“Maafkan aku.”
Kutatap Toby, sosok jangkung dan tampan di hadapanku, tanpa
berkedip. Wajah tampannya tampak penuh penyesalan. Bahkan, bibirnya tampak
bergetar sedikit – pertanda dia berusaha keras agar tidak menangis.
“Tamara, sumpah,” ucapnya lagi berkeras. “Aku sama sekali
nggak tahu. Selama ini kukira dia mencintaiku.”
“Sama,” lanjutku, kali ini berusaha tenang. Maklum, di antara
kami berdua, akulah yang paling tenang dan tidak mudah emosian – berlawanan dengan
anggapan umum orang yang cenderung seksis tentang perempuan. Tapi...ah, mereka
tahu apa, sih?
Berdua kami menatap sosok tampan lainnya yang kini terkapar
tak bergerak di tanah. Darah telah mengering di kepalanya.
“Kukira Oscar juga mencintaiku,” ujarku pelan, seraya
mengangkat bahu. Teringat bujuk-rayu lelaki itu yang sempat membuatku terlena –
yang ternyata juga dia lampiaskan pada Toby, sahabatku. Aku bergidik oleh
perasaan jijik.
“Mungkin dia sebenarnya mencintai kita berdua,” duga Toby. “Dia
hanya tidak bisa memilih salah satu.”
“Atau mungkin, dia memang tidak mau memilih,” tukasku dingin.
“Dia tidak ingin kehilangan kita berdua. Dasar buaya darat.”
Hening sesaat. Setelah kulempar pentungan yang penuh darah
kering Oscar itu ke danau di samping kami, kugandeng Toby dan kami berdua pun
pergi dari situ – meninggalkan jenazah Oscar di sana malam itu.
“Ah, sudahlah,” bujukku cuek. “Kita akan menemukan gantinya.”
“Iya.”
“Kalo lagi-lagi buaya darat, kita tahu harus berbuat apa.”
“Betul.”
Kami berdua pun tertawa. Sepasang sahabat yang kembali
berdamai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar