Minggu, 28 Juni 2015

Maher Zain - Baraka Allahu Lakuma | Official Lyric Video

“PENGALAMAN BURUK MENGGUNAKAN JASA OJEK (NON - GO-JEK)”

Tulisan ini tidak dibuat dengan tujuan menaikkan pamor Go-jek dan menyudutkan para tukang ojek lainnya. Saya tahu, tidak semua tukang ojek seperti ini. Kebetulan juga saya sudah punya beberapa tukang ojek langganan.
            Namun, seperti biasa, setitik nila dapat merusak susu sebelanga. Hanya gara-gara segelintir yang bersikap ‘enggak banget’, reputasi tukang ojek lainnya jadi ikutan rusak – bahkan meski tidak sengaja.
            Bagi penumpang ojek biasa, hal-hal ini mungkin biasa terjadi. Mulai dari tidak diberi helm dengan alasan “Ah, jarak dekat ini” atau “Tenang, lagi nggak ada polisi patroli”, mematok harga seenaknya (hingga kita berpikir: “Apa bedanya dengan naik taksi?”), sok-sok mengambil ‘jalan pintas’ yang sebenarnya malah ribet dan lebih jauh (taktik yang biasa digunakan supir taksi demi menaikkan angka di argo mereka, namun yang ini demi memakai alasan jauh agar penumpang – mau tidak mau – membayar lebih dari nego semula!), hingga suka ngebut nggak kira-kira dan nekat melanggar peraturan lalu-lintas seperti melawan arus, melanggar lampu merah, dan melewati rel kereta api meski kendaraan lain berhenti dengan resiko ditabrak kereta api yang mau lewat. Kadang suka tidak peduli bila penumpang sudah teriak-teriak marah dan ketakutan di belakang mereka. Halo, pelanggan kok, disepelekan?
            Masih belum cukup? Ada juga tukang ojek yang mudah terpancing emosi saat tidak sengaja ‘bersenggolan’ atau ‘disalip’ pengguna jalan lain, terutama sama taksi atau mobil. Boro-boro sampai turun dari motor dan mengajak mereka berantem, kalimat-kalimat ‘sakti namun rawan sensor’ yang sukses bikin sakit telinga pun bermuntahan dari mulut mereka. Bagi penumpang yang kebetulan sedang terburu-buru atau memang sekedar ingin cari selamat, saya tidak bisa menyalahkan mereka bila ingin segera hengkang cari tumpangan lain saat itu juga!
            Masih ada lagi: tukang ojek yang mendadak menerima telepon dari HP mereka atau membalas SMS – sembari berkendara! Sudah begitu, ngeyel pula saat diperingatkan penumpang: “Ah, saya juga pelan-pelan kok, Bu. Tenang aja. Takut amat, sih?”
            Iiihhh!!!
            Mas, kalau memang niat mau ditabrak, penumpang tidak perlu diajak-ajak! Jangan-jangan kalau sampai beneran terjadi kecelakaan dan penumpang terluka, Anda malah kabur lagi.
            Yang paling rawan dan menyebalkan (sekaligus menakutkan) adalah yang biasanya dialami penumpang perempuan muda, terutama di malam hari dan saat jalanan sekitar kebetulan sedang sepi.
            Bagi yang skeptis, tolong jangan main berspekulasi jelek dulu dengan beranggapan bahwa “itu pasti salah pakaian yang dikenakan si perempuan”, “ceweknya juga ganjen, kali”, hingga “salah sendiri, perempuan kok, keluar malam-malam sendirian?”. Please, deh! Pikiran seksis macam itu sudah saatnya masuk tong sampah. Ini bisa terjadi pada perempuan mana pun dan kapan pun.
            Pernah mengalami ini? Anda perempuan pekerja yang kebetulan harus pulang larut malam. Mau naik angkot atau taksi seram, terutama gara-gara berita kasus perampokan dan pemerkosaan. Anda tidak punya kendaraan pribadi dan tidak selalu ada yang bisa mengantar-jemput Anda.
            Mungkin si tukang ojek hanya berniat ramah-tamah alias basa-basi dengan mengajak Anda mengobrol. Namun, bayangkan saat mengobrol, kebetulan lewat jalan sepi dan si tukang ojek mendadak bertanya begini:
            “Mbak masih ‘gadis’?”
            Mungkin maksudnya yang ditanya status Anda, apakah sudah menikah atau belum. Kalau pun niatnya begitu, tetap saja namanya ikut campur urusan pribadi orang lain. Memang apa pentingnya bagi si tukang ojek untuk bertanya mengenai status si penumpang perempuan?
            Pertanyaan itu juga berarti: “Mbak masih perawan?” Nah, lho! Itu lebih kurang ajar lagi, bahkan termasuk pelecehan seksual. Selain mengusik privasi penumpang, pertanyaan itu juga membuat mereka merasa tidak aman dan nyaman. Kalau masih kenapa, kalau enggak juga kenapa coba?
            Ada lagi pengalaman pribadi saya yang cukup bikin ngeri, saat naik ojek siang bolong. Tukang ojeknya, seorang lelaki paruh-baya bertampang lesu, mendadak nyeletuk: “Neng lagi sendiri?”
            Saya bingung. “Maksudnya?”
            “Maksud saya, Neng masih sendiri atau sudah ada yang punya?”
            Hah? Masih bingung plus mulai merasa terganggu dengan pertanyaan semacam itu, saya mencoba mengulur waktu.
            “Memangnya kenapa?” tanya saya, meski sebenarnya enggan tahu. Habis memang bukan urusan saya, sih!
            “Saya lagi sangat butuh pendamping.” Glek! Apa-apaan ini? Astaga, saya jadi ngeri. Lalu si tukang ojek mulai nyerocos tentang betapa malang hidupnya: diselingkuhi sampai tiga kali. Anehnya, masih sempat-sempatnya dia mencoba sell out. Mengaku sudah punya rumah, usaha sampingan selain ngojek, hingga sudah pernah naik haji.
            Dengan kata lain, orang ini... desperate. Saya sendiri juga desperately ingin loncat dari bangku penumpang motor dan kabur sejauh-jauhnya. Hiiih...!!!
            Lalu apa yang saya lakukan? Saya pura-pura mengecek HP, lalu berujar pada si tukang ojek:
            “Maaf, ternyata saya sudah ditunggu tunangan saya dan orang tuanya di tempat lain.” Saya bohong. Terpaksa, sih. Buru-buru saya menyebutkan mall terdekat dan memintanya menurunkan saya di sana. Reaksi si tukang ojek? Tentu saja bete, sampai-sampai tega menaikkan tarif dari tujuan semula – kali ini dengan alasan basi: jauh. Ceritanya balas dendam karena lamaran ditolak. (Lagipula siapa juga dia? Kenal saja tidak!)
            Berhubung ingin segera menyingkirkan si tukang ojek desperate dari hadapan saya, terpaksalah saya membayar sesuai tuntutannya. Eehh, masih juga dia usaha!
            “Terima kasih, sayang.”
            Apa? Hueekk! Larilah saya ke dalam mall, berhubung ingat bahwa kakak saya dan keluarganya kebetulan juga sedang di sana siang itu. Lumayan dapat tumpangan pulang gratis...
            Saya rasa saya bisa mengerti alasan penumpang – terutama perempuan – memilih layanan Go-jek. Namanya juga pelanggan. Mereka berhak dong, memilih yang menurut mereka lebih baik, lebih aman dan nyaman. Penumpang selalu diberi helm. Selain itu, mereka bisa mengadu ke manajemen Go-jek bila ada masalah dengan ojek mereka.
            Lha, kalau ojek biasa ngadunya ke mana dan ke siapa? Yang bisa saya lakukan hanya mengingat-ingat wajah mereka dan mem-‘blacklist’ mereka.
            Karena itulah, menurut saya percuma juga dengan aksi bullying – termasuk pemukulan – dari tukang ojek kepada ojek dari Go-jek. Yang ada malah memperburuk citra tukang ojek biasa itu sendiri. Penumpang mana sih, yang mau pakai jasa tukang ojek yang kasar?
            Lagipula, kalau memang percaya bahwa Tuhan sudah menetapkan rezeki bagi masing-masing orang, ngapain juga iri sama rezeki orang lain? Jadikanlah kompetitor sebagai inspirasi dan motivasi untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri, bukannya ancaman atau musuh. Tidak perlu sentimen kelas sosial segala. Semua orang bisa maju kok, kalau mau berusaha dan tidak cepat puas dengan yang sudah ada. Sirik sama rezeki orang lain tidak ada gunanya, apalagi bila tidak ada niat memperbaiki diri sendiri!


            R.

Jumat, 26 Juni 2015

"SOSOK GADIS KESEPIAN DALAM TUBUH PEREMPUAN ITU..."

Aku melihatnya
sosok gadis kesepian
dalam tubuh perempuan dewasa
yang telah begitu banyak kehilangan

Gadis kesepian itu menatapku
dengan sorot mata sendu
Ada cerita-cerita kelabu
tentang diri dan keluarganya dahulu

"Kamu sangat beruntung,"
ucapnya sedikit pilu.
"Dulu mereka membuatku sangat tergantung.
Aku tumbuh tanpa banyak tahu dan sifat malu,
hingga dunia nyata berulangkali membuatku tertipu.
Akulah gadis bodoh dan lugu."

Aku termangu
Lidahku kelu
Tiba-tiba teringat orang tuaku
dan keberanian mereka melepasku dulu
dengan bekal pengetahuan,
suntikan dukungan,
hingga keyakinan tanpa putusnya
bahwa aku akan baik-baik saja

Dia benar
Aku amat beruntung
Pedihnya membuatku gentar
Ngerinya perasaan tergantung!

Sosok gadis kesepian itu masih ada
terjebak dalam tubuhnya
sementara waktu tak bisa diulang
untuk mengembalikan haknya
yang telah lama hilang...

R.
(Jakarta, 24 Juni 2015 - 21:30)

Selasa, 23 Juni 2015

"UJIAN: SEBOTOL AIR MINUM DALAM KAMAR"

Selama bulan puasa ini, saya punya kebiasaan tak lazim. Saya sengaja menyimpan sebotol air minum di dalam kamar.
            Mengapa? Mungkin ada yang akan menganggap cara saya aneh atau menyebut saya kurang kerjaan. (Silakan.) Bagi saya, ada sedikit humor gelap dalam hal ini:
            Saya tengah menguji diri sendiri dengan sebotol air minum di dalam kamar. Apakah lantas saya akan tergoda dengan kehadiran si botol? Apakah saya lantas akan langsung meminumnya sebelum waktunya?
            Alhamdulillah, sejauh ini sih, tidak. Moga-moga juga akan selalu lancar, ya. Tapi, mengapa?
            Sederhana saja: saya hanya berusaha mengontrol diri sendiri. Jika mindset saya bersikeras bahwa air itu memang belum waktunya diminum, maka saya tidak boleh menyentuhnya. Saya baru boleh menghabiskan isinya bila waktunya tepat. (Baca: saat berbuka puasa.)
            Apa yang terjadi jika saya minum sebelum waktunya? Puasa saya batal. Saya gagal. Salah siapa? Ya, bukan siapa-siapa melainkan saya sendiri. Sesederhana itu.
            Bagaimana dengan dunia nyata di luar kamar saya? Tentu saja, tantangan dan cobaannya lebih banyak, lebih berat, dan lebih beragam. Tidak semua bisa saya kendalikan kecuali diri sendiri.
            Contohnya: kuliah dan kerja dengan orang-orang dari beragam latar belakang suku, ras, agama, dan antar-golongan. Atau saat kita harus berpuasa di daerah atau negeri yang mayoritasnya non-Muslim. (Hmm, untuk yang terakhir, saya belum pernah mencobanya – alias baru dengar cerita teman-teman yang sudah.)
            Bagaimana dengan perempuan yang harus membayar puasa mereka yang batal saat Ramadan akibat haid dan nifas? Tentu saja, mereka harus melakukannya di bulan-bulan lain, dimana lebih banyak orang-orang yang tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku bagi mereka yang menjalankan puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Nabi Daud.
            Pertanyaan saya berikutnya retoris, jadi tidak perlu dijawab – alias mari renungkan masing-masing:
            Apakah saat itu mereka semua mengeluh akan warung / warteg / restoran / kafe / tempat makan lainnya yang buka siang hari (tidak pakai tirai jendela lagi)? Apakah mereka lantas meminta orang lain untuk menghormati mereka (karena sedang berpuasa) agar tidak makan dan minum di hadapan mereka? Apakah mereka lantas harus ‘absen’ dari menggunakan social media dan blogwalking, karena bisa saja foto-foto makanan dan minuman di Instagram atau karya food blogger lainnya begitu ‘menggugah selera’, sehingga berpotensi membatalkan puasa mereka? (Padahal konten blog dan social media selain kuliner banyak!)
            Bagaimana bila yang berpuasa kebetulan berprofesi di bidang kuliner, seperti: koki hotel, manajer restoran, atau pelayan warung? Apa iya mereka harus cuti sebulan atau kerja setengah hari (alias malam saja) dengan resiko berkurangnya penghasilan? Kalau hanya dilarang buka usaha tersebut di siang hari, lalu apa solusi buat mereka? Apakah ada bantuan lain agar mereka tidak sampai kekurangan atau bahkan kehilangan mata pencaharian, daripada hanya sekedar dilarang?
            Terus, yang non-Muslim dan perempuan Muslim yang sedang ‘berhalangan’ puasa bagaimana? Harus di rumah terus, agar tidak kelihatan lagi makan dan minum di siang bolong?
            Jujur, saya sangat sedih dengan berita yang tengah santer akhir-akhir ini. Mengapa kita harus meributkan hal-hal yang sebenarnya sepele, sampai berlarut-larut pula? Mengapa kita begitu mudah terhasut dan menyerang sesama anak bangsa, padahal masih banyak masalah lain yang jauh lebih pelik untuk segera dicari solusinya, seperti orang yang tetap kelaparan dan kehausan meski bukan di bulan Ramadan? Atau kasus penculikan dan pembunuhan anak, serta pernikahan paksa untuk anak di bawah umur?
            “Tidak semua orang kuat imannya.” (Makanya, ‘jalan tengah’ yang dipakai selama ini adalah memasang tirai pada jendela restoran, kafe, warung, dan lain-lain.) Bisa dimengerti, namun pada akhirnya kita tetap harus berusaha, bukan? Seperti anak kecil yang mengeluh “Tidak bisa”, namun terus diberi semangat orang tuanya agar terus berlatih dan tidak mudah menyerah. Bukankah kita semua ingin ‘lulus ujian’ dan ‘naik kelas’?
            Kita selalu punya pilihan. Kita bisa memilih kemana mata kita memandang dan kemana kaki kita melangkah. Kendali diri harusnya ada pada masing-masing (terutama bagi yang sudah termasuk ‘dewasa’, ya), sehingga kita tidak perlu menuntut orang untuk selalu mengikuti maunya kita.
            Perkara saling menghormati? Kita bisa mulai dari diri sendiri dulu, yaitu berusaha menjadi sosok yang menjadi inspirasi untuk dihormati. Lagipula, bukankah ada pepatah bahwa ‘respect is earned’?
            Tulisan ini tidak dibuat untuk memancing perdebatan atau bahkan keributan. Saya juga enggan dituduh menghina kualitas keimanan seseorang, karena sebenarnya saya ini juga bukan siapa-siapa dan apa-apa. Ini hanya pendapat saya, boleh suka boleh tidak. Bila sampai ada yang mengajak berdebat atau bahkan ribut, dengan senang hati saya akan diam saja dan menghapus semua komentar yang saya anggap bernada menyinggung atau menyindir agama tertentu. Saya tidak ingin ibadah puasa saya jadi terganggu hanya gara-gara perbedaan yang seharusnya sudah tidak perlu didebat lagi, apalagi sampai diributkan. Semoga kita semua dapat bersikap bijak dan tidak mudah terpancing isu-isu berbau SARA.
            Salam damai. Wallahu alam dan wassalam. Bagi yang berpuasa, semoga ibadah dan permohonan ampun kita diterima oleh-Nya. Aamin ya rabbal ‘aalamiin...


            R.

Senin, 22 Juni 2015

"DALAM GALERI (PENUH) BENCI"

Aku benci kebencian itu sendiri
Tak sadarkah kamu?
Terlalu banyak dari kita yang saling menyakiti
Siksaan kejam yang lebih tajam dari sembilu

Aku benci kebencian itu sendiri
Apakah hatimu berisi racun abadi?
Mengapa kamu enggan berhenti?
Kebencianmu dapat membunuh semuanya, hingga tak tersisa lagi

Aku benci
Sepertinya sekarang aku ikut teracuni
Apakah kamu bahagia dengan semua ini?
Kuharap tidak, karena menjadi pengikutmu aku tak sudi!

R.
(Jakarta, 21 Juni 2015 - 15:08)

Minggu, 21 Juni 2015

"SANG PENCARI KETENANGAN"

Kata mereka aku gila. Menurut mereka, aku sinting dan berbahaya. Tidak berperikemanusiaan. Sepatutnya aku diasingkan selamanya, demi kebaikan bersama. (Tunggu dulu. Kebaikan siapa maksudnya?) Tak boleh lagi aku berada di tengah-tengah manusia yang (kata mereka) lebih normal, bermoral, dan beradab. Lebih baik dan aman bagi mereka.

Mengapa? Tak banyak yang sudi menanyakannya. Mungkin mereka terlalu sibuk dengan diri masing-masing. Mungkin juga tidak peduli. Lagipula, toh kisahku akan berakhir juga di tong sampah. Berita basi.

Mungkin juga mereka takut. Ya, takut dengan alasan di balik perbuatanku. Mungkin mereka ngeri menghadapi kenyataan bahwa ini bisa terjadi pada siapa saja. (Termasuk mereka, mungkin?) Lalu, bertambah lagi satu bukti dan alasan betapa tidak amannya dunia ini. Ruang gerak dan bernapas mereka perlahan menyempit. Paranoia pencipta claustrophobia di ruang terbuka. Sungguh ironis.

Karena aku, mungkin sekarang mereka sudah melirik was-was dan curiga pada setiap wajah yang mereka temui di tempat umum. Benak mereka mungkin akan disesaki pertanyaan-pertanyaan itu:

Ada berapa lagi yang sepertiku? Seberbahaya apa mereka? Adakah tanda-tanda yang harus diwaspadai?

Mengapa aku tidak menunjukkan tanda-tanda yang harus diwaspadai, sebelum semua terlambat?

Ah, selalu saja ada alasan untuk membebankan kesalahan pada pihak lain. Seolah cermin-cermin di kamar-kamar mereka dan gedung-gedung kantor dan mal hanya penunjuk keberadaan jasmani mereka. Tidak lebih. Dangkal. Parsial.

Ada juga yang ingin tahu alasan di balik perbuatanku. Kebanyakan tidak siap mental dengan jawabanku. Dengan gelar ilmu yang mereka banggakan, mulailah pencarian besar-besaran akan sesuatu di latar belakangku. Apa pemicunya? Ada trauma kekerasan masa lalu, mungkin? Mengapa gadis semanis itu bisa berbuat demikian?

Kubiarkan saja mereka berspekulasi dan menyimpulkan sesuka hati. Tinggal tunggu mereka menyerah dan kecewa.

Andai saja mereka mau berpikir sederhana. Sayang, manusia sering menyepelekan hal-hal yang (tampaknya) sederhana, sepintar apa pun mereka…

—– // —–

Sederhana? Hmm, mungkin tidak selalu. Banyak orang cenderung menyederhanakan masalah, hanya karena enggan menghadapi kesusahan. Mungkin juga mereka malas berpikir. Selama mereka (selalu merasa) aman dan tentram, persetan dengan orang lain. Lagipula, bukankah ruang publik milik bersama dan artinya semua pemakai harus saling bertoleransi?

Haha, argumen lucu dari orang munafik nan tengik. Seolah mereka sudah paling paham soal toleransi. Yah, setidaknya mereka amat paham dengan toleransi satu arah. Toleransi yang hanya menguntungkan mereka sendiri.

“Kamu terlalu perasa.”

Dengar, bahkan opiniku sudah disepelekan sebelum aku resmi menjadi ‘sampah masyarakat’. Hanya karena mereka memilih malas ribut untuk hal-hal yang bagi mereka tidak penting, meski sebenarnya menyangkut hidup mereka juga.

Dasar sial, akulah sang minoritas yang (menurut mereka terlalu) banyak bicara. Biang keributan, sumber gangguan. Mereka lebih suka aku diam, menurut, dan banyak mengalah. Sama seperti mereka. The silent manjority yang tidak menghasilkan apa-apa. Pihak yang pura-pura tidak terluka setiap bersinggungan dengan kekacauan. Apatis dan mati rasa.

“Kamu juga terlalu kaku.”

Sesederhana itukah? Memang apa salahnya mengikuti peraturan yang ada di ruang publik? Toh, yang untung juga mereka. Semua demi kebaikan bersama.

Ah, sudahlah. Percuma mendebat otak-otak bebal. Di mata mereka, tetap aku yang brengsek. Akulah jahanam yang harus (di)lenyap(kan) dari muka bumi, supaya mereka tenang kembali.

Tenang? Cobalah berinteraksi dengan mereka barang sehari. Kuharap kalian tidak perlu berakhir sepertiku. Lebih aman tetap menjadi seperti mereka, dengan banyak pengorbanan tentunya.

Contoh sederhana, saat memakai trotoar. Jangan harap pejalan kaki bisa melenggang santai di sini. Dalam tiap radius lima puluh meter, ada pedagang kaki lima hingga warung tenda. Tidak apa-apa, masih bisa ditolerir. (Kasihanilah mereka yang susah mencari lahan penghasilan.) Beberapa bagian trotoar rusak parah. Berlubang di sana-sini dan pecah-pecah. Kalau ada yang celaka gara-gara jatuh, gampang. Tinggal salahkan korban yang kena sial.

“Hati-hati, dong!”

“Makanya kalau jalan lihat-lihat!”

Seperti itu. Tidak ada empati. Tidak ada usaha bersama untuk mengurangi jumlah korban. Kalau pun ada, lebih sering disabot pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab, yang mau enaknya sendiri. Dasar sial. Kemana uang pajak dari rakyat? Mengapa lebih cepat berubah jadi mal atau meluncur ke kantong koruptor?

Belum lagi ulah para pengendara sepeda motor saat macet menghabisi jalan. Gara-gara mereka, trotoar berubah fungsi jadi jalan raya tambahan. Persetan dengan pejalan kaki yang (sebenarnya) lebih punya hak di sana. Dengan seenaknya mereka mengklakson pejalan kaki agar sudi minggir. Kalau tidak? Bentakan ala preman kampungan hingga kekerasan terhadap pejalan kaki pasti terjadi. Argumen mereka selalu sama. Macet. Mereka terburu-buru. Harap maklum. Jangan reseh.

Jangan berharap pada hukum. Hanya yang punya uang banyak yang bisa membelinya. Benar-benar lelucon sinting yang memuakkan.

Sekali-dua kali, masih bisa kutahan-tahan emosiku saat berurusan dengan pengendara motor brengsek. Lama-lama aku jadi membayangkan macam-macam. Menghajar mereka dengan payung. Menyayat ban motor mereka dengan silet. Mendorong mereka sampai jatuh, lalu menendangi kepala mereka di balik helm – mengingat mungkin mereka sudah lama meninggalkan otak bebal mereka entah dimana. Bernegosiasi dengan mereka sama percumanya dengan mengajari kera dungu berbicara.

—– // —–

Jika mereka pernah punya guru PMP/PPKN/Ilmu Kewarganegaraan/apalah namanya, entah ajaran mana yang masih mereka ingat. Mungkin pada akhirnya, semua hanya tinggal wacana. Boro-boro dibaca, diingat pun tidak. Kasihan. Mungkin saja arwah-arwah para guru itu tengah gelisah di alam kubur. Kecewa dengan mantan murid-murid mereka yang seperti tidak pernah belajar apa-apa. Tidak tahu aturan seperti binatang tanpa akal. Tidak peduli tata-krama.

Entah kenapa, orang-orang ini sepertinya juga alergi mengantri. Saat membeli tiket, membayar di kasir supermarket, naik kendaraan umum. Sama saja. Seolah mereka akan mati karena serangan jantung jika (diminta) bersabar sedikit saja. (Setelah dipikir-pikir, mungkin ada baiknya juga bila mereka mati. Tidak bikin stres dan mengganggu orang lain yang masih mau tertib!)

Muak dengan segala dampak keegoisan manusia, kuputuskan untuk melakukannya hari itu.
Sore yang normal di hari Senin. Pas jamnya orang-orang kantor pulang. Bersama rombongan manusia lainnya, kutunggu bus TransJakarta dengan gelisah. Gerutuan mereka juga menambah resah. Harus buru-buru. Terlalu lama menunggu. Takut terlambat.

Sama. Sama. Sama.

Seperti biasa, yang kutakutkan selalu terjadi. Saat bus akhirnya datang, ada yang mulai mendorong antrian dari belakang di halte. Tak sabaran, takut tertinggal. Pintu bus terbuka. Yang mau keluar terhambat oleh yang merangsek masuk. Petugas pintu halte sudah berteriak-teriak menyuruh mereka tertib dan bersabar. Percuma. Mendadak semua orang seperti kehilangan telinga dan berubah jadi badak tuli. Kasar. Saling menghujat dan mendorong. Ada yang menjerit kesakitan karena terhimpit. Banyak yang jatuh. Tak ada yang peduli.

Saat seorang lelaki dengan kasar mendorongku ke samping, kesabaranku habis. Kurenggut pulpen dari kantong kemejaku dan kuhujamkan bagian tajamnya ke lengannya yang terbuka. Dia menjerit. Darahnya muncrat seketika. Perutku langsung mual, tapi aku tak berhenti.

Semua terjadi begitu cepat. Kata-kata makian sekarang bercampur dengan jerit-jerit ketakutan. Ada yang mendorong punggungku dan aku berbalik. Kutikam lehernya. Banyak yang mundur menjauhiku. Syukurlah. Akhirnya aku lumayan bisa bernapas.

Aku baru berhenti menikam-nikam saat tangan-tangan kekar dan kuat meringkusku. Ada yang memukul kepalaku.

Lalu, semuanya gelap…

—– // —–

“Kenapa kamu melakukannya?”

“Kenapa tidak?” tantangku pada lelaki tua bertampang terpelajar yang duduk di hadapanku. “Mereka tidak mau berhenti. Mereka bahkan tidak mau mencoba berubah lebih sabar. Mereka sudah terlanjur bebal. Saya hanya ingin bernapas. Saya hanya ingin tahu rasanya tenang dan berada di lingkungan teratur. Sehari saja.”

“Jadi itu solusinya?”

“Cara terakhir bila yang lain gagal.” Aku mengangkat bahu. “Bukankah manusia dengan jabatan tertinggi pun juga memakai cara yang sama untuk menyelesaikan masalah mereka?”

Lelaki itu tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya membereskan kertas-kertas dan tumpukan mapnya sebelum pergi. Kurasa dia takkan cukup berani untuk kembali.

Setelah itu, aku sendirian dalam selku. Lihat, bahkan sesama penghuni takut padaku.

Tak apa. Setidaknya aku mendapatkan ketenangan di sini…


-selesai-

Sabtu, 20 Juni 2015

"SAAT MANUSIA TAK SELALU SEPEMAAF ITU..."

Mohon maaf bila judul di atas tidak bernada positif sama sekali. Realita memang bisa sangat menyakitkan.
            Sudah lazim bila sebelum berpuasa, kita (yang merayakannya, tentu saja) saling bermaaf-maafan. Lazim juga bila kemudian kita melakukan ritual serupa saat merayakan Idul Fitri, terutama dengan harapan agar jiwa kita dapat kembali fitri, sesuci bayi yang baru lahir. Insya Allah dan aamiin ya rabbal ‘aalamiin.
            Pada kenyataannya, seberapa tuluskah ucapan ‘maaf’ dan ‘memaafkan’ / ‘dimaafkan’di mulut kita? Isi hati tidak pernah ada yang benar-benar tahu.
            Katanya sih, sudah dimaafkan. Berarti semestinya masalah yang lalu sudah (dianggap) selesai dong, alias sudah nggak perlu diungkit-ungkit lagi – apalagi sampai jadi bahan perdebatan segala. Ngapain? Bila itu sampai terjadi, maka ada kemungkinan salah satu pihak tidak puas (atau tidak ikhlas?) dengan cara masalah itu telah diselesaikan. (Harusnya) masih bisa dibicarakan baik-baik, bukan? Tidak perlu saling cela (lagi?) dan bahkan saling serang, apalagi dengan kata-kata kasar segala. Apa iya, yang namanya jujur itu harus selalu demikian, tanpa memikirkan perasaan orang lain? Bagaimana bila Anda yang berada di posisi mereka dan menerima semua cercaan? Enak, nggak?
            Memang, masa lalu tidak mudah dilupakan. Namun, jangan biarkan masa lalu (terutama yang paling kelam sekali pun) lantas menghambat langkah kita ke depan. Jangan pula menggunakan masa lalu kelam orang lain untuk menghambat atau bahkan mencela niat dan usaha mereka untuk memperbaiki diri.
            Mengapa? Bukankah Tuhan Maha Pengampun? Apalagi bila seseorang benar-benar menyadari semua kesalahan mereka dan berusaha keras agar tidak mengulanginya lagi. Sayang sekali, sesama manusia tak selalu sepemaaf itu. Kadang mereka malah bisa lebih kejam menghukum sesama, bahkan untuk kesalahan paling kecil pun dan tak peduli yang bersalah sudah bertobat. Mengapa? Entahlah. Mungkin mereka begitu dibutakan oleh amarah dan dendam mereka.
            Mungkin juga mereka percaya bahwa hal itu takkan pernah terjadi pada mereka. Mungkin mereka percaya bahwa mereka terlalu baik untuk itu, bahwa mereka sendiri takkan pernah khilaf dan tergelincir ke dalam dosa.
            Semoga saja tidak. Semoga saja mereka masih berbesar hati untuk tidak menutup kesempatan bagi orang lain untuk memperbaiki diri. Bayangkan orang yang sudah menyesali kesalahan mereka, namun masih dihukum dan dihakimi terus-terusan dengan sedemikian rupa karena masa lalu mereka? Bisa-bisa mereka terlanjur apatis dan terus mengasihani diri sendiri atau jadi enggan memperbaiki diri. Yang terparah: kalau tidak kuat iman, mereka bisa stres dan bunuh diri!
            Jika itu yang terjadi, apa untungnya bagi kita? Kita merasa senang, bangga karena bisa ikut menghukum dan melaknat si ‘pendosa’, bahkan meski mereka telah menyesal dan sudah berusaha bertobat? Kita merasa berjasa karena telah ‘membenarkan yang salah’?
            Bukankah ujian dari Tuhan bisa berupa apa saja? Bahkan kita pun diuji dengan banyak kebaikan. Apakah kita lantas akan menjadi sombong karenanya, menilai diri jauh lebih baik dan bahkan lebih suci dari yang lain? Memandang orang lain dengan sorot mencela dan merendahkan, entah karena mereka berbeda atau pilihan hidup mereka yang (menurut kita) salah? Diam-diam terus membicarakan keburukan mereka dengan orang lain, seakan-akan tidak ada kegiatan lain yang jauh lebih berguna – atau hal yang sama tidak mungkin akan terjadi pada kita?
            Memang, ada juga yang tidak kapok-kapok mengulangi kesalahan serupa, sadar tidak sadar. Kesal? Tidak suka? Marah? Wajar saja. Sayang sekali, tidak semua harus sesuai maunya kita. Inilah hidup. Merasa bahwa semua itu tidak adil? Berani protes sama Tuhan? Silakan. Terserah kita.
            Jika Anda memilih untuk tidak mau percaya atau bahkan berurusan lagi dengan sosok yang sudah terlanjur Anda cap sebagai si ‘pendosa’ (baca: mengucilkan) – bahkan meski dia sudah meminta maaf dan memperbaiki diri, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa Anda untuk berteman atau berbaik-baik dengan mereka. Cukup tidak usah saling mengganggu saja dan tanggung resiko pilihan masing-masing. (Harusnya) mudah, ‘kan?
            Mungkin juga, lagi-lagi...kita harus belajar untuk tidak usah terlalu ikut campur urusan pribadi orang lain – selama tidak sampai membahayakan nyawa siapa pun. (Beda cerita kalau kita menyaksikan kasus kekerasan atau menduga adanya penyiksaan dalam rumah-tangga seseorang.)
            Memang benar kata orang bijak: sejatinya hanya Tuhan Maha Pengampun. Makanya mereka selalu menyarankan agar kita bertobat dulu kepada-Nya sebelum meminta maaf kepada sesama. Mengapa? Harapan kita sama: agar Dia sudi mengampuni kita dan sudi melembutkan hati mereka (terutama yang sudah kita bikin merasa kesal, tidak suka, sakit hati, marah, dan lain sebagainya.)
            Bagaimana bila Anda berada di posisi orang (yang dianggap) ‘berdosa’, meski misalnya kesalahan Anda tidak sampai fatal membahayakan orang lain? Anda bisa tahan...atau malah mengemis-ngemis ampunan dan belas kasihan?
            Pernah membayangkan? Ingat, tidak ada yang mustahil bagi Tuhan...terutama dalam hal membolak-balikkan hati manusia dan seisinya ibarat mendoan atau martabak (maaf, tiba-tiba tercetus dua makanan itu di benak saya)...
            Semoga ucapan ‘maaf’ dan ‘memaafkan’ / ‘dimaafkan’ tak sekedar ucapan belaka. Semoga dunia ini makin damai adanya. (Boleh ‘kan, berharap yang baik-baik?)

            R.

            (Jakarta, 18 Juni 2015 – 17:30)

"UNTUK SEMUA MATA YANG TAJAM MENUDUH (2)"

"Tiada maaf bagi pendosa."
Mata mereka berbicara
dengan sorot mencela
membuatnya tak berdaya

Ah, mereka tahu apa?
Hanya bisa mengira
berspekulasi suka-suka
tak peduli hatinya terluka

Mungkin dia yang harus mengalah
Tak ada gunanya
Berdebat dan membela diri hanya akan membuat lelah
Biarlah mereka berpikir apa pun tentangnya

Tuhan Maha Tahu Segala
Semua keputusan ada di tangan-Nya
termasuk dosa, ampunan, dan pahala...

R.
(Jakarta, 19 Juni 2015 - 14:30)

Kamis, 18 Juni 2015

"BAD HAIR DAYS"

Pernah aku amat membenci iklan shampo di TV. Menurutku iklan-iklan itu lebay (berlebihan) dan mendiskriminasikan cewek-cewek yang rambutnya nggak panjang, hitam, dan...ah, lurus! Kesannya hanya itu yang jadi ciri-ciri mutlak rambut rapi, indah, dan idaman lawan jenis. Yang lain nggak masuk hitungan. Bah!
Contohnya aku. Sejak SD, beragam julukan pernah melekat di rambutku yang jauh dari kriteria iklan shampo. Lebat dan kriwil (meski, alhamdulillah...masih cukup hitam.) Mulai dari si kribo, gimbal, hingga hutan Amazon berjalan. Menyebalkan! Belum lagi fakta bahwa di rumah pun, aku minoritas. Nggak ada yang keriting, baik Papa, Mama, kakakku Andhara, hingga adikku Aldo. Gara-gara itu pula waktu kecil Andhara dan Aldo sempat berkomplot menggodaku dengan spekulasi, “Jangan-jangan Mama dulu salah ambil bayi di rumah sakit.” Jahat!
Waktu itu Mama sampai menengahi, “Nggak mungkinlah. Arina mirip Papa, kok.”
“Mirip gendutnya!” Aldo langsung cekikikan, lalu kabur begitu kukejar. Sumpah, ingin kugiling itu bocah sampai jadi martabak kalau perlu! Kan enak, hehe.
Beranjak kuliah, hanya dua yang belum hilang. Pertama, keritingku. (Ya, iyalah!) Kedua, rongrongan Andhara yang – entah kenapa – ngebet banget ingin melihatku dengan rambut lurus. Padahal, yang punya rambut saja nggak ribut!
“Sekaliii aja, Rin!” pintanya memelas. (Dasar aneh!) “Gue penasaran ama hasilnya.”
Aku hanya mengangkat sebelah alisku. Bukannya kegiatan dia banyak, daripada ngurusin rambut adiknya?
“Emang rambut gue kenapa?” tantangku.
“Nggak rapi!” balas Andhara ngotot. Tuh, kan. Lagi-lagi...
“Tapi ini kan, udah disisir!” bantahku nggak mau kalah. Lagipula, nggak banyak mahasiswi dengan rambut begini. Yah, meski ada yang lumayan kurang kerjaan dengan menyebutnya arum manis atau sarang tawon. Grrr...
“Nggak keliatan lagi,” Andhara masih ngotot. “Coba aja sesekali dilurusin. Biar cantik!”
Jlep! Rasanya pisau dapur Mama tiba-tiba terbang dan menancap di hatiku dengan sukses. Hiks, hiks, jahaaat! Mentang-mentang dia jangkung, langsing, berambut panjang dan lurus, dan lebih banyak disukai cowok-cowok...
---//---
“Nyante aja lagi, Rin,” saran Joe, salah satu teman kampusku yang jangkung, ramping, dan hobi berdandan serba hitam. Oh, pangeran gothic dambaan hatiku. “Yang lebih penting tetap kepribadian bagus.”
“Iya.” Setyo, temanku yang kurus dan pemikir juga sepakat. “Orang boleh ngomong apa aja selama lo tetep pede jadi diri sendiri.”
Hah, jadi aku harus tetap menerima betapa usilnya mulut sesama manusia? Aduh, kapan mau damai ini dunia?
“Udah, cuekin aja kakak lo yang kurang kerjaan itu!”
Lain halnya teman-temanku yang cewek, plus Rinto yang ‘gemulai’.
“Coba aja, Rin,” saran Chandra si mungil. “Siapa tau lo berhasil.”
“Mungkin dengan gitu cowok-cowok mulai lebih ngelirik elo.” Maria si penggila cowok langsung berbinar-binar matanya – persis karakter manga.
Aku langsung mendelik sebal padanya. Memang kenapa kalau di umur 18 tahun ini aku masih jomblo? Nggak ada hubungannya sama rambutku, kan?
“Well, it’s a good sign,” kata Rinto senang. Cowok kerempeng yang hobi pakai kaos ketat itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Gue siap mencatok rambut lo kapan saja dibutuhkan, setelah lo sukses meluruskan rambut lo.”
Sambil menyipitkan mata, kuacungkan tinju ke wajah tirusnya.
“Coba saja kalau berani.”
----- // -----
Selanjutnya bisa ditebak.
Entah apa yang membuatku akhirnya mengalah pada keinginan Andhara. (Aneh memang, mengingat ini rambutku.) Mungkin karena lama-lama aku gerah juga oleh rengekannya. Maklum, meski anak sulung, Andhara selalu menuntut agar semua keinginannya dipenuhi. Kalau tidak, dia pasti ngambek. Payah memang.
“Oke, tapi hanya sekali ini,” kataku, saat Andhara meyakinkanku bahwa dialah yang akan membayari biaya ke salon. Selain kuliah, dia juga kerja part-time di salah satu day care centre di Jakarta.
Jadi, di situlah kami pada Minggu pagi. Mama, Andhara, dan aku di salon bernama Blue 21, langganan Andhara. Entah kapan kakakku booking janji dengan penata rambutnya. Pokoknya, aku tinggal melakukan tiga D dan satu M favorit para pejabat saat rapat: Datang, Diam, dan Duduk yang Manis. (Kalau bisa pakai satu T, yaitu Tidur.)
Maka, dimulailah siksaan sehari penuh. Kenapa siksaan? Karena aku bukan cewek pencinta salon!
Pertama, mereka mengeramasi rambutku dengan tiga macam cairan dari tiga botol berbeda. (Mengingat aku amat jarang ke salon, aku hanya bisa menebak dua botol pertama: shampo dan conditioner. Entah apa isi botol ketiga. Yang pasti, ada keharuman asing yang memabukkan!)
Lalu, aku disuruh duduk di depan cermin saat mereka mulai ‘mengerjai’ rambutku. Satu orang menyisir dan menggunting ujung-ujung helai untuk merapikan rambutku. Ada yang mengoleskan cairan kental dari botol hitam yang sekilas mirip ramuan dokter gila di film-film sci-fi. Belum lagi rambutku yang ditarik-tarik dalam rangka ‘membunuh’ keritingku yang kian membandel.
Puncak derita, tiap helai rambutku akhirnya ditempeli kertas-kertas aluminium foil. Aku jadi mirip kalkun Thanksgiving sebelum dihidangkan! Setelah itu, aku hanya tinggal menunggu timer di meja depanku berbunyi. Aroma rambutku sudah tidak karuan, sukses membunuh selera makanku. Jadi mau muntah, tapi kutahan-tahan. Malu. Aku hanya minum banyak-banyak. Sayang, belum saatnya bisa ke kamar mandi!
Siksaan berakhir pada pukul empat sore. Syukurlah! Segera setelah kertas-kertas aluminimu foil disingkirkan dari kepalaku, mereka mengeringkan rambutku dengan hair-drier. Huh, bikin panas dan pusing!
Saat semuanya selesai, kursiku diputar menghadap cermin. Mataku langsung melotot selebar mata reog.
“Bagus, kan?” puji Andhara ceria. Dia menyentuh rambutku yang sekarang selurus rambutnya. Bedanya, rambutku masih sekaku sapu ijuk!
OMG, banci nyasar darimana yang sekarang balas melototiku dari cermin?!
----- // -----
“Inget, pokoknya dua minggu sekali harus di-creambath,” terang Andhara padaku. “Dua bulan lagi baru balik ke salon untuk ngelurusin rambut lagi.”
Aduh, rasanya aku ibarat pasien yang harus kontrol ke dokter lagi karena penyakit berat. Salah, maksudku rambutku yang jadi ‘pasien’. Kata orang salonnya, rambut lurusku ini hanya bertahan dua bulan.
Reaksi teman-teman di kampus beragam. Ada yang memuji (entah sungguhan atau hanya ingin membesarkan hati.) Banyak yang mencela.
“Ternyata nggak cocok, Rin,” ujar Maria cuek. “Muka lo jadi keliatan tambah gede.”
“Kenapa nggak di-bonding skalian aja, sih?” tanya Chandra penasaran. “Pasti lurusnya tahan lama.”
“Tinggal dicatok.” Lagi-lagi Rinto mengandalkan senjata favoritnya. Kupelototi dia hingga cowok kerempeng itu mengkeret.
“Gue sebenernya nggak mau dilurusin,” kuingatkan mereka. “Kakak gue aja yang iseng kurang kerjaan.”
“Ooh.”
Yang paling menyedihkan? Joe menatapku dengan ekspresi aneh. Sorot matanya dingin dan jutek. Cowok gothic yang diam-diam sangat kucintai itu tampak menjauh dan enggan bicara denganku. Aku mengerti. Dia pasti kecewa karena mengira aku minder dengan rambutku dan minder dengan diri sendiri. Ah, sial.
Tak lama, kudengar Joe jadian dengan Sally, anak jurusan lain. Sally yang mungil, tampak pede dengan rambut ikal gelapnya…
Ah, sialan!!
Mau menyalahkan Andhara juga konyol. Kalau saja aku lebih punya sikap, mungkin semua ini tidak akan terjadi.
Tiba-tiba dua bulan jadi terasa lama sekali. Aku kangen keritingku…
----- // -----
Kurang dari sebulan kemudian…
“AAARGH!!!”
“Ada apa, Rin?” tanya Mama yang langsung tergopoh-gopoh masuk ke kamarku pada Jumat pagi itu. Di depan cermin, kugertakkan gigiku saat mimpi buruk masih berlanjut di atas kepalaku.
Rambutku…rusak. Parah, hingga ke akar-akarnya. Kering, pecah-pecah, dan memerah. Ada pula beberapa helai yang begitu dilihat lebih dekat tampak bercabang di ujungnya. Ada juga yang patah begitu tak sengaja tertarik. Iiih…
“Apaan, sih?” Giliran Andhara yang nyelonong masuk ke kamarku. Begitu melihat rambutku, komentarnya cuma, “Lha, kan gue udah bilang lo harus rajin creambath ke salon.”
Rasanya akhir-akhir ini aku lagi sering melototi orang karena kesal. Oh, kakakku yang sangat tidak peka! Lupakah dia, ide gila siapa ini yang menumbalkan rambutku?
“Nggak mau tahu,” protesku sambil menunjuk rambut rusakku. Hiks. “Pokoknya ini harus diperbaiki, entah gimana caranya!”
“Lha, elo juga yang salah sendiri, gak doyan ke salon.” Andhara malah ngeyel.
“Emang kenapa?” tukasku tak mau kalah. Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi ingin menangis. “Emang hanya rambut lurus yang rapi dan cantik? Emang semua cewek harus rajin ke salon biar dibilang cantik dan feminin? Lagian duit gue juga nggak sebanyak duit lo!”
“Sudah, sudah!” Mama langsung menengahi. Pusing juga beliau gara-gara kedua putrinya yang sama-sama bermulut mercon sudah ribut pagi-pagi. “Besok kita ke salon lagi biar Arina bisa potong rambut.”
Andhara mencibir. “Dasar nggak tahu terima kasih.”
Aku hanya menjulurkan lidah. Ogah melayani bacotannya lagi. Yee, siapa juga yang minta?
----- // -----
Akhirnya, kami bertiga kembali ke salon yang sama, kali ini untuk potong rambut. Kali ini aku yang member instruksi singkat pada piƱata rambutnya untuk membuang helai-helai yang rusak. Masalahnya, berhubung rambutku (terlalu) banyak yang rusak, hasil akhirnya benar-benar mencengangkan semua orang. Nyaris habis. Cuma tersisa tiga senti dari kepala. Sekarang aku mirip tentara Amrik yang siap dikirim ke Afghanistan.
“Mama!” jerit Andhara. “Coba, lihat rambut Arina, Ma!”
Nah, lho. Salah lagi…
----- // -----
Kali ini, potongan rambut super pendekku berbuah cemoohan keluarga sendiri. (Hiks, hiks.) Serumah mendiamkanku sehari penuh, seolah-olah aku sengaja bikin heboh. Apalagi, kebetulan malam itu ada pernikahan sepupuku, dimana aku harus memakai kebaya. Jadilah aku perempuan Jawa yang jauh dari istilah cah ayu, alias berkelapa bondol.
“Loh, Arina kenapa, tho?” tanya tante-tanteku takjub plus ngeri. Aku hanya nyengir pasrah, sementara Papa dan Mama menjelaskan dengan wajah malu.
Saat ke kampus,kupakai topi fedora biru gelapku. Senin sore itu, sebagian besar teman sekelasku sudah memenuhi ruangan – menanti dosen. Kebanyakan tengah asyik bercakap-cakap, menekuri buku atau BlackBerry, menulis, hingga yang hanya bengong atau malah tidur.
Baguslah, pikirku lega. Kupilih barisan agak di belakang, lalu meletakkan tas di meja dan membuka topiku. Udaranya juga lagi panas.
“Arina?” Ups, ternyata ada juga yang ngeh. Sial, udah kepalang buka topi! Seisi kelas sekarang tengah menatapku dengan beragam ekspresi. Mayoritas terperanjat, dengan mata melotot atau mulut melongo. Sisanya bingung sekaligus geli.
“Kenapa rambut lo, Rin?” tanya Hari si ketua angkatan. Cowok berkaca mata yang selalu tampak rapi jali itu juga kelihatan geli. Kupakai topiku kembali sambil cemberut.
“Salah potong,” jawabku singkat. “Gue sekarang terpaksa pake topi selama dua minggu ke depan.”
“Tenang, ntar tumbuh lagi, kan?”
Pastinya.
Sama seperti sebelumnya di kelas, reaksi teman-teman nongkrongku beragam. (Ngomong-ngomong, kuputuskan untuk tidak lagi terlalu memikirkan Joe. Memikirkan cowok yang jelas-jelas sudah jadi milik orang lain sama dengan sudi jadi calon pasien RSJ. Setuju, nggak?) Seperti biasa, komentar dan reaksi Rinto paling lain daripada yang lain. Sore itu, dia memasang ekspresi tragis sambil menyentuh rambut (super) cepakku dengan ekstra hati-hati, seolah-olah duri landak yang lagi pada berdiri.
“Rin, lo…nggak lagi depresi, kan?” tanyanya dengan gaya sok dramatis. Duh, lebay.
“Iya, gue emang lagi depresi,” jawabku seketika dengan jutek. Begitu mukanya kaget betulan,kutambahkan, “Rambut gue rusak total dan harus banyak yang dibuang. Cukup bikin depresi, kan?”
“Oooh.”
Dasar. Komentar Andre, teman Rinto yang tak kalah ‘melambai’ juga luar biasa.
“Keren juga, kok. Persis Kimmy Jayanti, pujinya yang sempat bikin aku tersipu-sipu. (Iyalah, kapan lagi dibandingin sama supermodel?) Tapi,lanjutannya begini: “Eh, gue punya kenalan cewek yang masih single. Cantik lagi. Mau?”
Dan keduanya ngacir sebelum sepasang sepatuku sukses mendarat di atas kepala masing-masing. Sialan, emangnya aku lesbi?!
----- // -----
Dua bulan berikutnya, berakhirlah my bad hair days. Rambutku sudah kembali panjang dan ikal. Yah, meski warnanya belum kembali sehitam dulu. Maklum, masih kecoklatan akibat sisa zat kimia pelurus rambut.
Sekarang aku sudah tidak peduli lagi dengan gembar-gembor iklan shampo. Mungkin produsennya hanya peduli pada konsumen berambut lurus. Terus kenapa? Rambutku memang sudah asli begini. Kenapa harus diubah? Gila. Yang penting sehat dan memakai shampo yang tepat (untuk perawatan, bukan pelurusan rambut!)
Dan yang penting juga pede. Memang, kalau napsu dan ego mau dituruti terus, manusia takkan pernah bisa puas. Yang keriting mau dilurusin, yang lurus mau sebaliknya.
Namun, entah kenapa, Andhara belum kapok juga dengan usahanya me-make over adiknya dengan cara-cara yang masih ‘ajaib’.
“Rin, ada salon baru lagi. Buka di Wijaya juga.”
“Nggak.”
“Coba aja dulu, Rin. Siapa tau kali ini berhasil.”
“Nggak mau.”
“Rin…”
“Pokoknya enggaaak!!”


-selesai-