Senin, 23 September 2013

"SAAT 'BASA-BASI' BERUJUNG SAKIT HATI"

Ide topik ini berasal dari status Facebook seorang teman blasteran Indo-Belanda:

"Kamu tahu kamu lagi di Indonesia saat ketemu kenalan yang ngomong gini: 'Haai, udah lama nggak ketemu. Eh, kok lo tambah gendut, ya?' Jahat nggak ya, kalo kubalas: 'Elo sendiri juga tambah jelek!'?"

Mau tersinggung? Nanti dulu. Ada kalanya seterotipe muncul karena ada contoh hidupnya (dan bisa banyak pula!) Bahkan, saya sendiri kerap mengalaminya. Yang paling parah, komentar 'kejam' macam itu kerap datang dari kerabat - yang lebih tua pula!

Entah darimana kebiasaan 'basa-basi' itu berasal. Entah siapa juga yang memulai, hingga lama-lama dianggap biasa saja, seakan bagian dari 'ramah-tamah'.(Hah?!) Bahkan, argumen standar si pelaku juga keluar dengan enteng - tanpa perasaan:

"Lha, emang kenyataan. Kok marah?"

Setelah banyak komentar setuju di bawah status FB yang ditulis teman saya, dia pun memberi pernyataan ini:

"Sayangnya, dari kecil di Indonesia, kita kayak udah diprogram untuk tetap bersikap manis, sopan, dan tersenyum ramah sama mereka - meski dalam hati sebenarnya sudah gemas ingin menimpuk. Mereka nyadar nggak sih, kalo ucapan mereka sebenarnya nyakitin banget? Lama-lama aku ogah deh, harus beramah-tamah sama mereka!"

Siapa sih, yang nggak kesal - kalau tiap ketemu selalu yang dikomentari soal yang itu-itu saja? "Kok makin kegendutan aja, sih?" Nggak ada basa-basi lain, seperti tanya-tanya soal pekerjaan, misalnya. Sekalinya orang-orang macam ini ingat topik lain, yang bakal mereka ungkit-ungkit lagi...ya, benar. (Lagi-lagi!) Perkara status. ("Udah nikah, belum?" | "Umur berapa sekarang? Aduh, hari ini mah, nggak usah terlalu milih. Rugi!")

Apakah masyarakat kita sudah lama terlalu terobsesi pada penampilan luar belaka, hingga kehabisan bahan pembicaraan?

Celakanya, kalau saya pasang wajah cemberut atau menyahut pedas, bisa ditebak reaksi mereka berikutnya. (Ya, seolah-olah mereka berhak berkata semaunya tentang kita dan kita harus terima - alias NGGAK BOLEH MARAH!)

"Gitu aja sensi. Kita kan, cuma nanya."

Saat saya dalam usaha membela (harga) diri, kadang Ibu saya juga suka lupa saya (masih) punya perasaan dan malah menegur saya untuk tetap bersopan-santun sama mereka, cuma karena mereka lebih tua dan masih keluarga. Malah ada yang menyuruh saya untuk tetap berpikir positif.

"Anggap aja itu tantangan, motivasi."

Hah? Serius?? Halooo???

Bagaimana bisa berpikir positif sama orang-orang yang hanya memandang kita ibarat 'tumpukan lemak berjalan'? Bersopan-santun sama orang yang komentarnya kerap menjatuhkan mental dan harga diri itu ibarat tantangan yang sebenarnya sangat malas saya lakoni. Hidup sudah cukup sulit. Nggak perlulah saling 'merecoki' perasaan dengan beragam komentar bernada 'miring', bahkan dengan alasan 'basa-basi'.

Perkara bawa-bawa 'tantangan' atau 'motivasi' sebagai alasan di balik ucapan mereka menurut saya juga alasan yang terlalu dicari-cari. Sebuah pembenaran atas tindakan yang sebenarnya lebih banyak ruginya. Jangan salah, Anda sendiri yang juga rugi - bukan si korban.

"Ah, nggak mungkin. Itu bukan tabiat khas orang Indonesia."

Kalau pun Anda ketemu si korban lagi (minimal silaturahmi setahun sekali, misalnya), bisa saja orang yang pernah Anda kasih 'basa-basi nyelekit' itu terlanjur antipati. Bisa menyambut Anda dengan ogah-ogahan, malas ngobrol dengan Anda, atau senyum mereka yang akan palsu sekali. Mau? Kecuali bila Anda memang tidak peduli (dengan perasaan mereka, tentunya.)

Jika mereka menunjukkan ekspresi bete atas 'basa-basi nyelekit'  Anda, percayalah - Anda takkan memenangkan apa pun dengan tambah mengatai mereka terlalu sensitif. Anda hanya akan makin merusak suasana akibat defisit empati yang Anda miliki. Coba bayangkan: emang Anda mau kalau dikomentari tambah gendut, keriput, ubanan, dan sebagainya?

Tak ada manusia sempurna. Tak semua manusia bermental sekuat baja. Mungkin bagi Anda ini hanya masalah remeh. Tapi, tak semua kebiasaan umum yang diaminkan 'sejuta umat' berarti baik. Masa kita mau terus-terusan jadi bangsa yang bisanya cuma saling menghina?

Butuh toleransi tingkat tinggi untuk menerima dan menghargai perbedaan yang ada, terutama akhir-akhir ini. Butuh niat kuat untuk mulai berubah agar menjadi pribadi yang lebih baik. Bagaimana kalau mulai dulu dari diri sendiri, hari ini? Kerikil memang kecil, tapi (bisa) tetap tajam. Tak semua orang cukup lihai menghindarinya. Supaya jalan mulus dan lancar untuk semua, kenapa kita tidak bantu menyingkirkannya?

Begitu pun dengan hal ini. Pepatah 'diam itu emas' masih bisa dipakai, terutama bila Anda sedang tidak punya bahan pembicaraan - ketimbang bicara tapi terdengar seperti 'kaleng rombeng dipukul berkali-kali'. Siapa tahu, hanya dari hal sesederhana itu, hubungan pertemanan dan persaudaraan bertambah erat dan lancar jaya!

Selamat mencoba!

R.

(Jakarta,15 September 2013)
 

Sabtu, 14 September 2013

"SANG PENYAIR JATUH HATI"

Ah, lagi-lagi kau ingin menyepi
hanya dengan secangkir kopi
sembari menekuri baris-baris puisi
bergema di hati tanpa henti...

Hai, ada yang berenang dalam kolam benakmu:
Wajah siapakah itu?
Mengapa hatimu sampai koyak oleh sembilu?
Mengapa sosoknya terasa mengganggu?

Bah, lebih baik kau menyepi
hingga cangkirmu kosong tanpa sisa kopi
sembari melanjutkan baris-baris puisi
tanpa harus berhenti...

Tuhan, tolong hentikan cobaan ini.
Kau ingin perasaan ganjil ini pergi.
Cinta ini hanya menyusahkan diri,
berpotensi mematahkan hati...

R.


(Jakarta, 13/9/2013- 00:26 am)

"CARA NGETOP INSTAN" (TERUTAMA DI INDONESIA)

Anda ingin ngetop? Nggak sabar nunggu hasilnya, karena malas berusaha dan menunggu terlalu lama?
1.Dekati orang ngetop.
Sayang, nggak semua orang (beruntung?) berkerabat langsung dan dekat dengan selebriti/figur publik. Jika Anda sangat ingin ngetop, banyak-banyaklah berteman dengan mereka. (SKSD – Sok Kenal, Sok Deket – juga nggak apa-apa!) Syukur-syukur Anda ‘naik kelas’  jadi sahabat sekaligus ‘tangan kanan’ mereka. (Kayak mafia aja, ya?) Jadi orang kepercayaan, diajak kemana-mana, ikut nongol di media, dibayarin (nah, kalo yang ini ngarep!), dan diorbitin – dengan harapan suatu saat ‘bintang’  Anda juga akan ikut ‘bersinar’, kalo bisa lebih terang dari seleb yang sebelumnya Anda ‘tempelin’. Menikahi mereka juga bisa, kalo mereka-nya juga mau dan memungkinkan. Sah-sah saja, toh?
2.Gunakan internet, terutama media sosial.
Nulis blog, bikin portfolio, video unik, hingga foto-foto ‘nyeleneh’? Take your pick. Sekarang sudah banyak yang ngetop instan lewat semua cara yang disebut di atas. Silakan dicoba satu-satu, siapa tahu ada yang gol. Perkara mempertahankan ketenaran Anda nantinya urusan belakangan.
3.Ciptakan ciri khas.
Mau tarian yang rada-rada ‘ajaib’ (dengan beragam istilah yang tak kalah ‘ajaib’ – bukan ‘ajib’! – pula hingga suara yang berisiknya mungkin di luar batas toleransi orang ‘normal’. (Dengan harapan bakal diingat orang terus, kalo bisa sepanjang masa!) Mau bikin tagline yang rada-rada ‘ganggu’ juga boleh. (Trend hari ini: semakin Anda mempermainkan bahasa hingga rusak, semakin Anda diperhatikan orang – meski belum tentu sesuai yang Anda inginkan!)
4.’Berkicau’ secara kontroversial di media sosial.
Apa pun profesi Anda hari ini, tak masalah. Jika Anda sudah melakukan tahap satu (misalnya: berhasil mendekati – atau bahkan menikahi penyanyi terkenal), Anda sudah selangkah lebih maju. Mengapa? Nama Anda sudah (sedikit) lebih diingat orang, meski entah apa prestasi nyata Anda. Masalah apa pun yang Anda komentari di media sosial (entah Anda benar-benar tahu masalahnya atau sekedar ingin ikutan ‘sumbang saran’ – atau HANYA ‘meramaikan suasana’), dijamin Anda akan mengumpulkan banyak respon – apa pun isinya. Yang penting diperhatikan, bukan? ‘Kan niatnya mau ngetop instan!
If you see a social ladder, how fast can you climb it? How high can you get?


R.

(Jakarta, 12 September 2013)

Selasa, 10 September 2013

"SANG PENGGEMAR RAHASIA"

Aku tahu...
Aku takkan pernah bisa bersamamu.
Kau takkan mungkin jadi milikku.
Hatimu telah terikat padanya;
sosok yang beruntung luar biasa.

Kau tak perlu tahu.
Angan-anganku hanya semu.
Kita terlambat bertemu.
Ah, haruskah rasa ini membiru?
Untuk apa tenggelam dalam sendu?

Semoga perasaan ini lenyap.
Kuharap sekejap.
Untuk saat ini, semuanya masih tersimpan dalam kalbu,
karena aku hanya butuh melihat senyummu...

R.
(Jakarta, 9/9/2013 – 5:55 pm)

"SAAT KEPERAWANAN (LAGI-LAGI!) JADI AJANG PENGHAKIMAN MASSAL"

Oke, saya sedang berusaha membahas masalah (yang sepertinya sengaja dicari-cari) ini tanpa perlu marah-marah. Mudahkah? Tentu saja susah. Bukan karena saya (sesama) perempuan. Saya juga seorang guru yang prihatin dengan fakta bahwa – meski kita semua sadar bahwa manusia tak pernah luput dari salah – kita masih saja hobi menghakimi orang lain ramai-ramai, layaknya rombongan pengecut.
Geger tes keperawanan sebagai syarat masuk SMA di Prabumulih yang diperuntukkan HANYA bagi para siswi membuat saya berang. Bagaimana tidak? Kalau alasannya untuk memerangi maraknya pelacuran remaja di sana, bukankah harusnya germo dan gembongnya duluan yang ditangkap? Bagaimana dengan lelaki hidung belang, terutama yang masih berstatus pelajar? Masa mereka tetap boleh sekolah hingga kuliah juga?
Saya takkan membahas soal keperawanan itu sendiri hingga tesnya (yang menurut pengamatan saya, justru malah berpotensi membuat perempuan jadi tidak ‘perawan’ lagi – bila HANYA selaput dara yang jadi ukuran.) Saya yakin, pasti sudah banyak artikel lain yang mengulasnya.
Waktu remaja, saya pernah nonton film di TV berjudul “Fifteen and Pregnant”. (Bukan, bukan serial dokumenter tayangan MTV dengan judul nyaris sama.) Karena waktu itu merasa sudah ‘pintar’ (padahal sebenarnya saya hanya ‘beruntung’), saya pun enteng berkomentar:
“Harusnya judulnya diganti jadi ‘Fifteen, Pregnant, and Stupid’.
Singkat cerita, film itu berfokus pada perjuangan berat seorang siswi. Tergoda oleh pacarnya yang tipe populer, dia hamil di luar nikah, hingga akhirnya terpaksa putus sekolah untuk membesarkan anaknya seorang diri. Tak hanya dibuang keluarganya, sang pacar tentu saja memilih enggan bertanggung-jawab setelah ikut ‘berbuat’ – seperti kebanyakan lelaki hidung belang lainnya. Bahkan kalau bisa, banyak yang cukup jahat dengan memojokkan perempuan yang sudah mereka ‘taklukkan’ di ranjang dengan menyebar cerita ke semua orang: “Eh, dia ‘kan ‘bekas’ gue. Kalo mau juga gampang, kok.”
Tujuannya? Tentu saja pembunuhan karakter si perempuan, sekaligus ‘cuci tangan’ si lelaki. Seolah-olah si bayi terlahir tanpa andil si lelaki – dan hanya si perempuan yang salah dan pantas dilaknat. Seperti biasa, selalu ada pihak yang memilih jalan keluar termudah dari masalah: membiarkan pihak lain menanggung semuanya. Membiarkan si perempuan menelan pil pahit berlabel ‘stigma sosial’ seorang diri. Pengecut memang, tapi namanya juga standar ganda.
Mendengar komentar saya saat menonton film itu, di luar dugaan ibu saya berang bukan kepalang.
“Kamu jangan ngomong gitu,” tegur beliau seketika. “Itu namanya sombong. Kita nggak akan pernah tahu kalau tiba-tiba kita tergoda setan dan ‘khilaf’.
Ucapan ibu saya seketika menyadarkan saya. Benar juga, ya. Entah apa rasanya berada di posisi mereka – gadis-gadis yang kehilangan keperawanan ‘sebelum waktunya’ (baca: menikah.) Sudah begitu, semakin dihakimi oleh mayoritas publik lagi. (Jujur, saya miris membaca komentar-komentar miring – kebanyakan dari pembaca lelaki – saat isu tes keperawanan diangkat dalam berbagai artikel online. Memangnya mereka pernah merasakan berada di posisi gadis-gadis itu?) Sementara, laki-lakinya sama sekali tidak ‘disorot’  atau mendapat ganjaran sosial setimpal. Paling-paling konsekuensi sosial mereka hanya dicap ‘hidung belang’ atau ‘playboy’ (hingga dijauhi perempuan-perempuan yang takut jadi korban berikutnya). Bahkan, celakanya, mereka malah masih dianggap jagoan – terutama oleh sesamanya – CUMA karena punya banyak pacar dan meniduri banyak perempuan. (Nah, kalau sudah begitu, sebenarnya siapa yang ‘murahan’?)
Lagi-lagi, saya tidak membenci laki-laki atau menstigma mereka semua sebagai mahluk brengsek penumbal perempuan. Saya juga bukan pendukung seks bebas/di luar nikah. (Kalau saya kenal pelakunya, saya juga tidak akan mengusik-usik urusan pribadi mereka. Toh, dosa juga ditanggung sendiri-sendiri – tidak mungkin dibagi-bagi!) Banyak dari kita yang suka lupa kalau hal semacam ini bisa terjadi pada siapa pun – mau sebermoral apa pun manusianya. Ibu saya benar. Never say never. (Maaf, saya sedang tidak membahas lagu lamanya Justin Bieber!)
Baru-baru ini salah seorang rekan ekspat saya meminjamkan saya buku karangan Kathy Acker berjudul “Blood and Guts In High School”. (Sepertinya akan sangat sulit ditemukan di Indonesia, karena temanya sangat ekstrim dan keras.) Novel ini bercerita tentang Janey Smith, seorang korban perkosaan ayahnya sendiri sejak kecil. Kematian ibunya entah kenapa membuat sang ayah melampiaskan hasrat bejadnya kepada putri tunggalnya. Tumbuh di lingkungan miskin dan minim pendidikan membuat Janey jadi tergantung secara mental, emosional, hingga finansial pada ayahnya. Lama-lama dia menganggap hubungan mereka “wajar”, hingga kerap kali Janey cemburu saat ayahnya berpacaran dengan wanita lain – yang lebih dewasa tentunya.
Tak hanya itu, selama SMA Janey jadi makin tidak terkendali secara emosional. Dia terlibat dengan geng pelaku vandalisme (kekerasan berupa pengrusakan properti publik secara massal), pacaran dengan banyak lelaki, hingga hamil dan aborsi beberapa kali.
Setelah puas “merusak” putrinya sendiri, sang ayah akhirnya bosan dan menjual Janey pada seorang germo dari Persia. Sisanya, silakan baca bukunya sendiri kalau berhasil menemukannya.
Jika ada Janey-Janey lainnya di dunia nyata (terutama di Indonesia, dimana masih banyak penduduk di bawah garis kemiskinan, kemunafikan ciptaan para koruptor yang terus menyebar bagai penyakit dan racun, hingga relasi antar-gender yang makin sangat ‘timpang’), akankah kita langsung menuduhnya ‘amoral’ – seperti yang biasa kita lakukan? Akankah kita lantas melaknatnya, tanpa peduli latar belakang penyebab mereka menjadi sedemikian rusaknya? Jika mereka ingin ‘membenahi’  hidup mereka lewat jalur pendidikan, mengapa kita tidak memberikan kesempatan – alias bahkan melarang? Bukankah Tuhan Maha Pengampun?
Memang, hidup ini pilihan. Setiap orang bertanggung-jawab atas pilihan masing-masing. Jika kita enggan disuruh menanggung dosa-dosa orang lain, mengapa kita masih juga ikut campur urusan pribadi orang lain? Saling mengingatkan memang perlu, tapi haruskah dengan kata makian yang menyakitkan hati? Memangnya kita siapa, sih? Toh, kita sendiri juga belum tentu lebih baik.
Bagaimana dengan siswa yang sudah tidak perjaka? Hanya mereka yang boleh sekolah dan kuliah? Bagaimana kalau siswa itu diam-diam pemerkosa, sementara para korbannya terpaksa putus sekolah akibat stigma sosial yang membuat mereka makin terjepit – sulit mengadu, karena lingkungan sendiri yang tidak mendukung dan malah kerap menyalahkan korban yang membuat si pelaku ‘tergoda’?
Manusia bukan barang buatan pabrik, yang bisa diseleksi hanya lewat stempel ‘rusak’ atau tidak. Jika semua gadis yang (dianggap) sudah tidak perawan dilarang sekolah, bukankah itu hanya menunjukkan ketidakmampuan lembaga pendidikan untuk menyelesaikan masalah – alias hanya peduli citra semata?

R.

(Jakarta, 6 September 2013)


Rabu, 04 September 2013

"INTERNET, ARTIS, DAN SAYA"

Dengar-dengar Harrison Ford lagi syuting di Jakarta. Untuk film apa?

Ah, entahlah, pikir saya saat membaca twit seseorang yang saya follow beberapa hari lalu. Nanti tunggu saja filmnya keluar. Habis itu bisa saling cerita-cerita sama penduduk Jakarta atau kabar-kabaran dengan teman-teman manca negara: "Harrison Ford made a film in my city!" Hehe, biarin aja dibilang norak.

Bisa dibilang, internet telah mengubah hidup masyarakat seluruh dunia - termasuk saya. Banjir informasi gratis terjadi tiap detik, bukan lagi dalam hitungan bulan, minggu, apalagi hari. Kadang, saking banjirnya kita sampai kewalahan - sulit mengolah mana yang masuk kategori penting, mana yang sebaiknya kita cuekin. Sampai stres dan sakit kepala? Jangan sampai. Tapi kalau sudah terjadi, mungkin ada baiknya Anda matikan dulu komputer dan ponsel pintar Anda dan beristirahat dulu untuk beberapa saat.

Tak hanya artis, kalangan yang 'sok artis' (atau 'celeb-wannabe') juga tak lupa unjuk diri di dunia maya. Kalau lagi nggak ada yang bisa 'dijual' (alias dipromosikan atau dipamerkan), biasanya mereka hobi mengunggah foto-foto barang-barang mewah milik mereka (atau bisa saja yang diakui sebagai milik mereka, alias masih berstatus 'barang impian', hehe) atau pasang status yang rada-rada kontroversial. (Namanya juga usaha cari perhatian. Sah-sah saja, kan?) Perkara orang yang lihat bereaksi positif, negatif, atau bahkan - tidak peduli - urusan belakangan. Sama bebasnya dengan si penulis/pengunggah/pemilik akun.

Jujur, kadang saya tergoda untuk menjadi salah satunya. Haha, harap maklum. Kadang kita bosan terkurung dalam ruangan, sementara di luar jendela - macet di Jakarta makin merajalela. Lupakan hang-out akhir-akhir ini. Kecuali nggak penting-penting banget (atau kepengen banget), lebih baik tidak kemana-mana.

Balik lagi ke soal artis. Berkat internet, fans artis tertentu bisa berinteraksi dengan sang idola kapan saja. Cukup jadi member di fansite atau situs resmi mereka - atau add mereka di Facebook dan follow mereka di Twitter. Tinggal kirim pertanyaan, salam sayang, kritik dan saran, hingga omelan (akibat rasa tidak puas penggemar akan kelakuan sang artis dan semacamnya) ke salah satu jalur yang disebut barusan. Perkara dibalas atau tidak, lagi-lagi urusan belakangan.

Entah bagaimana dengan Anda, ini menyenangkan buat saya. Tiba-tiba mereka tidak lagi terasa 'jauh' dan lebih bisa 'dijangkau' (yah, meski tidak secara fisik juga, sih.) Saya juga mulai bisa memandang mereka sebagai manusia biasa, yang hanya berkarya untuk menghibur dunia. Mereka juga punya hari-hari biasa, dimana mereka senang dekat keluarga saat libur kerja hingga kangen istri-anak saat tur keliling dunia. Mereka juga bukan selalu tipe yang doyan pesta.

Saya ingat saat grup rock favorit saya, Hoobastank, konser akustik di Hard Rock Cafe beberapa tahun silam. (Memang tidak begitu ramai diliput media, tapi saya tidak peduli. Namanya sudah cinta.) Setelah pentas, sebagian anggota sudah cabut ke belakang panggung, kecuali Dan Estrin, sang gitaris yang masih foto-foto sama kasih tanda-tangan ke penggemar. Dengan cueknya, saya hanya menghampiri dia dan bertanya:

"Are you guys coming back?"

"I don't know," jawabnya. (Asli, kita dekat banget - cuma berjarak sekitar lima senti!) Akhirnya, saya cuma mengucap terima kasih dan pulang. Lalu saya menulis liputan konser mereka beserta ucapan terima kasih karena telah sudi datang untuk ketiga kalinya ke Jakarta di FB.(Tak lupa, saya tag note itu untuk anggota band yang punya akun FB dan sudah meng-add saya.)

Sang basis baru mereka, Jesse Charland , yang membaca note saya dan menulis ucapan terima kasih di bagian komen. Senang sekali? Pastinya.

Tak hanya itu, saya juga rajin memberitahu mereka saat saya membeli album baru mereka - atau mengomentari video klip mereka yang baru rilis. Bahkan saya juga pernah iseng bertanya pada vokalisnya, Douglas Robb, lewat Twitter. Dia termasuk yang rajin menjawab pertanyaan para fans di situ.

Saat ada kabar Julia Roberts syuting di Bali untuk film "Eat, Pray, Love" , saya hanya menunggu filmnya keluar. Tak ada niat untuk terbang ke Bali dan melihat prosesnya di sana. Ngapain?

Entah semua ini beneran karena internet, atau hanya saya yang sudah dewasa. Atau mungkin keduanya. Entahlah...

R.