Tulisan
ini tidak dibuat dengan tujuan menaikkan pamor Go-jek dan menyudutkan para tukang ojek lainnya. Saya tahu, tidak
semua tukang ojek seperti ini. Kebetulan juga saya sudah punya beberapa tukang
ojek langganan.
Namun, seperti biasa, setitik nila
dapat merusak susu sebelanga. Hanya gara-gara segelintir yang bersikap ‘enggak banget’, reputasi tukang ojek
lainnya jadi ikutan rusak – bahkan meski tidak sengaja.
Bagi penumpang ojek biasa, hal-hal
ini mungkin biasa terjadi. Mulai dari tidak diberi helm dengan alasan “Ah, jarak dekat ini” atau “Tenang, lagi nggak ada polisi patroli”,
mematok harga seenaknya (hingga kita berpikir: “Apa bedanya dengan naik taksi?”), sok-sok mengambil ‘jalan pintas’ yang sebenarnya malah
ribet dan lebih jauh (taktik yang biasa digunakan supir taksi demi menaikkan
angka di argo mereka, namun yang ini demi memakai alasan jauh agar penumpang –
mau tidak mau – membayar lebih dari nego semula!), hingga suka ngebut nggak
kira-kira dan nekat melanggar peraturan lalu-lintas seperti melawan arus,
melanggar lampu merah, dan melewati rel kereta api meski kendaraan lain
berhenti dengan resiko ditabrak kereta api yang mau lewat. Kadang suka tidak
peduli bila penumpang sudah teriak-teriak marah dan ketakutan di belakang
mereka. Halo, pelanggan kok, disepelekan?
Masih belum cukup? Ada juga tukang
ojek yang mudah terpancing emosi saat tidak sengaja ‘bersenggolan’ atau ‘disalip’
pengguna jalan lain, terutama sama taksi atau mobil. Boro-boro sampai turun
dari motor dan mengajak mereka berantem, kalimat-kalimat ‘sakti namun rawan sensor’ yang sukses bikin sakit telinga pun
bermuntahan dari mulut mereka. Bagi penumpang yang kebetulan sedang
terburu-buru atau memang sekedar ingin cari selamat, saya tidak bisa
menyalahkan mereka bila ingin segera hengkang cari tumpangan lain saat itu
juga!
Masih ada lagi: tukang ojek yang
mendadak menerima telepon dari HP mereka atau membalas SMS – sembari berkendara!
Sudah begitu, ngeyel pula saat diperingatkan penumpang: “Ah, saya juga pelan-pelan kok, Bu. Tenang aja. Takut amat, sih?”
Iiihhh!!!
Mas,
kalau memang niat mau ditabrak, penumpang tidak perlu diajak-ajak!
Jangan-jangan kalau sampai beneran terjadi kecelakaan dan penumpang terluka,
Anda malah kabur lagi.
Yang paling rawan dan menyebalkan
(sekaligus menakutkan) adalah yang biasanya dialami penumpang perempuan muda,
terutama di malam hari dan saat jalanan sekitar kebetulan sedang sepi.
Bagi yang skeptis, tolong jangan
main berspekulasi jelek dulu dengan beranggapan bahwa “itu pasti salah pakaian yang dikenakan si perempuan”, “ceweknya juga
ganjen, kali”, hingga “salah sendiri,
perempuan kok, keluar malam-malam sendirian?”. Please, deh! Pikiran seksis
macam itu sudah saatnya masuk tong sampah. Ini bisa terjadi pada perempuan mana
pun dan kapan pun.
Pernah mengalami ini? Anda perempuan
pekerja yang kebetulan harus pulang larut malam. Mau naik angkot atau taksi
seram, terutama gara-gara berita kasus perampokan dan pemerkosaan. Anda tidak
punya kendaraan pribadi dan tidak selalu ada yang bisa mengantar-jemput Anda.
Mungkin si tukang ojek hanya berniat
ramah-tamah alias basa-basi dengan mengajak Anda mengobrol. Namun, bayangkan
saat mengobrol, kebetulan lewat jalan sepi dan si tukang ojek mendadak bertanya
begini:
“Mbak
masih ‘gadis’?”
Mungkin
maksudnya yang ditanya status Anda, apakah sudah menikah atau belum. Kalau pun
niatnya begitu, tetap saja namanya ikut campur urusan pribadi orang lain.
Memang apa pentingnya bagi si tukang ojek untuk bertanya mengenai status si
penumpang perempuan?
Pertanyaan itu juga berarti: “Mbak masih perawan?” Nah, lho! Itu
lebih kurang ajar lagi, bahkan termasuk pelecehan seksual. Selain mengusik
privasi penumpang, pertanyaan itu juga membuat mereka merasa tidak aman dan
nyaman. Kalau masih kenapa, kalau enggak juga kenapa coba?
Ada lagi pengalaman pribadi saya
yang cukup bikin ngeri, saat naik ojek siang bolong. Tukang ojeknya, seorang
lelaki paruh-baya bertampang lesu, mendadak nyeletuk: “Neng lagi sendiri?”
Saya
bingung. “Maksudnya?”
“Maksud
saya, Neng masih sendiri atau sudah ada yang punya?”
Hah?
Masih
bingung plus mulai merasa terganggu dengan pertanyaan semacam itu, saya mencoba
mengulur waktu.
“Memangnya
kenapa?” tanya saya, meski sebenarnya enggan tahu. Habis memang bukan
urusan saya, sih!
“Saya
lagi sangat butuh pendamping.” Glek! Apa-apaan ini? Astaga, saya jadi
ngeri. Lalu si tukang ojek mulai nyerocos tentang betapa malang hidupnya:
diselingkuhi sampai tiga kali. Anehnya, masih sempat-sempatnya dia mencoba sell out. Mengaku sudah punya rumah,
usaha sampingan selain ngojek, hingga sudah pernah naik haji.
Dengan kata lain, orang ini... desperate. Saya sendiri juga desperately ingin loncat dari bangku
penumpang motor dan kabur sejauh-jauhnya. Hiiih...!!!
Lalu apa yang saya lakukan? Saya
pura-pura mengecek HP, lalu berujar pada si tukang ojek:
“Maaf,
ternyata saya sudah ditunggu tunangan saya dan orang tuanya di tempat lain.”
Saya bohong. Terpaksa, sih. Buru-buru saya menyebutkan mall terdekat dan memintanya menurunkan saya di sana. Reaksi si
tukang ojek? Tentu saja bete, sampai-sampai tega menaikkan tarif dari tujuan
semula – kali ini dengan alasan basi: jauh.
Ceritanya balas dendam karena lamaran ditolak. (Lagipula siapa juga dia?
Kenal saja tidak!)
Berhubung ingin segera menyingkirkan
si tukang ojek desperate dari hadapan
saya, terpaksalah saya membayar sesuai tuntutannya. Eehh, masih juga dia usaha!
“Terima
kasih, sayang.”
Apa?
Hueekk! Larilah saya ke dalam mall, berhubung ingat bahwa kakak saya
dan keluarganya kebetulan juga sedang di sana siang itu. Lumayan dapat
tumpangan pulang gratis...
Saya rasa saya bisa mengerti alasan
penumpang – terutama perempuan – memilih layanan Go-jek. Namanya juga pelanggan. Mereka berhak dong, memilih yang
menurut mereka lebih baik, lebih aman dan nyaman. Penumpang selalu diberi helm.
Selain itu, mereka bisa mengadu ke manajemen Go-jek bila ada masalah dengan ojek mereka.
Lha, kalau ojek biasa ngadunya ke
mana dan ke siapa? Yang bisa saya lakukan hanya mengingat-ingat wajah mereka
dan mem-‘blacklist’ mereka.
Karena itulah, menurut saya percuma
juga dengan aksi bullying – termasuk pemukulan
– dari tukang ojek kepada ojek dari Go-jek.
Yang ada malah memperburuk citra tukang ojek biasa itu sendiri. Penumpang
mana sih, yang mau pakai jasa tukang ojek yang kasar?
Lagipula, kalau memang percaya bahwa
Tuhan sudah menetapkan rezeki bagi masing-masing orang, ngapain juga iri sama
rezeki orang lain? Jadikanlah kompetitor sebagai inspirasi dan motivasi untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri, bukannya ancaman atau musuh. Tidak
perlu sentimen kelas sosial segala. Semua orang bisa maju kok, kalau mau
berusaha dan tidak cepat puas dengan yang sudah ada. Sirik sama rezeki orang
lain tidak ada gunanya, apalagi bila tidak ada niat memperbaiki diri sendiri!
R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar