Apakah penting untuk selalu
menang dalam setiap permainan – atau segala hal? Siapakah yang sebenarnya
(paling?) pantas disebut pemenang?
Sudah
tiga kali benak saya dihampiri dua pertanyaan itu. Yang pertama saat saya hanya
punya 20 menit untuk menyelesaikan esai sebanyak 80 kata dalam bahasa Inggris,
dalam rangka melamar kerja. Yang kedua saat saya dan murid-murid remaja saya
tengah membahas mengenai kisah seorang gadis berusia 15 tahun yang jenius,
karena sudah duduk di bangku kuliah – meski tak bisa bermain piano sebaik yang
dia inginkan.
Yang
ketiga cukup bodoh: emosi saya sempat ‘terpancing’
gara-gara update status konyol
(setidaknya, menurut saya, nih!) yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk unfollow, remove, dan – sekalian! –
memblokir akun orang tersebut. Mengapa? Saya jahat? Kenapa tidak? Itu hak saya,
sama seperti hak Anda untuk setuju atau tidak dengan pendapat saya. (Kalau kita
mau bicara hak asasi, ya!)
Saat
menulis esai, dengan jujur saya menjawab bahwa...ya, pada dasarnya – semua
orang selalu ingin menang. Percaya deh, nggak ada yang mau bercita-cita untuk
kalah atau jadi pecundang. Aneh saja.
Karena
itulah, banyak yang sampai menempuh segala cara untuk memenangkan sesuatu –
atau paling tidak dianggap pemenang-lah. Mulai dari melanggar aturan hingga
memanipulasi perasaan orang lain agar merasa bersalah dan membiarkan si
perengek menang. Tak peduli curang atau sampai menumbalkan orang lain, pokoknya
harus menang. Apalagi bila kemudian yang menang bisa berbuat suka-suka sama
yang kalah. Siapa sih, yang tidak punya keinginan untuk (merasa) berkuasa,
setidaknya sekali saja dalam hidupnya?
Tak
heran, bullying akan selalu
menguntungkan pelaku bullying. (Ya,
iyalah! Apalagi orang bisa kaya hanya dengan menjadi preman dan mengancam serta
memeras orang lain.) Meski terdengar amat menyedihkan, banyak sosok gila hormat
di antara kita yang sama sekali tidak peduli perasaan orang lain, selama yang
mereka lakukan dapat membuat mereka merasa superior. (Kasihan? Memuakkan mah,
iya.)
Saat
membahas gadis jenius berusia 15 tahun yang sudah duduk di bangku kuliah, saya
bersyukur dengan respon cerdas, positif, dan dewasa murid-murid di kelas saya.
Menurut mereka, ada alasan bagus kenapa gadis itu tidak diberkahi bakat bermain
piano.
Ada
alasan mengapa kita tidak selalu bisa melakukan segalanya sendiri, bahkan meski
diberkahi otak jenius. Pertama, manusia super hanya ada di cerita fiksi. Dengan
cara-Nya sendiri, Tuhan tidak pernah berhenti mengingatkan kita. Kita hanya
manusia biasa. Alangkah berbahayanya bila kita terlalu bisa segalanya. Selain
dapat menumbuhkan sifat angkuh atau sombong (karena merasa tidak butuh
siapa-siapa lagi, berhubung toh, semuanya sudah bisa dikerjakan sendiri), kita
akan cenderung memandang rendah orang lain dan berbuat semena-mena. Tidak sadar
sudah terkena sindrom ‘primadonna
complex’!
Jangankan
yang bisa segalanya (kalau ada!), yang baru bisa seadanya saja juga bisa
bersikap sombong sama orang lain.
Kadang
ada kalah, ada menang dalam hidup. Terlalu sering kalah dapat menyebabkan rasa
putus-asa. Terlalu sering menang juga berbuah jumawa. Karena itulah Tuhan Maha
Adil. Kita diberi kemenangan (atau kelebihan) agar lebih menghargai diri kita.
Kita juga diberi kekalahan (atau kelemahan) agar lebih menghargai orang lain
yang (sebenarnya) kita butuhkan. Mudah dan sederhana sekali, bukan?
Suka
tidak suka, media sosial sudah menjadi ‘sampah’
isi pemikiran pemakainya. Seperti biasa, saya tidak bisa berbuat atau
berkata banyak. Semua orang bebas berekspresi. Sama seperti resikonya yang
kemudian lazim mengikuti: orang lain bebas mengomentari, setuju atau tidak.
Itulah yang akan selalu terjadi.
Dari
situlah kita dapat menilai kualitas kepribadian seseorang, lalu memutuskan apa
yang akan kita lakukan kemudian. Mau terus berteman dengan mereka atau sudahan?
Terserah. Kita berhak bahagia dan merasa aman. Untuk apa memaksakan diri terus
berteman dengan mereka yang tak lagi bikin kita merasa nyaman – apalagi hanya
atas nama kesopanan belaka? Bukan berarti kita lantas total memusuhi mereka –
atau bahkan sampai menyumpah-nyumpahi agar mereka tertimpa kemalangan. (Please, jangan samakan hidup Anda
dengan sinetron Korea!)
Kita
hanya menjaga diri kita agar tetap waras. Bahagia itu sederhana, bukan?
Sayangnya,
masih banyak sosok (yang ‘katanya’)
dewasa yang menganggap kemenangan adalah segalanya. Saking senangnya, mereka
merasa makin seru saat – dalam peraturan permainan itu – yang menang berhak
memperbudak yang kalah sesuka hati. Terdengar seperti bullying? Pasti. Itulah yang saya komentari.
Sayangnya
juga, jawaban orang itu tak sedewasa dan secerdas yang saya harapkan. (Bodoh juga
saya, yang kadang memang suka berharap terlalu banyak sama orang!) Katanya: “Itu ‘kan hak pemenang. Tak perlu lebay.”
Yah,
barangkali menurut dia hanya pemenanglah yang berhak bersikap lebay dengan kemenangan mereka, yaitu
dengan mem-bully yang kalah agar yang
kalah makin merasa bagai pecundang. Karena saya bukan tipe orang yang tahan
berteman dengan orang bermental bully, maka
dengan senang hati saya blokir mereka dari kehidupan saya.
Sepertinya
saya sudah menjawab pertanyaan pertama. Untuk yang kedua, sepertinya (akan
selalu) sama seperti yang dulu pernah saya tulis di esai:
Semua
orang bisa jadi pemenang. Hanya mereka yang bersikap sportif-lah yang patut
disebut juara, meski tak selalu mendapatkan medali atau mencapai garis finish. Terdengar klise? Apakah saya tengah
mencoba menghibur diri? Terserah anggapan Anda. Yang pasti, inilah yang saya
pilih untuk percaya, demi kewarasan dan ketenangan batin semata. Lagipula,
dunia ini sudah kelewat sesak oleh mereka yang gila kuasa, sampai rela menempuh
berbagai cara yang – asli! – suka
nggak kira-kira...
R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar