“Tolong, Oom. Saya hanya pengen ketemu Vanya. Sebentar saja.”
Lelaki tua di hadapan Andre itu tidak bergeming. Matanya
menyorot dingin, memicing. Sia-sia Andre berusaha membujuknya; keputusan Pak
Victor sudah bulat. Beliau sama sekali tidak merestui hubungan Andre dengan
putri semata wayangnya, Vanya. Alasannya klasik: perbedaan kelas sosial.
Apalagi Vanya sebentar lagi akan dijodohkan dengan Alan, lelaki pilihan sang
ayah yang putra tunggal sahabatnya yang pengusaha kaya. (Siapa sih, yang tidak
mau?)
Di kamar, Vanya mendengar percakapan pendek itu dengan muka
cemberut. Iiih, Ayah! Memangnya masih zaman Siti Nurbaya, dimana anak perempuan
harus diam, manut menerima perjodohan paksa? Enak saja! Alasannya demi masa
depan Vanya yang (katanya) bakalan ‘lebih cerah’. Idih, males! Padahal, Andre
baik. Meski ayahnya tidak punya sepuluh mobil seperti ayah Alan (padahal,
konyol – mengingat Jakarta macetnya sudah dalam taraf bisa bikin orang sakit
jiwa!), Andre bukan pemalas – alias pekerja keras. Siapa tahu nantinya dia juga
bisa sukses dan kaya, mungkin bahkan bisa jauh lebih kaya dari Alan yang
bisanya cuma bermalas-malasan dan menyuruh-nyuruh semua orang seenaknya –
mentang-mentang bapaknya orang kaya! Beda gitu, antara dia yang beneran kaya
sama yang hanya numpang kekayaan orang tua.
Namun, semua cara sudah ditempuhnya. Dari menolak baik-baik,
marah-marah, hingga aksi tutup mulut. Ayahnya sekeras batu, tidak pernah mau
mendengar. Dipikir Vanya nggak bisa berpikir sendiri apa? Kan perempuan juga
berhak memilih calon pendamping hidup sendiri!
Akhirnya, Vanya memilih cara paling drastis – yang diharapkan
dapat mengubah pikiran ayahnya dan...bikin Alan dan keluarganya ilfil
setengah-mati.
Pada jamuan makan malam berikutnya, Vanya dipanggil turun ke
meja makan. Alangkah shock-nya semua orang saat mendapati gadis itu gundul. Ya,
gundul. Kesal karena selama ini tidak pernah didengarkan, akhirnya Vanya nekat
mencukur habis rambut ikalnya yang indah. Memang, ayahnya sukses muntab sampai
mukanya pucat-pasi. Alan dan keluarganya langsung ilfil setengah-mati.
Sejak saat itu, Alan dan keluarganya tak pernah datang lagi.
Ayahnya mendiamkan Vanya, tapi gadis itu tak peduli. Baru setelah ibu melerai
mereka berdua, ayahnya akhirnya mau minta maaf dan mulai lebih mendengarkan
permintaan putri semata wayangnya.
Bagaimana dengan Andre? Meski sempat ikutan shock saat
melihat ulah kekasihnya, pemuda itu akhirnya tertawa.
“Nggak apa-apa, sayang,” katanya santai. Dibelainya kepala
botak Vanya yang mulai kembali ditumbuhi rambut, meski masih sedikit-sedikit. “Toh
nanti juga tumbuh lagi!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar