Rabu, 09 April 2014

"BUKAN CINDERELLA"



Aku bukan Cinderella.
Hanya malam itu aku berbeda,
meski takkan mendekati miripnya putri raja.
Aku hanya tampak demikian demi sesuatu yang istimewa.

Aku bukan Cinderella.
Bolehlah, malam itu aku beristirahat sementara,
sesaat dari realita.
Kurasa tidak apa-apa.

Aku bukan Cinderella.
Tidak, kurasa aku sudah terlalu dewasa.
Malam itu cukup tepat untuk pura-pura
pelarian sementara sebagai pelipur lara
sesaat dalam bahagia...

R.

(Jakarta, 3 Maret 2014)

"DI BALIK KOTAK SUARA"



“Aku milih ini. Kamu yang mana?”
            “Aku nggak mau milih yang itu. Nggak oke!”
            “Haah, kamu milih ini? Nggak salah, tuh?”
            “Aku nggak mau milih. Banyak yang gak jelas gitu.”
            Kerap mendengar percakapan di atas tiap mau milih sesuatu – atau seseorang? Itu biasa. Entah saat ajang berburu diskon di pusat perbelanjaan bareng teman (biasanya buat yang perempuan) – atau saat...yah, memilih seseorang sebagai pemimpin. Entah ketua kelas, ketua OSIS, kepala RT/RW, gubernur, bupati, hingga presiden. (Banyak, ya? Memang!)
            Entah kenapa, sepertinya dari dulu sudah lazim bagi masyarakat kita untuk ‘kepo’ (entah sekedar basa-basi alias mau tahu aja, hingga yang beneran mau tahu banget!) Semua pasti ditanya, mulai dari soal makan apa, kerjaan, pilihan pacar, hingga alasan di balik semua pilihan. Nggak apa-apa, sih. Nggak ada yang salah, asal semua masih dalam porsi yang wajar.
            Selama perbedaan diakui dan dihargai, bukan jadi ajang berkelahi dan caci-maki. (Jiahh, bahasanya!)
            Seorang teman ekspat yang sudah belasan tahun tinggal di Jakarta pernah berdiskusi dengan saya tentang pemilu. Menurutnya, aneh bila banyak orang yang blak-blakan soal caleg yang mereka pilih – hingga apakah mereka beneran ikut milih atau ‘golput’ (golongan putih, alias nggak ikut milih.)
            “Trus, apa gunanya kita ngumpet di balik kotak saat nyoblos, kalo buntutnya cerita-cerita?”
            Iya juga, sih. Bukan rahasia lagi namanya, kalau akhirnya diberitahukan kepada dunia. (Terutama lewat media sosial.)
            Terserah sih, bagi yang mau cerita-cerita. Saya nggak melarang. Itu hak Anda. Namun, jangan heran kalau masih banyak orang yang memilih membagi rahasianya cukup dengan Tuhan saja. Alasannya sudah jelas:
            Pertama, itu hak mereka. Emang semuanya harus diceritain? Kedua, banyak resiko bila mereka buka mulut. Mulai dari dihakimi dengan komentar “Iih, kok milih dia, sih?” hingga akhirnya jadi perdebatan yang lebih banyak bikin pusing. (Kalau pun Anda menganggap pilihan mereka ‘aneh’, sudahlah. Toh, mungkin saja mereka juga berpendapat sama tentang pilihan Anda.)
            Apalagi buat yang terang-terangan mengaku ‘golput’. Bisa dimengerti bila ada yang sudah amat apatis dengan kondisi negeri ini. Mungkin sudah terlalu sulit bagi mereka untuk percaya lagi. Ibarat korban patah hati berkali-kali yang pada akhirnya enggan pacaran lagi.
            Banyak yang takut salah pilih dan akhirnya menyesal setengah-mati. (Padahal, yang salah bukan mereka – tapi kandidat pilihan yang nggak tahu diri sudah dipilih dan malah ingkar janji!)
            Bukan kabar baru lagi kalau ‘golput’ punya resiko lainnya. Selain suara Anda bisa ‘dicuri’ oleh pihak-pihak yang senang aji mumpung, yang milih ‘golput’ juga tidak punya hak untuk protes saat pemimpin berikutnya bikin kacau negara. Kesal sih, tapi Anda ‘kan sudah nggak ikut milih.
            Jadi, bagaimana? Sudah milih atau masih nggak mau juga? Lagi-lagi terserah Anda, seperti biasa.
            Semoga negara ini dapat berkembang ke arah yang lebih baik. Kedengarannya memang klise, tapi masih boleh kan, berharap? Harus malah!

            R.

            (Jakarta, 6 April 2014)


Selasa, 01 April 2014

"INSOMNIA 2"

Dia masih terlelap dengan mata terbuka,
lagi-lagi masih dengan alasan serupa.
Dari lelah hingga muak luar biasa.
Dia enggan terus mengalaminya.

Dia masih terlelap dengan mata terbuka.
Sial, mengapa harus begini adanya?
Tak ingin lagi kelam bersemayam di benaknya,
bagai langit malam di luar sana.

“Tidurlah!
Kau sudah jauh lebih dari sekedar lelah.”

“Aku harus berusaha,”
katanya, pasrah jua.
“Tak hanya dengan doa-doa.
Ini harus jadi akhir keberadaannya di ruang jiwa.
Tolong, Tuhan – bantu aku berhenti merindukannya!”

R.


(Jakarta, 28 Februari 2014)