Aku heran dengan
tuduhan kalian bahwa aku munafik.
Apa pasal? Gara-gara
kasus patah hati terakhirku. Tidak seperti biasanya, kali ini aku memberanikan
diri ‘menembak’ cowok itu duluan.
Rada klasik sih, mengingat sekarang zamannya internet. Orang lebih banyak
cuap-cuap lewat media sosial, curhat lewat inbox
sampai yang baca kadang terserang virus malas (maklum, pastinya suka
panjang-panjang – meski tidak sampai mengalahkan panjangnya naskah epik La Galigo.) Kalau tidak, palingan lewat
email atau minimal SMS, BBM, Whatsapp, dan
entah apa lagi yang sedang trend sekarang
atau lewat telepon saja sekalian. Yang paling berani masih dengan cara ngomong
di depan orangnya langsung – itu pun kalau habis itu tidak sampai pingsan masih
bagus!
Aku mengiriminya surat.
Jadul banget, kan? Lebih tepatnya, aku meninggalkan surat untuknya di meja
kerjanya malam itu, lalu main kabur begitu saja karena ketakutan. Kata para
sahabatku, aku sudah termasuk cukup berani melakukan itu.
Hasilnya? Aku ditolak.
Tapi bukan karena aku atau caraku yang mungkin bagi sebagian orang cukup...hmm,
apa ya? Kayak ABG retro? Biar saja. Alasannya masuk akal, dia mau pindah kerja
ke luar kota dan lagi ribet mikir urusan perpindahan. Timing-nya memang lagi jelek saja.
Setidaknya kami masih
tetap berteman. (Usaha menghibur diri? Hmm, bisa jadi.)
Sebelumnya, aku juga
pernah menghadiri pernikahan sosok yang kucintai tapi tak pernah tahu
perasaanku. Ya, iyalah. Mau dikemanakan harga diri ini kalau seluruh dunia tahu
aku mencintai lelaki yang waktu itu empat bulan lagi akan menikahi tunangannya?
Begini-begini aku masih punya malu!
Sama yang itu, kami
juga masih tetap berteman. (Ngapain juga musuhan?) Bukan salahnya kalau aku
jatuh cinta pada orang – dan waktu – yang tidak tepat. Aku selalu menganggapnya
cobaan.
Jadi, aku sama sekali
tidak mengerti mengapa kalian menganggap kisah cintaku (yang nyaris tidak eksis
ini, alias mendekati titik nadir) begitu tragis dan memilukan. Aku bukan orang
Yunani dan ini bukan kisah epik yang itu (yang kerap ngetop disebut dengan “Greek Tragedy”.) Sedih pasti ada, tapi
ngapain pula berlarut-larut? Memangnya dengan merengek dan meratapi nasib,
mereka akan otomatis langsung mau denganku, begitu?
Ini dunia nyata dan
semua orang semakin lama semakin sibuk akhir-akhir ini. Tak ada waktu untuk
menuruti galau. Aku sudah terlalu dewasa untuk itu. Cukup bocah ingusan yang
berlagak demikian, meski mereka belum tentu mengerti benar artinya cinta.
Jangankan mereka, orang-orang (yang mengaku) dewasa saja juga hobi memakai kata
cinta untuk mainan, padahal mengerti maknanya saja tidak. Bah!
Sekarang ini aku sedang
apa? Mencari lagi? Ah, tidak. Setelah gagal berkali-kali, aku mau santai dulu.
Nikmati waktu sendiri. Siapa tahu, dengan berusaha bahagia meski sendiri, akan
ada yang tertarik denganku – karena aku tidak terlalu tergantung dengan
kehadiran sosok lain untuk membuatku bahagia. Bukankah seharusnya begitu?
Berapa umurku? Ah,
sudahlah. Mau tahu...apa mau tahu banget?
Satu-satunya obat patah
hati yang paling mujarab adalah mengingatkan diri sendiri bahwa orang pertama
yang harusnya kita bahagiakan terlebih dahulu adalah...ya, diri kita sendiri.
Betul, kan?
Maaf, saya bukan
munafik. Saya hanya realistis dan mencoba bersyukur dengan apa yang saya punya
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar