Selasa, 22 Oktober 2013

"LELAH"

Kata mereka:
“Hanya orang dewasa yang bisa bertahan di dunia nyata.
Kadang memang kita harus berpura-pura
atas nama rasa aman dan nyaman
sebelum karam tenggelam
mati dan terlupakan
tergilas habis tak bersisa oleh zaman.”
            Mau sampai kapan?
Ah, bagaimana bila aku lelah?
Akankah mereka tertawa saat aku kalah,
bahkan saat aku terancam punah?
            Bagaimana denganmu?
            Saat kau datang lagi nanti,
            maukah kau memelukku
            saat lagi-lagi aku tenggelam dalam pilu –
            seperti tahun lalu?

R.

(Jakarta, 29/9/2013 – 10:56 pm)

“NIKMATI: MASA LAJANG MINIM STRES!”

1.Banyak berdoa dan beribadah.

2.Jika Anda (kembali) melajang akibat kandasnya hubungan terakhir, ingat-ingatlah alasan hubungan itu berakhir. Jika tidak mungkin untuk kembali, jangan memaksakan diri. Jangan menyakiti diri sendiri dengan mengulangi kesalahan yang sama lagi.

3.Kadang merasa kesepian, bahkan galau tingkat akut? Langkah pertama: akui saja, meski sebaiknya cukup dalam hati. Tidak apa-apa, namanya juga manusiawi. Cukup Anda dan Tuhan yang tahu, tak perlu bawa-bawa seluruh penghuni dunia ini. Mengapa? Tak semua orang bisa dan mau mengerti. (Salah-salah mereka malah menghina atau mengasihani, terutama mulut-mulut ‘miring’ di negeri ini.)

4.Terus sibukkan diri Anda dengan beragam kegiatan positif, entah bekerja lebih giat, jalan-jalan, menekuni hobi, hingga banyak-banyak main dengan teman dan berkumpul dengan keluarga.

5.Jauhi orang-orang usil bermulut nyinyir. Meski Anda termasuk pribadi yang cenderung tangguh dan mandiri, ada kalanya Anda lelah diganggu omongan mereka yang bernada ‘miring’. Bukannya mau memutuskan tali silaturahmi, tapi ada kalanya Anda perlu menciptakan jarak sesekali bila sudah tak tahan lagi. (Sekalian mengajari mereka, tentunya.) Demi kebahagiaan Anda, tak perlu terlalu dekat-dekat mereka yang hobi berkomentar negatif. Siapa tahu, lama-lama mereka akan sadar kalau selama ini sudah membuat Anda merasa tidak nyaman dan bahkan sakit hati.

6.Banyak yang memberi nasihat serupa, seperti: “Bukalah hatimu” atau “Jangan terlalu pemilih.” Pada kenyataannya, hal itu tak semudah membalik telapak tangan. Semua butuh proses dan tidak bisa dipaksa. Setiap orang punya cara berbeda. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu, kapan Anda sebenarnya siap dan dengan siapa Anda sebaiknya bersama. (Aamiin YRA.) Hanya karena kesepian (atau sekedar ingin cepat-cepat lepas dari status lajang), tidak berarti Anda tidak punya standar jelas dan siap menerima siapa saja. Ingat, membuka hati tidak sama dengan (asal) mengobral diri. Anda bisa dan berhak memilih, terutama untuk tidak menyamakan diri dengan barang dagangan. (Lagi-lagi saya geli dengan istilah ‘laku / tidak laku’. Memangnya kita berkeliaran dengan label harga di jidat?)

7.Meski Anda sangat menyayangi sahabat Anda yang sudah berpasangan (entah punya pacar, tunangan, atau bahkan sudah menikah), ada kalanya Anda tidak ingin diingatkan mengenai apa yang belum / sedang tidak Anda miliki (baca = kekasih hati!) Banyak-banyaklah bergaul dengan sesama lajang (dengan catatan, mereka juga berpikir positif dan tidak iri dengan ‘rezeki’ orang lain bernama ‘jodoh’.) Tak ada yang salah. Perubahan pasti akan selalu ada, mulai dari perbedaan prioritas hingga pandangan hidup.

8.Seorang sahabat mengingatkan: “Bahagia bukan sekedar pilihan, tapi juga hak setiap orang.” (Asal nggak di atas penderitaan orang lain saja, ya!) Apa pun status Anda sekarang, nikmati saja. Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Bisa jadi saat ini Tuhan tengah memberi Anda peran lain yang tak kalah berguna. (Lebih banyak membantu orang lain, mungkin?)

Semua pemberian adalah pinjaman. Tak ada yang abadi. Hidup ini harusnya dinikmati dan disyukuri. Anda masih bisa kok, beribadah dan bermanfaat bagi sesama. Selalu ada cara. Percayalah, Anda juga berharga bagi dunia!

R.
(Jakarta, 20 Oktober 2013)

Senin, 07 Oktober 2013

"SAAT JARAK MENJADI PENGINGAT"

Kali ini saya terinspirasi dari seorang rekan kerja yang belum lama saya kenal. Singkat cerita, dia baik, lucu, dan...seorang ayah tunggal.
            Ya, dia seorang ayah tunggal yang kerap merindukan putri semata wayangnya setiap hari. Gadis kecilnya tinggal di kotanya para mojang Pasundan yang udaranya masih sejuk mengundang...terutama kala malam. Hak asuh sang anak jatuh ke tangan mantan istrinya sejak keduanya bercerai, meski sesekali dia masih bisa mengunjungi putri mereka di kala akhir pekan. Maklum, sang anak masih di bawah dua belas tahun. Selain itu, pekerjaan pun mengharuskan sang ayah melakukan banyak perjalanan antar kota. Mungkin terdengar klise bak film drama, tapi inilah kenyataan. Ini bisa terjadi pada siapa saja, so please save your judgment and keep it to yourselves.
            Saya tidak akan mengungkit-ungkit perkara perceraian mereka. Di sini, saya hanya melihat bahwa jarak kadang dibutuhkan sebagai pengingat. Tak hanya bagi pelaku LDR (long-distant relationship – alias hubungan jarak jauh), tapi bahkan untuk hubungan antar teman dan keluarga.
            “Ngapain jauh-jauh? Di sini aja, dekat keluarga dan banyak teman yang kamu kenal biar nggak repot!”
            Tentu saja. Tak hanya rasa sayang (yang sering berujung pada perlindungan dan larangan yang berlebihan), budaya kerap dipakai sebagai alasan untuk membatasi ruang-gerak seseorang. Tak semua orang Indonesia punya budaya ‘merantau’ memang. Makin sedih saya saat mengetahui masih banyak yang lebih mengizinkan anak lelaki merantau ketimbang anak perempuan, lagi-lagi dengan alasan ‘keamanan’.
            Tak hanya keluarga yang otoriter (atas nama rasa sayang, menurut versi mereka), teman yang (terlalu) dominan dan kekasih yang (kelewat) posesif pun juga berpotensi menghambat perkembangan kepribadian seseorang. Tidak percaya? Terserah Anda. Bayangkan seseorang yang mengaku sangat sayang pada Anda, tetapi lantas menjadikan ‘rasa sayang’  itu sebagai hutang budi yang harus Anda bayar seumur hidup. (Baca= dengan mengikuti semua kemauan mereka tanpa syarat dan bantahan, seakan Anda hanyalah boneka tanpa pemikiran sendiri dan merekalah pengatur hidup Anda.) Lupakan kata ‘ikhlas’, karena...jujur sajalah. Namanya juga manusia.
            Ada kalanya kita memang berharap suatu ‘balasan’ dari orang yang (katanya) kita sayangi dengan setulus hati. (Tenang, Anda tak perlu mengakui apa-apa pada saya. Barusan hanya pernyataan retoris belaka.) Wajar. Yang jadi berbahaya adalah saat kompromi dan respek hanya terus-terusan berjalan searah, hingga lama-lama satu pihak merasa gerah dan sangat lelah. Anda harus menerima mereka apa adanya sementara mereka mati-matian ingin mengubah Anda agar sesuai keinginan mereka. Bagaimana rasanya? Saya berani bertaruh, belum tentu mereka mau saat posisinya dibalik. Percayalah. Namanya juga standar ganda.
            Seorang rekan dari luar negeri (yang menikahi orang Indonesia) pernah berkomentar begini sambil tertawa ironis:
            “Di Indonesia, cita-cita anak masih ditentukan orang tua. Butuh kekuatan besar bagi sang anak untuk teguh pada pendiriannya.”
            Mungkin Anda akan keberatan – atau malah tersinggung, dengan tulisan ini. Mungkin juga saya akan menerima beragam komentar yang kurang-lebih bernada serupa:
            “Kamu tahu apa, sih? Punya anak sendiri saja juga belum!”
            “Wajar dong, kita berharap balasan saat telah melakukan segalanya untuk mereka? Memangnya kamu sendiri nggak gitu? Nggak usah munafik, deh!”
            Ouch.
            Mungkin banyak yang merasa telah memenangkan sesuatu bila berhasil membuat orang yang (katanya) mereka sayangi mengikuti semua maunya mereka. Iya kalau orangnya ikhlas beneran. Kalau mereka tipe pasif-agresif? Mungkin pada awalnya mereka bersabar mengikuti semua maunya Anda, lagi-lagi atas nama rasa sayang / cinta / apalah. (Termasuk mengubah diri mereka, hanya demi menyenangkan Anda.)
            Sayang, saat kompromi hanya berjalan searah, tak semua orang sesabar, sekuat, dan setoleran harapan Anda. Siap-siap saja saat mereka tiba-tiba ‘meledak’ (bagai bom waktu yang tanpa sadar Anda sendirilah pemicunya, akibat keengganan Anda untuk gantian mendengarkan maunya mereka.) Atau bisa jadi tiba-tiba mereka berubah pendiam di depan Anda – atau malah lenyap dari ‘peredaran’. Tinggal Anda yang bertanya-tanya kenapa tiba-tiba ditinggal begitu saja. (Bahkan di saat seperti ini, masih banyak juga yang berpikir: “Mereka kenapa, sih?” ketimbang: “Aku salah apa, ya?”)
            Tak pernah ada yang ingin berpisah jauh dan lama dengan yang kita sayang. Bahkan rekan kerja saya yang rajin bolak-balik mengunjungi putrinya berharap kalau suatu saat nanti – entah kapan – sang anak bisa dan mau tinggal dengannya lebih lama.
            Buat yang lebih beruntung dari teman saya, ingatlah: waktu lewat dengan cepat.Hanya karena Anda bisa dekat dan melihat mereka setiap hari, tak berarti Anda lantas menyepelekan keberadaan dan perasaan mereka. (“Dia anak baik dan selalu menurut, kok.” / “Suami/istri/pacarku selalu pemaaf.” / “Ah, dia nggak bakalan kemana-mana, kok.”)
            Tak ada yang tahu persis masa depan akan seperti apa. Jika tiba saatnya berpisah, relakanlah dengan ikhlas dan doa yang baik demi mereka. Sedih dan merasa kehilangan itu wajar. Ada kalanya kita butuh ruang-gerak terpisah untuk sekedar bernapas, berkembang...menjadi diri sendiri yang utuh. Rasa sayang tak selalu membuat kita sepaham. Ada kalanya kita harus memilih jalan hidup sendiri demi kebahagiaan kita, meski tak selalu sesuai keinginan mereka. Begitu pun sebaliknya.
            Siapa tahu, dengan jarak sebagai pengingat, lain kali kita akan belajar untuk lebih mendengar keinginan dan menghargai perasaan orang-orang yang (katanya) kita sayangi. Siapa tahu pada akhirnya kita akan selalu saling merindukan dan menantikan, lalu menjadi saling terbuka dan memahami. Bukankah itu malah memperkuat hubungan?
            Bukankah kita ingin menjadi manusia yang lebih baik?

            R.

            (Jakarta, 29 September 2013)