Pernah
aku amat membenci iklan shampo di TV. Menurutku iklan-iklan itu lebay (berlebihan) dan
mendiskriminasikan cewek-cewek yang rambutnya nggak panjang, hitam, dan...ah,
lurus! Kesannya hanya itu yang jadi ciri-ciri mutlak rambut rapi, indah, dan
idaman lawan jenis. Yang lain nggak masuk hitungan. Bah!
Contohnya
aku. Sejak SD, beragam julukan pernah melekat di rambutku yang jauh dari
kriteria iklan shampo. Lebat dan kriwil (meski, alhamdulillah...masih cukup hitam.) Mulai dari si kribo, gimbal, hingga hutan
Amazon berjalan. Menyebalkan! Belum lagi fakta bahwa di rumah pun, aku
minoritas. Nggak ada yang keriting, baik Papa, Mama, kakakku Andhara, hingga
adikku Aldo. Gara-gara itu pula waktu kecil Andhara dan Aldo sempat berkomplot
menggodaku dengan spekulasi, “Jangan-jangan Mama dulu salah ambil bayi di rumah
sakit.” Jahat!
Waktu
itu Mama sampai menengahi, “Nggak mungkinlah. Arina mirip Papa, kok.”
“Mirip
gendutnya!” Aldo langsung cekikikan, lalu kabur begitu kukejar. Sumpah, ingin
kugiling itu bocah sampai jadi martabak kalau perlu! Kan enak, hehe.
Beranjak
kuliah, hanya dua yang belum hilang. Pertama, keritingku. (Ya, iyalah!) Kedua,
rongrongan Andhara yang – entah kenapa – ngebet banget ingin melihatku dengan
rambut lurus. Padahal, yang punya rambut saja nggak ribut!
“Sekaliii
aja, Rin!” pintanya memelas. (Dasar aneh!) “Gue penasaran ama hasilnya.”
Aku
hanya mengangkat sebelah alisku. Bukannya kegiatan dia banyak, daripada
ngurusin rambut adiknya?
“Emang
rambut gue kenapa?” tantangku.
“Nggak
rapi!” balas Andhara ngotot. Tuh, kan. Lagi-lagi...
“Tapi
ini kan, udah disisir!” bantahku nggak mau kalah. Lagipula, nggak banyak
mahasiswi dengan rambut begini. Yah, meski ada yang lumayan kurang kerjaan
dengan menyebutnya arum manis atau sarang tawon. Grrr...
“Nggak
keliatan lagi,” Andhara masih ngotot. “Coba aja sesekali dilurusin. Biar
cantik!”
Jlep!
Rasanya pisau dapur Mama tiba-tiba terbang dan menancap di hatiku dengan
sukses. Hiks, hiks, jahaaat! Mentang-mentang dia jangkung, langsing, berambut
panjang dan lurus, dan lebih banyak disukai cowok-cowok...
---//---
“Nyante
aja lagi, Rin,” saran Joe, salah satu teman kampusku yang jangkung, ramping,
dan hobi berdandan serba hitam. Oh, pangeran gothic dambaan hatiku. “Yang lebih penting tetap kepribadian
bagus.”
“Iya.”
Setyo, temanku yang kurus dan pemikir juga sepakat. “Orang boleh ngomong apa
aja selama lo tetep pede jadi diri sendiri.”
Hah,
jadi aku harus tetap menerima betapa usilnya mulut sesama manusia? Aduh, kapan
mau damai ini dunia?
“Udah,
cuekin aja kakak lo yang kurang kerjaan itu!”
Lain
halnya teman-temanku yang cewek, plus Rinto yang ‘gemulai’.
“Coba
aja, Rin,” saran Chandra si mungil. “Siapa tau lo berhasil.”
“Mungkin
dengan gitu cowok-cowok mulai lebih ngelirik elo.” Maria si penggila cowok
langsung berbinar-binar matanya – persis karakter manga.
Aku
langsung mendelik sebal padanya. Memang kenapa kalau di umur 18 tahun ini aku
masih jomblo? Nggak ada hubungannya sama rambutku, kan?
“Well, it’s a good sign,” kata
Rinto senang. Cowok kerempeng yang hobi pakai kaos ketat itu mengeluarkan
sesuatu dari tasnya. “Gue siap mencatok rambut lo kapan saja dibutuhkan,
setelah lo sukses meluruskan rambut lo.”
Sambil
menyipitkan mata, kuacungkan tinju ke wajah tirusnya.
“Coba
saja kalau berani.”
-----
// -----
Selanjutnya
bisa ditebak.
Entah
apa yang membuatku akhirnya mengalah pada keinginan Andhara. (Aneh memang,
mengingat ini rambutku.) Mungkin karena lama-lama aku gerah juga oleh
rengekannya. Maklum, meski anak sulung, Andhara selalu menuntut agar semua
keinginannya dipenuhi. Kalau tidak, dia pasti ngambek. Payah memang.
“Oke,
tapi hanya sekali ini,” kataku, saat Andhara meyakinkanku bahwa dialah yang
akan membayari biaya ke salon. Selain kuliah, dia juga kerja part-time di salah satu day care centre di Jakarta.
Jadi,
di situlah kami pada Minggu pagi. Mama, Andhara, dan aku di salon bernama Blue 21, langganan Andhara. Entah kapan
kakakku booking janji dengan penata
rambutnya. Pokoknya, aku tinggal melakukan tiga D dan satu M favorit para
pejabat saat rapat: Datang, Diam, dan
Duduk yang Manis. (Kalau bisa pakai satu T, yaitu Tidur.)
Maka,
dimulailah siksaan sehari penuh. Kenapa siksaan? Karena aku bukan cewek
pencinta salon!
Pertama,
mereka mengeramasi rambutku dengan tiga macam cairan dari tiga botol berbeda.
(Mengingat aku amat jarang ke salon, aku hanya bisa menebak dua botol pertama:
shampo dan conditioner. Entah apa isi
botol ketiga. Yang pasti, ada keharuman asing yang memabukkan!)
Lalu,
aku disuruh duduk di depan cermin saat mereka mulai ‘mengerjai’ rambutku. Satu orang menyisir dan menggunting
ujung-ujung helai untuk merapikan rambutku. Ada yang mengoleskan cairan kental
dari botol hitam yang sekilas mirip ramuan dokter gila di film-film sci-fi. Belum lagi rambutku yang
ditarik-tarik dalam rangka ‘membunuh’ keritingku
yang kian membandel.
Puncak
derita, tiap helai rambutku akhirnya ditempeli kertas-kertas aluminium foil. Aku jadi mirip kalkun Thanksgiving sebelum dihidangkan!
Setelah itu, aku hanya tinggal menunggu timer
di meja depanku berbunyi. Aroma rambutku sudah tidak karuan, sukses
membunuh selera makanku. Jadi mau muntah, tapi kutahan-tahan. Malu. Aku hanya
minum banyak-banyak. Sayang, belum saatnya bisa ke kamar mandi!
Siksaan
berakhir pada pukul empat sore. Syukurlah! Segera setelah kertas-kertas aluminimu foil disingkirkan dari
kepalaku, mereka mengeringkan rambutku dengan hair-drier. Huh, bikin panas dan pusing!
Saat
semuanya selesai, kursiku diputar menghadap cermin. Mataku langsung melotot
selebar mata reog.
“Bagus,
kan?” puji Andhara ceria. Dia menyentuh rambutku yang sekarang selurus
rambutnya. Bedanya, rambutku masih sekaku sapu ijuk!
OMG,
banci nyasar darimana yang sekarang balas melototiku dari cermin?!
-----
// -----
“Inget,
pokoknya dua minggu sekali harus di-creambath,”
terang Andhara padaku. “Dua bulan lagi baru balik ke salon untuk ngelurusin
rambut lagi.”
Aduh,
rasanya aku ibarat pasien yang harus kontrol ke dokter lagi karena penyakit
berat. Salah, maksudku rambutku yang jadi ‘pasien’.
Kata orang salonnya, rambut lurusku ini hanya bertahan dua bulan.
Reaksi
teman-teman di kampus beragam. Ada yang memuji (entah sungguhan atau hanya
ingin membesarkan hati.) Banyak yang mencela.
“Ternyata
nggak cocok, Rin,” ujar Maria cuek. “Muka lo jadi keliatan tambah gede.”
“Kenapa
nggak di-bonding skalian aja, sih?” tanya
Chandra penasaran. “Pasti lurusnya tahan lama.”
“Tinggal
dicatok.” Lagi-lagi Rinto mengandalkan senjata favoritnya. Kupelototi dia
hingga cowok kerempeng itu mengkeret.
“Gue
sebenernya nggak mau dilurusin,” kuingatkan mereka. “Kakak gue aja yang iseng
kurang kerjaan.”
“Ooh.”
Yang
paling menyedihkan? Joe menatapku dengan ekspresi aneh. Sorot matanya dingin
dan jutek. Cowok gothic yang
diam-diam sangat kucintai itu tampak menjauh dan enggan bicara denganku. Aku
mengerti. Dia pasti kecewa karena mengira aku minder dengan rambutku dan minder
dengan diri sendiri. Ah, sial.
Tak
lama, kudengar Joe jadian dengan Sally, anak jurusan lain. Sally yang mungil,
tampak pede dengan rambut ikal gelapnya…
Ah,
sialan!!
Mau
menyalahkan Andhara juga konyol. Kalau saja aku lebih punya sikap, mungkin
semua ini tidak akan terjadi.
Tiba-tiba
dua bulan jadi terasa lama sekali. Aku kangen keritingku…
-----
// -----
Kurang
dari sebulan kemudian…
“AAARGH!!!”
“Ada
apa, Rin?” tanya Mama yang langsung tergopoh-gopoh masuk ke kamarku pada Jumat
pagi itu. Di depan cermin, kugertakkan gigiku saat mimpi buruk masih berlanjut
di atas kepalaku.
Rambutku…rusak.
Parah, hingga ke akar-akarnya. Kering, pecah-pecah, dan memerah. Ada pula
beberapa helai yang begitu dilihat lebih dekat tampak bercabang di ujungnya.
Ada juga yang patah begitu tak sengaja tertarik. Iiih…
“Apaan,
sih?” Giliran Andhara yang nyelonong masuk ke kamarku. Begitu melihat rambutku,
komentarnya cuma, “Lha, kan gue udah bilang lo harus rajin creambath ke salon.”
Rasanya
akhir-akhir ini aku lagi sering melototi orang karena kesal. Oh, kakakku yang
sangat tidak peka! Lupakah dia, ide gila siapa ini yang menumbalkan rambutku?
“Nggak
mau tahu,” protesku sambil menunjuk rambut rusakku. Hiks. “Pokoknya ini harus
diperbaiki, entah gimana caranya!”
“Lha,
elo juga yang salah sendiri, gak doyan ke salon.” Andhara malah ngeyel.
“Emang
kenapa?” tukasku tak mau kalah. Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi ingin
menangis. “Emang hanya rambut lurus yang rapi dan cantik? Emang semua cewek
harus rajin ke salon biar dibilang cantik dan feminin? Lagian duit gue juga
nggak sebanyak duit lo!”
“Sudah,
sudah!” Mama langsung menengahi. Pusing juga beliau gara-gara kedua putrinya
yang sama-sama bermulut mercon sudah ribut
pagi-pagi. “Besok kita ke salon lagi biar Arina bisa
potong rambut.”
Andhara
mencibir. “Dasar nggak tahu terima kasih.”
Aku
hanya menjulurkan lidah. Ogah melayani bacotannya lagi. Yee, siapa juga yang
minta?
-----
// -----
Akhirnya,
kami bertiga kembali ke salon yang sama, kali ini untuk potong rambut. Kali ini
aku yang member instruksi singkat pada piƱata rambutnya untuk membuang
helai-helai yang rusak. Masalahnya, berhubung rambutku (terlalu) banyak yang
rusak, hasil akhirnya benar-benar mencengangkan semua orang. Nyaris habis. Cuma
tersisa tiga senti dari kepala. Sekarang aku mirip tentara Amrik yang siap
dikirim ke Afghanistan.
“Mama!”
jerit Andhara. “Coba, lihat rambut Arina, Ma!”
Nah,
lho. Salah lagi…
-----
// -----
Kali
ini, potongan rambut super pendekku berbuah cemoohan keluarga sendiri. (Hiks,
hiks.) Serumah mendiamkanku sehari penuh, seolah-olah aku sengaja bikin heboh.
Apalagi, kebetulan malam itu ada pernikahan sepupuku, dimana aku harus memakai
kebaya. Jadilah aku perempuan Jawa yang jauh dari istilah cah ayu, alias berkelapa bondol.
“Loh,
Arina kenapa, tho?” tanya tante-tanteku takjub plus ngeri. Aku hanya nyengir
pasrah, sementara Papa dan Mama menjelaskan dengan wajah malu.
Saat
ke kampus,kupakai topi fedora biru gelapku. Senin sore itu, sebagian besar
teman sekelasku sudah memenuhi ruangan – menanti dosen. Kebanyakan tengah asyik
bercakap-cakap, menekuri buku atau BlackBerry,
menulis, hingga yang hanya bengong atau malah tidur.
Baguslah, pikirku lega.
Kupilih barisan agak di belakang, lalu meletakkan tas di meja dan membuka
topiku. Udaranya juga lagi panas.
“Arina?”
Ups, ternyata ada juga yang ngeh. Sial, udah kepalang buka topi! Seisi kelas
sekarang tengah menatapku dengan beragam ekspresi. Mayoritas terperanjat,
dengan mata melotot atau mulut melongo. Sisanya bingung sekaligus geli.
“Kenapa
rambut lo, Rin?” tanya Hari si ketua angkatan. Cowok berkaca mata yang selalu
tampak rapi jali itu juga kelihatan geli. Kupakai topiku kembali sambil
cemberut.
“Salah
potong,” jawabku singkat. “Gue sekarang terpaksa pake topi selama dua minggu ke
depan.”
“Tenang,
ntar tumbuh lagi, kan?”
Pastinya.
Sama
seperti sebelumnya di kelas, reaksi teman-teman nongkrongku beragam.
(Ngomong-ngomong, kuputuskan untuk tidak lagi terlalu memikirkan Joe.
Memikirkan cowok yang jelas-jelas sudah jadi milik orang lain sama dengan sudi
jadi calon pasien RSJ. Setuju, nggak?) Seperti biasa, komentar dan reaksi Rinto
paling lain daripada yang lain. Sore itu, dia memasang ekspresi tragis sambil menyentuh
rambut (super) cepakku dengan ekstra hati-hati, seolah-olah duri landak yang
lagi pada berdiri.
“Rin,
lo…nggak lagi depresi, kan?” tanyanya dengan gaya sok dramatis. Duh, lebay.
“Iya,
gue emang lagi depresi,” jawabku seketika dengan jutek. Begitu mukanya kaget
betulan,kutambahkan, “Rambut gue rusak total dan harus banyak yang dibuang.
Cukup bikin depresi, kan?”
“Oooh.”
Dasar.
Komentar Andre, teman Rinto yang tak kalah ‘melambai’
juga luar biasa.
“Keren
juga, kok. Persis Kimmy Jayanti, pujinya yang sempat bikin aku tersipu-sipu.
(Iyalah, kapan lagi dibandingin sama supermodel?) Tapi,lanjutannya begini: “Eh,
gue punya kenalan cewek yang masih single.
Cantik lagi. Mau?”
Dan
keduanya ngacir sebelum sepasang sepatuku sukses mendarat di atas kepala
masing-masing. Sialan, emangnya aku lesbi?!
-----
// -----
Dua
bulan berikutnya, berakhirlah my bad hair
days. Rambutku sudah kembali panjang dan ikal. Yah, meski warnanya belum
kembali sehitam dulu. Maklum, masih kecoklatan akibat sisa zat kimia pelurus
rambut.
Sekarang
aku sudah tidak peduli lagi dengan gembar-gembor iklan shampo. Mungkin
produsennya hanya peduli pada konsumen berambut lurus. Terus kenapa? Rambutku
memang sudah asli begini. Kenapa harus diubah? Gila. Yang penting sehat dan
memakai shampo yang tepat (untuk perawatan, bukan pelurusan rambut!)
Dan
yang penting juga pede. Memang, kalau napsu dan ego mau dituruti terus, manusia
takkan pernah bisa puas. Yang keriting mau dilurusin, yang lurus mau
sebaliknya.
Namun,
entah kenapa, Andhara belum kapok juga dengan usahanya me-make over adiknya dengan cara-cara yang masih ‘ajaib’.
“Rin,
ada salon baru lagi. Buka di Wijaya juga.”
“Nggak.”
“Coba
aja dulu, Rin. Siapa tau kali ini berhasil.”
“Nggak
mau.”
“Rin…”
“Pokoknya
enggaaak!!”
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar