Senin, 27 Oktober 2014

JUDUL : "CINTA DATANG TERLAMBAT"

Entah siapa atau apa yang harus kusalahkan. Mungkin tidak ada. Dua tahun kita bekerjasama dan saling mengenal, baru kali ini rasa itu datang. Rasa yang datang terlambat.

Rasa cinta...

Mengapa terlambat? Sederhana saja: rasa cinta ini baru muncul saat sebentar lagi kau akan pergi. Ya, kau yang telah lama lelah dan muak dengan hiruk-pikuk ibukota ini. Macetnya, banjirnya, hingga polusinya yang sempat membuatmu terserang radang tenggorokan parah. Celakanya, saat kau pulang ke negaramu dan berobat ke dokter di sana, dokter itu sampai menyuruhmu berhenti merokok.

Padahal, kita berdua tahu bahwa kau tidak pernah merokok. Tidak seperti almarhum ayahku yang kemudian berakhir menutup usianya akibat stroke. Kau salah satu orang tersehat yang pernah kukenal, bahkan jauh lebih sehat dariku. Sudah tak terhitung berapa kali kau menggantikanku di tempat kerja, bahkan sebelum aku memintanya. Katamu aku tak perlu merasa bersalah karena telah merepotkanmu.

Kurasa aku tidak berlebihan bukan, bila kusebut kau sebagai pahlawanku?

Terus terang, saat kau memberitahuku mengenai keinginanmu untuk pindah kerja ke Pulau Dewata mulai akhir tahun ini, aku gamang. Setelah itu, aku sempat menangis di kamarku malam itu hingga jatuh tertidur. Butuh waktu cukup lama untuk menyadari sesuatu:

Aku tidak ingin kehilanganmu...

“Main-main ya, ke Bali,” ajakmu waktu itu. Meski kuiyakan, kusadari bahwa semuanya akan berbeda nantinya. Tak ada lagi acara meminjam buku-buku darimu, membahas penulis-penulis favorit kita, hingga diam-diam menikmati pesona mata biru dan senyum hangatmu. Ah, begitu cepatnya waktu berlalu...

“Kau harus memberitahunya mengenai perasaanmu.” Begitu saran para sahabatku. Jujur, aku takut. Takut sekali. Aku begitu menghormatimu hingga khawatir kau akan menertawakanku...atau menganggapku terlalu agresif dan mengerikan. Namun, mereka tak henti menyemangatiku.

“Yang penting dia tahu dulu,” kata mereka. “Perkara dia merasakan yang sama atau tidak, itu urusan belakangan.”

Ah, sudahlah. Daripada aku mati penasaran, lebih baik kucoba. Karena masih tidak berani mengatakannya langsung di hadapanmu, kutinggalkan surat itu di mejamu. Andai kau menolakku, semoga kau tidak melakukannya di depan orang lain – atau bahkan dengan kasar hingga aku malu.

Tak lama, tiba juga saat itu. Malam itu, kita berjalan bersama, karena tujuan pulang kita searah. Kau tidak keberatan mengantarku duluan.

“Aku sudah baca.” Deg! Jantungku berdebar-debar keras, namun kau hanya tersenyum hangat padaku saat berkata:”Terima kasih, ya.”

“Oke.”

“Tapi maaf, aku lagi nggak mikirin itu.”

“Nggak apa-apa.” Aku balas tersenyum, meski ada segores pedih di hatiku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Kita harus realistis.


Tak semua mampu menjalani hubungan jarak jauh...


Sabtu, 25 Oktober 2014

"KANGEN"

Lagi-lagi aku merindukanmu,
wahai pemilik mata biru.
Senangkah kau sekarang di sana?
Legakah rasanya?

Dalam sunyi aku berdoa
semoga kau selalu bahagia.
Bertahap kuterima realita ini,
masih belajar merelakanmu pergi.

Ah, aku harus berhenti merasa sedih.
Toh, kita bukan sepasang kekasih
meski rasa ini begitu nyata
enggan mati, amat keras kepala.

Lagi-lagi ada yang tercipta
puisi yang lahir dari hampa.
Di sini, kerap kuhitung hari
sembari berharap, waktu segera membunuh rasa cinta di hati ini...

R.
(Jakarta, 25 Oktober 2014)

Jumat, 24 Oktober 2014

"DATANGLAH PADAKU!"

Datang, datanglah padaku!
Akan kujemput dirimu,
meski jarak begitu jauh.

Datang, datanglah padaku!
Dengan sabar kau kutunggu.
Aku janji takkan mengeluh.

Datang, datanglah padaku!
Kali ini kau tak lagi ragu.
Di tanah ini, kau tanam cinta yang kian tumbuh.

Datang, datanglah padaku!
Semoga kali ini tiada yang semu,
harapan kosong yang dapat membuat kita jatuh.

Datang, datanglah padaku!
Wahai, harapan baru...

R.
(Jakarta, 24 Oktober 2014)

Senin, 20 Oktober 2014

"MENGAPA SAYA TAK INGIN JADI PUTRI TIDUR..."

Saya tak pernah bermimpi
 menjadi seorang putri raja.
 Mau tahu kenapa? Saya terlalu gagah perkasa!
 Saya juga ogak kehilangan hari-hari
 sesuram bulan maupun secerah mentari
 di atas kasur apak yang tahunan tak tercuci. (Hiii!)

 Kelopak mata ini 'kan memberat.
 Jiwa ini bisa tua dan sekarat.
 Otak pun berkarat.
 Mental tak lagi kuat.

 Saya tak mau menunggu pangeran.
 Buat apa? Percuma!
 Buang-buang waktu saja!
 Saat ini, saya tidak butuh ciuman
 tapi tamparan dan tendangan
 supaya saya sadar
 sebelum penonton bosan dan keburu bubar.
 Tolong, bangunkan saya!
R.
(Jakarta, 26 April 2014)

"TRAGEDI BONEKA..."

Aku hanya ingin meminjam bonekanya sebentar. Seharusnya Dina nggak boleh pelit. Ibu hanya bisa ngasih satu, itu pun hasil dari berburu di Bantar Gebang – sembari mengumpulkan plastik untuk daur ulang. Boneka itu lalu dicuci di sungai sebelum diberikan pada kami.

Namun, Dina egois. Dia sama sekali nggak mau aku menyentuh boneka itu. Malam itu, Ibu lagi menerima tamu-tamu langganannya di rumah Mamah Eka. Aku dan Dina ditinggal berdua di rumah.

“Sini! Itu punyaku.” Kali ini, entah kenapa, aku bosan mengalah. Setelah tarik-tarikan boneka, dengan marah kudorong Dina hingga jatuh keluar jendela...dan kecebur sungai. Arusnya lagi deras.


Dina nggak bisa berenang...


Sabtu, 11 Oktober 2014

"CINTA DAN LUKA DI KASTIL SUNYI"

Aku mencintai kalian,
meski kalian kerap membuatku gila.
Kalian berkah sekaligus cobaan.
Mungkin aku sendiri juga sama.

Terlalu lama aku diam.
Terlalu lihai kalian berpura-pura.
Terlalu banyak yang dipendam.
Tolong, jangan bilang tidak ada apa-apa!

Di balik senyum, kita ibarat bom waktu berjalan.
Anggap saja (hanya) aku yang sakit jiwa.
Sandiwara ini mau sampai kapan?
Bangunlah, sebelum kita semua terlalu parah terluka.

Kita tak pernah benar-benar bicara.
Masalah yang nyata kita biarkan terbenam.
Kita hanya bertukar kabar sekenanya,
tanpa sudi mengenali bahaya yang mengancam.

Ah, cinta...
Mungkin aku terlalu kejam.
Betapa sulitnya untuk tidak membuat kalian terluka,
saat kukatakan bahwa mungkin kalian juga
penyebab jiwa ini menjadi kelam...

R.
(Jakarta, 9 Oktober 2014)

Rabu, 08 Oktober 2014

"ATAS NAMA CINTA"

“Tolong, Oom. Saya hanya pengen ketemu Vanya. Sebentar saja.”

Lelaki tua di hadapan Andre itu tidak bergeming. Matanya menyorot dingin, memicing. Sia-sia Andre berusaha membujuknya; keputusan Pak Victor sudah bulat. Beliau sama sekali tidak merestui hubungan Andre dengan putri semata wayangnya, Vanya. Alasannya klasik: perbedaan kelas sosial. Apalagi Vanya sebentar lagi akan dijodohkan dengan Alan, lelaki pilihan sang ayah yang putra tunggal sahabatnya yang pengusaha kaya. (Siapa sih, yang tidak mau?)

Di kamar, Vanya mendengar percakapan pendek itu dengan muka cemberut. Iiih, Ayah! Memangnya masih zaman Siti Nurbaya, dimana anak perempuan harus diam, manut menerima perjodohan paksa? Enak saja! Alasannya demi masa depan Vanya yang (katanya) bakalan ‘lebih cerah’. Idih, males! Padahal, Andre baik. Meski ayahnya tidak punya sepuluh mobil seperti ayah Alan (padahal, konyol – mengingat Jakarta macetnya sudah dalam taraf bisa bikin orang sakit jiwa!), Andre bukan pemalas – alias pekerja keras. Siapa tahu nantinya dia juga bisa sukses dan kaya, mungkin bahkan bisa jauh lebih kaya dari Alan yang bisanya cuma bermalas-malasan dan menyuruh-nyuruh semua orang seenaknya – mentang-mentang bapaknya orang kaya! Beda gitu, antara dia yang beneran kaya sama yang hanya numpang kekayaan orang tua.

Namun, semua cara sudah ditempuhnya. Dari menolak baik-baik, marah-marah, hingga aksi tutup mulut. Ayahnya sekeras batu, tidak pernah mau mendengar. Dipikir Vanya nggak bisa berpikir sendiri apa? Kan perempuan juga berhak memilih calon pendamping hidup sendiri!

Akhirnya, Vanya memilih cara paling drastis – yang diharapkan dapat mengubah pikiran ayahnya dan...bikin Alan dan keluarganya ilfil setengah-mati.

Pada jamuan makan malam berikutnya, Vanya dipanggil turun ke meja makan. Alangkah shock-nya semua orang saat mendapati gadis itu gundul. Ya, gundul. Kesal karena selama ini tidak pernah didengarkan, akhirnya Vanya nekat mencukur habis rambut ikalnya yang indah. Memang, ayahnya sukses muntab sampai mukanya pucat-pasi. Alan dan keluarganya langsung ilfil setengah-mati.

Sejak saat itu, Alan dan keluarganya tak pernah datang lagi. Ayahnya mendiamkan Vanya, tapi gadis itu tak peduli. Baru setelah ibu melerai mereka berdua, ayahnya akhirnya mau minta maaf dan mulai lebih mendengarkan permintaan putri semata wayangnya.

Bagaimana dengan Andre? Meski sempat ikutan shock saat melihat ulah kekasihnya, pemuda itu akhirnya tertawa.


“Nggak apa-apa, sayang,” katanya santai. Dibelainya kepala botak Vanya yang mulai kembali ditumbuhi rambut, meski masih sedikit-sedikit. “Toh nanti juga tumbuh lagi!”

"OSCAR"

“Maafkan aku.”

Kutatap Toby, sosok jangkung dan tampan di hadapanku, tanpa berkedip. Wajah tampannya tampak penuh penyesalan. Bahkan, bibirnya tampak bergetar sedikit – pertanda dia berusaha keras agar tidak menangis.

“Tamara, sumpah,” ucapnya lagi berkeras. “Aku sama sekali nggak tahu. Selama ini kukira dia mencintaiku.”

“Sama,” lanjutku, kali ini berusaha tenang. Maklum, di antara kami berdua, akulah yang paling tenang dan tidak mudah emosian – berlawanan dengan anggapan umum orang yang cenderung seksis tentang perempuan. Tapi...ah, mereka tahu apa, sih?

Berdua kami menatap sosok tampan lainnya yang kini terkapar tak bergerak di tanah. Darah telah mengering di kepalanya.

“Kukira Oscar juga mencintaiku,” ujarku pelan, seraya mengangkat bahu. Teringat bujuk-rayu lelaki itu yang sempat membuatku terlena – yang ternyata juga dia lampiaskan pada Toby, sahabatku. Aku bergidik oleh perasaan jijik.

“Mungkin dia sebenarnya mencintai kita berdua,” duga Toby. “Dia hanya tidak bisa memilih salah satu.”

“Atau mungkin, dia memang tidak mau memilih,” tukasku dingin. “Dia tidak ingin kehilangan kita berdua. Dasar buaya darat.”

Hening sesaat. Setelah kulempar pentungan yang penuh darah kering Oscar itu ke danau di samping kami, kugandeng Toby dan kami berdua pun pergi dari situ – meninggalkan jenazah Oscar di sana malam itu.

“Ah, sudahlah,” bujukku cuek. “Kita akan menemukan gantinya.”

“Iya.”

“Kalo lagi-lagi buaya darat, kita tahu harus berbuat apa.”

“Betul.”

Kami berdua pun tertawa. Sepasang sahabat yang kembali berdamai.