Anda setelah acara itu, lalu kenalkan mereka dengan sosok yang ingin Anda jodohkan dengan mereka. Cuma jangan terlalu berharap, apalagi pakai acara memaksa mereka segera jadian. Semua yang bagus butuh proses dan kesabaran.
"Ini pacarnya? Kapan nikah?" Daripada langsung menodong mereka dengan pertanyaan itu, mending ajak ngobrol keduanya dulu pelan-pelan. Berusahalah mengenal mereka dengan cara yang tidak terlalu kentara, alias kelewat kepo. Kalau terkesan dengan si pacar, bisa bilang: "Wah, insya Allah kalian berjodoh, ya?" Komentar itu pasti akan lebih dihargai daripada pertanyaan yang bernada menodong. Percaya deh, kalau mereka memang sudah berniat serius, Anda tinggal menunggu undangan.
"Kapan punya momongan?" Please, hati-hati banget deh, kalau mau menanyakan sesuatu yang sesensitif ini! Apalagi bila mereka memang sudah berusaha dengan sedemikian rupa - atau malah baru saja keguguran. Nggak perlu juga selalu bilang akan mendoakan mereka (apalagi dengan bonus ekspresi dan nada kasihan.) Justru doa yang nggak ketahuan sama orang lain alias diam-diam biasanya doa yang paling tulus.
Mau yang lebih sederhana? Cukup tanyakan kabar mereka, lalu lakukan 3D (Duduk, Diam, dan Dengarkan.) Gampang, 'kan? Nggak perlu pakai drama pula.
Jadilah sosok yang selalu dirindukan dan tidak hanya tiap halal bi halal dengan bertanya kabar tanpa saling menghakimi, peduli tanpa (terlalu) usil dan menggurui, hingga memberi saran tanpa mendikte. Dengan begitu, yang ditanya nggak hanya merasa nyaman - namun makin bersedia membuka diri. Yang bertanya juga tidak akan dipandang seperti orang yang hobi mencampuri urusan pribadi orang lain.
Akhir kata, mohon maaf bila tulisan ini kurang berkenan. Saya hanya menawarkan solusi alternatif agar semua pihak sama-sama enak dan dapat menikmati halal bi halal. Minal aidin wal faidzin. Hati-hati di perjalanan bagi yang mudik.Mohon maaf lahir dan batin.
R.

Jumat, 10 Juli 2015

"MAAF, DILARANG MASUK!"

Ada tembok yang terasa nyata bagimu;
tinggi, tebal, kuat, dan angkuh
kubangun dengan sengaja agar kau tak tahu
Biarlah semua rahasiaku kali ini tersimpan aman dan utuh

Ya, kali ini tak banyak pintu
Tak semua ruangan boleh kau masuki
Tak banyak akses untukmu
Semoga kali ini kau sadar dan cukup tahu diri

Sudah lama kuberdamai dengan masa lalu,
meski bagimu - luka itu akan selalu ada dan menganga
Kita tak bisa kembali lagi seperti dulu,
karena kau sulit sekali untuk berbahagia

Aku punya daftar VIP baru
Sayang, kali ini sepertinya tiada namamu
Mungkin kita masih akan saling bertegur-sapa
namun semua takkan lagi sama

Aku tak pernah ingin membenci,
namun kau selalu sakit hati
atas semua yang tak sesuai harapan
hingga kau selalu merasa jadi korban

Aku butuh bahagia,
meski tiada yang sempurna
Tak perlu mencoba membuatku merasa kurang dan hina,
hanya agar kau tak merasa menderita

R.
(Jakarta,9 Juli 2015 - 11:15)

Rabu, 08 Juli 2015

"UNTUK SEMUA HATI YANG (PERNAH) PATAH DAN MEREKA YANG (PERNAH) MEMATAHKAN HATI..."

Percakapan dengan salah seorang sahabat mengenai relationship membawa ingatan saya kembali kepada beberapa tahun silam...
Waktu itu, salah seorang teman pernah menjadi penyiar radio untuk program acara bincang-bincang dalam bahasa Inggris selama sejam di stasiun lokal. Saya termasuk pemirsa setia yang rajin menelepon untuk curhat sekaligus berbagi opini mengenai topik apa pun yang mereka balas malam itu.
"Pernah patah hati, nggak? Atau pernah bikin orang patah hati?" tanya teman saya suatu malam. Saat itu saya bercerita mengenai sosok yang dulu sempat membuat saya patah hati. Tak perlu dibeberkan di sini. Selain malas mengungkit masa lalu, kok rasanya kayak membuka-buka aib? Apalagi bila sosok itu sebenarnya tidak tahu kalau pernah mematahkan hati saya. (Nggak dikasih tahu juga, sih.) Atau kalau pun tahu, bila masalahnya sudah selesai, ngapain dibahas lagi? Buka luka lama saja!
Untuk pertanyaan kedua di atas, saya sempat tertegun (untuk tidak kelamaan, soalnya banyak yang mau gantian menelepon malam itu.) Krik...krik...krik...
"Tidak tahu," akhirnya dengan ragu saya menjawab. "Andai ya, biasanya saya tidak tahu dan tidak pernah diberitahu. Moga-moga sih, tidak."
Kita selalu lebih mudah mengingat saat kita patah hati daripada saat kita mematahkan hati orang lain - sadar tidak sadar dan sengaja maupun tidak. Lihat saja, selalu lebih mudah bikin status galau di social media tentang betapa hancurnya hati kalian saat diputusin, ditolak, atau kecewa karena ulah si 'dia' yang jauh dari harapan indah kita. Lebih banyak hasil karya seni, baik berupa puisi, cerpen, novel, lagu, dan lukisan yang tercipta dari patah hati. Ada yang sembuhnya sampai lama gara-gara kelewat 'baper' (bawa perasaan).
Bagaimana kalau ternyata kita yang (pernah) mematahkan hati orang lain? Boro-boro ingat, jangan-jangan kita malah (lebih sering) nggak sadar. Atau mungkin kita merasa yang kita lakukan waktu itu benar, meski sampai harus menyakiti hati orang lain. Mungkin saat itu kita menganggap mereka menyebalkan sehingga sepertinya mereka pantas menerima ganjaran itu, alias sah-sah saja kalau kita sampai menyakiti mereka. Relatif, 'kan?
Pernahkah kita terang-terangan bilang ke mantan kalau mereka sudah bikin kita patah hati? Mungkin ada yang pernah, tapi dijamin sisanya lebih banyak gengsi, hihihi... Mau dikemanakan harga diri? Apalagi bila mereka masih berstatus sekedar 'gebetan' dan kita patah hati gara-gara mereka akhirnya menolak kita dan lebih memilih orang lain. (Apalagi bila orang yang mereka pilih menurut kita 'enggak banget'.) Atau, justru si gebetan sama sekali tidak tahu perasaan kita saat mereka akhirnya lebih memilih orang lain. (Nah, lho! Salah siapa coba?)
Apakah lantas kita mau marah-marah dan melarang mereka 'jadian' sama yang lain? Sebentar, memangnya kita siapa dan apa hak kita?
Lagipula, makna 'patah hati' tidak hanya untuk seputar 'relationship'. Banyak hal lain yang berpotensi bikin patah hati, mulai dari kematian orang tercinta hingga kehilangan hewan peliharaan kesayangan. Siapa yang tidak sedih, coba?
Mungkin karena itulah agak beresiko bila terlalu yakin menyebut diri sebagai orang baik atau orang jahat. Mengapa? Karena 'sok yakin' merasa diri orang baik, takutnya jadi malah kege-eran dan terjebak dalam sifat sombong - lalu merasa aman-aman saja. Kalau terlalu merasa buruk akan diri sendiri, yang ada malah jadi pesimis.
Makanya, jawaban-jawaban seperti "Insya Allah selalu baik" atau "Terima kasih, semoga kita semua bisa menjadi lebih baik lagi" merupakan jawaban teraman saat dipuji. Kita tidak pernah benar-benar tahu. Bisa saja kita dianggap baik oleh kalangan tertentu, namun tidak bagi kalangan lainnya - apa pun alasannya.
Dengan kata lain, kita tidak bisa selalu menyenagkan semua orang - dan begitu pula sebaliknya. Selamat datang sekali lagi di dunia nyata.
Kita semua mungkin sudah pernah (dibikin) patah hati. Apakah kita juga sudah pernah bikin orang patah hati? Semoga tidak, ya. Kadang kita hanya bisa berharap yang terbaik untuk semua. Lagipula, kalau ternyata mereka tidak pernah (diberi)tahu bahwa mereka sudah pernah bikin kita patah hati, berarti mereka tidak benar-benar bersalah, dong.
Eh, apa iya? (Jadi bingung sendiri...)
R.
(Jakarta, 6 Juli 2015 - 20:58)

Selasa, 07 Juli 2015

"KAMU (YA, KAMU!)"

Apakah arti hadirmu?
Aku kian termangu
sejak kembalinya kamu dalam hidupku
dengan tanya yang kian mengganggu

Apa maumu?
Perutku terasa riuh oleh gemuruh sayap kupu-kupu
menari mengguncang hatiku
Kata sahabat, aku jadi mudah tersipu

Benarkah kamu akan jadi cintaku?
Semoga aku bukan hanya mainan bagimu
Tolong, jangan buang waktuku!
Tak sudi kau merusaknya dengan harapan semu

R.
(Jakarta, 6 Juli 2015 - 20:45)

Senin, 06 Juli 2015

"KISAH PENDEK BURUNG KECIL"

Aku bersyukur bertemu denganmu, Riri. Kamu anak yang baik sekali. Adikmu, Andi, juga baik.
Aku tidak ingat penyebabnya waktu itu. Yang kutahu, ada rasa perih di salah satu sayap mungilku. Luka ini membuatku lelah, semakin lama semakin lemas.
Maka, aku pun perlahan terbang rendah, sebelum akhirnya mendarat - atau lebih tepatnya - terjatuh di atas dedaunan empuk. Waktu itu aku sudah pasrah, siap jadi santapan kucing atau predator lain di taman itu.
"Eh, lihat itu!" Mendadak kudengar suara nyaring anak manusia. "Kak Lili, ada bulung jatuh. Kasian, deh. Sayapnya bedalah!"
Tubuh mungilku sudah lelah. Kurasakan sepasang tangan mengangkatku dengan hati-hati sekali, seakan-akan takut meremukkanku. Kesadaranku berkurang, meski lamat-lamat masih bisa kudengar suara anak manusia kedua - kali ini lebih halus:
"Kita bawa ke dalam, yuk. Terus kita obati."
--- // ---
Ternyata aku diselamatkan oleh dua anak manusia. Dari pembicaraan mereka, kutahu mereka kakak-beradik dan masih kecil sekali. Yang perempuan bernama Riri, yang lelaki bernama Andi. Dengan bantuan manusia perempuan dewasa yang mereka panggil Mbak Yem, mereka mengobati sayapku dengan cairan merah yang terasa agak pedih. Aku hanya sedikit mencicit kesakitan, namun Riri berusaha membujukku sambil mengelus kepalaku dengan jemarinya:
"Tidak apa-apa, Burung Kecil," katanya. "Biar cepat sembuh..."
Oh, ya. Aku juga diberi makan berupa biji-biji jagung dan minum air. Aku tinggal di atas lantai yang dingin, dalam kandang buatan mereka yang kata Mbak Yem sebenarnya tudung saji dari plastik...
--- // ---
Keesokan harinya, sayapku sembuh. Tak hanya itu, ternyata masih ada dua manusia dewasa lainnya di rumah itu - laki-laki dan perempuan. Riri dan Andi memanggil mereka Papa dan Mama. Papa dan Mama membujuk Riri dan Andi agar membiarkanku pergi.
"Burung terbang bebas di angkasa, jadi harus dilepas," begitu kata mereka. Meski Andi tampak sedih, namun Riri mengerti. Berdua mereka membawaku ke taman dan melepasku pergi.
"Terbanglah, Burung Kecil," kata Riri sambil tersenyum. "Kapan-kapan main ke sini lagi, ya."
Tentu saja. Aku tak mungkin melupakan kalian, penyelamatku. Jangan menangis, Andi. Aku akan kembali.
Sesuai janjiku, keesokan harinya aku melesat ke dapur mereka lewat jendela yang terbuka. Aku kembali bertengger di tempat yang sama. Tentu saja, Andi menyambutku gembira.
"Kak Lili, bulungnya datang lagi!"
--- // ---
Hari-hariku bersama Riri dan Andi terasa begitu indah. Mereka tertawa-tawa saat bergantian mengelusku dan memberiku biji-biji jagung.
Hingga siang itu...
Oh, tidak! pikirku ketakutan. Apa yang dilakukan anak-anak itu?
Saat hendak terbang ke rumah Riri dan Andi seperti biasa, sekelompok anak lelaki yang tampak lebih besar dan kasar mengejarku dari bawah. Di tangan mereka terdapat ketapel dan batu.
Insting memaksaku untuk terbang secepat mungkin, menjauhi mereka. Namun, batu pertama melayang menghantamku...
--- // ---
"HUAAA, KENAPAAA?!"
Tangis Riri dan Andi siang itu pecah seketika. Mbak Yem, yang menemukan tubuhku yang terjatuh di taman, berusaha membujuk dan menghibur mereka. Sia-sia. Keduanya masih menangis keras, bahkan saat menguburku di taman. Riri tak henti-hentinya meratap.
"Jahat! Dasar anak-anak jahat! Aku pukul mereka nanti! Jahat! Huhuhuhu..."
"Sssh, sudah... sudah... ," bujuk Mbak Yem, yang juga tampak sedih. Sesedih hatiku yang melihat semuanya...
--- // ---
Aku bersyukur bertemu denganmu, Riri. Kamu anak yang baik sekali. Adikmu, Andi, juga baik.
Kalian jangan bersedih. Meski kebersamaan kita begitu singkat, kebaikan kalian akan selalu kukenang...
R.
(Jakarta, 2 Juli 2015 - saat pertemuan Klub Menulis Couchsurfing di Food Court Pasar Festival - mulai pukul 20:00. Tema: "binatang peliharaan".)

Minggu, 05 Juli 2015

"SURAT TERBUKA UNTUK PARA BULLY"

Saya tidak akan memulai surat ini dengan “Dear Bullies”, mengingat menurut saya kalian tidak pantas disambut dengan sehormat itu. Mumpung belum mulai tahun ajaran baru / semester baru, silakan baca ini bila berkenan. Tak hanya anak sekolah dan mahasiwa, namun juga orang tua para bully dan para manusia Indonesia lainnya yang (merasa / mengaku) dewasa, berotak, dan berhati. Semoga setelah membaca ini, mata dan hati kalian terbuka lebar. (Bila tidak? Semoga pencinta damai dijauhkan dari macam kalian!)
            Mungkin, siapa pun kalian, sadar tidak sadar telah (lama?) menjadi pelaku kekerasan alias tukang bully. Mungkin dulunya kalian pernah jadi korban bullying, entah di rumah (dengan anggota keluarga abusive), sekolah / kampus (senior tukang gencet / pengajar yang hobi memarahi dengan kata-kata melecehkan dan merendahkan harga diri), hingga lingkungan pekerjaan (bos sadis atau rekan kerja culas) dan sosial (preman jalanan, aparat hukum yang menyalahgunakan kekuasaan, dan orang sengak lainnya.) Mungkin kalian tidak bisa melupakan semua rasa sakit alias memendam rasa dendam. Mungkin ada yang bisa membalas mereka yang telah menyakiti kalian – baik secara fisik maupun verbal, atau bahkan keduanya. Mungkin ada yang hanya bisa menyumpah-nyumpah atau malah lebih parah – mencari sasaran lain yang kalian anggap lebih lemah. Celakanya, yang jadi pelampiasan kalian kebanyakan mereka yang tidak tahu apa-apa dan hanya mengurus urusan mereka sendiri. Lagi haus perhatian? Butuh pengakuan? Kurang hiburan?
            Merasa nggak punya pilihan?? Apa iya seluruh dunia wajib tahu seluruh masalah kalian dan merasa kasihan? Butuh korban untuk membuat kalian senang dengan hidup kalian? Apa kalian korban sinetron alay?
            Jangan-jangan kalian malah ingin dan bangga jadi tukang bully. Mungkin hanya itu cara yang kalian tahu agar dianggap jagoan, diperhatikan dan dihormati orang lain. Ada yang takut hingga benci? Ah, kalian mana peduli!
            Bagi yang masih sekolah atau kuliah dengan biaya orang tua, nggak usah bangga dulu mentang-mentang bisa berkuasa dan mem-bully adik kelas atau junior. Kalian belum ada apa-apanya bila uang jajan saja masih mengemis sama orang tua! Kalau pun sudah begitu hebat bisa membiayai diri sendiri, tetap nggak ada pentingnya juga kalian jadi tukang bully. Uang dari orang tua tidak selamanya bisa melindungi kalian, meski mereka donatur terbesar sekolah atau malah yang punya kampus sekalian! Bukannya nggak mungkin pas di dunia nyata nanti, malah kalian yang diinjak-injak sama junior yang lebih sukses berkarir namun masih mendendam dengan ulah kalian di masa lalu. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa semua manusia akan sepemaaf yang kalian inginkan. Enak saja! Dewasalah. Kapan mau bertanggung-jawab sama perbuatan sendiri?
            Bagi orang dewasa? Please, jangan bikin saya geli! Hari begini masih pada main drama? Nggak bisa ngomongin masalah baik-baik? Harus pakai menghina segala, ya? Nggak bisa berargumen secara cerdas dan elegan, sehingga buntutnya yang diserang selalu kepribadian lawan bicara atau cara mereka hidup / berpakaian – bukannnya isi pembicaraan itu sendiri, semata-mata hanya agar lawan bicara (merasa) kalah / dipaksa mengalah? Harus ada yang ‘jatuh’ dulu, baru kalian merasa menang dan hebat?
            Kasihan. Menyedihkan. Segitu butuhnya akan perhatian maupun pengakuan. Lupa bahwa masih ada langit di atas langit. Lupa bahwa hidup ini tidak abadi. Lupa bahwa suatu saat akan diminta semua pertanggung-jawaban oleh Yang Maha Adil dan Abadi...
            Saya mungkin sekedar blogger bawel dan sok tahu di sini. Mungkin tulisan ini kelewat kasar bagi kalian. Tapi lebih kasar mana sama meneror adik kelas tiap hari atas nama sentimen senioritas bapuk? Silakan pikir sendiri! Semoga kalian masih bisa pada mikir dan punya perasaan, terutama mengingat banyak sekali orang tua murid yang sudah membayar sangat mahal untuk biaya sekolah anak mereka, namun terpaksa memindahkan anak mereka di awal atau tengah tahun ajaran – gara-gara si anak merasa terancam dan ketakutan tiap hari gara-gara diteror dan dianiaya, hingga sulit fokus belajar, sering sakit, hingga depresi dan ingin bunuh diri. Memangnya kalian berani bayar berapa sama orang tua mereka untuk mengganti uang yang hilang? Belum lagi bila anak mereka masuk RS, harus dirawat psikiater karena stres, hingga meninggal gara-gara kalian memukulinya habis-habisan atau membuatnya ingin bunuh diri. Memangnya kalian mau bertanggung-jawab sampai sejauh itu?
            Pernah berpikir sampai ke situ? Harus menunggu jadi orang tua dulu baru mengerti? Ini juga berlaku bagi para orang tua yang anaknya tukang bully. Kalau kalian sampai bangga dan menganggapnya suatu prestasi – apalagi bila anaknya laki-laki (“Harus jago berantem, nggak boleh cengeng kayak cewek!) – maka celakalah kalian. Jangan heran bila anak kalian ke sekolah dengan sikap brengsek, mentalitas dan kebanggan semu a la preman jalanan atau penjahat. Mau belajar apa mau jadi bajingan? Apa malah mau belajar bunuh orang? Masa depan mereka mau (di)kemana(kan)?
            Saya muak dengan berita-berita yang sama tiap tahun. Bullying yang selalu sukses “berbungkus” Masa Orientasi Siswa / Mahasiswa / apalah namanya. Selalu memakan korban. Meningkatnya statistik korban bullying. Guru-guru yang selalu disalahkan. Orang tua yang – maaf-maaf saja, nih – hanya sekedar tahu beres dan ‘tutup mata’ dengan kenyataan bahwa anak mereka sebenarnya bermasalah.
            Saya tidak akan menyumpahi kalian, wahai para bully. Justru saya memilih rajin-rajin mendoakan kalian agar sibuk sesibuk-sibuknya dengan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sibuk mengurusi adik kelas yang mungkin menurut kalian kecentilan / banyak lagak. Ngapain coba? Apa untungnya juga? Dunia sudah banyak masalah yang jauh lebih serius dan mendesak untuk diselesaikan daripada ego kalian yang hobi bikin drama nggak penting. Tolong, enggak usah lebay! Biasa aja. Biasakan untuk nggak kepo sama urusan pribadi orang lain, apalagi sampai berusaha mengatur-atur hidup dan pribadi orang lain sesuai maunya kalian, hanya agar kalian lebih happy sama hidup kalian sendiri. Halo, memangnya kalian siapa, sih?
            Bagi mereka yang (mengaku) dewasa tapi sudah terbiasa jadi tukang bully (sadar tidak sadar), mending pada buru-buru ngaca, deh! Ingat (dan malu) sama umur. Bukannya semakin tua kita harus semakin memberi contoh yang lebih baik pada yang lebih muda? Maaf, feodalisme sempit harusnya masuk museum saja! Lebih tua tidak lantas membuat Anda otomatis menjadi dewa tanpa cela.
            Mungkin selama ini rasanya menyenangkan bisa mem-bully orang lain, karena dapat meraih semua keinginan pribadi, tanpa peduli menumbalkan orang lain. Percayalah, nggak ada orang waras mana pun yang sudi menderita di akhir hayatnya – karena selama hidupnya sering bersikap dan berbuat jahat sama orang lain hingga akhirnya malah didoakan yang ‘jelek-jelek’ sama mereka yang sakit hati. Ingat, doa mereka yang terzalimi selalu dikabulkan Tuhan – entah sekarang atau nanti. Nggak mau, ‘kan? Belum lagi bila urusannya sampai ke akhirat. Hiiih!
            Semoga kita semua tidak termasuk pelaku maupun korban bullying. Jika masih ada yang dengan entengnya menganggap bahwa semua korban bullying itu lemah, cengeng, dan terlalu sensi – coba deh, sesekali tukeran posisi sama mereka, baru pada ngomong. Enak, nggak? Ogah, ‘kan?


            R.

Jumat, 03 Juli 2015

"SAYANG / CINTA?"

Aku sangat menyayangimu
Tuhan tahu itu
bahkan sejauh kadar yang kumau
meski rapat tersimpan dalam bisu

Sayang seperti apa?
Mungkin banyak yang bertanya-tanya
Tak sedikit yang menduga-duga
Mungkin sudah sampai taraf 'cinta'

Entahlah...
Hanya yang kutahu:
aku memang sangat menyayangimu
tanpa definisi khusus yang membelenggu
Biar kuserahkan semua pada Sang Maha Penentu...

R.
(Jakarta, 3 Juli 2015 - 13:05)