Oke,
saya sedang berusaha membahas masalah (yang sepertinya sengaja dicari-cari) ini
tanpa perlu marah-marah. Mudahkah? Tentu saja susah. Bukan karena saya (sesama)
perempuan. Saya juga seorang guru yang prihatin dengan fakta bahwa – meski kita
semua sadar bahwa manusia tak pernah luput dari salah – kita masih saja hobi
menghakimi orang lain ramai-ramai, layaknya rombongan pengecut.
Geger
tes keperawanan sebagai syarat masuk SMA di Prabumulih yang diperuntukkan HANYA
bagi para siswi membuat saya berang. Bagaimana tidak? Kalau alasannya untuk memerangi
maraknya pelacuran remaja di sana, bukankah harusnya germo dan gembongnya
duluan yang ditangkap? Bagaimana dengan lelaki hidung belang, terutama yang
masih berstatus pelajar? Masa mereka tetap boleh sekolah hingga kuliah juga?
Saya
takkan membahas soal keperawanan itu sendiri hingga tesnya (yang menurut
pengamatan saya, justru malah berpotensi membuat perempuan jadi tidak ‘perawan’ lagi – bila HANYA selaput dara
yang jadi ukuran.) Saya yakin, pasti sudah banyak artikel lain yang
mengulasnya.
Waktu
remaja, saya pernah nonton film di TV berjudul “Fifteen and Pregnant”. (Bukan, bukan serial dokumenter tayangan
MTV dengan judul nyaris sama.) Karena waktu itu merasa sudah ‘pintar’ (padahal sebenarnya saya hanya ‘beruntung’), saya pun enteng
berkomentar:
“Harusnya
judulnya diganti jadi ‘Fifteen, Pregnant,
and Stupid’.”
Singkat
cerita, film itu berfokus pada perjuangan berat seorang siswi. Tergoda oleh
pacarnya yang tipe populer, dia hamil di luar nikah, hingga akhirnya terpaksa
putus sekolah untuk membesarkan anaknya seorang diri. Tak hanya dibuang
keluarganya, sang pacar tentu saja memilih enggan bertanggung-jawab setelah
ikut ‘berbuat’ – seperti kebanyakan
lelaki hidung belang lainnya. Bahkan kalau bisa, banyak yang cukup jahat dengan
memojokkan perempuan yang sudah mereka ‘taklukkan’
di ranjang dengan menyebar cerita ke semua orang: “Eh, dia ‘kan ‘bekas’ gue. Kalo mau juga gampang,
kok.”
Tujuannya?
Tentu saja pembunuhan karakter si perempuan, sekaligus ‘cuci tangan’ si lelaki. Seolah-olah si bayi terlahir tanpa andil
si lelaki – dan hanya si perempuan yang salah dan pantas dilaknat. Seperti
biasa, selalu ada pihak yang memilih jalan keluar termudah dari masalah: membiarkan pihak lain menanggung semuanya.
Membiarkan si perempuan menelan pil pahit berlabel ‘stigma sosial’ seorang diri. Pengecut memang, tapi namanya juga
standar ganda.
Mendengar
komentar saya saat menonton film itu, di luar dugaan ibu saya berang bukan
kepalang.
“Kamu
jangan ngomong gitu,” tegur beliau seketika. “Itu namanya sombong. Kita nggak
akan pernah tahu kalau tiba-tiba kita tergoda setan dan ‘khilaf’.”
Ucapan
ibu saya seketika menyadarkan saya. Benar juga, ya. Entah apa rasanya berada di
posisi mereka – gadis-gadis yang kehilangan keperawanan ‘sebelum waktunya’ (baca: menikah.) Sudah begitu, semakin dihakimi
oleh mayoritas publik lagi. (Jujur, saya miris membaca komentar-komentar miring
– kebanyakan dari pembaca lelaki – saat isu tes keperawanan diangkat dalam
berbagai artikel online. Memangnya
mereka pernah merasakan berada di posisi gadis-gadis itu?) Sementara,
laki-lakinya sama sekali tidak ‘disorot’ atau mendapat ganjaran sosial setimpal.
Paling-paling konsekuensi sosial mereka hanya dicap ‘hidung belang’ atau ‘playboy’
(hingga dijauhi perempuan-perempuan yang takut jadi korban berikutnya).
Bahkan, celakanya, mereka malah masih dianggap jagoan – terutama oleh sesamanya
– CUMA karena punya banyak pacar dan meniduri banyak perempuan. (Nah, kalau
sudah begitu, sebenarnya siapa yang ‘murahan’?)
Lagi-lagi,
saya tidak membenci laki-laki atau menstigma mereka semua sebagai mahluk
brengsek penumbal perempuan. Saya juga bukan pendukung seks bebas/di luar
nikah. (Kalau saya kenal pelakunya, saya juga tidak akan mengusik-usik urusan
pribadi mereka. Toh, dosa juga ditanggung sendiri-sendiri – tidak mungkin
dibagi-bagi!) Banyak dari kita yang suka lupa kalau hal semacam ini bisa
terjadi pada siapa pun – mau sebermoral apa pun manusianya. Ibu saya benar. Never say never. (Maaf, saya sedang
tidak membahas lagu lamanya Justin Bieber!)
Baru-baru
ini salah seorang rekan ekspat saya meminjamkan saya buku karangan Kathy Acker
berjudul “Blood and Guts In High School”.
(Sepertinya akan sangat sulit ditemukan di Indonesia, karena temanya sangat
ekstrim dan keras.) Novel ini bercerita tentang Janey Smith, seorang korban
perkosaan ayahnya sendiri sejak kecil. Kematian ibunya entah kenapa membuat
sang ayah melampiaskan hasrat bejadnya kepada putri tunggalnya. Tumbuh di
lingkungan miskin dan minim pendidikan membuat Janey jadi tergantung secara
mental, emosional, hingga finansial pada ayahnya. Lama-lama dia menganggap
hubungan mereka “wajar”, hingga kerap
kali Janey cemburu saat ayahnya berpacaran dengan wanita lain – yang lebih
dewasa tentunya.
Tak
hanya itu, selama SMA Janey jadi makin tidak terkendali secara emosional. Dia
terlibat dengan geng pelaku vandalisme (kekerasan
berupa pengrusakan properti publik secara massal), pacaran dengan banyak
lelaki, hingga hamil dan aborsi beberapa kali.
Setelah
puas “merusak” putrinya sendiri, sang
ayah akhirnya bosan dan menjual Janey pada seorang germo dari Persia. Sisanya,
silakan baca bukunya sendiri kalau berhasil menemukannya.
Jika
ada Janey-Janey lainnya di dunia nyata (terutama di Indonesia, dimana masih
banyak penduduk di bawah garis kemiskinan, kemunafikan ciptaan para koruptor
yang terus menyebar bagai penyakit dan racun, hingga relasi antar-gender yang
makin sangat ‘timpang’), akankah kita
langsung menuduhnya ‘amoral’ –
seperti yang biasa kita lakukan? Akankah kita lantas melaknatnya, tanpa peduli
latar belakang penyebab mereka menjadi sedemikian rusaknya? Jika mereka ingin ‘membenahi’ hidup mereka lewat jalur pendidikan, mengapa
kita tidak memberikan kesempatan – alias bahkan melarang? Bukankah Tuhan Maha
Pengampun?
Memang,
hidup ini pilihan. Setiap orang bertanggung-jawab atas pilihan masing-masing.
Jika kita enggan disuruh menanggung dosa-dosa orang lain, mengapa kita masih juga
ikut campur urusan pribadi orang lain? Saling mengingatkan memang perlu, tapi
haruskah dengan kata makian yang menyakitkan hati? Memangnya kita siapa, sih?
Toh, kita sendiri juga belum tentu lebih baik.
Bagaimana
dengan siswa yang sudah tidak perjaka? Hanya mereka yang boleh sekolah dan
kuliah? Bagaimana kalau siswa itu diam-diam pemerkosa, sementara para korbannya
terpaksa putus sekolah akibat stigma sosial yang membuat mereka makin terjepit –
sulit mengadu, karena lingkungan sendiri yang tidak mendukung dan malah kerap
menyalahkan korban yang membuat si pelaku ‘tergoda’?
Manusia
bukan barang buatan pabrik, yang bisa diseleksi hanya lewat stempel ‘rusak’ atau tidak. Jika semua gadis
yang (dianggap) sudah tidak perawan dilarang sekolah, bukankah itu hanya
menunjukkan ketidakmampuan lembaga pendidikan untuk menyelesaikan masalah –
alias hanya peduli citra semata?
R.
(Jakarta,
6 September 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar