Andai aku dapat mengabadikan
salah satu bagian terindah darimu, manakah yang akan kupilih? Jawabanku hanya
satu: matamu.
Ya, matamu. Mata birumu yang
indah, namun selalu tersaput misteri. Entah apa yang kerap hinggap di benakmu.
Tak banyak yang tahu, tapi diam-diam aku sering memperhatikanmu. Sorot matamu
kerap berubah-ubah. Seringnya tampak lebih dingin, sedingin es atau besi yang
terlalu lama membeku. Mata yang mengingatkanku pada langit biru di Kutub Utara.
Ah, aku memang suka sok tahu kadang-kadang, karena sebenarnya aku sendiri belum
pernah ke sana. Aku hanya mengira-ngira, entah dari film-film yang pernah
kutonton atau buku-buku yang kubaca. Gambar-gambar yang kulihat di lukisan atau
foto-foto.
Tahukah kamu, butuh waktu
teramat lama bagiku untuk menyadari warna matamu? Dua tahun, sebelum akhirnya
aku benar-benar memperhatikan. Terkadang warna matamu seperti berubah, entah
sedikit kehijauan atau...hazel. Mungkin aku yang kurang perhatian atau awas.
Mungkin kaca matamu yang membuat perhatianku teralihkan – hingga sempat
mengacaukan ingatanku tentang persisnya warna matamu.
Yang tidak mengenalmu dengan
baik mungkin menyangka kamu selalu serius. Padahal, ada kalanya matamu bersinar
hangat saat tertawa, entah karena menceritakan atau mendengar lelucon yang
benar-benar lucu. (Sulitnya membuat orang cerdas tertawa – atau membuat lelucon
yang bisa membuat orang cerdas tertawa!)
Kadang sorot matamu
melembut, seperti saat menatap sosok yang kau cintai – atau menceritakan
hal-hal yang menyenangkan. Atau saat kau mencoba menghiburku yang sedang
menangis. Ada kalanya sorot matamu tak hanya tampak lembut, namun juga...rapuh.
Mungkin kau percaya tak ada yang tahu – atau mungkin peduli – namun kesedihan
dan kemarahanmu dapat tertangkap dengan jelas oleh mata batinku, bahkan kadang
sebelum kau mulai bercerita mengenai apa yang tengah mengganggu benak dan
hatimu. Amarahmu jarang menyala-nyala, kecuali bila mereka sudah kelewatan
bagimu.
Kesedihanmulah yang paling
nyata pedihnya. Saat kau bercerita tentang mantan kekasih yang enggan
mengenalkanmu pada orang tuanya, hingga akhirnya kamu menyadari bahwa tidak
akan pernah ada masa depan bagi kalian berdua. Saat teman-teman terbaikmu
pindah kerja. Saat bercerita bahwa ya, kamu juga bersedih saat ayahmu meninggal
– sama sepertiku...
Entah kenapa kamu hanya
meneteskan air mata di depanku. (Mungkin juga tidak, aku tidak benar-benar
tahu.) Ada beberapa dalihmu yang benar-benar kusuka saat itu terjadi, seperti:
“Ada
debu di mataku.”
“Ah,
aku harus membersihkan lensa kaca mataku. Kelilipan sama debu.”
“Aku
nggak apa-apa.”
Dan aku tidak perlu
mengatakan apa-apa, namun kita berdua tahu bahwa kamu tengah berbohong. Atas
nama sopan-santun – dan mungkin juga gengsi – aku selalu menahan diri untuk
tidak beranjak untuk memelukmu.
Kadang mata birumu membuat
lututku lemas, sekaligus kaku pada saat bersamaan. Aneh, ya?
Waktu berlalu begitu cepat,
terlalu singkat. Tinggal menghitung sisa hari-hari ini sebelum akhirnya kau
beranjak pergi. Aku ingin sekali mengingatmu, terutama mata birumu. Aku ingin
mengabadikannya agar tidak akan pernah lupa.
Masalahnya? Banyak. Aku
tidak bisa menggambar. Aku tidak bisa memotretmu tanpa membuatmu curiga.
Takutnya kau berpikir aku gila.
Yang paling parah? Aku tak
pernah berani memandangmu lama-lama. Akankah benakku cukup untuk merekam semua
ingatan tentangmu, terutama mata birumu?
Sweet banget mbak, cinta yg tulus keknya :)
BalasHapus:) Terima kasih. Kini dia sdh d Bali.
HapusKenapa matanya, Mbak? Pasti mata kekasihnya itu di operasi dan diganti dengan mata imitasi ya? Endingnya menarik.
BalasHapusHehe, sayangnya ini bkn cerita horor.
Hapushanyut dalam ceritanya. ini fiksi atau beneran ya mbak? :)
BalasHapusHehe, silakan tebak.
Hapus