Selama
bulan puasa ini, saya punya kebiasaan tak lazim. Saya sengaja menyimpan sebotol
air minum di dalam kamar.
Mengapa? Mungkin ada yang akan
menganggap cara saya aneh atau menyebut saya kurang kerjaan. (Silakan.) Bagi saya, ada sedikit humor
gelap dalam hal ini:
Saya tengah menguji diri sendiri
dengan sebotol air minum di dalam kamar. Apakah lantas saya akan tergoda dengan
kehadiran si botol? Apakah saya lantas akan langsung meminumnya sebelum
waktunya?
Alhamdulillah,
sejauh ini sih, tidak. Moga-moga juga akan selalu lancar, ya. Tapi,
mengapa?
Sederhana saja: saya hanya berusaha
mengontrol diri sendiri. Jika mindset saya
bersikeras bahwa air itu memang belum waktunya diminum, maka saya tidak boleh
menyentuhnya. Saya baru boleh menghabiskan isinya bila waktunya tepat.
(Baca: saat berbuka puasa.)
Apa yang terjadi jika saya minum
sebelum waktunya? Puasa saya batal. Saya gagal. Salah siapa? Ya, bukan
siapa-siapa melainkan saya sendiri. Sesederhana itu.
Bagaimana dengan dunia nyata di luar
kamar saya? Tentu saja, tantangan dan cobaannya lebih banyak, lebih berat, dan
lebih beragam. Tidak semua bisa saya kendalikan kecuali diri sendiri.
Contohnya: kuliah dan kerja dengan
orang-orang dari beragam latar belakang suku, ras, agama, dan antar-golongan.
Atau saat kita harus berpuasa di daerah atau negeri yang mayoritasnya
non-Muslim. (Hmm, untuk yang terakhir, saya belum pernah mencobanya – alias baru
dengar cerita teman-teman yang sudah.)
Bagaimana dengan perempuan yang
harus membayar puasa mereka yang batal saat Ramadan akibat haid dan nifas?
Tentu saja, mereka harus melakukannya di bulan-bulan lain, dimana lebih banyak
orang-orang yang tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku bagi mereka yang
menjalankan puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Nabi Daud.
Pertanyaan saya berikutnya retoris,
jadi tidak perlu dijawab – alias mari renungkan masing-masing:
Apakah saat itu mereka semua
mengeluh akan warung / warteg / restoran / kafe / tempat makan lainnya yang
buka siang hari (tidak pakai tirai jendela lagi)? Apakah mereka lantas meminta
orang lain untuk menghormati mereka (karena sedang berpuasa) agar tidak makan
dan minum di hadapan mereka? Apakah mereka lantas harus ‘absen’ dari menggunakan social
media dan blogwalking, karena
bisa saja foto-foto makanan dan minuman di Instagram
atau karya food blogger lainnya
begitu ‘menggugah selera’, sehingga
berpotensi membatalkan puasa mereka? (Padahal konten blog dan social media selain kuliner banyak!)
Bagaimana bila yang berpuasa
kebetulan berprofesi di bidang kuliner, seperti: koki hotel, manajer restoran,
atau pelayan warung? Apa iya mereka harus cuti sebulan atau kerja setengah hari
(alias malam saja) dengan resiko berkurangnya penghasilan? Kalau hanya dilarang
buka usaha tersebut di siang hari, lalu apa solusi buat mereka? Apakah ada
bantuan lain agar mereka tidak sampai kekurangan atau bahkan kehilangan mata
pencaharian, daripada hanya sekedar
dilarang?
Terus, yang non-Muslim dan perempuan
Muslim yang sedang ‘berhalangan’ puasa
bagaimana? Harus di rumah terus, agar tidak kelihatan lagi makan dan minum di
siang bolong?
Jujur, saya sangat sedih dengan
berita yang tengah santer akhir-akhir ini. Mengapa kita harus meributkan
hal-hal yang sebenarnya sepele, sampai berlarut-larut pula? Mengapa kita begitu
mudah terhasut dan menyerang sesama anak bangsa, padahal masih banyak masalah
lain yang jauh lebih pelik untuk segera dicari solusinya, seperti orang yang
tetap kelaparan dan kehausan meski bukan di bulan Ramadan? Atau kasus
penculikan dan pembunuhan anak, serta pernikahan paksa untuk anak di bawah
umur?
“Tidak
semua orang kuat imannya.” (Makanya, ‘jalan
tengah’ yang dipakai selama ini adalah memasang tirai pada jendela
restoran, kafe, warung, dan lain-lain.) Bisa dimengerti, namun pada akhirnya
kita tetap harus berusaha, bukan? Seperti anak kecil yang mengeluh “Tidak bisa”, namun terus diberi
semangat orang tuanya agar terus berlatih dan tidak mudah menyerah. Bukankah
kita semua ingin ‘lulus ujian’ dan ‘naik kelas’?
Kita selalu punya pilihan. Kita bisa
memilih kemana mata kita memandang dan kemana kaki kita melangkah. Kendali diri
harusnya ada pada masing-masing (terutama bagi yang sudah termasuk ‘dewasa’, ya), sehingga kita tidak perlu
menuntut orang untuk selalu mengikuti maunya kita.
Perkara saling menghormati? Kita
bisa mulai dari diri sendiri dulu, yaitu berusaha menjadi sosok yang menjadi
inspirasi untuk dihormati. Lagipula, bukankah ada pepatah bahwa ‘respect is earned’?
Tulisan ini tidak dibuat untuk
memancing perdebatan atau bahkan keributan. Saya juga enggan dituduh menghina
kualitas keimanan seseorang, karena sebenarnya saya ini juga bukan siapa-siapa
dan apa-apa. Ini hanya pendapat saya, boleh suka boleh tidak. Bila sampai ada
yang mengajak berdebat atau bahkan ribut, dengan senang hati saya akan diam
saja dan menghapus semua komentar yang saya anggap bernada menyinggung atau
menyindir agama tertentu. Saya tidak ingin ibadah puasa saya jadi terganggu
hanya gara-gara perbedaan yang seharusnya sudah tidak perlu didebat lagi,
apalagi sampai diributkan. Semoga kita semua dapat bersikap bijak dan tidak
mudah terpancing isu-isu berbau SARA.
Salam damai. Wallahu alam dan wassalam.
Bagi yang berpuasa, semoga ibadah dan permohonan ampun kita diterima oleh-Nya. Aamin ya rabbal ‘aalamiin...
R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar