Rabu, 01 Juli 2015

"TIDAK SEMUA HARUS DICERITAKAN PADA SEMUA..."

Saya ingat "Harriet The Spy", novel sekaligus film yang pernah saya baca dan tonton waktu kecil dulu. Singkat cerita, Harriet kecil punya cita-cita yang tidak biasa, yaitu menjadi seorang mata-mata. (Sesuai judulnya, 'kan?) Maka dia pun mulai berlatih dengan buku catatannya. (Zaman itu belum ada smartphone, I-Pad, atau Galaxy Tab.) Kemana pun, Harriet akan selalu memperhatikan sekelilingnya dan menulis semuanya dalam buku catatannya ibarat buku harian. Tingkah teman-temannya, tetangganya, orang tuanya, semuanya.
Sebenarnya ini cara paling seru dan sederhana untuk mulai belajar menulis, karena dulu saya pernah melakukannya waktu seumur Harriet (bahkan sebelum buku dan filmnya sampai di Indonesia.) Yang jadi masalah? Saat buku itu tanpa sengaja terbaca oleh teman-temannya, sehingga Harriet pun dimusuhi satu sekolah. (Biar nggak spoiler, silakan cari buku atau filmnya sendiri, ya.)
Saya pernah menghadiri ijab kabul pernikahan sepupu saya. Sang ustadz memberi wejangan kepada kedua mempelai mengenai pentingnya saling menutupi aib masing-masing. ("Istri adalah pakaian bagi suami dan begitu pula sebaliknya.") Dengan nada sedikit menggoda, sang ustadz berujar: "Jangan malah di-share di Facebook, ya."
Hadirin tertawa. Saya tidak. Sang ustadz serius, karena masalahnya memang serius.
Trending topics nggak akan jadi trending topics bila tidak jadi bahan perbincangan sedunia. Semakin panas isunya, semakin banyak yang angkat bicara - baik dari sosok yang beneran ahli hingga yang sekedar "meramaikan suasana".
Yang sering dilupakan orang? Mereka tak perlu selalu ikutan. Diam tak selalu berarti setuju/tidak, kalah, bodoh, lemah, pengecut, atau tidak tahu apa-apa. Lain cerita bila mereka memang doyan tampil dan selalu ingin "sumbang suara", meski kadang ibarat tong kosong yang nyaring bunyinya.
Namanya juga hak asasi manusia. Sampai ribut dengan teman, keluarga, atau bahkan orang yang tidak kenal pun ada. Semua demi mempertahankan pendapat, baik di dunia nyata hingga maya.
Karena itulah, saya juga punya hak asasi sendiri. Ada hal-hal yang sepertinya takkan pernah saya mau tulis di sini, se-trendy apa pun topiknya. Toh, yang namanya trending topics juga tidak selalu penting - setidaknya bagi saya. Tidak semua harus diceritakan pada semua. Kejujuran memang bisa sangat menyakitkan, tapi apakah itu lantas bisa kita pakai sebagai alasan untuk selalu melukai perasaan orang lain - terutama atas memenangkan argumen belaka? Sesekali menjaga perasaan orang lain (terutama yang sudah berbuat baik pada kita) nggak salah, kok. Kadang yang bisa kita lakukan hanyalah saling mendoakan agar Tuhan menunjukkan jalan terbaik bagi kita semua. Bukan berarti kita munafik atau tidak punya sikap. Semua tergantung masalahnya juga.
Beda pendapat itu biasa. Meski kadang tidak perlu, potensi drama akan selalu ada.
Bagi saya, jalan damai tidak selalu hanya untuk yang pengecut dan hanya mau cari aman. Seperti kata beberapa teman bijak: "Pick your battles wisely." Tak semua bisa dan harus selalu kita menangkan, apalagi pakai acara ngotot-ngototan atau sampai mengajak musuhan. Tak semua harus selalu diumbar, apalagi dengan niat saling 'menjatuhkan'. Ngapain juga? Apa untungnya? Kalau sampai Anda merasa senang karena telah berhasil menghujat lawan debat di depan umum sampai kalah (terserah perkara siapa yang benar dan salah), justru Anda malah sedang berada di posisi yang amat mengkhawatirkan. Dunia nyata tidak sama dengan sinetron Korea, dimana drama king and queen selalu berkuasa dan aman-aman saja.
Dengan ini, saya memutuskan untuk mulai lebih fokus pada yang relevan dan (langsung) bisa saya tangani. Jika sampai ada yang menanyakan opini saya mengenai trending topic terkini dan saya memutuskan untuk enggan menjawabnya, maka itu termasuk yang enggan (dan takkan mau) saya bahas. Saya berhak menolak dan memutuskan untuk diam, menyimpan opini pribadi saya dalam-dalam. Salam damai dan sekian.
R.
(Jakarta, 29 Juni 2015 - 13:00)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar