Senin, 06 Juli 2015

"KISAH PENDEK BURUNG KECIL"

Aku bersyukur bertemu denganmu, Riri. Kamu anak yang baik sekali. Adikmu, Andi, juga baik.
Aku tidak ingat penyebabnya waktu itu. Yang kutahu, ada rasa perih di salah satu sayap mungilku. Luka ini membuatku lelah, semakin lama semakin lemas.
Maka, aku pun perlahan terbang rendah, sebelum akhirnya mendarat - atau lebih tepatnya - terjatuh di atas dedaunan empuk. Waktu itu aku sudah pasrah, siap jadi santapan kucing atau predator lain di taman itu.
"Eh, lihat itu!" Mendadak kudengar suara nyaring anak manusia. "Kak Lili, ada bulung jatuh. Kasian, deh. Sayapnya bedalah!"
Tubuh mungilku sudah lelah. Kurasakan sepasang tangan mengangkatku dengan hati-hati sekali, seakan-akan takut meremukkanku. Kesadaranku berkurang, meski lamat-lamat masih bisa kudengar suara anak manusia kedua - kali ini lebih halus:
"Kita bawa ke dalam, yuk. Terus kita obati."
--- // ---
Ternyata aku diselamatkan oleh dua anak manusia. Dari pembicaraan mereka, kutahu mereka kakak-beradik dan masih kecil sekali. Yang perempuan bernama Riri, yang lelaki bernama Andi. Dengan bantuan manusia perempuan dewasa yang mereka panggil Mbak Yem, mereka mengobati sayapku dengan cairan merah yang terasa agak pedih. Aku hanya sedikit mencicit kesakitan, namun Riri berusaha membujukku sambil mengelus kepalaku dengan jemarinya:
"Tidak apa-apa, Burung Kecil," katanya. "Biar cepat sembuh..."
Oh, ya. Aku juga diberi makan berupa biji-biji jagung dan minum air. Aku tinggal di atas lantai yang dingin, dalam kandang buatan mereka yang kata Mbak Yem sebenarnya tudung saji dari plastik...
--- // ---
Keesokan harinya, sayapku sembuh. Tak hanya itu, ternyata masih ada dua manusia dewasa lainnya di rumah itu - laki-laki dan perempuan. Riri dan Andi memanggil mereka Papa dan Mama. Papa dan Mama membujuk Riri dan Andi agar membiarkanku pergi.
"Burung terbang bebas di angkasa, jadi harus dilepas," begitu kata mereka. Meski Andi tampak sedih, namun Riri mengerti. Berdua mereka membawaku ke taman dan melepasku pergi.
"Terbanglah, Burung Kecil," kata Riri sambil tersenyum. "Kapan-kapan main ke sini lagi, ya."
Tentu saja. Aku tak mungkin melupakan kalian, penyelamatku. Jangan menangis, Andi. Aku akan kembali.
Sesuai janjiku, keesokan harinya aku melesat ke dapur mereka lewat jendela yang terbuka. Aku kembali bertengger di tempat yang sama. Tentu saja, Andi menyambutku gembira.
"Kak Lili, bulungnya datang lagi!"
--- // ---
Hari-hariku bersama Riri dan Andi terasa begitu indah. Mereka tertawa-tawa saat bergantian mengelusku dan memberiku biji-biji jagung.
Hingga siang itu...
Oh, tidak! pikirku ketakutan. Apa yang dilakukan anak-anak itu?
Saat hendak terbang ke rumah Riri dan Andi seperti biasa, sekelompok anak lelaki yang tampak lebih besar dan kasar mengejarku dari bawah. Di tangan mereka terdapat ketapel dan batu.
Insting memaksaku untuk terbang secepat mungkin, menjauhi mereka. Namun, batu pertama melayang menghantamku...
--- // ---
"HUAAA, KENAPAAA?!"
Tangis Riri dan Andi siang itu pecah seketika. Mbak Yem, yang menemukan tubuhku yang terjatuh di taman, berusaha membujuk dan menghibur mereka. Sia-sia. Keduanya masih menangis keras, bahkan saat menguburku di taman. Riri tak henti-hentinya meratap.
"Jahat! Dasar anak-anak jahat! Aku pukul mereka nanti! Jahat! Huhuhuhu..."
"Sssh, sudah... sudah... ," bujuk Mbak Yem, yang juga tampak sedih. Sesedih hatiku yang melihat semuanya...
--- // ---
Aku bersyukur bertemu denganmu, Riri. Kamu anak yang baik sekali. Adikmu, Andi, juga baik.
Kalian jangan bersedih. Meski kebersamaan kita begitu singkat, kebaikan kalian akan selalu kukenang...
R.
(Jakarta, 2 Juli 2015 - saat pertemuan Klub Menulis Couchsurfing di Food Court Pasar Festival - mulai pukul 20:00. Tema: "binatang peliharaan".)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar