Rabu, 18 Maret 2015

#FF2in1 : "MY BEAUTIFUL SCARFACE"

Kata mereka, kita berdua ibarat dongeng jadi nyata. Ya, meskipun aku bukan seorang putri dan kau juga bukan seorang pangeran. Boro-boro, kita sama-sama jauh dari cantik dan tampan (setidaknya menurut selera media massa).

Bahkan, kalau mau sadis, mukamu agak...mengerikan. Sumpah, anak-anak kecil yang belum mengerti apa-apa mungkin akan menangis dan bisa bermimpi buruk – hanya gara-gara melihat wajahmu yang kini...sudah rusak sebelah. Asli, mungkin kalau ada casting untuk remake film “Darkman”, kamu akan aku suruh ikutan. Lumayan, mengirit jasa make-up artist dan kalau aktingmu bagus, kamu bisa dapat uang banyak dan sukses. Soal bedah plastik? Itu terserah kamu, sayang. Itu wajahmu. Asal kamu nyaman dan bahagia dengan dirimu sendiri, tidak masalah buatku.

Sejak kecelakaan gara-gara gedung apartemen tempatmu tinggal kebakaran hebat, kamu pernah memintaku meninggalkanmu. Katamu, lebih baik aku bersama dengan lelaki yang wajahnya masih utuh...masih normal. Dasar sial, aku jadi sedih, tahu?! Memangnya aku perempuan berotak dangkal?

Begitu kamu sudah cukup sehat untuk berjalan-jalan keluar – termasuk menantang sinar matahari dan mata-mata yang begitu menghakimi – dengan cueknya aku menggandengmu sambil mengangkat daguku. Aku ingin menantang mereka, kamu, sekaligus diriku sendiri. Mereka tahu apa? Kamu nyaris mati waktu itu. Butuh seseorang berjiwa begitu pemberani untuk berusaha bertahan hidup dan melalui banyak terapi. Yang tidak tahan mungkin sudah bunuh diri atau enggan keluar rumah lagi.

Aku tidak takut. Lihat, cincinnya masih ada di jariku, kan? Paling hanya tanggalnya saja yang dimundurkan sedikit. Lebih baik begitu, daripada kita yang mundur.

“Kenapa?” tanyamu waktu itu, untuk yang kesekian kalinya. Lagi-lagi kusentuh bekas lukamu yang masih kasar, meski katamu sudah tidak menyakitkan lagi. “Memangnya bekas luka ini tidak mengganggumu, ya?”

“Hmm, sebenarnya iya.”

“Hah??”

Aku tersenyum menggodanya. “Percaya deh, tidak seperti yang kamu kira,” ujarku, diam-diam menahan rasa geli karena untuk sesaat berhasil membuatmu ketakutan. Ketahuan, sebenarnya diam-diam kamu juga tidak ingin kehilanganku. “Luka itu sebagai pengingat akan hari paling menakutkan dalam hidupku. Hari dimana aku kira kamu tidak akan bertahan hidup.”

Kamu terdiam. Kurasakan tanganmu menyentuh tanganku yang menyentuh pipimu.

“Kamu yakin?”

Aku menantangnya. “Aku masih di sini, kan?” Sesosok lelaki jangkung dan atletis lewat di depan kami di taman itu. “Kalau nggak, aku sudah mengejar cowok barusan dan ninggalin kamu di sini.”

Kamu tertawa. Ah, senyummu masih sama. Aku juga masih mengenali sorot mata hangat itu.


Yang penting, kamu tidak berubah jadi orang lain...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar