Selasa, 23 Juni 2015

"UJIAN: SEBOTOL AIR MINUM DALAM KAMAR"

Selama bulan puasa ini, saya punya kebiasaan tak lazim. Saya sengaja menyimpan sebotol air minum di dalam kamar.
            Mengapa? Mungkin ada yang akan menganggap cara saya aneh atau menyebut saya kurang kerjaan. (Silakan.) Bagi saya, ada sedikit humor gelap dalam hal ini:
            Saya tengah menguji diri sendiri dengan sebotol air minum di dalam kamar. Apakah lantas saya akan tergoda dengan kehadiran si botol? Apakah saya lantas akan langsung meminumnya sebelum waktunya?
            Alhamdulillah, sejauh ini sih, tidak. Moga-moga juga akan selalu lancar, ya. Tapi, mengapa?
            Sederhana saja: saya hanya berusaha mengontrol diri sendiri. Jika mindset saya bersikeras bahwa air itu memang belum waktunya diminum, maka saya tidak boleh menyentuhnya. Saya baru boleh menghabiskan isinya bila waktunya tepat. (Baca: saat berbuka puasa.)
            Apa yang terjadi jika saya minum sebelum waktunya? Puasa saya batal. Saya gagal. Salah siapa? Ya, bukan siapa-siapa melainkan saya sendiri. Sesederhana itu.
            Bagaimana dengan dunia nyata di luar kamar saya? Tentu saja, tantangan dan cobaannya lebih banyak, lebih berat, dan lebih beragam. Tidak semua bisa saya kendalikan kecuali diri sendiri.
            Contohnya: kuliah dan kerja dengan orang-orang dari beragam latar belakang suku, ras, agama, dan antar-golongan. Atau saat kita harus berpuasa di daerah atau negeri yang mayoritasnya non-Muslim. (Hmm, untuk yang terakhir, saya belum pernah mencobanya – alias baru dengar cerita teman-teman yang sudah.)
            Bagaimana dengan perempuan yang harus membayar puasa mereka yang batal saat Ramadan akibat haid dan nifas? Tentu saja, mereka harus melakukannya di bulan-bulan lain, dimana lebih banyak orang-orang yang tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku bagi mereka yang menjalankan puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Nabi Daud.
            Pertanyaan saya berikutnya retoris, jadi tidak perlu dijawab – alias mari renungkan masing-masing:
            Apakah saat itu mereka semua mengeluh akan warung / warteg / restoran / kafe / tempat makan lainnya yang buka siang hari (tidak pakai tirai jendela lagi)? Apakah mereka lantas meminta orang lain untuk menghormati mereka (karena sedang berpuasa) agar tidak makan dan minum di hadapan mereka? Apakah mereka lantas harus ‘absen’ dari menggunakan social media dan blogwalking, karena bisa saja foto-foto makanan dan minuman di Instagram atau karya food blogger lainnya begitu ‘menggugah selera’, sehingga berpotensi membatalkan puasa mereka? (Padahal konten blog dan social media selain kuliner banyak!)
            Bagaimana bila yang berpuasa kebetulan berprofesi di bidang kuliner, seperti: koki hotel, manajer restoran, atau pelayan warung? Apa iya mereka harus cuti sebulan atau kerja setengah hari (alias malam saja) dengan resiko berkurangnya penghasilan? Kalau hanya dilarang buka usaha tersebut di siang hari, lalu apa solusi buat mereka? Apakah ada bantuan lain agar mereka tidak sampai kekurangan atau bahkan kehilangan mata pencaharian, daripada hanya sekedar dilarang?
            Terus, yang non-Muslim dan perempuan Muslim yang sedang ‘berhalangan’ puasa bagaimana? Harus di rumah terus, agar tidak kelihatan lagi makan dan minum di siang bolong?
            Jujur, saya sangat sedih dengan berita yang tengah santer akhir-akhir ini. Mengapa kita harus meributkan hal-hal yang sebenarnya sepele, sampai berlarut-larut pula? Mengapa kita begitu mudah terhasut dan menyerang sesama anak bangsa, padahal masih banyak masalah lain yang jauh lebih pelik untuk segera dicari solusinya, seperti orang yang tetap kelaparan dan kehausan meski bukan di bulan Ramadan? Atau kasus penculikan dan pembunuhan anak, serta pernikahan paksa untuk anak di bawah umur?
            “Tidak semua orang kuat imannya.” (Makanya, ‘jalan tengah’ yang dipakai selama ini adalah memasang tirai pada jendela restoran, kafe, warung, dan lain-lain.) Bisa dimengerti, namun pada akhirnya kita tetap harus berusaha, bukan? Seperti anak kecil yang mengeluh “Tidak bisa”, namun terus diberi semangat orang tuanya agar terus berlatih dan tidak mudah menyerah. Bukankah kita semua ingin ‘lulus ujian’ dan ‘naik kelas’?
            Kita selalu punya pilihan. Kita bisa memilih kemana mata kita memandang dan kemana kaki kita melangkah. Kendali diri harusnya ada pada masing-masing (terutama bagi yang sudah termasuk ‘dewasa’, ya), sehingga kita tidak perlu menuntut orang untuk selalu mengikuti maunya kita.
            Perkara saling menghormati? Kita bisa mulai dari diri sendiri dulu, yaitu berusaha menjadi sosok yang menjadi inspirasi untuk dihormati. Lagipula, bukankah ada pepatah bahwa ‘respect is earned’?
            Tulisan ini tidak dibuat untuk memancing perdebatan atau bahkan keributan. Saya juga enggan dituduh menghina kualitas keimanan seseorang, karena sebenarnya saya ini juga bukan siapa-siapa dan apa-apa. Ini hanya pendapat saya, boleh suka boleh tidak. Bila sampai ada yang mengajak berdebat atau bahkan ribut, dengan senang hati saya akan diam saja dan menghapus semua komentar yang saya anggap bernada menyinggung atau menyindir agama tertentu. Saya tidak ingin ibadah puasa saya jadi terganggu hanya gara-gara perbedaan yang seharusnya sudah tidak perlu didebat lagi, apalagi sampai diributkan. Semoga kita semua dapat bersikap bijak dan tidak mudah terpancing isu-isu berbau SARA.
            Salam damai. Wallahu alam dan wassalam. Bagi yang berpuasa, semoga ibadah dan permohonan ampun kita diterima oleh-Nya. Aamin ya rabbal ‘aalamiin...


            R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar