Hidup ini singkat. Waktu berjalan cepat. Banyak yang terlewat. Banyak yang belum sempat kita lakukan. Selalu ada alasan. Selalu banyak yang tertinggal, bahkan kerap terlupakan. Beragam urusan datang bertubi-tubi, nyaris seakan tanpa henti. Kadang mereka begitu menuntut, hingga kita lelah setengah-mati.
Kemanakah waktu luang itu? Apakah kita yang lalai mengusahakannya, seperti yang kerap terjadi?
Apakah pada akhirnya, sekeras apa pun berusaha, kita memang akan selalu (ditakdirkan?) untuk kehilangan sesuatu?
Sebentar lagi, Ramadan berlalu. Lagi-lagi rasanya begitu cepat, terlalu cepat. Akankah kita diberi keberuntungan yang sama, bertemu dengannya lagi tahun depan - dan mungkin, insya Allah, tahun-tahun berikutnya lagi?
Masih banyak, bahkan kerap terlalu banyak, yang harus kita tuntaskan. Semoga sempat. Semoga tidak terlalu banyak yang harus kita korbankan. Kita baru teringat betapa singkatnya waktu begitu hal-hal di bawah ini terjadi:
Saat kita jatuh sakit, padahal masih banyak sekali yang ingin kita lakukan - seperti tempat-tempat baru yang ingin kita kunjungi atau hal-hal baru yang masih ingin kita pelajari. Kehilangan suara, padahal masih banyak sekali yang ingin kita ucapkan.
Banyak kemungkinan di depan mata. Saat seseorang yang kita kenal - apalagi sangat dekat - tiba-tiba bilang ingin berpamitan, karena sebentar lagi akan pindah ke tempat jauh. Tiba-tiba kita baru sadar bahwa akhir-akhir ini kita jarang menghabiskan waktu dengan mereka. Ada sesak dan pedih di dada. Bagaimana bila saat berpisah itu akhirnya tiba juga? Akankah suatu saat nanti, kita dipertemukan kembali dengan mereka?
Bagaimana bila kita yang tiba-tiba harus pergi? Akankah kita dapat melenggang dengan mudah, meninggalkan semuanya? Relakah?
Semoga kita masih diberi banyak waktu untuk menuntaskan semua urusan yang perlu diselesaikan. Apa pun itu, baik ungkapan rasa sayang atau permintaan maaf, ada baiknya segera diungkapkan - mumpung waktu masih lapang, kita masih berkemampuan, dan dunia di sekitar kita masih relatif damai - belum porak-poranda oleh kebencian. Sebelum kita - atau mereka - menaiki pesawat bernama 'penerbangan terakhir'.
Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin. Salam damai. Semoga hati kita masih - dan akan selalu - terbuka untuk saling memaafkan dan mengasihi.
Aamiin...
R.
(Jakarta, 19 Juli 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar