Kata mereka, kita
berdua ibarat dongeng jadi nyata. Ya, meskipun aku bukan seorang putri dan kau
juga bukan seorang pangeran. Boro-boro, kita sama-sama jauh dari cantik dan
tampan (setidaknya menurut selera media massa).
Bahkan, kalau mau
sadis, mukamu agak...mengerikan. Sumpah, anak-anak kecil yang belum mengerti
apa-apa mungkin akan menangis dan bisa bermimpi buruk – hanya gara-gara melihat
wajahmu yang kini...sudah rusak sebelah. Asli, mungkin kalau ada casting untuk remake film “Darkman”, kamu
akan aku suruh ikutan. Lumayan, mengirit jasa make-up artist dan kalau aktingmu bagus, kamu bisa dapat uang
banyak dan sukses. Soal bedah plastik? Itu terserah kamu, sayang. Itu wajahmu.
Asal kamu nyaman dan bahagia dengan dirimu sendiri, tidak masalah buatku.
Sejak kecelakaan
gara-gara gedung apartemen tempatmu tinggal kebakaran hebat, kamu pernah
memintaku meninggalkanmu. Katamu, lebih baik aku bersama dengan lelaki yang
wajahnya masih utuh...masih normal. Dasar sial, aku jadi sedih, tahu?! Memangnya
aku perempuan berotak dangkal?
Begitu kamu sudah cukup
sehat untuk berjalan-jalan keluar – termasuk menantang sinar matahari dan
mata-mata yang begitu menghakimi – dengan cueknya aku menggandengmu sambil
mengangkat daguku. Aku ingin menantang mereka, kamu, sekaligus diriku sendiri.
Mereka tahu apa? Kamu nyaris mati waktu itu. Butuh seseorang berjiwa begitu
pemberani untuk berusaha bertahan hidup dan melalui banyak terapi. Yang tidak
tahan mungkin sudah bunuh diri atau enggan keluar rumah lagi.
Aku tidak takut. Lihat,
cincinnya masih ada di jariku, kan? Paling hanya tanggalnya saja yang
dimundurkan sedikit. Lebih baik begitu, daripada kita yang mundur.
“Kenapa?”
tanyamu
waktu itu, untuk yang kesekian kalinya. Lagi-lagi kusentuh bekas lukamu yang
masih kasar, meski katamu sudah tidak menyakitkan lagi. “Memangnya bekas luka ini tidak mengganggumu, ya?”
“Hmm,
sebenarnya iya.”
“Hah??”
Aku tersenyum
menggodanya. “Percaya deh, tidak seperti
yang kamu kira,” ujarku, diam-diam menahan rasa geli karena untuk sesaat
berhasil membuatmu ketakutan. Ketahuan, sebenarnya diam-diam kamu juga tidak
ingin kehilanganku. “Luka itu sebagai
pengingat akan hari paling menakutkan dalam hidupku. Hari dimana aku kira kamu
tidak akan bertahan hidup.”
Kamu terdiam. Kurasakan
tanganmu menyentuh tanganku yang menyentuh pipimu.
“Kamu
yakin?”
Aku menantangnya. “Aku masih di sini, kan?” Sesosok lelaki
jangkung dan atletis lewat di depan kami di taman itu. “Kalau nggak, aku sudah mengejar cowok barusan dan ninggalin kamu di sini.”
Kamu tertawa. Ah,
senyummu masih sama. Aku juga masih mengenali sorot mata hangat itu.
Yang penting, kamu
tidak berubah jadi orang lain...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar