Saat mendengar kata “oleh-oleh”, apa yang pertama kali tercetus di benak Anda? Mungkin banyak yang lantas mengasosiasikannya dengan pemberian / buah tangan dari keluarga / teman / pasangan yang bepergian ke luar kota / negeri. Sayangnya, konsep itu sedikit terdistorsi dengan sikap oportunis dan memaksa mereka yang hobi main todong: “Oleh-olehnya, dong!” setiap kali ada yang (ketahuan) hendak ke luar kota atau negeri. Bukankah namanya berubah jadi “pesanan” / “permintaan”, alias bukan “oleh-oleh” lagi?
Tentu saja, seperti biasa, tidak banyak yang sadar. Bukankah oleh-oleh terbaik adalah yang diberikan dari hati, tanpa diminta, dan – kalau bisa – tanpa ada unsur “utang budi”? Perkara yang diberikan berkenan atau tidak, itu urusan nanti. (Kalau sampai tidak, itu namanya kebangetan alias “tidak tahu terima kasih” – apalagi kalau sebelumnya mereka sampai pakai acara menodong atau merengek-rengek!) Yang penting ikhlas dari lubuk hati yang terdalam dan insya Allah di-ridhoi Ilahi. (Aamiin ya rabbal ‘aalamiin…)
Kalau yang lain, mungkin sebutannya lebih cocok kado / hadiah. Misalnya, kado ulang tahun atau pernikahan. Waktu kecil, mungkin bagi sebagian dari kita merasa bahwa kado ultah itu penting, sepenting jumlah teman yang datang ke pesta ultah kita. Kita jadi tahu berapa banyak yang perhatian sama kita. Apalagi bila kadonya kebetulan sesuai sekali dengan keinginan kita. Berarti pemberinya benar-benar mengenal kita dan sangat ingin kita bahagia. (Biasanya, lho.)
Semakin beranjak dewasa, arti kado atau oleh-oleh bisa berubah. Bisa saja pemberian berarti sang pemberi ingin agar kita selalu mengingat mereka. (Jadi, nggak semua harus tentang kita, ya.)
Tak hanya itu, kadang pemberian tak perlu berupa barang, apalagi (sampai) yang mahal punya. Ada juga karya seni yang dibuat dengan sepenuh hati. Ada juga berupa waktu yang sudah diluangkan seseorang untuk mendampingi dan membantu kita, karena waktu takkan pernah kembali. Mungkin kita sendiri sudah pernah melakukannya, sadar tidak sadar. Kalau (merasa) belum, bolehlah dicoba – terutama bila benar-benar menyayangi sosok yang bersangkutan. (Insya Allah nggak akan pakai acara pamrih.)
Sah-sah juga bila sesekali kita menghadiahi diri sendiri. Bukankah kita harusnya jadi orang pertama yang menyayangi diri sendiri? Selain sebagai motivasi, hadiah untuk diri sendiri dapat juga meningkatkan harapan kita akan hidup yang lebih baik serta kesadaran bahwa…ya, kita amat berharga.
R.
(Jakarta, 24/7/2015 – 11:08. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 23 Juli 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee – Setiabudi One, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tema: “Oleh-oleh”.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar