Senin, 15 April 2013

"ANOMALI NEGERI INI?"

"Kamu datangnya on-time, ya? Kayak bukan orang Indonesia normal."

"Kamu suka baca juga? Wah, jarang saya nemu orang Indonesia yang bener-bener suka baca!"

"Kebanyakan orang Indonesia suka usil sama urusan pribadi orang lain. Untung kamu enggak."

Hah? APAA?! Waduh!!!

Dan masih banyak lagi komentar sejenis tentang betapa berbedanya saya dengan orang Indonesia 'kebanyakan'. Rata-rata dari teman ekspat pula.

Reaksi tiap orang Indonesia bisa beragam. Ada yang tersinggung dan langsung bersikap defensif. Ada yang pasrah dan malah membenarkan. (Habis memang kenyataannya gitu, sih...hiks!) Ada juga yang...hmm, mungkin seperti saya.

Jujur, hingga kini saya masih bingung. Ada rasa senang dan bangga kelebihan saya dipuji-puji, meski bukan berarti saya lantas merasa lebih baik daripada orang Indonesia lainnya. Saya takut jadi sombong.

Namun, saya juga sedih. Sudah berapa lama stereotipe tentang bangsa ini berkembang sedemikian...buruknya? Serius. Mulai dari hobi ngaret (kecuali yang telat gara-gara hal lain di luar kuasa mereka, seperti macet di Jakarta yang tiada habisnya yang kerap jadi alasan nomor satu). Terus yang sebenernya nggak doyan baca tapi sotoy, cuma biar dianggap nggak ketinggalan berita. Yang paling menjengkelkan mereka yang hobi kepo - ngurusin urusan pribadi orang lain (sampai yang di tampuk pemerintahan pun ikut-ikutan latah bikin aturan yang meng-kepo-kan urusan pribadi masing-masing rakyat, agar rakyat teralihkan dan tidak jadi 'mengurusi' belang-bentong catatan reputasi mereka!)

Alasan mereka pun tak kalah basi:

"Gue 'kan care sama elo!"

"Ini demi kebaikan elo juga, kok!"

Lalu mulailah mereka menguliahi seolah-olah hidup mereka sendiri sudah yang paling beres sejagat.

Dan masih banyak lagi yang - sayangnya - makin membuat saya sinis sekaligus miris. Tukang korupsi, oportunis sejati, hingga...hiks, munafik. Sudah terlalu banyak contoh di sekitar kita - atau jangan-jangan malah kita sendiri yang lupa berkaca. (Apa boleh buat. Memang lebih enak kalau lihat orang lain yang kena hujat!) Banyak juga yang mengaku beragama, tapi ternyata diam-diam bisa lebih bejat dari mereka yang enggak. Nah, lho! Gimana, tuh?

Saya bahkan enggan mengulang uraian Mochtar Lubis tentang 'sisi kelam'  manusia Indonesia pada umumnya yang sudah berulang kali dibahas. Sisanya bisa Anda baca sendiri di sini: http://chillinaris.blogspot.com/2013/01/12-sifat-negatif-mayoritas-orang.html

Kenyataan pahit ini kembali mengingatkan saya bahwa mau tak mau, stereotipe selalu menjadi salah satu acuan awal saat kita tengah mencoba mengenal sesuatu atau seseorang. Sayangnya, stereotipe pun bisa menyesatkan. (Contoh: masih banyak yang terkaget-kaget saat tahu saya bukan tipe perempuan yang suka belanja karena ingin, bukan sekedar butuh.)

Suka atau tidak, perbuatan setiap orang pun ternyata berpengaruh pada persepsi masyarakat tentang kelompok/komunitas tertentu. Apa yang kita lakukan tak hanya menjadi representasi diri kita di mata orang lain, tapi juga representasi identitas-identitas yang kebetulan kita bawa.

Kita hanya bisa menunjukkan versi terbaik kita dengan usaha maksimal. Sisanya terserah mereka, mau memilih melihat kita apa adanya atau masih berkutat dengan stereotipe tentang orang-orang seperti kita.

Apakah saya salah satu anomali negeri ini? Mungkin tidak juga. Saya hanya memilih untuk tidak mudah 'tenggelam' dalam stereotipe yang sudah kepalang tercipta. Saya yakin saya bukan satu-satunya, Masih banyak di luar sana.

R.

(Jakarta, 14 April 2013)

"WHEN GOOD OLD HABITS DIE HARD..."

Seorang teman yang sangat suka menggambar dan berprofesi sebagai desainer grafis pernah mengeluh gini di status FB-nya:

"Need more time to DRAW!!!"

Iseng-iseng saya kasih komentar di bawahnya:

"Need more time to WRITE!!!"

Jawaban dia?

"Hehe, senasib kita!"

Sekian.

Jujur, saya hanya merindukan saat-saat saya masih cukup punya waktu santai untuk menulis. Pokoknya, sebisa mungkin tiap hari diluangkan untuk menulis. Saya juga maunya menulis karena ingin dan butuh, bukan karena harus. (Makanya dulu saya bisa menulis cerita fiksi hingga berlembar-lembar dalam waktu singkat, sementara untuk esai atau 'tulisan serius' lainnya saya butuh waktu lama.)

Banyak alasan kenapa saya lebih suka menulis ketimbang bicara langsung. Pertama, saya mudah dikuasai emosi - hingga yang ingin saya sampaikan jadi bubar jalan. Daripada jadinya meledak-ledak nggak karuan, mendingan saya menulis.

Tentu saja, tak semua hasil karya saya saat marah-marah patut diperlihatkan ke semua orang. Ada yang bilang, saya cenderung diam saat marah. Bacalah tulisan saya saat marah-marah - dan orang paling galak dan menyebalkan pun bisa menangis karena sakit hati. Sebaiknya jangan, deh!

Kedua, saya ingin bercerita secara kronologis. Kadang saat panik atau terbawa emosi, cerita yang ingin kita sampaikan lewat lisan suka jadi nggak urut - atau malah bubar jalan di tempat. Saat menulis, kita punya lebih banyak waktu untuk berpikir. Kita jadi lebih santai, sekaligus berhati-hati mengatur kata-kata yang mau dipakai. Biar yang mau disampaikan lebih jelas, tanpa harus menyakiti orang lain.

Ketiga, saya memang doyan mengkhayal dan butuh pelarian. Kadang dunia nyata bisa sangat monoton. Membosankan.

Keempat, saya ingin menantang diri sendiri. Apa hubungannya? Practice makes perfect. Semakin rajin menulis, semakin terasah kemampuan kita bercerita.

Makanya, sebisa mungkin saya sering coba-coba kirim hasil tulisan saya ke beragam media cetak dan online. Kadang dimuat, kadang ditolak. Sama halnya dengan ikut lomba-lomba menulis yang rajin saya cari. Kadang menang,kadang kalah. Sudah biasa. No big deal.

Selain mendapatkan imbalan saat hasil karya dimuat atau menang lomba, saya cuma punya dua harapan lagi: menjaring lebih banyak pembaca dan berharap mereka tidak merasa sia-sia atau buang-buang waktu saat membaca tulisan saya.

Dulu saya pernah punya blog lama yang isinya tulisan berbahasa Indonesia. Sempat terabaikan karena sibuk, saya lupa password-nya saat mau ikut #CHICBlogContest.

Akhirnya, saya pasrah dan mulai bikin yang baru lagi.Ya, itulah alasan di balik kehadiran blog ini.

Meski tidak menang, saya enggan berputus-asa. Justru, berkat kontes dari CHIC, semangat menulis saya kembali dan makin menggebu. Terima kasih!

R.

(Jakarta, 8 April 2013)

Minggu, 07 April 2013

"LUCKY"

"How many of us out there who often say:'I'm lucky!' instead of telling others they're much luckier?" 

Pertanyaan retoris di atas pernah saya tulis sekitar setahun lalu, entah di FB atau twitter. (Agak males juga kalo harus retrace semua postingan lama, hehe! Kerjaan saya banyak.)

Entah apa yang waktu itu menggerakkan saya untuk menulis demikian. Berhubung retoris, jawaban dari pertanyaan di atas pun bisa beragam.

Jawaban saya? Entah mengapa, saya merasa lebih banyak orang yang ngomong ke orang lain:"Elo beruntung banget, deh!" daripada melihat diri sendiri dan menyadari bahwa dia pun juga beruntung. Terutama orang Indonesia yang - katanya, nih - lebih rendah hati dan tidak mau (atau bahkan takut) dibilang sombong.

Motivasinya beragam. Ada yang emang asli tulus, ikut senang bila kenalan mereka mendapatkan keberuntungan. Ada juga yang langsung mendekat, dengan harapan 'kecipratan' hoki. Syukur-syukur kalo si lucky person itu sudi berbagi keberuntungan dengan mentraktir kita, hehe.

Ada yang diam-diam iri, sekaligus mengasihani diri yang merasa "tidak begitu beruntung". Biasanya mereka terang-terangan ngomong:"Yah, sayang gue bukan elo. Jadi gue gak seberuntung itu." Ada juga yang memilih diam dan perlahan menyingkir. Yang paling menjengkelkan, tipe ini kadang bersikap seolah pihak yang beruntung itu harus 'tahu diri', mengerti keadaan orang lain dengan tidak mengumbar berita, dan harus bertanggung-jawab membuat orang yang tidak beruntung itu bahagia dan tidak bete lagi.

Ada yang sirik terang-terangan. Biasanya mereka secara tidak langsung menuduh - meski berusaha menyamarkannya dengan nada bercanda, seperti:"" Kok lo bisa menang? Kenal sama panitianya, ya?"

Ada juga yang sok terdengar netral, tapi sebenarnya berusaha menjatuhkan mental dengan ucapan:"Nggak selamanya orang bisa bergantung pada keberuntungan!" (Memang benar juga, sih!) Pokoknya, mereka nggak bisa lihat orang lain senang. Mulut nyinyir mereka bisa membuat keberuntungan kita seakan jadi kecil dan nggak ada artinya sama sekali.

Buat yang cukup pede untuk menyatakan dirinya sebagai orang yang beruntung, motivasinya juga banyak. Yang masih rendah hati biasanya hanya ingin berbagi kabar gembira kepada orang lain. Hal sekecil apa pun mereka syukuri bila itu membawa keberuntungan.

Jika Anda orang pertama yang mereka kabari soal ini, berarti Anda termasuk istimewa di hati mereka. Jika tidak, mohon jangan dimasukkan ke hati. Pasti mereka punya alasan tersendiri dan tidak bermaksud membuat Anda merasa tidak penting.

Namun, ada kalanya pihak ini harus berhati-hati. Tak semua orang senang dengan keberuntungan mereka. Karena itu mereka wajib pilih-pilih orang saat bercerita. Jangan sampai terjadi permusuhan yang tidak perlu. (Maklum, memang repot kalo urusan sama orang dengki!)

Ada juga yang hobi mengulang-ulang cerita keberuntungan mereka. Sekali diceritakan, oke. Berkali-kali? Please.Tak semua orang butuh siaran ulang.

Oke, mungkin nggak semua tipe pencerita ini sombong dan berniat pamer. Bisa jadi karena mereka diam-diam sebenarnya insecure dan merasa butuh pembuktian dan pengakuan dari mata dunia.

Bisa juga karena mereka muak akibat terlalu lama diremehkan orang lain. Saat mereka sukses atau berhasil memperoleh sesuatu yang membuat mereka merasa beruntung dan tidak lagi 'dikecilkan', mereka merasa perlu memamerkannya pada orang-orang yang dirasa dulu pernah memandang mereka sebelah mata.

Bagaimana dengan saya? Hmm, seperti kebanyakan orang, ada masa naik-turun dalam hidup saya. Yang pasti, Tuhan selalu mempunyai cara untuk mengingatkan manusia bahwa mereka beruntung - menurut yang sudah Beliau jatahkan.

R.

(Jakarta, 28 Maret 2013)