Minggu, 05 Juli 2015

"SURAT TERBUKA UNTUK PARA BULLY"

Saya tidak akan memulai surat ini dengan “Dear Bullies”, mengingat menurut saya kalian tidak pantas disambut dengan sehormat itu. Mumpung belum mulai tahun ajaran baru / semester baru, silakan baca ini bila berkenan. Tak hanya anak sekolah dan mahasiwa, namun juga orang tua para bully dan para manusia Indonesia lainnya yang (merasa / mengaku) dewasa, berotak, dan berhati. Semoga setelah membaca ini, mata dan hati kalian terbuka lebar. (Bila tidak? Semoga pencinta damai dijauhkan dari macam kalian!)
            Mungkin, siapa pun kalian, sadar tidak sadar telah (lama?) menjadi pelaku kekerasan alias tukang bully. Mungkin dulunya kalian pernah jadi korban bullying, entah di rumah (dengan anggota keluarga abusive), sekolah / kampus (senior tukang gencet / pengajar yang hobi memarahi dengan kata-kata melecehkan dan merendahkan harga diri), hingga lingkungan pekerjaan (bos sadis atau rekan kerja culas) dan sosial (preman jalanan, aparat hukum yang menyalahgunakan kekuasaan, dan orang sengak lainnya.) Mungkin kalian tidak bisa melupakan semua rasa sakit alias memendam rasa dendam. Mungkin ada yang bisa membalas mereka yang telah menyakiti kalian – baik secara fisik maupun verbal, atau bahkan keduanya. Mungkin ada yang hanya bisa menyumpah-nyumpah atau malah lebih parah – mencari sasaran lain yang kalian anggap lebih lemah. Celakanya, yang jadi pelampiasan kalian kebanyakan mereka yang tidak tahu apa-apa dan hanya mengurus urusan mereka sendiri. Lagi haus perhatian? Butuh pengakuan? Kurang hiburan?
            Merasa nggak punya pilihan?? Apa iya seluruh dunia wajib tahu seluruh masalah kalian dan merasa kasihan? Butuh korban untuk membuat kalian senang dengan hidup kalian? Apa kalian korban sinetron alay?
            Jangan-jangan kalian malah ingin dan bangga jadi tukang bully. Mungkin hanya itu cara yang kalian tahu agar dianggap jagoan, diperhatikan dan dihormati orang lain. Ada yang takut hingga benci? Ah, kalian mana peduli!
            Bagi yang masih sekolah atau kuliah dengan biaya orang tua, nggak usah bangga dulu mentang-mentang bisa berkuasa dan mem-bully adik kelas atau junior. Kalian belum ada apa-apanya bila uang jajan saja masih mengemis sama orang tua! Kalau pun sudah begitu hebat bisa membiayai diri sendiri, tetap nggak ada pentingnya juga kalian jadi tukang bully. Uang dari orang tua tidak selamanya bisa melindungi kalian, meski mereka donatur terbesar sekolah atau malah yang punya kampus sekalian! Bukannya nggak mungkin pas di dunia nyata nanti, malah kalian yang diinjak-injak sama junior yang lebih sukses berkarir namun masih mendendam dengan ulah kalian di masa lalu. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa semua manusia akan sepemaaf yang kalian inginkan. Enak saja! Dewasalah. Kapan mau bertanggung-jawab sama perbuatan sendiri?
            Bagi orang dewasa? Please, jangan bikin saya geli! Hari begini masih pada main drama? Nggak bisa ngomongin masalah baik-baik? Harus pakai menghina segala, ya? Nggak bisa berargumen secara cerdas dan elegan, sehingga buntutnya yang diserang selalu kepribadian lawan bicara atau cara mereka hidup / berpakaian – bukannnya isi pembicaraan itu sendiri, semata-mata hanya agar lawan bicara (merasa) kalah / dipaksa mengalah? Harus ada yang ‘jatuh’ dulu, baru kalian merasa menang dan hebat?
            Kasihan. Menyedihkan. Segitu butuhnya akan perhatian maupun pengakuan. Lupa bahwa masih ada langit di atas langit. Lupa bahwa hidup ini tidak abadi. Lupa bahwa suatu saat akan diminta semua pertanggung-jawaban oleh Yang Maha Adil dan Abadi...
            Saya mungkin sekedar blogger bawel dan sok tahu di sini. Mungkin tulisan ini kelewat kasar bagi kalian. Tapi lebih kasar mana sama meneror adik kelas tiap hari atas nama sentimen senioritas bapuk? Silakan pikir sendiri! Semoga kalian masih bisa pada mikir dan punya perasaan, terutama mengingat banyak sekali orang tua murid yang sudah membayar sangat mahal untuk biaya sekolah anak mereka, namun terpaksa memindahkan anak mereka di awal atau tengah tahun ajaran – gara-gara si anak merasa terancam dan ketakutan tiap hari gara-gara diteror dan dianiaya, hingga sulit fokus belajar, sering sakit, hingga depresi dan ingin bunuh diri. Memangnya kalian berani bayar berapa sama orang tua mereka untuk mengganti uang yang hilang? Belum lagi bila anak mereka masuk RS, harus dirawat psikiater karena stres, hingga meninggal gara-gara kalian memukulinya habis-habisan atau membuatnya ingin bunuh diri. Memangnya kalian mau bertanggung-jawab sampai sejauh itu?
            Pernah berpikir sampai ke situ? Harus menunggu jadi orang tua dulu baru mengerti? Ini juga berlaku bagi para orang tua yang anaknya tukang bully. Kalau kalian sampai bangga dan menganggapnya suatu prestasi – apalagi bila anaknya laki-laki (“Harus jago berantem, nggak boleh cengeng kayak cewek!) – maka celakalah kalian. Jangan heran bila anak kalian ke sekolah dengan sikap brengsek, mentalitas dan kebanggan semu a la preman jalanan atau penjahat. Mau belajar apa mau jadi bajingan? Apa malah mau belajar bunuh orang? Masa depan mereka mau (di)kemana(kan)?
            Saya muak dengan berita-berita yang sama tiap tahun. Bullying yang selalu sukses “berbungkus” Masa Orientasi Siswa / Mahasiswa / apalah namanya. Selalu memakan korban. Meningkatnya statistik korban bullying. Guru-guru yang selalu disalahkan. Orang tua yang – maaf-maaf saja, nih – hanya sekedar tahu beres dan ‘tutup mata’ dengan kenyataan bahwa anak mereka sebenarnya bermasalah.
            Saya tidak akan menyumpahi kalian, wahai para bully. Justru saya memilih rajin-rajin mendoakan kalian agar sibuk sesibuk-sibuknya dengan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sibuk mengurusi adik kelas yang mungkin menurut kalian kecentilan / banyak lagak. Ngapain coba? Apa untungnya juga? Dunia sudah banyak masalah yang jauh lebih serius dan mendesak untuk diselesaikan daripada ego kalian yang hobi bikin drama nggak penting. Tolong, enggak usah lebay! Biasa aja. Biasakan untuk nggak kepo sama urusan pribadi orang lain, apalagi sampai berusaha mengatur-atur hidup dan pribadi orang lain sesuai maunya kalian, hanya agar kalian lebih happy sama hidup kalian sendiri. Halo, memangnya kalian siapa, sih?
            Bagi mereka yang (mengaku) dewasa tapi sudah terbiasa jadi tukang bully (sadar tidak sadar), mending pada buru-buru ngaca, deh! Ingat (dan malu) sama umur. Bukannya semakin tua kita harus semakin memberi contoh yang lebih baik pada yang lebih muda? Maaf, feodalisme sempit harusnya masuk museum saja! Lebih tua tidak lantas membuat Anda otomatis menjadi dewa tanpa cela.
            Mungkin selama ini rasanya menyenangkan bisa mem-bully orang lain, karena dapat meraih semua keinginan pribadi, tanpa peduli menumbalkan orang lain. Percayalah, nggak ada orang waras mana pun yang sudi menderita di akhir hayatnya – karena selama hidupnya sering bersikap dan berbuat jahat sama orang lain hingga akhirnya malah didoakan yang ‘jelek-jelek’ sama mereka yang sakit hati. Ingat, doa mereka yang terzalimi selalu dikabulkan Tuhan – entah sekarang atau nanti. Nggak mau, ‘kan? Belum lagi bila urusannya sampai ke akhirat. Hiiih!
            Semoga kita semua tidak termasuk pelaku maupun korban bullying. Jika masih ada yang dengan entengnya menganggap bahwa semua korban bullying itu lemah, cengeng, dan terlalu sensi – coba deh, sesekali tukeran posisi sama mereka, baru pada ngomong. Enak, nggak? Ogah, ‘kan?


            R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar