Minggu, 29 Maret 2015
"BIARKAN AKU!"
Biarkan
aku
berlari
tanpa henti
mencari
dan terus mencari
meski
(kesannya) tanpa pasti
hingga
aku yakin sendiri.
Biarkan
aku
berhenti
sejenak
melepas
penat
Hidup
ini memang tak selalu enak
penuh
tuntutan agar jangan kalah cepat.
Biarkan
aku
mengikuti
kata hati
membentuk
isi benak ini
meski
hanya sendiri
Pendapatku
pun berarti
Biarkan
aku
Tak
perlu nyinyir mencela
Bukan
hanya aku yang keras kepala
karena
masih banyak yang lupa
untuk
mengurus diri mereka sendiri saja!
R.
(Jakarta,
24 Maret 2015)
"ANDA SEORANG INTERNET TROLL?"
Sebelum
menjawab pertanyaan di atas, istilah internet
troll mungkin belum banyak terdengar – meski pelakunya sudah dimana-mana
dan tampaknya makin merajalela. Mungkin bila Anda cukup teliti menilik
respon-respon pada konten-konten di blog atau social media, Anda langsung bisa menemukan yang mana yang termasuk
kategori internet troll. Bahkan yang
paling mengerikan – Anda sendiri pun berpotensi melakukan trolling, alias menjadi internet
troll juga. (Hiiih!)
Sadar tidak sadar, hal itu bisa saja
terjadi. Namun, sebagai orang awam, bagaimana cara mengenali internet troll?
1.Tipikal bully.
Baca saja dari cara mereka
berkomentar – entah itu di blog, situs berita resmi, atau tautan artikel
mengenai suatu hal. Entah selalu negatif, berupa serangan bernada SARA (Suku,
Agama, Ras, dan Antar-golongan), atau ejekan – bahkan kadang hanya dari sekedar
membaca headline tanpa (mau
repot-repot) membaca artikelnya. Kadang suka tiba-tiba #OOT (out of topic) alias nggak nyambung sama sekali. Kadang
menyerang user sebelumnya yang sudah
duluan berkomentar. (Padahal saling kenal saja juga tidak, hehe.)
Tujuannya? Tentu saja sengaja bikin
keki pihak-pihak tertentu, memancing perdebatan panas – terutama antar user. (Baca: mengadu domba.) Pokoknya,
sekadar ‘meramaikan suasana’.
2.Terus memanas-manasi.
Pernah baca komentar-komentar di
bawah tautan sebuah artikel. Kesannya ‘penting’,
karena kok tidak habis-habis? Si A mencela, si B membalas, si A membalas si
B lagi, si C membela B, dan seterusnya. Kata-kata ‘mutiara sampah’ pun sukses menyesaki laman akibat deretan komentar
yang kian mengular, bikin sakit mata sekaligus panas hati.
Mungkin Anda akan bertanya-tanya
apakah mereka punya kerjaan lain yang lebih penting.
Kalau Anda sampai membuang-buang
waktu dan tenaga (sekaligus pikiran dan perasaan) meladeni orang-orang yang
demikian, berarti selamat – Anda baru saja termakan pancingan internet troll.
3.Sengaja mencari target yang spesifik.
Meski kesannya mereka ‘asal komentar’, sebenarnya mereka
sengaja mencari target yang spesifik. Misalnya, dalam berita kasus kriminal
seperti KDRT (kekerasan dalam rumah-tangga). Internet troll biasanya akan memulai duluan dengan komentar
seperti: “Ahh, paling istrinya yang cari
gara-gara duluan dan durhaka.” (Padahal, belum tentu mereka baca artikelnya
secara keseluruhan. Kenal dengan korban saja tidak!) Layaknya bully di dunia nyata, mereka cenderung ‘menyerang’ target yang (dianggap) lemah
/ rentan secara emosional.
4.Positif sosiopat dan narsis.
Jangan pernah berharap mereka akan
menyesal, meralat komentar mereka, atau minta maaf karena telah menyinggung
perasaan orang banyak. Meski argumen Anda benar dan / atau didukung para user lain, percuma juga meladeni internet troll. Nggak hanya waktu dan tenaga
Anda yang terbuang percuma gara-gara berdebat di laman (apalagi masih banyak
pekerjaan lain di dunia nyata yang sebenarnya jauh lebih penting dan mendesak
untuk segera diselesaikan!) Kalau misi mereka sudah tercapai (yaitu bikin
keributan di dunia maya), biasanya internet
troll akan melakukan satu hal paling pengecut dan kurang ajar: KABUR.
Selain bosan, mereka pastinya juga akan pindah ke situs lain untuk mencari
calon korban baru, siapa pun itu.
5.(Biasanya?) pakai identitas / akun
palsu.
Jarang sekali internet troll yang (cukup ‘bernyali’
atau bodoh) untuk memakai akun dengan identitas asli mereka. Apalagi mereka
sadar bahwa akun mereka selalu bisa diblokir agar tidak lagi mengganggu
kenyamanan para user lain di situs
yang bersangkutan akibat pengaduan user lain.
(Tergantung kebijakan admin.) Kalau itu sampai terjadi, gampang saja. Cukup
bikin akun baru dan mulai dari awal lagi – atau berselancar ke situs lain.
Jadi, bagaimana menghadapi internet troll yang tampaknya kian
merajalela ini?
1.Nggak saling kenal? Ngapain
buang-buang waktu dan tenaga Anda yang sangat berharga? Cuekin saja mereka!
2.Mereka enggan berhenti mengganggu
Anda sampai ke laman pribadi Anda, padahal kenal saja tidak? Anda bisa pilih:
blokir mereka, adukan mereka ke admin situs yang bersangkutan, atau laporkan ke
pihak berwajib – menggunakan UU ITE. (Untuk yang terakhir, itu kalau Anda
bersedia repot, ya.)
3.Seorang teman pernah memberi
saran: tiap kali baca berita di situs resmi atau tautannya di social media, tidak perlu sampai membaca
komentar-komentar para user di bawah.
Bahkan, kalau bisa tidak perlu ikutan kasih komentar sekalian. Nggak wajib
juga, ‘kan?
Bisakah Anda berpotensi menjadi
seorang internet troll? Tentu saja.
Ada baiknya Anda waspada bila mulai mengalami gejala-gejala atau melakukan
hal-hal di bawah ini:
1.Semula berawal dari iseng menggoda
teman / orang lain di dunia maya karena lagi bosan / menganggur. Yang menjadi
masalah, Anda tidak tahu kapan harus berhenti, alias kebablasan!
2.Anda punya satu atau lebih akun
samaran untuk...iseng, misalnya stalking mantan
yang kemudian berujung pada keisengan-keisengan lainnya. (Nah, kalau yang ini
mah, emang udah niat dari awal!)
3.Anda semakin lama menghabiskan
waktu di depan komputer – dan itu pun bukan untuk bekerja.
4.Ini mungkin perasaan paling
ganjil, tapi – entah kenapa – Anda senang sekali bila berhasil bikin banyak
orang marah dan sakit hati atas komentar sadis Anda. Anda bahkan tidak peduli
bila Anda dan mereka sama-sama tidak saling kenal di dunia nyata!
5.Anda cenderung enggan menerima –
atau malah lari dari – kenyataan bahwa di dunia nyata, Anda mungkin sebenarnya
bukan siapa-siapa atau tidak begitu ‘dianggap’.
Yang paling menyedihkan, Anda menjadikan dunia maya sumber pelarian dari
masalah dan stres Anda – serta pemuas ego belaka, karena hanya di sana Anda
merasa berjaya. Ya, berjaya karena menghina orang lain di sana. (Dengan kata
lain, kemungkinan besar di dunia nyata Anda adalah seorang...pengecut.)
6.Anda jadi makin tidak peka
terhadap lingkungan dan situasi sosial di sekitar Anda. Empati Anda...mati.
7.Anda selalu punya alasan – atau
lebih tepatnya, pembenaran – atas semua yang Anda lakukan. Dengan kata lain,
menurut Anda selalu orang lain yang salah. Anda merasa tidak pernah perlu minta
maaf, karena Anda merasa ‘berhak’...apa
pun alasannya!
8.Yang mulai menyadari perubahan
perilaku Anda mungkin akan punya beragam reaksi. Ada yang masih cukup peduli
untuk menegur Anda. Ada yang memilih menjauh, karena toh percuma juga mendebat
Anda yang selalu merasa paling benar sendiri.
9.Anda jadi kepo / usil dengan
urusan orang lain, tapi bukan karena peduli yang kebablasan. Anda sengaja
mencari-cari ‘cacat’ / kesalahan /
kelemahan orang lain untuk dipakai menjatuhkan mereka, karena Anda memang
berhasrat melakukannya.
Bagi yang sudah terlanjur, semoga
segera sadar. (Kalau perlu, silakan konsultasi pada ahli jiwa.) Bagi yang
belum, jangan sampai. Masih banyak cara lain yang lebih positif untuk mengisi
waktu luang Anda – dan menjadi internet
troll bukan salah satunya!
R.
(Jakarta, 24 Maret 2015)
Sumber:
Senin, 23 Maret 2015
"BANGUNKAN AKU!"
Bangunkan
aku, sayang,
jika
aku tidur terlalu lelap.
Masih
banyak yang harus kita kerjakan.
Semoga
semangat ini tidak lekas menguap.
Bangunkan
aku, sayang,
jika
aku masih enggan beranjak.
Jangan
biarkan aku membuat waktu terbuang.
Semoga
aku masih bisa selalu banyak bergerak.
Bangunkan
aku, sayang,
jika
semangat ini terancam lenyap,
meski
sadar – dunia nyata tak selalu menyisakan banyak kesempatan.
Semoga
aku selalu kuat, tanpa lelah berdoa penuh harap.
Semoga
kita takkan pernah kalah, baik oleh lelah maupun gundah.
R.
(Jakarta,
22 Maret 2015)
Kamis, 19 Maret 2015
“SULITNYA BERHENTI ‘KEPO’ (USIL/IKUT-CAMPUR URUSAN HIDUP ORANG LAIN)”
“Great minds discuss
ideas; average minds discuss events; small minds discuss people.”
Kecuali
Anda mendapat mandat dari negara untuk memata-matai target yang dianggap
berpotensi membahayakan bangsa. Kalau lagi nggak ada apa-apa, alias damai-damai
saja – ngapain? Apa untungnya bagi Anda? Nggak capek apa?
Jangan-jangan
Anda sendiri sebenarnya masih kurang sibuk. Logikanya, jika Anda banyak-banyak
menyibukkan diri (apalagi dengan kegiatan-kegiatan yang Anda suka dan jauh
lebih berguna), maka Anda tidak akan punya waktu luang lagi buat terlalu ‘kepo’, alias usil mencampuri urusan
hidup orang lain. Energi Anda pasti juga akan terkuras banyak!
Oke,
mungkin pada dasarnya kita semua punya rasa penasaran akan segala sesuatu.
Apalagi dengan era social media sekarang,
dimana kita dapat lebih leluasa ‘mengintip’
kehidupan orang lain – baik keluarga, teman, sahabat, pacar, hingga...hehe,
rival atau mantan sekalian. (Penting banget, ya?) Kecuali...yah, kalau yang
punya akun tidak sudi Anda ‘intip-intip’ terlalu
dalam, hingga memakai setting-an
tertentu agar hanya orang-orang yang dia pilih saja yang bisa melihat. (Baca:
orang-orang ‘kepercayaan’.) Nggak
perlu terlalu sensi juga, itu ‘kan haknya mereka. Anda pasti juga enggan ‘kan,
dimata-matai oleh sosok yang belum tentu berkenan di hati Anda? Lain cerita
kalau Anda tidak peduli.
Ada
juga sih, yang memilih untuk tidak punya akun di situs social media mana pun. Rempong, menurut mereka. Urusan dunia nyata
saja sudah cukup ribet, tanpa harus menambah kemungkinan drama di social media!
Sebenarnya
(lagi-lagi nih, ya!), nggak ada yang salah dengan social media. Kalau tujuannya hanya ingin tahu kabar
sanak-saudara/teman/pasangan di luar kota/negeri (entah lewat posting foto-foto
atau update status), ya nggak masalah. Apalagi kalau kebetulan yang punya akun
sama sekali tidak keberatan dimata-matai. Hitung-hitung menambah
penggemar...he...he...he...he...!
Yang
berpotensi memancing keributan alias drama yang nggak perlu adalah saat Anda
getol ingin ‘mengorek-ngorek’ informasi
lebih dalam seputar target Anda. (Baca: sengaja mencari-cari ‘cacat’ atau kesalahan si target.)
Lalu,
biasanya apa yang akan Anda lakukan dengan informasi tersebut? Kalau hanya
untuk disimpan sendiri, nggak masalah. (Lagipula, ngapain juga?) Lain lagi
kalau Anda lantas bercerita kemana-mana – dengan tujuan agar semakin banyak
yang tahu mengenai ‘cacat’ orang yang
Anda bicarakan!
Mungkin
sebelum melakukan hal tersebut, Anda harus banyak-banyak merenung sambil
menjawab dua pertanyaan sederhana di bawah ini:
Untuk apa? Apa
untungnya bagi Anda?
Memang
ada kasus-kasus tertentu yang membuat kita terpaksa menempuh jalan yang
demikian, itu pun biasanya yang berkaitan dengan masalah hukum dan keselamatan
nyawa orang banyak. Misalnya: teman yang sudah Anda percaya meminjam uang dalam
jumlah banyak (bisa jutaan atau milyaran rupiah, entah untuk bisnis apa.) Saat
harus mengembalikannya (sesuai perjanjian yang telah kalian sepakati), dia
malah kabur dan menghilang – berusaha agar tidak pernah dilacak lagi.
Atau
Anda yakin bahwa orang yang Anda bicarakan itu berpotensi membahayakan nyawa
orang lain, meski Anda juga tetap harus mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung
dan melibatkan aparat hukum. (Meski skeptis mampus dengan korupsi yang sudah
lama merusak negeri ini, sayangnya kita tetap tidak boleh main hakim sendiri!)
Masalahnya, tanpa bukti-bukti yang cukup mendukung, salah-salah Anda malah
dituduh memfitnah. Repot, ‘kan?
Kalau
alasannya hanya dendam pribadi, ayolah. Jangan samakan hidup ini dengan drama
Korea. Serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Membalas dengan cara yang sama –
atau bahkan lebih buruk lagi – tidak menjamin Anda akan benar-benar berbahagia
dalam hidup Anda sendiri.
Kalau
hanya untuk bahan obrolan? (Baca: gosip!) Hmm, lebih baik pikir-pikir lagi deh,
apalagi bila ternyata hanya itu bahan andalan Anda untuk mengobrol dengan orang
lain. Ingat, bahkan sahabat terdekat Anda pun tetap manusia biasa. Mereka bisa
juga kok, bosan dan kehilangan kesabaran.
Apakah
Anda sudi, bila giliran Anda yang dijadikan bahan omongan – dalam konteks
negatif pula? Rasanya tidak ada yang sudi, apa pun alasan atau kesalahan tiap
orang. Lagipula, memang ini ibarat semut di seberang lautan terlihat jelas –
sementara gajah di pelupuk mata malah tidak kelihatan. (Atau malah memang
sengaja dianggap tidak ada?) Untuk apa kita getol mencari-cari dan lalu
membicarakan keburukan orang lain, kalau diri sendiri juga masih banyak
kekurangan? Sebagai perbandingan? Mau sampai kapan?
Benarkah
kita akan bahagia karenanya?
R.
(Jakarta,
18 Maret 2015)
"HARI ITU..."
Hari
itu terlalu indah.
Mengapa
kalian harus merusaknya?
Ya,
Tuhan – kami lelah.
Mau
sampai kapan kalian bertingkah bak ratu drama?
Hari
itu terlalu indah.
Dia
hanya butuh tersenyum, aku ingin merasa ceria.
Apa
boleh buat, damai itu harus pecah,
karena
itulah aku memilih diam saja.
Hari
itu terlalu indah,
hingga
kalian menuntut perhatian semua – seperti biasa.
Ah,
sudahlah.
Tak
ada gunanya lagi bicara.
Sulitkah
bagi kalian untuk mencoba bahagia?
R.
(Jakarta,
18 Maret 2015)
Rabu, 18 Maret 2015
#FF2in1 : "MY BEAUTIFUL SCARFACE"
Kata mereka, kita
berdua ibarat dongeng jadi nyata. Ya, meskipun aku bukan seorang putri dan kau
juga bukan seorang pangeran. Boro-boro, kita sama-sama jauh dari cantik dan
tampan (setidaknya menurut selera media massa).
Bahkan, kalau mau
sadis, mukamu agak...mengerikan. Sumpah, anak-anak kecil yang belum mengerti
apa-apa mungkin akan menangis dan bisa bermimpi buruk – hanya gara-gara melihat
wajahmu yang kini...sudah rusak sebelah. Asli, mungkin kalau ada casting untuk remake film “Darkman”, kamu
akan aku suruh ikutan. Lumayan, mengirit jasa make-up artist dan kalau aktingmu bagus, kamu bisa dapat uang
banyak dan sukses. Soal bedah plastik? Itu terserah kamu, sayang. Itu wajahmu.
Asal kamu nyaman dan bahagia dengan dirimu sendiri, tidak masalah buatku.
Sejak kecelakaan
gara-gara gedung apartemen tempatmu tinggal kebakaran hebat, kamu pernah
memintaku meninggalkanmu. Katamu, lebih baik aku bersama dengan lelaki yang
wajahnya masih utuh...masih normal. Dasar sial, aku jadi sedih, tahu?! Memangnya
aku perempuan berotak dangkal?
Begitu kamu sudah cukup
sehat untuk berjalan-jalan keluar – termasuk menantang sinar matahari dan
mata-mata yang begitu menghakimi – dengan cueknya aku menggandengmu sambil
mengangkat daguku. Aku ingin menantang mereka, kamu, sekaligus diriku sendiri.
Mereka tahu apa? Kamu nyaris mati waktu itu. Butuh seseorang berjiwa begitu
pemberani untuk berusaha bertahan hidup dan melalui banyak terapi. Yang tidak
tahan mungkin sudah bunuh diri atau enggan keluar rumah lagi.
Aku tidak takut. Lihat,
cincinnya masih ada di jariku, kan? Paling hanya tanggalnya saja yang
dimundurkan sedikit. Lebih baik begitu, daripada kita yang mundur.
“Kenapa?”
tanyamu
waktu itu, untuk yang kesekian kalinya. Lagi-lagi kusentuh bekas lukamu yang
masih kasar, meski katamu sudah tidak menyakitkan lagi. “Memangnya bekas luka ini tidak mengganggumu, ya?”
“Hmm,
sebenarnya iya.”
“Hah??”
Aku tersenyum
menggodanya. “Percaya deh, tidak seperti
yang kamu kira,” ujarku, diam-diam menahan rasa geli karena untuk sesaat
berhasil membuatmu ketakutan. Ketahuan, sebenarnya diam-diam kamu juga tidak
ingin kehilanganku. “Luka itu sebagai
pengingat akan hari paling menakutkan dalam hidupku. Hari dimana aku kira kamu
tidak akan bertahan hidup.”
Kamu terdiam. Kurasakan
tanganmu menyentuh tanganku yang menyentuh pipimu.
“Kamu
yakin?”
Aku menantangnya. “Aku masih di sini, kan?” Sesosok lelaki
jangkung dan atletis lewat di depan kami di taman itu. “Kalau nggak, aku sudah mengejar cowok barusan dan ninggalin kamu di sini.”
Kamu tertawa. Ah,
senyummu masih sama. Aku juga masih mengenali sorot mata hangat itu.
Yang penting, kamu
tidak berubah jadi orang lain...
"PATAH HATI? SO WHAT?"
Aku heran dengan
tuduhan kalian bahwa aku munafik.
Apa pasal? Gara-gara
kasus patah hati terakhirku. Tidak seperti biasanya, kali ini aku memberanikan
diri ‘menembak’ cowok itu duluan.
Rada klasik sih, mengingat sekarang zamannya internet. Orang lebih banyak
cuap-cuap lewat media sosial, curhat lewat inbox
sampai yang baca kadang terserang virus malas (maklum, pastinya suka
panjang-panjang – meski tidak sampai mengalahkan panjangnya naskah epik La Galigo.) Kalau tidak, palingan lewat
email atau minimal SMS, BBM, Whatsapp, dan
entah apa lagi yang sedang trend sekarang
atau lewat telepon saja sekalian. Yang paling berani masih dengan cara ngomong
di depan orangnya langsung – itu pun kalau habis itu tidak sampai pingsan masih
bagus!
Aku mengiriminya surat.
Jadul banget, kan? Lebih tepatnya, aku meninggalkan surat untuknya di meja
kerjanya malam itu, lalu main kabur begitu saja karena ketakutan. Kata para
sahabatku, aku sudah termasuk cukup berani melakukan itu.
Hasilnya? Aku ditolak.
Tapi bukan karena aku atau caraku yang mungkin bagi sebagian orang cukup...hmm,
apa ya? Kayak ABG retro? Biar saja. Alasannya masuk akal, dia mau pindah kerja
ke luar kota dan lagi ribet mikir urusan perpindahan. Timing-nya memang lagi jelek saja.
Setidaknya kami masih
tetap berteman. (Usaha menghibur diri? Hmm, bisa jadi.)
Sebelumnya, aku juga
pernah menghadiri pernikahan sosok yang kucintai tapi tak pernah tahu
perasaanku. Ya, iyalah. Mau dikemanakan harga diri ini kalau seluruh dunia tahu
aku mencintai lelaki yang waktu itu empat bulan lagi akan menikahi tunangannya?
Begini-begini aku masih punya malu!
Sama yang itu, kami
juga masih tetap berteman. (Ngapain juga musuhan?) Bukan salahnya kalau aku
jatuh cinta pada orang – dan waktu – yang tidak tepat. Aku selalu menganggapnya
cobaan.
Jadi, aku sama sekali
tidak mengerti mengapa kalian menganggap kisah cintaku (yang nyaris tidak eksis
ini, alias mendekati titik nadir) begitu tragis dan memilukan. Aku bukan orang
Yunani dan ini bukan kisah epik yang itu (yang kerap ngetop disebut dengan “Greek Tragedy”.) Sedih pasti ada, tapi
ngapain pula berlarut-larut? Memangnya dengan merengek dan meratapi nasib,
mereka akan otomatis langsung mau denganku, begitu?
Ini dunia nyata dan
semua orang semakin lama semakin sibuk akhir-akhir ini. Tak ada waktu untuk
menuruti galau. Aku sudah terlalu dewasa untuk itu. Cukup bocah ingusan yang
berlagak demikian, meski mereka belum tentu mengerti benar artinya cinta.
Jangankan mereka, orang-orang (yang mengaku) dewasa saja juga hobi memakai kata
cinta untuk mainan, padahal mengerti maknanya saja tidak. Bah!
Sekarang ini aku sedang
apa? Mencari lagi? Ah, tidak. Setelah gagal berkali-kali, aku mau santai dulu.
Nikmati waktu sendiri. Siapa tahu, dengan berusaha bahagia meski sendiri, akan
ada yang tertarik denganku – karena aku tidak terlalu tergantung dengan
kehadiran sosok lain untuk membuatku bahagia. Bukankah seharusnya begitu?
Berapa umurku? Ah,
sudahlah. Mau tahu...apa mau tahu banget?
Satu-satunya obat patah
hati yang paling mujarab adalah mengingatkan diri sendiri bahwa orang pertama
yang harusnya kita bahagiakan terlebih dahulu adalah...ya, diri kita sendiri.
Betul, kan?
Maaf, saya bukan
munafik. Saya hanya realistis dan mencoba bersyukur dengan apa yang saya punya
sekarang.
Senin, 16 Maret 2015
"ATAS NAMA PENCITRAAN"
Aku
ingin tertawa
melihat
yang coba kau lakukan
Kau
tunjukkan pada dunia
bahwa
kau sudah berubah kepribadian.
Ah,
hanya pencitraan!
Ini
memang zamannya
para
pelaku tragedi (buatan?) dan dagelan murahan
raja-raja
dan ratu-ratu drama.
Semoga
aku bukan mereka di social media
Semoga
aku tidak (sampai) kelewatan
Tak
semua harus jadi bahan cerita
Biarlah
masih ada yang penasaran
Mungkin
mereka percaya kau selalu menyenangkan,
sementara
banyak yang tahu sebenarnya,
meski
sepertiku, mereka lebih memilih diam saja
Untuk
apa menambah drama?
R.
(Jakarta,
15 Maret 2015)
"SULITNYA MENGHILANGKAN BURUK SANGKA"
Mengapa
kebiasaan yang satu ini paling sulit dihilangkan? (Hayo, ngaku aja deh – tapi
tenang, nggak perlu sama saya, kok!) Bahkan orang yang paling baik pun – sadar
nggak sadar – pernah melakukan hal ini.
Mungkin ini alasan basi, tapi banyak
yang kerap sulit membedakan antara waspada dengan curiga. Apalagi hidup di
ibukota. Belum lagi bagi yang hobi ber-social
media, yang kadang mudah ‘termakan’ dengan
berita-berita yang belum tentu benar adanya. Atau jangan-jangan Anda hobi
menyebarkan yang demikian?)
Waspada memang perlu. (Bukankah kita
memang wajib menjaga diri?) Namun, apa jadinya kalau waspada bablas menjadi
curiga berlebihan – alias berburuk-sangka? Hidup jadi tidak tenang. Rasanya
seluruh dunia ingin menyerang, baik secara diam-diam maupun terang-terangan.
(Tunggu sebentar, memangnya Anda pikir Anda siapa – pusat semesta? Memangnya pusat semesta dimana? #salahfokus )
Kelanjutannya bisa ditebak: kita
jadi rentan stres. Terus bisa sakit...dan nggak bahagia. Kalau sudah begini,
siapa yang rugi?
Mungkin kita harus mencoba kembali
berpikir positif. Kalau masih tertipu juga? Ya, sudah. Daripada (bisanya) hanya
merengek, meratapi nasib, atau menyumpah-nyumpahi pihak yang telah merugikan
kita (terus-terusan pula!) – mending segera bangkit dan lakukan sesuatu yang
lebih berarti. Bisa menuntut mereka secara hukum (kalau kasusnya memungkinkan.)
Bisa juga lebih berhati-hati lain kali.
Memilih memaafkan pelaku? Selamat,
berarti Anda manusia berhati besar. Kalau tidak? Ya, sudah. Terserah Anda,
selama Anda nggak jadi jatuh sakit karenanya. (Nggak kayak di sinetron-sinetron
alay, belum pernah saya melihat orang
yang benar-benar bahagia karena mendendam!)
Kalau memutuskan untuk berhenti
mempercayai pelaku? Cukup bicara seperlunya sama mereka, alias batasi curhat.
Toh, Anda juga berhak punya privasi. Kesal dan sakit hati itu wajar, tapi nggak
perlulah sampai menyumpah-nyumpahi orang itu agar segera kena sial. Nggak perlu
juga keseringan ngomongin orang itu kepada semua kenalan Anda, sampai kesannya
Anda begitu ‘terobsesi’. Percayalah,
itu nggak akan bikin perasaan Anda lebih baik. Yang ada Anda malah akan sulit
berbahagia, karena masih saja sakit hati sama masa lalu. Gimana enggak?
Diungkit-ungkit melulu, sih! Nggak bosan, ya?
R.
(Jakarta, 15 Maret 2015)
Jumat, 13 Maret 2015
"BERJUANGLAH!"
Ada
resah di matamu,
wahai
Mantan Penjaga Kastil Sunyi.
Benakmu
sesak oleh semua yang menyatu,
meski
sekelilingmu begitu sepi.
Gusar
memang wajar,
terutama
setelah kalah dalam berjuang.
Namun
jangan sampai semangatmu buyar.
Masih
ada hari esok untuk menang!
Jangan
mau kalah dengan keadaan.
Saatnya
bangkit dan mulai lagi.
Buat
awal baru untuk bertahan,
meski
lagi-lagi kau harus sendiri.
Seluruh
dunia tak perlu tahu.
Tak
perlu banyak bicara.
Cukup
selesaikan masalahmu
dengan
tindakan nyata!
R.
(Jakarta,
10 Maret 2015)
"STRENGTH AT WORKPLACE" (TEGUH DALAM BERKARYA)
Apa
yang terbersit di benak Anda saat mendengar “strength
at workplace”? Bukan sekedar kuat, namun juga teguh. Tidak hanya bekerja,
namun juga berkarya.
Semua orang bisa kuat secara fisik
(atau mungkin pura-pura ‘kuat’.)
Namun, berapa yang teguh – alias bersungguh-sungguh? Banyak juga yang bekerja,
tetapi berapa yang benar-benar berkarya? Semua itu tergantung Anda.
Ada beberapa kiat untuk terus teguh
dalam berkarya, terutama di tempat kerja:
1.Cintai dulu pekerjaan Anda.
Bagaimana bisa teguh dalam berkarya,
bila (berusaha) mencintai pekerjaan saja tidak? Banyak faktor yang membuat
seseorang seperti ini. Mungkin Anda termasuk orang yang senang bekerja, namun
hanya sekedar bekerja – asal dapat uang (kalau bisa banyak).
Tak heran, antusiasme dalam bekerja
memudar seiring waktu berjalan. Berbeda bila kita benar-benar ingin berkarya,
bukan asal bekerja.
Mungkin saat ini Anda bekerja
(hanya) karena uang, sembari berusaha meraih impian sejati (passion) Anda. Tidak apa-apa, selama
Anda ingat tujuan utama Anda dalam hidup dan berpegang teguh pada prinsip.
2.Punya tujuan yang jelas.
Untuk apa Anda bekerja? Mengapa Anda
bekerja di tempat itu? Apakah pekerjaan itu memang pilihan (sejati) Anda?
Yang paling penting, bila Anda
memang benar-benar menyukai pekerjaan tersebut (atau suka bekerja di kantor
itu), kontribusi apa yang ingin Anda sumbangkan pada perusahaan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas
mungkin kerap Anda baca di artikel-artikel lain dengan tema serupa. Bila Anda sudah
bisa menjawab semuanya dengan mantap, maka Anda akan tahu langkah berikutnya.
3.Percaya pada (kemampuan) diri sendiri.
Okelah, mungkin Anda tetap harus
mempertimbangkan saran-saran dari sana-sini. Namun, pada akhirnya, Anda-lah
yang harus memutuskan langkah yang harus diambil – yang dirasa tepat untuk
memperkuat diri dan mentalitas Anda di lingkungan kerja. Hanya Anda-lah yang
bisa – dan harus – melakukannya.
Tidak perlu terlalu memusingkan
komentar-komentar ‘miring’ dari pihak
luar yang diam-diam semangat ingin ‘menjegal’
Anda, karena terancam oleh sepak-terjang Anda. (Maklum, namanya mereka juga
penggemar drama bernama ‘politik kantor’!
Nggak usah gampang terpancing sama manusia-manusia yang haus perhatian dan gila
pengakuan.) Kalau Anda merasa tidak bersalah, ngapain juga harus takut? Toh,
rezeki di tangan Tuhan!
4.Tahu kapan harus beristirahat.
Jangan mentang-mentang (merasa)
kuat, Anda lantas bekerja tanpa henti. Meski sangat cinta dengan pekerjaan Anda
sekarang, ada kalanya Anda butuh istirahat – meski sejenak. Sebisa mungkin
hindari membawa pekerjaan pulang. (Kalau pun terpaksa, harap dicicil – alias jangan
terlalu banyak sampai-sampai mengorbankan jam tidur Anda!) Akhir pekan harusnya
untuk waktu bersama keluarga dan teman.
Idealnya sih, begitu. Namun,
bagaimana bila sulit?
Manfaatkanlah cuti yang disediakan
oleh kantor. Liburlah untuk beberapa saat, untuk me-recharge tenaga Anda.
5.Jangan mentok di situ-situ saja.
Pada dasarnya, manusia butuh
berkembang. Sediakan waktu luang dan tenaga (dan mungkin juga biaya, bila
perusahaan tidak membiayai) untuk menambah ilmu lagi, entah berupa kuliah
khusus karyawan, kursus singkat, atau ikut seminar. Siapa tahu ada yang dapat
menunjang karir Anda. Kalau pun tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang
tengah Anda tekuni sekarang, kenapa tidak – kalau Anda memang suka? Anggap saja
Anda tengah berinvestasi untuk menambah keahlian di kemudian hari.
Pasti masih banyak lagi kiat-kiat untuk
meningkatkan ‘strength at work’, agar
kita senantiasa teguh dalam berkarya. Mungkin Anda bisa mencari yang dirasa
lebih cocok untuk Anda. Lagipula, tiap orang berbeda-beda.
Yang jadi pertanyaan: maukah Anda
maju, agar senantiasa teguh dalam berkarya – baik di lingkungan kerja maupun
masyarakat?
Selamat mencoba!
R.
(Jakarta, 11 Maret 2015)
Selasa, 10 Maret 2015
"SUNYI DALAM BENAKKU"
Kudengar
kau sedang di kota.
Apa
kabar di sana?
Semoga
baik-baik saja.
Sayang
kita tak sempat berjumpa.
Haruskah
aku kecewa?
Aku
yakin kau tidak lupa.
Hanya
saja, banyak hal lain yang harus jadi perhatian utama.
Jangan
khawatir, aku bukan anak manja.
Kapan
kau akan kembali?
Mungkin
kita akan berjumpa lagi.
Mungkin
takkan ada lagi pedih di hati ini.
Mungkin
lama-lama cinta ini akan mati sendiri.
Suatu
saat, aku harus bisa menatap mata birumu
tanpa
sedikit pun rasa rindu...
R.
(Jakarta.
8 Maret 2015)
"CARA JADI MANTAN ELEGAN"
Putus
cinta bikin sakit hati dan ingin marah? Wajar, apalagi mengingat mantan pernah
jadi sosok spesial di hati kita – dan putusnya pakai acara ‘drama’ pula. Kalau sudah begitu, galau ibarat penyakit yang harus segera
ditepis!
Sudah banyak artikel mengulas
tentang mengatasi putus cinta hingga move
on dari mantan. Kali ini kita akan membahas cara-cara menjadi mantan
elegan.
1.Tidak perlu mengumbar cerita.
Ya, ya, wajar bila sesekali masih
tergoda untuk ngomongin mantan. Bahkan, social
media ibarat fasilitas tambahan yang sepertinya semakin mendukung kita
untuk curhat sepuasnya kepada dunia tentang mantan.
Yang jadi masalah? Nggak hanya bikin
orang lain jadi bosan bin muak sama Anda, kredibilitas Anda sebagai manusia
berkualitas tinggi akan sangat diragukan – hanya gara-gara terlihat belum move on dan malah cenderung mengasihani
diri sendiri. Coba tebak, siapa yang rugi?
2.Curhat sama sahabat...meski jangan
keseringan juga!
Bukan apa-apa, tapi sahabat (yang ‘katanya’ setia) tetap manusia juga.
Mereka juga bisa capek dengan energi negatif yang kerap Anda bagi lewat
curhatan negatif tentang mantan.
Kalau sudah sering lihat mereka
memutar bola mata, menguap lebar-lebar, mendengus tanda tak suka, atau berusaha
keras mengalihkan perhatian Anda atau mendadak mengganti topik, berarti saatnya
Anda stop curhat melulu soal mantan. Memang kasar sih, tapi nggak ada gunanya
juga Anda menuduh mereka tidak solider/tidak setia kawan. Justru Anda malah
akan terlihat terlalu mementingkan kepuasan diri sendiri, alias maunya
diperhatikan terus! Ini bisa merusak pertemanan, karena...jujur aja deh, siapa
sih, yang tahan berlama-lama sama orang yang hobinya mengasihani diri sendiri
dan tidak bisa mencoba untuk berbahagia?
3.Kadang diam itu (masih) emas.
Bagaimana kalau mantan yang
menjelek-jelekkan Anda duluan di depan umum? Normalnya, kita semua pasti ingin
membalas.
Yakin ingin terjebak dalam drama
tidak penting? Apalagi bila sampai ribut-ribut di social media a la “Twit-war” dan
sejenisnya. Yang ada kalian berdua malah sama-sama kelihatan tidak dewasa /
kekanak-kanakan di mata dunia.
Nggak tahan difitnah mantan? Ajak si
mantan ngomong serius saat hanya berdua. Kalau si mantan masih ‘ngeyel’ juga, nggak usah takut. Dari
situ Anda bisa tahu, mana teman yang mudah terhasut dan mana teman yang
benar-benar kenal, percaya, dan sayang sama Anda.
4.Cukup dengan penjelasan singkat.
Semua orang sudah tahu Anda putus
dengan si dia? Oke. Kalau ada yang menawarkan ucapan belasungkawa (kayak
pemakaman saja!), cukup mengangguk singkat atau tersenyum sambil mengucapkan
terima kasih. Kalau ada yang tanya kenapa putus? Cukup geleng-geleng; tak perlu
menjelaskan lebih dari sekedar: “Yah,
emang nggak cocok aja.”
Kalau masih pada nanya-nanya juga –
lebih jauh alias kepo malah? Ya, nggak perlu jawab. Ngapain? Memangnya mereka
harus tahu semuanya, bahkan meski sahabat dekat? Anda berhak kok, punya
privasi.
5.Sibukkan diri.
Mau fokus sama karir? Bisa. Coba
juga bersosialisasi dengan banyak orang baru (terutama yang belum dikenal Anda
atau mantan sama sekali.) Coba hobi baru. Jalan-jalan atau traveling. Apa kek,
daripada terobsesi ngomongin mantan melulu.
6.Konsultasi ke terapis.
Masih doyan membahas mantan,
sampai-sampai semua teman Anda lama-lama tidak tahan? Ada kabar buruk: Anda
mungkin harus berkonsultasi ke terapis. Mungkin terdengar kejam, tapi bila Anda
masih belum juga bisa beranjak dari topik yang itu-itu juga (terutama dalam
hitungan bulan atau tahun!), kemungkinan besar ada masalah terpendam yang
tampaknya harus ditangani dengan bantuan ahli jiwa!
7.Bersyukurlah!
Mungkin saja Tuhan tengah bermaksud
baik dengan mengakhiri hubungan Anda dengan si dia. Mungkin memang sebaiknya
kalian tidak bersama. Terus kenapa? Anda masih hidup, ‘kan? Lalu, kata siapa
hanya mantan yang selalu punya andil dalam putusnya hubungan Anda? Kata siapa
Anda sempurna?
Andai Anda mau diam dan lebih banyak
menyimak, banyak yang masalahnya jauh lebih parah daripada Anda yang sekedar
putus dengan mantan. Mungkin baru ada yang di-PHK, ditinggal mati orang
tercinta, atau sakit berat. Nggak semuanya pada hobi curhat berlebihan, ‘kan?
Mengapa menjadi mantan elegan lebih
baik?
1.Untuk pencitraan pribadi Anda.
Bukannya mau jadi munafik atau
berlagak tidak ada apa-apa, ya. Memangnya orang akan kasihan dengan Anda yang
terus-terusan mengumbar cerita tentang betapa mantan telah menyakiti Anda?
Memangnya reputasi mantan akan terus rusak hanya gara-gara cerita Anda?
Nggak juga. Mungkin awalnya mereka
akan bersimpati sama Anda. Lama-lama mereka akan hanya memandang Anda sebagai
sosok yang hobi mengasihani diri sendiri.
2.Untuk hubungan berikutnya yang lebih
baik.
Emang ngaruh? Ya, iyalah. Cara Anda
mengatasi situasi paska-putus akan berpengaruh besar pada kualitas – dan kesempatan
– untuk hubungan berikutnya. Kok bisa?
Masalahnya begini: orang cenderung
hobi bercerita. (Baca: bergosip!) Mau sekedar keceplosan atau memang
sengaja, bahkan bila sahabat dekat sekali pun. Resikonya selalu lebih besar
bila Anda curhat pada semua orang di dalam satu ruangan. Kemungkinan besar ada
sahabat si mantan, namun Anda tidak tahu. Hari gini, berita apa pun pasti cepat
tersebar – terutama dengan hadirnya social
media.
Memangnya Anda harus khawatir?
Iyalah. Yang dengerin Anda sibuk jelek-jelekin mantan mungkin akan berpikir
ribuan kali menerima ajakan kencan Anda. Takutnya pas putus, malah giliran
mereka yang jadi bahan gunjingan!
Buat Anda para perempuan yang
mendengar seorang lelaki mengumbar berapa banyak duitnya yang dia habiskan
untuk menyenangkan sang mantan, mau nggak kencan sama dia? Yah, kecuali kalian
senang diperlakukan sebagai sekedar ‘investasi’
daripada salah satu ‘investor’ dalam
hubungan tersebut, mendingan mundur. Siapa pun yang bersedia membayar dalam
kencan harusnya ikhlas dan nggak sampai harus bikin yang lain merasa berutang.
3.Untuk kesempatan kedua.
Kenapa tidak? Mungkin juga. Namanya
juga manusia biasa, tidak sempurna dan tidak luput dari kesalahan.
Mau CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali)? Coba saja, kalau sebelumnya salah
satu atau kalian berdua sudah pernah saling menjelek-jelekkan. Masih bisa,
nggak?
Nggak mau balik juga nggak apa-apa.
Ada yang masih bisa jadi teman. Atau paling nggak, cukup nggak saling ganggu
aja. Semoga Anda semua sudah cukup dewasa dan bernalar untuk memilih yang
terbaik.
R.
(Jakarta, 3 Maret 2015)
Langganan:
Postingan (Atom)