Rabu, 08 Oktober 2014

"ATAS NAMA CINTA"

“Tolong, Oom. Saya hanya pengen ketemu Vanya. Sebentar saja.”

Lelaki tua di hadapan Andre itu tidak bergeming. Matanya menyorot dingin, memicing. Sia-sia Andre berusaha membujuknya; keputusan Pak Victor sudah bulat. Beliau sama sekali tidak merestui hubungan Andre dengan putri semata wayangnya, Vanya. Alasannya klasik: perbedaan kelas sosial. Apalagi Vanya sebentar lagi akan dijodohkan dengan Alan, lelaki pilihan sang ayah yang putra tunggal sahabatnya yang pengusaha kaya. (Siapa sih, yang tidak mau?)

Di kamar, Vanya mendengar percakapan pendek itu dengan muka cemberut. Iiih, Ayah! Memangnya masih zaman Siti Nurbaya, dimana anak perempuan harus diam, manut menerima perjodohan paksa? Enak saja! Alasannya demi masa depan Vanya yang (katanya) bakalan ‘lebih cerah’. Idih, males! Padahal, Andre baik. Meski ayahnya tidak punya sepuluh mobil seperti ayah Alan (padahal, konyol – mengingat Jakarta macetnya sudah dalam taraf bisa bikin orang sakit jiwa!), Andre bukan pemalas – alias pekerja keras. Siapa tahu nantinya dia juga bisa sukses dan kaya, mungkin bahkan bisa jauh lebih kaya dari Alan yang bisanya cuma bermalas-malasan dan menyuruh-nyuruh semua orang seenaknya – mentang-mentang bapaknya orang kaya! Beda gitu, antara dia yang beneran kaya sama yang hanya numpang kekayaan orang tua.

Namun, semua cara sudah ditempuhnya. Dari menolak baik-baik, marah-marah, hingga aksi tutup mulut. Ayahnya sekeras batu, tidak pernah mau mendengar. Dipikir Vanya nggak bisa berpikir sendiri apa? Kan perempuan juga berhak memilih calon pendamping hidup sendiri!

Akhirnya, Vanya memilih cara paling drastis – yang diharapkan dapat mengubah pikiran ayahnya dan...bikin Alan dan keluarganya ilfil setengah-mati.

Pada jamuan makan malam berikutnya, Vanya dipanggil turun ke meja makan. Alangkah shock-nya semua orang saat mendapati gadis itu gundul. Ya, gundul. Kesal karena selama ini tidak pernah didengarkan, akhirnya Vanya nekat mencukur habis rambut ikalnya yang indah. Memang, ayahnya sukses muntab sampai mukanya pucat-pasi. Alan dan keluarganya langsung ilfil setengah-mati.

Sejak saat itu, Alan dan keluarganya tak pernah datang lagi. Ayahnya mendiamkan Vanya, tapi gadis itu tak peduli. Baru setelah ibu melerai mereka berdua, ayahnya akhirnya mau minta maaf dan mulai lebih mendengarkan permintaan putri semata wayangnya.

Bagaimana dengan Andre? Meski sempat ikutan shock saat melihat ulah kekasihnya, pemuda itu akhirnya tertawa.


“Nggak apa-apa, sayang,” katanya santai. Dibelainya kepala botak Vanya yang mulai kembali ditumbuhi rambut, meski masih sedikit-sedikit. “Toh nanti juga tumbuh lagi!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar