“Aku milih ini. Kamu yang mana?”
“Aku
nggak mau milih yang itu. Nggak oke!”
“Haah,
kamu milih ini? Nggak salah, tuh?”
“Aku
nggak mau milih. Banyak yang gak jelas gitu.”
Kerap
mendengar percakapan di atas tiap mau milih sesuatu – atau seseorang? Itu
biasa. Entah saat ajang berburu diskon di pusat perbelanjaan bareng teman
(biasanya buat yang perempuan) – atau saat...yah, memilih seseorang sebagai
pemimpin. Entah ketua kelas, ketua OSIS, kepala RT/RW, gubernur, bupati, hingga
presiden. (Banyak, ya? Memang!)
Entah kenapa, sepertinya dari dulu
sudah lazim bagi masyarakat kita untuk ‘kepo’
(entah sekedar basa-basi alias mau tahu aja, hingga yang beneran mau tahu
banget!) Semua pasti ditanya, mulai dari soal makan apa, kerjaan, pilihan pacar,
hingga alasan di balik semua pilihan. Nggak apa-apa, sih. Nggak ada yang salah,
asal semua masih dalam porsi yang wajar.
Selama perbedaan diakui dan
dihargai, bukan jadi ajang berkelahi dan caci-maki. (Jiahh, bahasanya!)
Seorang teman ekspat yang sudah
belasan tahun tinggal di Jakarta pernah berdiskusi dengan saya tentang pemilu.
Menurutnya, aneh bila banyak orang yang blak-blakan soal caleg yang mereka
pilih – hingga apakah mereka beneran ikut milih atau ‘golput’ (golongan putih, alias nggak ikut milih.)
“Trus,
apa gunanya kita ngumpet di balik kotak saat nyoblos, kalo buntutnya
cerita-cerita?”
Iya
juga, sih. Bukan rahasia lagi namanya, kalau akhirnya diberitahukan kepada
dunia. (Terutama lewat media sosial.)
Terserah sih, bagi yang mau cerita-cerita.
Saya nggak melarang. Itu hak Anda. Namun, jangan heran kalau masih banyak orang
yang memilih membagi rahasianya cukup dengan Tuhan saja. Alasannya sudah jelas:
Pertama, itu hak mereka. Emang
semuanya harus diceritain? Kedua, banyak resiko bila mereka buka mulut. Mulai
dari dihakimi dengan komentar “Iih, kok
milih dia, sih?” hingga akhirnya jadi perdebatan yang lebih banyak bikin
pusing. (Kalau pun Anda menganggap pilihan mereka ‘aneh’, sudahlah. Toh, mungkin saja mereka juga berpendapat sama
tentang pilihan Anda.)
Apalagi buat yang terang-terangan
mengaku ‘golput’. Bisa dimengerti
bila ada yang sudah amat apatis dengan kondisi negeri ini. Mungkin sudah
terlalu sulit bagi mereka untuk percaya lagi. Ibarat korban patah hati
berkali-kali yang pada akhirnya enggan pacaran lagi.
Banyak yang takut salah pilih dan
akhirnya menyesal setengah-mati. (Padahal, yang salah bukan mereka – tapi
kandidat pilihan yang nggak tahu diri sudah dipilih dan malah ingkar janji!)
Bukan kabar baru lagi kalau ‘golput’ punya resiko lainnya. Selain
suara Anda bisa ‘dicuri’ oleh
pihak-pihak yang senang aji mumpung, yang milih ‘golput’ juga tidak punya hak untuk protes saat pemimpin berikutnya
bikin kacau negara. Kesal sih, tapi Anda ‘kan sudah nggak ikut milih.
Jadi, bagaimana? Sudah milih atau
masih nggak mau juga? Lagi-lagi terserah Anda, seperti biasa.
Semoga negara ini dapat berkembang
ke arah yang lebih baik. Kedengarannya memang klise, tapi masih boleh kan,
berharap? Harus malah!
R.
(Jakarta, 6 April 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar