Kamis, 31 Juli 2014

"LAGI-LAGI PERPISAHAN"

Tiba-tiba waktu terasa singkat
setiap terdengar kata berpisah.
Mata dan benak lama tersesat
hingga saat merasakan kalah.

Ah, lagi-lagi melodrama.
Untuk apa?
Tiada guna.
Bukankah abadi tak pernah milik kita?

Hanya senyummu malam itu
satu-satunya alasanku.
Egois bukan jawaban.
Kamu berhak bahagia, teman.

"Datanglah berkunjung,"
undangmu sambil tersenyum.
Tentu, tak mungkin aku urung.
Kita masih akan selalu bertemu,
jika ada usaha untuk itu.
Tak perlu murung.

R.
(Jakarta, 19 Juli 2014)

Rabu, 30 Juli 2014

"ATAS NAMA KEMENANGAN?"

Apakah penting untuk selalu menang dalam setiap permainan – atau segala hal? Siapakah yang sebenarnya (paling?) pantas disebut pemenang?
                Sudah tiga kali benak saya dihampiri dua pertanyaan itu. Yang pertama saat saya hanya punya 20 menit untuk menyelesaikan esai sebanyak 80 kata dalam bahasa Inggris, dalam rangka melamar kerja. Yang kedua saat saya dan murid-murid remaja saya tengah membahas mengenai kisah seorang gadis berusia 15 tahun yang jenius, karena sudah duduk di bangku kuliah – meski tak bisa bermain piano sebaik yang dia inginkan.
                Yang ketiga cukup bodoh: emosi saya sempat ‘terpancing’ gara-gara update status konyol (setidaknya, menurut saya, nih!) yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk unfollow, remove, dan – sekalian! – memblokir akun orang tersebut. Mengapa? Saya jahat? Kenapa tidak? Itu hak saya, sama seperti hak Anda untuk setuju atau tidak dengan pendapat saya. (Kalau kita mau bicara hak asasi, ya!)
                Saat menulis esai, dengan jujur saya menjawab bahwa...ya, pada dasarnya – semua orang selalu ingin menang. Percaya deh, nggak ada yang mau bercita-cita untuk kalah atau jadi pecundang. Aneh saja.
                Karena itulah, banyak yang sampai menempuh segala cara untuk memenangkan sesuatu – atau paling tidak dianggap pemenang-lah. Mulai dari melanggar aturan hingga memanipulasi perasaan orang lain agar merasa bersalah dan membiarkan si perengek menang. Tak peduli curang atau sampai menumbalkan orang lain, pokoknya harus menang. Apalagi bila kemudian yang menang bisa berbuat suka-suka sama yang kalah. Siapa sih, yang tidak punya keinginan untuk (merasa) berkuasa, setidaknya sekali saja dalam hidupnya?
                Tak heran, bullying akan selalu menguntungkan pelaku bullying. (Ya, iyalah! Apalagi orang bisa kaya hanya dengan menjadi preman dan mengancam serta memeras orang lain.) Meski terdengar amat menyedihkan, banyak sosok gila hormat di antara kita yang sama sekali tidak peduli perasaan orang lain, selama yang mereka lakukan dapat membuat mereka merasa superior. (Kasihan? Memuakkan mah, iya.)
                Saat membahas gadis jenius berusia 15 tahun yang sudah duduk di bangku kuliah, saya bersyukur dengan respon cerdas, positif, dan dewasa murid-murid di kelas saya. Menurut mereka, ada alasan bagus kenapa gadis itu tidak diberkahi bakat bermain piano.
                Ada alasan mengapa kita tidak selalu bisa melakukan segalanya sendiri, bahkan meski diberkahi otak jenius. Pertama, manusia super hanya ada di cerita fiksi. Dengan cara-Nya sendiri, Tuhan tidak pernah berhenti mengingatkan kita. Kita hanya manusia biasa. Alangkah berbahayanya bila kita terlalu bisa segalanya. Selain dapat menumbuhkan sifat angkuh atau sombong (karena merasa tidak butuh siapa-siapa lagi, berhubung toh, semuanya sudah bisa dikerjakan sendiri), kita akan cenderung memandang rendah orang lain dan berbuat semena-mena. Tidak sadar sudah terkena sindrom ‘primadonna complex’!
                Jangankan yang bisa segalanya (kalau ada!), yang baru bisa seadanya saja juga bisa bersikap sombong sama orang lain.
                Kadang ada kalah, ada menang dalam hidup. Terlalu sering kalah dapat menyebabkan rasa putus-asa. Terlalu sering menang juga berbuah jumawa. Karena itulah Tuhan Maha Adil. Kita diberi kemenangan (atau kelebihan) agar lebih menghargai diri kita. Kita juga diberi kekalahan (atau kelemahan) agar lebih menghargai orang lain yang (sebenarnya) kita butuhkan. Mudah dan sederhana sekali, bukan?
                Suka tidak suka, media sosial sudah menjadi ‘sampah’ isi pemikiran pemakainya. Seperti biasa, saya tidak bisa berbuat atau berkata banyak. Semua orang bebas berekspresi. Sama seperti resikonya yang kemudian lazim mengikuti: orang lain bebas mengomentari, setuju atau tidak. Itulah yang akan selalu terjadi.
                Dari situlah kita dapat menilai kualitas kepribadian seseorang, lalu memutuskan apa yang akan kita lakukan kemudian. Mau terus berteman dengan mereka atau sudahan? Terserah. Kita berhak bahagia dan merasa aman. Untuk apa memaksakan diri terus berteman dengan mereka yang tak lagi bikin kita merasa nyaman – apalagi hanya atas nama kesopanan belaka? Bukan berarti kita lantas total memusuhi mereka – atau bahkan sampai menyumpah-nyumpahi agar mereka tertimpa kemalangan. (Please, jangan samakan hidup Anda dengan sinetron Korea!)
                Kita hanya menjaga diri kita agar tetap waras. Bahagia itu sederhana, bukan?
                Sayangnya, masih banyak sosok (yang ‘katanya’) dewasa yang menganggap kemenangan adalah segalanya. Saking senangnya, mereka merasa makin seru saat – dalam peraturan permainan itu – yang menang berhak memperbudak yang kalah sesuka hati. Terdengar seperti bullying? Pasti. Itulah yang saya komentari.
                Sayangnya juga, jawaban orang itu tak sedewasa dan secerdas yang saya harapkan. (Bodoh juga saya, yang kadang memang suka berharap terlalu banyak sama orang!) Katanya: “Itu ‘kan hak pemenang. Tak perlu lebay.”
                Yah, barangkali menurut dia hanya pemenanglah yang berhak bersikap lebay dengan kemenangan mereka, yaitu dengan mem-bully yang kalah agar yang kalah makin merasa bagai pecundang. Karena saya bukan tipe orang yang tahan berteman dengan orang bermental bully, maka dengan senang hati saya blokir mereka dari kehidupan saya.
                Sepertinya saya sudah menjawab pertanyaan pertama. Untuk yang kedua, sepertinya (akan selalu) sama seperti yang dulu pernah saya tulis di esai:
                Semua orang bisa jadi pemenang. Hanya mereka yang bersikap sportif-lah yang patut disebut juara, meski tak selalu mendapatkan medali atau mencapai garis finish. Terdengar klise? Apakah saya tengah mencoba menghibur diri? Terserah anggapan Anda. Yang pasti, inilah yang saya pilih untuk percaya, demi kewarasan dan ketenangan batin semata. Lagipula, dunia ini sudah kelewat sesak oleh mereka yang gila kuasa, sampai rela menempuh berbagai cara yang – asli! – suka nggak kira-kira...

                R.

Senin, 28 Juli 2014

"SAAT CINTA TEREDAM DIAM"

Diam tak selalu emas.
Rasanya seperti menahan napas,
sebongkah rahasia yang menyesakkan.
Akankah dalam diam kau bertahan?

Lihat, diam membuatmu blingsatan.
Saat ini bukan emas yang kau butuhkan.
Lihat, susah-payah kau menahan air mata.
Hatimu enggan lagi teracuni dusta.

“Mengapa ini harus cinta?
Tuhan, mengapa harus dia?”
Kau tak pernah meminta perasaan ini,
meski dengannya, kau bebas jadi diri sendiri.

Haruskah rasa ini kau pungkiri?
Percuma, yang ada malah pedih setengah-mati.
Tuhan, apakah ini cobaan?
Jalan manakah yang akan Kau tunjukkan?

Hingga saat ini, diam masih juga kau telan.
Entah sampai kapan?
Sampai hatimu mendingin lagi tanpa hadirnya?
Sampai benakmu berhenti dihantui biru matanya?

Saatnya berhenti diam, demi cinta.
Mungkin saja, lagi-lagi kau akan terluka.
Setidaknya, kau harus mencari jawaban.
Tak banyak waktu, tak banyak pilihan,
sebelum dia berlalu tinggal kenangan...

R.


(Jakarta, 27 Juli 2014)

Sabtu, 19 Juli 2014

"TIK. TOK."

Hidup ini singkat. Waktu berjalan cepat. Banyak yang terlewat. Banyak yang belum sempat kita lakukan. Selalu ada alasan. Selalu banyak yang tertinggal, bahkan kerap terlupakan. Beragam urusan datang bertubi-tubi, nyaris seakan tanpa henti. Kadang mereka begitu menuntut, hingga kita lelah setengah-mati.

Kemanakah waktu luang itu? Apakah kita yang lalai mengusahakannya, seperti yang kerap terjadi?

Apakah pada akhirnya, sekeras apa pun berusaha, kita memang akan selalu (ditakdirkan?) untuk kehilangan sesuatu?

Sebentar lagi, Ramadan berlalu. Lagi-lagi rasanya begitu cepat, terlalu cepat. Akankah kita diberi keberuntungan yang sama, bertemu dengannya lagi tahun depan - dan mungkin, insya Allah, tahun-tahun berikutnya lagi?

Masih banyak, bahkan kerap terlalu banyak, yang harus kita tuntaskan. Semoga sempat. Semoga tidak terlalu banyak yang harus kita korbankan. Kita baru teringat betapa singkatnya waktu begitu hal-hal di bawah ini terjadi:

Saat kita jatuh sakit, padahal masih banyak sekali yang ingin kita lakukan - seperti tempat-tempat baru yang ingin kita kunjungi atau hal-hal baru yang masih ingin kita pelajari. Kehilangan suara, padahal masih banyak sekali yang ingin kita ucapkan.

Banyak kemungkinan di depan mata. Saat seseorang yang kita kenal - apalagi sangat dekat - tiba-tiba bilang ingin berpamitan, karena sebentar lagi akan pindah ke tempat jauh. Tiba-tiba kita baru sadar bahwa akhir-akhir ini kita jarang menghabiskan waktu dengan mereka. Ada sesak dan pedih di dada. Bagaimana bila saat berpisah itu akhirnya tiba juga? Akankah suatu saat nanti, kita dipertemukan kembali dengan mereka?

Bagaimana bila kita yang tiba-tiba harus pergi? Akankah kita dapat melenggang dengan mudah, meninggalkan semuanya? Relakah?

Semoga kita masih diberi banyak waktu untuk menuntaskan semua urusan yang perlu diselesaikan. Apa pun itu, baik ungkapan rasa sayang atau permintaan maaf, ada baiknya segera diungkapkan - mumpung waktu masih lapang, kita masih berkemampuan, dan dunia di sekitar kita masih relatif damai - belum porak-poranda oleh kebencian. Sebelum kita - atau mereka - menaiki pesawat bernama 'penerbangan terakhir'.

Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin. Salam damai. Semoga hati kita masih - dan akan selalu - terbuka untuk saling memaafkan dan mengasihi.

Aamiin...

R.
(Jakarta, 19 Juli 2014)

"TOLONG MEREKA, YANG MULIA!"

Terlihat ragu di matamu,
wahai Yang Mulia.
Sudah lama berlalu
sejak kepergian Sang Raja.

Apa yang akan kau lakukan?
Akankah semua tetap sama?
Jangan, kumohon jangan.
Jangan biarkan mereka menguasai istana.

Sayang, kau lebih memilih diam.
Terlalu lama kau biarkan mereka merajalela.
Aku sudah terlalu lelah oleh geram.
Inilah akibatnya terlalu memanjakan mereka.

Ah, sudahlah.
Aku ini siapa?
Kita mungkin memang sedarah,
namun aku bukan Sang Putri, melainkan Mantan Penjaga.

"Mengapa kau begitu sinis, Nak?
Kalian semua sama."
Ya, ya - tentu saja.
Seperti biasa, anggap saja aku (lagi-lagi) hanya terlalu perasa.

Terlihat takut di matamu.
Apa gunanya?
Mengapa kita lebih memilih menyangkal karena rasa malu,
daripada menerima kenyataan di depan mata?

Mau menanti sampai kapan, Yang Mulia?
Aku takut mereka bisa mati di tangannya
atau tumbuh menjadi sepertinya
monster dengan kebengisan yang nyata!

R.
(Jakarta, 9 Juli 2014)

Rabu, 16 Juli 2014

"URUSAN SIAPA?"

“Bukan urusan saya.”

Kadang masyarakat bisa jadi sangat ‘lucu’. (Lucu dengan tanda kutip, ya.) Suka nggak jelas gitu. Salah satunya dalam hal mencampuri urusan pribadi orang lain – atau lebih memilih memikirkan diri sendiri.

Keduanya memang perlu, meski pasti masih dalam takaran tertentu. Boleh bilang saya sinis (meski sebenarnya saya punya alasan untuk itu), tapi kenyataannya memang begitu. Dua hal yang saya sebut di atas sering ‘salah tempat’. Maksudnya? Oh, ayolah. Contohnya banyak. Hal-hal kecil nan remeh diributin, tapi masalah yang benar-benar nyata, serius, dan berbahaya – malah dicuekin.

Misalnya, pertanyaan-pertanyaan seperti “Kapan kawin?” sama “Kok gendutan?” dan sejenisnya. Kalau yang ditanya sampai kesal, itu wajar. Pasti karena bolak-balik tiap tahun yang ditanya itu-itu terus, ibarat siaran ulang yang mungkin lama-lama bisa bikin kita mau muntah saking muaknya. (Memang lebay sih, tapi mereka juga yang mulai. Mana nggak kapok-kapok lagi!)

Yang makin ganggu, kalau kita kesal, mereka malah tersinggung dan lantas menganggap kita sama sekali nggak menghargai perhatian dan ekspresi ‘rasa sayang’ mereka. Eh, halo? Kalau memang beneran sayang, harusnya nggak perlu dong, bikin orang merasa jelek dan nggak berarti dengan komentar-komentar nggak penting kayak gitu!

Ah, sudahlah. Seringnya, orang-orang seperti itu takkan berhenti, bahkan meski sudah sadar bahwa toh, hidup mereka sendiri juga belum tentu beres sejagat – boro-boro sempurna. Entah diam-diam minder atau kurang kerjaan (atau mungkin keduanya?), pokoknya mereka hobi kepo sama hidup dan urusan orang lain.

Lucunya, begitu saatnya memang harus kepo, mereka malah cenderung mundur dan jadi tidak mau tahu – atau berlagak tidak tahu. Contohnya, kasus kekerasan terhadap anak. Mungkin Anda pernah lewat beberapa kali di rumah tetangga A, misalnya, dan kerap mendengar tangisan anak kecil karena entah dimaki-maki orang tuanya dengan kalimat-kalimat ‘rawan sensor’ atau malah...hiii, disiksa sampai babak-belur. (Kalau sudah begini, jangan heran kalau bullying makin marak dimana-mana!)

Biasanya, apa yang Anda lakukan? Mungkin langsung memalingkan muka, pura-pura tidak tahu, atau buru-buru menyingkir dari lokasi kejadian. Lalu Anda akan membicarakan kejadian itu dengan orang lain, mungkin dengan yang Anda kenal. HANYA bicara. Atau malah, berhenti sejenak untuk menonton. HANYA menonton. (Mungkin ada yang menganggapnya live-show sinetron gratisan! Nggak tahu juga, ya.)

Lalu, mengapa tidak ada yang (berani?) bertindak lebih dari itu? Mungkin alasan-alasan di bawah ini termasuk familiar:

“Bukan urusan saya. Lagipula nggak kenal juga.”

“Palingan anaknya yang nakal banget, sampai dihukum sama orang tuanya.”

“Ngeri, ah. Kok jadi orang tua kasar gitu, sih?”

Bagaimana kalau Anda mengenal mereka? Mungkin berikut alasan-alasan lumrah yang keluar:

“Nggak, ah. Ntar dikatain sok ikut campur lagi!”

“Gue masih single. Ntar malah balik diserang:’Elo belum tau rasanya ngurus anak. Tau apa sih, lo?’”

Banyak juga yang beralasan: “Nggak mau cari ribut”, lalu memilih tutup mata dan telinga (serta hati, mungkin?) Pura-pura tidak tahu apa-apa, bahkan kerap dengan alasan ‘enggan membuka aib’ atau ‘menjaga kehormatan keluarga’. (Entah kenapa, saya tidak mengerti. Mungkin saya juga terlalu bebal untuk mengerti soal ini.)’

Itu pilihan juga. Percuma juga saya memaksa. Lagipula, siapa sih, saya?

Oke, sekarang bayangkan kemungkinan berikutnya:

Anak itu tumbuh menjadi berandalan. Anda mungkin familiar dengan sosok bully di sekolah yang menjadi momok bagi siswa-siswi lain. Apalagi bila anaknya lelaki dan terlanjur ‘termakan’ ajaran sang ayah yang abusive. Begini cara lelaki sejati menyelesaikan masalah. Yang lain cuma cara banci. Hanya begini kamu bisa dihormati, bahkan meski harus ditakuti.

Tak perlu membayangkan kemungkinan yang terjadi saat anak itu dewasa. Jujur, saya sendiri ngeri. Moga-moga sih, anak itu masih cukup kuat dan waras untuk membuat pilihan-pilihan yang benar. Moga-moga sih, ada figur orang dewasa lain dalam keluarganya yang masih lebih ‘waras’ dan ‘stabil’ untuk mendampingi.

Lagi-lagi, kita cenderung hanya mengandalkan ‘moga-moga’ tanpa usaha nyata. Mau sampai kapan? Sampai kemungkinan berikut ini terjadi?

Suatu hari Anda membaca koran atau nonton berita kriminal di TV. Si anak yang jadi korban siksaan orang tuanya akhirnya jadi ‘cacat’ (masih ingat yang kehilangan kaki gara-gara sang ayah membaringkannya di rel kereta, menunggu kereta lewat?) Atau malah...mati.

Gambaran mengerikan, bukan? Oke, sebut saja saya paranoid, meski jelas-jelas sudah (TERLALU!) banyak contohnya. Apalagi saat orang tua yang membunuh anaknya sendiri langsung pasang tampang sedih di depan kamera (meski ada juga yang kelihatan kayak nggak merasa bersalah sama sekali!) Entah beneran sedih atau sebelumnya sudah ‘latihan’ dulu.

Kalau sudah begini, apa reaksi Anda? Mungkin paling banyak (hanya) bisa berkomentar: “Kasihan.” Kalau kenal? Anda pasti sedih. Berduka dengan nasib korban, sekaligus menyumpahi si pelaku. Ada juga yang lantas menyalahkan pasangannya: “Iih, kok mau-maunya kawin ama orang kayak gitu? Anaknya jadi korban, deh!” Yah, bersyukurlah Anda yang dikaruniai jodoh yang baik hati dan tidak hobi main pukul, apalagi sama anak kecil. Lagipula, siapa juga yang mau dan bisa segera tahu? Seperti biasa, tidak perlu sombong, lah!

Sayangnya, kita juga kerap lupa akan hal ini:

Oke, pelaku kekerasan terhadap anak memang kejam. Bagaimana dengan saksi mata yang tidak berbuat apa-apa, lalu berdalih dengan alasan: “Maaf, itu bukan urusan saya”? Apalagi bila kenal, baik dengan pelaku, korban, atau keduanya. Bahkan, bukan tidak mungkin korban tengah menatap Anda saat ini, meminta pertolongan.

Kepo sama urusan ‘cetek’ memang selalu paling gampang. Makanya banyak pelakunya, tak peduli yang diusili ngomel-ngomel atau pasang tampang jutek.

Namun, Anda pasti luar biasa bila berani kepo untuk urusan yang jauh lebih ‘serius’. Ya, resiko dikatai ‘usil’, ‘tukang ikut campur’, ‘sok jagoan’, hingga ‘pahlawan kesiangan’ akan selalu ada. Kan itu cara mereka memanipulasi pikiran Anda! Karena, dengan begitu, siapa tahu Anda dapat menyelamatkan masa depan – maupun NYAWA – seorang anak...HARI INI.

Semoga Anda cukup bernyali...

R.


(Jakarta, 11 Juli 2014)

Selasa, 15 Juli 2014

"SANG EGO"

Sang ego datang
memasuki ruangan dengan langkah panjang-panjang
menatap pongah seisi ruangan.

Ah, ini melelahkan.
Suaranya kerap berkoar-koar,
liar penuh kebanggaan.
Aku sendiri hanya tersenyum masam dalam diam.

Sang ego bermental bocah
haus akan pengakuan bahwa dialah sejatinya pria
merasa tahu dan bisa segalanya.

Ah, sudahlah.
Berdebat dengannya hanya berbuah lelah.
Biarlah dia sesat dalam angannya,
sementara kucari damai dan kebenaran di luar sana...

R.
(Jakarta, 5 Juni 2014)

Sabtu, 12 Juli 2014

"KATA MEREKA"

Kata mereka, aku harus memaafkanmu,
meski kerap kau mengganggu
buatku murka dulu
hingga aku suntuk selalu.

Kata mereka, sebenarnya kau tak sejahat itu.
Benarkah?
Aku tak percaya!
Aura gelapmu saja buatku lelah.

Kata mereka, sebenarnya kau menyedihkan.
Kasihan, kau tak bahagia.
Masa lalu buatmu kejam
meski diam-diam kau merana.

Baiklah, kumaafkan.
Memang lebih baik ada yang kulupakan.
Namun, jika kau masih juga kejam,
biarlah Tuhan yang beri kau ganjaran.
Bukankah manusia selalu punya pilihan?

R.
(Jakarta, 29 Juni 2014)

Jumat, 04 Juli 2014

"BANYAK!"

Banyak yang ingin kuucap padamu.
Banyak sekali, sayang.
Sayang, lidahku kelu
terbebani kesedihan.

Banyak rasa sayangku,
sekaligus amarah yang terpendam.
Dia tersiksa rasa rindu,
bahkan saat kau begitu kejam.

Banyak rasa sedih yang kelam,
pedih dan tajam.
Permohonan terkubur (terlalu) dalam,
seiring luka segelap malam.

Banyak rasa terima kasihku,
tercekat dalam sunyinya pilu,
berharap otakmu tak lagi bebal
dan perspektifmu tak lagi banal.

Dasar sial!
Yang bisa terucap hanya: "Selamat tinggal!"

R.
(Jakarta, 28 Juni 2014)