Sabtu, 29 Juni 2013

"SANG PEMILIK BLOG (2) "

Nona Skeptis berzodiak Scorpio ini hobi banget menulis; bahkan kalau bisa tanpa henti. (Sama seperti membaca. Gejala logophilia?)

Pemilik rambut kriwil ibarat mie hitam ini juga hobi nyanyi. Tak peduli sering gagal audisi, pokoknya terus nyanyi. Dia sering ‘pindah-pindah’ dari satu grup karaoke ke grup karaoke lainnya, selama suaranya masih (dianggap) menyenangkan – bukannya menegangkan. (Yah, selama nggak sampai bikin kuping pendengar berdarah-darah!) Kalau Sabtu kosong dan sedang tidak ingin kemana-mana, biasanya dia betah di kamar dengan bacaan, sesuatu untuk ditulis/digambar, dan bernyanyi saat mendengarkan lagu-lagu cadas di 95.1 Kis FM sepanjang hari dan malam!

R.


(Jakarta, 29 Juni 2013)

Rabu, 26 Juni 2013

"LOVE IS IN THE AIR (YES, IT'S EVERYWHERE!)"

Seorang teman baru saja berbahagia. Setelah lama melajang, akhirnya dia dikunjungi juga oleh kekasih barunya dari Australia. Kapan mereka bertemu? Entah, dia tidak bercerita dan saya juga enggan (kepo) bertanya. Dimana mereka berjumpa? Di dunia maya, tepatnya di salah satu situs kencan dimana teman saya jadi anggotanya.

Nah, nah. Apa ada yang mau nyinyir? Apa mungkin Anda sudi ikut berbahagia untuk teman saya?

Banyak cara mencari/menemukan jodoh. Ada yang cukup beruntung, mendapatkannya langsung di depan mata; cepat pula. (Biasanya akan ada yang bereaksi – entah dengan nada sirik atau beneran tulus – dengan ucapan: “Nggak heran, dia cantik/ganteng/baik, sih!”)

Yang lain harus berusaha ekstra keras, entah lewat ‘perantara’ (alias lewat mak comblang – mulai dari teman, saudara, hingga dukun!) hingga biro jodoh. Ya, bahkan sampai juga ke dunia maya.

Apa ada yang salah dengan mereka? Mungkin tidak, meski banyak orang sok tahu yang menuduh mereka pribadi ‘bermasalah’ – hingga (sepertinya) jodoh ogah atau susah datangnya. Salahkah? Tidak juga. Namanya juga usaha. (Ya, selama itu tidak sampai merebut ‘jatah resmi’ orang lain.) Menurut saya, cara itu masih jauh lebih baik ketimbang hanya berdiam diri dan mengeluh betapa kesepiannya kita.

Berhasilkah? Ada yang ya dan belum. (Jawaban ‘tidak’ terdengar sangat negatif dan bisa membunuh harapan.) Saya kenal banyak teman yang bertemu jodoh lewat chatroom, blog, komunitas hobi dunia maya, hingga media sosial. Saya yakin mereka bukan tipe yang putus-asa dan (gampang) merasa kesepian. (Justru yang desperate itu ya, yang hanya bisa mengeluh tanpa berusaha.)

Dan mereka bahagia. Seperti kata salah satu rekan saya tentang teman kami tadi:

“Dia bahagia karena memilih siap untuk berbahagia.”(Baca: membuka hatinya untuk calon pasangan potensial.)

Masuk akal. Kenapa tidak? Bahkan teman saya itu (dan beberapa teman lainnya yang telah sukses bertemu jodoh lewat jalan serupa) juga menyarankan saya untuk kembali mencoba yang sama. Ya, meski – seperti di dunia nyata – resikonya tetap sama: bertemu orang-orang ‘iseng’ yang hanya minta ‘kencan semalam’ (idih!) hingga yang berpotensi...psikopat! (Hiiih!)

Pasti masih ada yang menyahut: “Ih, ngapain sih, kenalan sama orang gak jelas? Belum tentu bakal jadian juga. Yang real aja, deh!” Sah-sah saja bila ada yang mau berpikir demikian, namun tak berarti berhak meremehkan – apalagi menertawakan – mereka yang memilih berburu jodoh lewat dunia maya. Itu hak dan urusan pribadi mereka, mengapa malah Anda yang keberatan? Kalau ada banyak jalan menuju Roma (bukan si ‘satria bergitar’, maksud saya...ahem!), kenapa memilih yang itu-itu saja? Mengapa harus membatasi diri, apalagi atas nama gengsi?

Kalau pun alasannya “takut ketemu yang nggak jelas”, bukankah itu sudah bagian dari resiko semua jenis pencarian? Bukankah pada awalnya kita semua sama? Before every friendship / relationship, we were once upon a time strangers to one another...

R.

(Jakarta, 20 Juni 2013)


Senin, 24 Juni 2013

"JUJUR (MESKI TAK SEENAK BUBUR KACANG IJO)"

"It's one thing to be honest. It's another to accept honesty. It's a rarity to do both equally."

Saya pernah iseng menulisnya untuk status FB beberapa waktu lalu. Sampai ada teman dari Kanada yang berkomentar singkat: "Truth." Kira-kira artinya begini:

"Jujur itu satu hal. Menerima kejujuran itu hal berbeda. Melakukan keduanya (apalagi secara imbang) adalah hal langka."

Mungkin ada yang akan menyebut saya (sok?) bijak. Biarlah, terserah. Seperti biasa, saya hanya manusia seperti mereka dan yang lainnya. Bisa benar, bisa salah. Tak ada yang sempurna.

Banyak dari kita yang mengakui lebih menyukai kejujuran. memang, jujur itu baik. Tak ada rahasia. Bohong itu dosa. Sesuai ajaran agama.

Jujur saja, seberapa jauh sih, kita menyukai kejujuran? Banyak yang mengaku, lebih baik menerima kejujuran - sepahit apa pun daripada kebohongan manis. Tapi banyak juga yang enggan jujur mengakui betapa menyakitkannya kejujuran itu sendiri.

Banyak juga yang menuduh kalau perempuan lebih suka dibohongi asal senang, sementara laki-laki bermulut kejam tanpa perasaan. Bagi saya, ini bukan perkara stereotipe gender. Ada perkara yang lebih besar lagi daripada itu.

"Gue 'kan cuma mau jujur sama elo!"

Pernah dengar protes macam ini? Mungkin dari sosok yang kita kenal, orang terdekat, mungkin? Mungkin karena orang itu merasa benar akan sesuatu, jadi enteng saja berkomentar atau memberi opini tentang kita - bahkan tanpa diminta. (Mungkin karena merasa sudah 'dekat' dan yakin kita nggak bakalan marah atau sakit hati, alias terima-terima saja.)

Memang, mereka hanya mau bersikap jujur. Bahkan, yang ekstrim pun sampai memilih berkata kasar (dengan dalih emosi dan kehabisan kesabaran karena merasa tidak didengar - serta lagi-lagi atas nama 'kejujuran'), karena menurut mereka lebih baik demikian ketimbang bersopan-santun tapi munafik.

Ironisnya, mereka justru tidak mudah menerima reaksi negatif lawan bicara atas kejujuran mereka yang 'tidak seenak bubur kacang ijo'. Reaksi wajar, toh? Tak semua orang harus tahan. Lagipula, memangnya kita bisa mengontrol reaksi lawan bicara sesuai kemauan kita?

Selain itu, ternyata mereka juga enggan diperlakukan sama. Standar ganda? Tentu saja. Hanya karena mereka (merasa) berhak melemparkan kejujuran seperti apa pun ke muka orang lain, bukan berarti mereka siap saat orang lain berlaku sama pada mereka. Biasanya mereka akan bersikap defensif atau malah pasif-agresif - alias diam seribu bahasa.

Memang, kejujuran tak selalu seenak bubur kacang ijo. Tapi, haruskah kejujuran itu selalu disampaikan dengan ucapan kasar? Bukankah selalu masih ada cara lain yang lebih elegan? Benarkah kejujuran selalu demi kebaikan - bukan sekedar mengobati ego yang terkoyak?

Benarkah hanya orang munafik yang selalu bersopan-santun?

Ada juga yang memilih menerima kejujuran orang lain dalam diam. Tidak ada timbal-balik. Mungkin mereka takut. Mungkin mereka merasa tidak ada gunanya, karena tahu lawan bicara belum tentu tahan menerima kejujuran. Daripada meributkan yang tidak perlu, mending diam. Mungkin kesannya pengecut, tapi sudah banyak yang kebablasan atas nama kejujuran. (Salah-salah bisa berbuntut tuntutan hukum, terutama akibat cuap-cuap sembarangan di media sosial.)

Dengan kata lain, cukup tahu saja. Tak semua masalah perlu diperpanjang, apalagi atas nama memenangkan ego. Bahkan, kalau bisa, tak semua harus jadi masalah.

Berapa banyak yang bisa melakukan keduanya - dengan imbang bila mungkin? Mana yang lebih mudah: berkata jujur atau menerima kejujuran? Apakah jujur selalu lebih baik?

Ada yang bilang, bila enggan - atau memang sedang tak sanggup - untuk selalu jujur, lebih baik diam. Tak perlu banyak bercerita. Toh, itu juga pilihan.

Jujur, buat saya lebih mudah menghabiskan semangkuk bubur kacang ijo. Nggak nyambung? Sebodo!

R.

(Jakarta, 15 Juni 2013)

Jumat, 21 Juni 2013

"SUKA-SUKA"

"Kok lo jadi sewot gitu, sih? Suka-suka gue, dong!"

Pasti kita pernah mendengar ucapan keras macam ini. Biasanya yang ngomong tengah defensif karena: a.) merasa urusan pribadinya diusik; b.)sebenarnya juga hobi mencampuri urusan orang lain, tapi doyan menerapkan 'standar ganda'. Entah egois, munafik, atau mungkin keduanya.

Akhir-akhir ini, sangat sulit bagi saya untuk mengacuhkan kenyataan ini. Dari kecil contohnya sudah terlalu banyak. (Bahkan, kadang saya suka berlaku serupa dan tidak sadar, hehe.)

Dulu, ada beberapa orang dewasa atau sosok lebih tua yang sempat saya benci. (Serius!) Contoh: ada guru sekolah yang selalu marah-marah bila teman-teman sekelas saya yang laki-laki (kepergok) merokok. Beliau melarang keras, bahkan dengan bahasa kasar. Sayang, alasannya sungguh 'cetek' : anak sekolah TIDAK PANTAS merokok!

Ironisnya, guru ini sendiri merokok. Bahkan beliau tidak takut melakukannya di depan murid-murid. Saat ditegur, dengan enteng beliau menjawab kalau orang dewasa sudah sulit berubah. Enak benar!

Sejak itu, saya hanya ingin cepat-cepat dewasa. Di mata saya waktu itu, orang dewasa selalu bisa mengelak saat disalahkan - atau mencari-cari pembenaran dari yang mereka lakukan. Intinya, mereka hanya bisa menasihati, bukannya memulai dari diri sendiri sebagai contoh yang baik.

Itu baru satu. Terlalu banyak bila disebut semua. Anak-anak 'kesayangan'  yang rajin membantah orang tua saat ditegur bila mereka salah. "Suka-suka aku, dong!" Orang tua paling penyabar pun akhirnya menyerah, kalah. Jadilah anak-anak itu tumbuh dengan mentalitas semau mereka - ala preman!

Ada juga yang hobi menasehati, tapi malah melakukan hal yang sama - atau bahkan lebih buruk - dengan alasan: "Suka-suka saya!" (Asli, alasan yang jauh lebih 'hebat' dari guru saya waktu itu.) Yah, namanya juga pencinta standar ganda. Yang enak buat mereka dilakukan, tapi orang lain harap jangan ikutan!

Saya sudah lelah bersikap defensif. Daripada terus mengomel dengan kata-kata: "Suka-suka gue!" sama orang usil tapi tetap tidak didengar juga, lebih baik saya jadi pasif-agresif. Hanya diam dan menanggapi omongan nyinyir orang dengan ekspresi datar (kecuali bila menurut saya saran mereka masuk akal.)

"Suka-suka elo, deh."

Ada cara lain yang lebih halus dan sopan daripada mengucapkan kalimat itu dengan nada keki akibat sakit hati. Artinya bisa macam-macam. Ada yang lelah karena orang yang dinasehati tidak mau berubah. Ada yang muak dengan orang-orang yang usil dan sok tahu dengan hidup mereka. (Dengan kata lain, terserah mereka mau bilang hidup Anda payah. Toh, yang menjalani juga Anda - bukan mereka atau siapa pun!)

Ada yang lebih memilih menyingkir dalam diam, mengurung diri dalam dunia masing-masing. Percuma juga saling mendebat lagi.

Ya, suka-suka. Suka-suka lo, suka-suka gue. Nggak ada yang menang, karena nggak ada yang mau mengalah. Nggak ada konsensus yang bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah.

Hmm, ada kalanya kita harus (dipaksa) belajar tentang kenyataan berkali-kali. Belajar berbesar hati saat orang ogah kita nasihati. Belajar tutup kuping dan tidak terlalu peduli saat - menurut kita - orang terlalu usil mencampuri urusan pribadi kita. Toh, pada akhirnya semua orang bertanggung-jawab pada diri masing-masing.

Don't take everything way too personally. Life isn't always about you, as much as it isn't always about me. It can be about all of us - or even none of us. It depends...

R.

(Jakarta, 7 Juni 2013)

Senin, 10 Juni 2013

"TOO FRIENDLY? TOO KIND?"

Banyak yang bilang kadang saya terlalu ramah, sopan, hingga baik. (Masa?) Tapi, kelanjutan dari komentar tersebut biasanya nggak enak:

"Makanya elo sering dimanfaatin orang!"

Jlebb! Apa iya nasib saya selalu semalang itu?

Mungkin banyak yang pernah mengalami nasib serupa. Gara-gara komentar itu pula, ada yang jadi apatis. Ngapain berbaik-baik sama orang kalo akhirnya selalu kita yang disakiti?

Ada juga yang memilih jalan tengah - mungkin seperti yang saya coba beberapa kali, seperti satu kejadian ini:

Saya mengunjungi sebuah apartemen di daerah Jakarta Selatan seminggu sekali untuk urusan bisnis. Setiap lewat meja resepsionis, saya selalu tersenyum ramah pada pak satpam yang duduk di baliknya, sembari meminta dibukakan pintu elektronik.

Pak satpam balas tersenyum. Kadang kalo sempat kami mengobrol, bergurau, dan tertawa sedikit. Namanya juga ramah-tamah khas Indonesia.

Hingga suatu siang, saat saya bilang ingin ke minimarket di samping lift. Tiba-tiba dia tampak sangat tertarik dan bertanya untuk apa.

"Beli makanan." Memang, kebetulan hari itu saya tidak sempat sarapan.

"Beliin buat saya juga, nggak?"

Menganggap dia cuma bercanda, saya hanya nyengir dan berlalu. Eh, minggu berikutnya dia lebih berani. Dia kembali menanyakan hal yang sama saat saya bilang mau ke minimarket lagi. Pas saya cuma nyengir dan melenggang pergi, tiba-tiba dia sampai - asli! - berdiri dari mejanya dan berseru:

"Mbak, bagi makanan, dong! Beliin, ya?"

Oke, jujur saja - kali itu saya dongkol. Halo, siapa dia? Sok akrab dan buntutnya madatan! Iya kalo dia pengemis yang nggak punya kerjaan dan kelaparan, karena sudah tua dan - maaf - mungkin juga punya keterbatasan fisik. Selain tidak tampak profesional, mengemis makanan pada pengunjung jelas-jelas bikin dia kelihatan nggak punya malu maupun harga diri. Please, dah!

Bisa dibilang, itu terakhir kalinya saya bersikap ramah pada si satpam. Mungkin saya kejam. Tadinya saya hampir ekstrim, langsung mengadukannya pada supervisor - biar diberi pelajaran tata krama. Adik saya yang baik hati justru menyarankan agar mendiamkan saja dulu. Kalo ternyata masih keterlaluan, tegur baik-baik. Masih ngeyel juga? Ancam saja bahwa saya akan melaporkan kelakuannya yang enggak banget ke supervisor. Kalo dia ternyata udah nggak butuh lagi kerja, bolehlah itu dilaksanakan.

Apakah saya terlalu ramah dan baik, hingga selalu mudah dipermainkan orang? Tidak selalu. Saya hanya sebisa mungkin tidak marah-marah atau menyakiti orang lain. Ada cara yang lebih elegan daripada main bentak-bentak orang di depan umum - kayak adegan sinetron basi.

Yang pasti, tatapan dingin dan irit bicara cukup membuat si satpam kapok meminta-minta pada saya lagi. Semoga.

R.

(Jakarta, 2 Juni 2013)

Kamis, 06 Juni 2013

"SEKANTOR DENGAN TUKANG MENGELUH KRONIS"

Oke, semoga ini terakhir kalinya saya menggunjingkan si tukang mengeluh kronis. Semoga saya tak perlu melakukannya lagi, karena pada akhirnya sama saja: saya mengeluhkan si tukang mengeluh. Ironis.

Jika Anda termasuk yang sudah bermental baja, silakan skip entri ini. Saya enggan membuang-buang waktu berharga Anda.

Yang masih mau baca, silakan lanjut.

Bagaimana bila kita sekantor dengan si tukang mengeluh kronis? (Apalagi bila orang itu duduk pas dekat banget dengan kita, bersuara keras, dan - asli! - terang-terangan minta perhatian pula.)

Sebenarnya jauh lebih mudah ketimbang harus serumah dengan mereka. Anda tinggal:

1. Bila keluhan mereka relevan dan ada hubungannya dengan Anda, silakan dengarkan dan bantu mencari solusinya. Siapa tahu dengan begitu mereka akan berhenti mengeluh dengan sendirinya.

2.Bersabar dan banyak-banyak berdoa agar si tukang pengeluh kronis segera mengubah kebiasaannya yang ganggu banget - atau pindah saja sekalian! Kejam memang, tapi orang semacam ini cenderung egois. Mereka tidak sadar kalau hobinya ini lama-lama bisa 'membunuh' semangat kerja rekan-rekan sekitarnya.

3.Menegur mereka baik-baik dengan resiko dicap usil dan reseh (lho?!) - hingga berujung permusuhan. (Lagi-lagi harap maklum, tak semua orang dewasa yang - katanya - dewasa berhati besar.) Untuk yang satu ini, harap lakukan empat mata. Ingat, Anda sendiri pasti tak sudi dijatuhkan di depan umum, meski Anda terbukti bersalah!

4.Diamkan saja. Sibukkan diri Anda. Jadikan earphone pelarian terakhir bila Anda sudah tak tahan lagi. Ingat, Anda punya tujuan utama di sana: bekerja sebaik-baiknya, bukan sekedar menjadi penonton setia si tukang mengeluh!

R.

(Jakarta, 23 Mei 2013)