Saya
tidak akan memulai surat ini dengan “Dear
Bullies”, mengingat menurut saya kalian tidak pantas disambut dengan
sehormat itu. Mumpung belum mulai tahun ajaran baru / semester baru, silakan
baca ini bila berkenan. Tak hanya anak sekolah dan mahasiwa, namun juga orang
tua para bully dan para manusia
Indonesia lainnya yang (merasa / mengaku) dewasa, berotak, dan berhati. Semoga
setelah membaca ini, mata dan hati kalian terbuka lebar. (Bila tidak? Semoga
pencinta damai dijauhkan dari macam kalian!)
Mungkin, siapa pun kalian, sadar
tidak sadar telah (lama?) menjadi pelaku kekerasan alias tukang bully. Mungkin dulunya kalian pernah
jadi korban bullying, entah di rumah
(dengan anggota keluarga abusive),
sekolah / kampus (senior tukang gencet / pengajar yang hobi memarahi dengan
kata-kata melecehkan dan merendahkan harga diri), hingga lingkungan pekerjaan
(bos sadis atau rekan kerja culas) dan sosial (preman jalanan, aparat hukum
yang menyalahgunakan kekuasaan, dan orang sengak lainnya.) Mungkin kalian tidak
bisa melupakan semua rasa sakit alias memendam rasa dendam. Mungkin ada yang
bisa membalas mereka yang telah menyakiti kalian – baik secara fisik maupun
verbal, atau bahkan keduanya. Mungkin ada yang hanya bisa menyumpah-nyumpah
atau malah lebih parah – mencari sasaran lain yang kalian anggap lebih lemah.
Celakanya, yang jadi pelampiasan kalian kebanyakan mereka yang tidak tahu
apa-apa dan hanya mengurus urusan mereka sendiri. Lagi haus perhatian? Butuh
pengakuan? Kurang hiburan?
Merasa nggak punya pilihan?? Apa iya
seluruh dunia wajib tahu seluruh masalah kalian dan merasa kasihan? Butuh
korban untuk membuat kalian senang dengan hidup kalian? Apa kalian korban
sinetron alay?
Jangan-jangan
kalian malah ingin dan bangga jadi tukang bully.
Mungkin hanya itu cara yang kalian tahu agar dianggap jagoan, diperhatikan dan
dihormati orang lain. Ada yang takut hingga benci? Ah, kalian mana peduli!
Bagi yang masih sekolah atau kuliah
dengan biaya orang tua, nggak usah bangga dulu mentang-mentang bisa berkuasa
dan mem-bully adik kelas atau junior.
Kalian belum ada apa-apanya bila uang jajan saja masih mengemis sama orang tua!
Kalau pun sudah begitu hebat bisa membiayai diri sendiri, tetap nggak ada
pentingnya juga kalian jadi tukang bully.
Uang dari orang tua tidak selamanya bisa melindungi kalian, meski mereka
donatur terbesar sekolah atau malah yang punya kampus sekalian! Bukannya nggak
mungkin pas di dunia nyata nanti, malah kalian yang diinjak-injak sama junior
yang lebih sukses berkarir namun masih mendendam dengan ulah kalian di masa
lalu. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa semua manusia akan sepemaaf yang
kalian inginkan. Enak saja! Dewasalah. Kapan mau bertanggung-jawab sama
perbuatan sendiri?
Bagi orang dewasa? Please, jangan bikin saya geli! Hari
begini masih pada main drama? Nggak bisa ngomongin masalah baik-baik? Harus
pakai menghina segala, ya? Nggak bisa berargumen secara cerdas dan elegan,
sehingga buntutnya yang diserang selalu kepribadian lawan bicara atau cara
mereka hidup / berpakaian – bukannnya isi pembicaraan itu sendiri, semata-mata
hanya agar lawan bicara (merasa) kalah / dipaksa mengalah? Harus ada yang ‘jatuh’ dulu, baru kalian merasa menang
dan hebat?
Kasihan. Menyedihkan. Segitu
butuhnya akan perhatian maupun pengakuan. Lupa bahwa masih ada langit di atas
langit. Lupa bahwa hidup ini tidak abadi. Lupa bahwa suatu saat akan diminta
semua pertanggung-jawaban oleh Yang Maha Adil dan Abadi...
Saya mungkin sekedar blogger bawel
dan sok tahu di sini. Mungkin tulisan ini kelewat kasar bagi kalian. Tapi lebih
kasar mana sama meneror adik kelas tiap hari atas nama sentimen senioritas
bapuk? Silakan pikir sendiri! Semoga kalian masih bisa pada mikir dan punya
perasaan, terutama mengingat banyak sekali orang tua murid yang sudah membayar
sangat mahal untuk biaya sekolah anak mereka, namun terpaksa memindahkan anak
mereka di awal atau tengah tahun ajaran – gara-gara si anak merasa terancam dan
ketakutan tiap hari gara-gara diteror dan dianiaya, hingga sulit fokus belajar,
sering sakit, hingga depresi dan ingin bunuh diri. Memangnya kalian berani
bayar berapa sama orang tua mereka untuk mengganti uang yang hilang? Belum lagi
bila anak mereka masuk RS, harus dirawat psikiater karena stres, hingga
meninggal gara-gara kalian memukulinya habis-habisan atau membuatnya ingin
bunuh diri. Memangnya kalian mau bertanggung-jawab sampai sejauh itu?
Pernah berpikir sampai ke situ?
Harus menunggu jadi orang tua dulu baru mengerti? Ini juga berlaku bagi para
orang tua yang anaknya tukang bully. Kalau
kalian sampai bangga dan menganggapnya suatu prestasi – apalagi bila anaknya
laki-laki (“Harus jago berantem, nggak
boleh cengeng kayak cewek!) – maka celakalah kalian. Jangan heran bila anak
kalian ke sekolah dengan sikap brengsek, mentalitas dan kebanggan semu a la
preman jalanan atau penjahat. Mau belajar apa mau jadi bajingan? Apa malah mau
belajar bunuh orang? Masa depan mereka mau (di)kemana(kan)?
Saya muak dengan berita-berita yang
sama tiap tahun. Bullying yang selalu
sukses “berbungkus” Masa Orientasi
Siswa / Mahasiswa / apalah namanya. Selalu memakan korban. Meningkatnya
statistik korban bullying. Guru-guru
yang selalu disalahkan. Orang tua yang – maaf-maaf
saja, nih – hanya sekedar tahu beres dan ‘tutup mata’ dengan kenyataan bahwa anak mereka sebenarnya
bermasalah.
Saya tidak akan menyumpahi kalian,
wahai para bully. Justru saya memilih
rajin-rajin mendoakan kalian agar sibuk sesibuk-sibuknya dengan sesuatu yang
jauh lebih penting daripada sibuk mengurusi adik kelas yang mungkin menurut
kalian kecentilan / banyak lagak. Ngapain coba? Apa untungnya juga? Dunia sudah
banyak masalah yang jauh lebih serius dan mendesak untuk diselesaikan daripada
ego kalian yang hobi bikin drama nggak penting. Tolong, enggak usah lebay! Biasa aja. Biasakan untuk nggak
kepo sama urusan pribadi orang lain, apalagi sampai berusaha mengatur-atur
hidup dan pribadi orang lain sesuai maunya kalian, hanya agar kalian lebih happy sama hidup kalian sendiri. Halo,
memangnya kalian siapa, sih?
Bagi mereka yang (mengaku) dewasa
tapi sudah terbiasa jadi tukang bully (sadar
tidak sadar), mending pada buru-buru ngaca, deh! Ingat (dan malu) sama umur.
Bukannya semakin tua kita harus semakin memberi contoh yang lebih baik pada
yang lebih muda? Maaf, feodalisme sempit harusnya masuk museum saja! Lebih tua
tidak lantas membuat Anda otomatis menjadi dewa tanpa cela.
Mungkin selama ini rasanya
menyenangkan bisa mem-bully orang
lain, karena dapat meraih semua keinginan pribadi, tanpa peduli menumbalkan
orang lain. Percayalah, nggak ada orang waras mana pun yang sudi menderita di
akhir hayatnya – karena selama hidupnya sering bersikap dan berbuat jahat sama
orang lain hingga akhirnya malah didoakan yang ‘jelek-jelek’ sama mereka yang sakit hati. Ingat, doa mereka yang
terzalimi selalu dikabulkan Tuhan – entah sekarang atau nanti. Nggak mau, ‘kan?
Belum lagi bila urusannya sampai ke akhirat. Hiiih!
Semoga kita semua tidak termasuk
pelaku maupun korban bullying. Jika
masih ada yang dengan entengnya menganggap bahwa semua korban bullying itu lemah, cengeng, dan terlalu
sensi – coba deh, sesekali tukeran posisi sama mereka, baru pada ngomong. Enak,
nggak? Ogah, ‘kan?
R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar