Rabu, 08 Oktober 2014

"OSCAR"

“Maafkan aku.”

Kutatap Toby, sosok jangkung dan tampan di hadapanku, tanpa berkedip. Wajah tampannya tampak penuh penyesalan. Bahkan, bibirnya tampak bergetar sedikit – pertanda dia berusaha keras agar tidak menangis.

“Tamara, sumpah,” ucapnya lagi berkeras. “Aku sama sekali nggak tahu. Selama ini kukira dia mencintaiku.”

“Sama,” lanjutku, kali ini berusaha tenang. Maklum, di antara kami berdua, akulah yang paling tenang dan tidak mudah emosian – berlawanan dengan anggapan umum orang yang cenderung seksis tentang perempuan. Tapi...ah, mereka tahu apa, sih?

Berdua kami menatap sosok tampan lainnya yang kini terkapar tak bergerak di tanah. Darah telah mengering di kepalanya.

“Kukira Oscar juga mencintaiku,” ujarku pelan, seraya mengangkat bahu. Teringat bujuk-rayu lelaki itu yang sempat membuatku terlena – yang ternyata juga dia lampiaskan pada Toby, sahabatku. Aku bergidik oleh perasaan jijik.

“Mungkin dia sebenarnya mencintai kita berdua,” duga Toby. “Dia hanya tidak bisa memilih salah satu.”

“Atau mungkin, dia memang tidak mau memilih,” tukasku dingin. “Dia tidak ingin kehilangan kita berdua. Dasar buaya darat.”

Hening sesaat. Setelah kulempar pentungan yang penuh darah kering Oscar itu ke danau di samping kami, kugandeng Toby dan kami berdua pun pergi dari situ – meninggalkan jenazah Oscar di sana malam itu.

“Ah, sudahlah,” bujukku cuek. “Kita akan menemukan gantinya.”

“Iya.”

“Kalo lagi-lagi buaya darat, kita tahu harus berbuat apa.”

“Betul.”

Kami berdua pun tertawa. Sepasang sahabat yang kembali berdamai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar