Senin, 17 November 2014

"PERJALANAN ITU..."



Aku takkan pernah melupakan perjalanan kita pada waktu liburan itu...

“Kapan sih, kamu mau belajar menyetir?” gerutumu siang itu, sembari menyetir di jalanan sepi. “Kamu perlu bisa, lho.”

Aku mendesah kesal. Lagi-lagi topik itu, rutukku dalam hati. “Aku tahu,” ucapku akhirnya, sambil memalingkan muka. Aku enggan memandangmu setiap kali kita bertengkar, karena sungguh...secakep apa pun kamu, wajahmu tetap tidak enak dilihat kala merengut begitu. Tolong, deh. “Cuma belum ada waktu.”

“Terus kapan?” tuntutmu. “Dari tahun-tahun lalu, jawabanmu selalu itu.”

Ah, kamu. Aku ‘kan, sudah jutaan kali bercerita. Tentang kakak dan adikku yang jauh lebih jago menyetir. Tentang aku yang pernah nyaris menabrakkan mobilku ke arah bus yang tengah melaju, gara-gara meleng. Cukup traumatis. Setelah itu, bukannya makin didukung agar jangan mudah menyerah – Mama malah menepuk kepalaku sambil berkata:

“Nggak apa-apa, kamu jadi ibu bos aja. Biar orang lain yang menyetirimu kemana-mana.”

Entah kenapa, aku menangkapnya sebagai sindiran. Aku merasa gagal...

--- // ---

Aku takkan pernah melupakan liburan itu, saat dimana aku menyesal kenapa begitu mudah menyerah untuk belajar menyetir sampai bisa – tak peduli ucapan Mama dulu.

Kamu lelah. Ah, harusnya kita menepi dulu sore itu. Entah kenapa, meski lelah dan sering menggerutu oleh ketidakmampuanku menyetir, kamu tidak berhenti. Tanggung, katamu waktu itu. Lebih baik kita segera sampai tempat penginapan terdekat, agar dapat tidur lebih nyenyak di kasur. Tidur di mobil membuat lehermu pegal-pegal. Kamu tidak suka.

Aku hanya ingat cahaya lampu depan truk di depan kita – dan suara nyaring klakson sebelum benturan keras itu melemparkan kesadaranku dalam kegelapan...


Sudah setahun, namun masih terasa bagai kemarin. Sayang, kurasa kamu takkan sempat melihatku mulai belajar menyetir lagi, setelah sekian lama. Beruntunglah mereka menyediakan mobil khusus untukku, agar aku tidak perlu susah-payah turun dari kursi rodaku...

Senin, 03 November 2014

"JENDELA JIWAMU"

Andai aku dapat mengabadikan salah satu bagian terindah darimu, manakah yang akan kupilih? Jawabanku hanya satu: matamu.

Ya, matamu. Mata birumu yang indah, namun selalu tersaput misteri. Entah apa yang kerap hinggap di benakmu. Tak banyak yang tahu, tapi diam-diam aku sering memperhatikanmu. Sorot matamu kerap berubah-ubah. Seringnya tampak lebih dingin, sedingin es atau besi yang terlalu lama membeku. Mata yang mengingatkanku pada langit biru di Kutub Utara. Ah, aku memang suka sok tahu kadang-kadang, karena sebenarnya aku sendiri belum pernah ke sana. Aku hanya mengira-ngira, entah dari film-film yang pernah kutonton atau buku-buku yang kubaca. Gambar-gambar yang kulihat di lukisan atau foto-foto.

Tahukah kamu, butuh waktu teramat lama bagiku untuk menyadari warna matamu? Dua tahun, sebelum akhirnya aku benar-benar memperhatikan. Terkadang warna matamu seperti berubah, entah sedikit kehijauan atau...hazel. Mungkin aku yang kurang perhatian atau awas. Mungkin kaca matamu yang membuat perhatianku teralihkan – hingga sempat mengacaukan ingatanku tentang persisnya warna matamu.

Yang tidak mengenalmu dengan baik mungkin menyangka kamu selalu serius. Padahal, ada kalanya matamu bersinar hangat saat tertawa, entah karena menceritakan atau mendengar lelucon yang benar-benar lucu. (Sulitnya membuat orang cerdas tertawa – atau membuat lelucon yang bisa membuat orang cerdas tertawa!)

Kadang sorot matamu melembut, seperti saat menatap sosok yang kau cintai – atau menceritakan hal-hal yang menyenangkan. Atau saat kau mencoba menghiburku yang sedang menangis. Ada kalanya sorot matamu tak hanya tampak lembut, namun juga...rapuh. Mungkin kau percaya tak ada yang tahu – atau mungkin peduli – namun kesedihan dan kemarahanmu dapat tertangkap dengan jelas oleh mata batinku, bahkan kadang sebelum kau mulai bercerita mengenai apa yang tengah mengganggu benak dan hatimu. Amarahmu jarang menyala-nyala, kecuali bila mereka sudah kelewatan bagimu.

Kesedihanmulah yang paling nyata pedihnya. Saat kau bercerita tentang mantan kekasih yang enggan mengenalkanmu pada orang tuanya, hingga akhirnya kamu menyadari bahwa tidak akan pernah ada masa depan bagi kalian berdua. Saat teman-teman terbaikmu pindah kerja. Saat bercerita bahwa ya, kamu juga bersedih saat ayahmu meninggal – sama sepertiku...

Entah kenapa kamu hanya meneteskan air mata di depanku. (Mungkin juga tidak, aku tidak benar-benar tahu.) Ada beberapa dalihmu yang benar-benar kusuka saat itu terjadi, seperti:

“Ada debu di mataku.”

“Ah, aku harus membersihkan lensa kaca mataku. Kelilipan sama debu.”

“Aku nggak apa-apa.”

Dan aku tidak perlu mengatakan apa-apa, namun kita berdua tahu bahwa kamu tengah berbohong. Atas nama sopan-santun – dan mungkin juga gengsi – aku selalu menahan diri untuk tidak beranjak untuk memelukmu.

Kadang mata birumu membuat lututku lemas, sekaligus kaku pada saat bersamaan. Aneh, ya?

Waktu berlalu begitu cepat, terlalu singkat. Tinggal menghitung sisa hari-hari ini sebelum akhirnya kau beranjak pergi. Aku ingin sekali mengingatmu, terutama mata birumu. Aku ingin mengabadikannya agar tidak akan pernah lupa.

Masalahnya? Banyak. Aku tidak bisa menggambar. Aku tidak bisa memotretmu tanpa membuatmu curiga. Takutnya kau berpikir aku gila.


Yang paling parah? Aku tak pernah berani memandangmu lama-lama. Akankah benakku cukup untuk merekam semua ingatan tentangmu, terutama mata birumu?