Minggu, 07 April 2013

"LUCKY"

"How many of us out there who often say:'I'm lucky!' instead of telling others they're much luckier?" 

Pertanyaan retoris di atas pernah saya tulis sekitar setahun lalu, entah di FB atau twitter. (Agak males juga kalo harus retrace semua postingan lama, hehe! Kerjaan saya banyak.)

Entah apa yang waktu itu menggerakkan saya untuk menulis demikian. Berhubung retoris, jawaban dari pertanyaan di atas pun bisa beragam.

Jawaban saya? Entah mengapa, saya merasa lebih banyak orang yang ngomong ke orang lain:"Elo beruntung banget, deh!" daripada melihat diri sendiri dan menyadari bahwa dia pun juga beruntung. Terutama orang Indonesia yang - katanya, nih - lebih rendah hati dan tidak mau (atau bahkan takut) dibilang sombong.

Motivasinya beragam. Ada yang emang asli tulus, ikut senang bila kenalan mereka mendapatkan keberuntungan. Ada juga yang langsung mendekat, dengan harapan 'kecipratan' hoki. Syukur-syukur kalo si lucky person itu sudi berbagi keberuntungan dengan mentraktir kita, hehe.

Ada yang diam-diam iri, sekaligus mengasihani diri yang merasa "tidak begitu beruntung". Biasanya mereka terang-terangan ngomong:"Yah, sayang gue bukan elo. Jadi gue gak seberuntung itu." Ada juga yang memilih diam dan perlahan menyingkir. Yang paling menjengkelkan, tipe ini kadang bersikap seolah pihak yang beruntung itu harus 'tahu diri', mengerti keadaan orang lain dengan tidak mengumbar berita, dan harus bertanggung-jawab membuat orang yang tidak beruntung itu bahagia dan tidak bete lagi.

Ada yang sirik terang-terangan. Biasanya mereka secara tidak langsung menuduh - meski berusaha menyamarkannya dengan nada bercanda, seperti:"" Kok lo bisa menang? Kenal sama panitianya, ya?"

Ada juga yang sok terdengar netral, tapi sebenarnya berusaha menjatuhkan mental dengan ucapan:"Nggak selamanya orang bisa bergantung pada keberuntungan!" (Memang benar juga, sih!) Pokoknya, mereka nggak bisa lihat orang lain senang. Mulut nyinyir mereka bisa membuat keberuntungan kita seakan jadi kecil dan nggak ada artinya sama sekali.

Buat yang cukup pede untuk menyatakan dirinya sebagai orang yang beruntung, motivasinya juga banyak. Yang masih rendah hati biasanya hanya ingin berbagi kabar gembira kepada orang lain. Hal sekecil apa pun mereka syukuri bila itu membawa keberuntungan.

Jika Anda orang pertama yang mereka kabari soal ini, berarti Anda termasuk istimewa di hati mereka. Jika tidak, mohon jangan dimasukkan ke hati. Pasti mereka punya alasan tersendiri dan tidak bermaksud membuat Anda merasa tidak penting.

Namun, ada kalanya pihak ini harus berhati-hati. Tak semua orang senang dengan keberuntungan mereka. Karena itu mereka wajib pilih-pilih orang saat bercerita. Jangan sampai terjadi permusuhan yang tidak perlu. (Maklum, memang repot kalo urusan sama orang dengki!)

Ada juga yang hobi mengulang-ulang cerita keberuntungan mereka. Sekali diceritakan, oke. Berkali-kali? Please.Tak semua orang butuh siaran ulang.

Oke, mungkin nggak semua tipe pencerita ini sombong dan berniat pamer. Bisa jadi karena mereka diam-diam sebenarnya insecure dan merasa butuh pembuktian dan pengakuan dari mata dunia.

Bisa juga karena mereka muak akibat terlalu lama diremehkan orang lain. Saat mereka sukses atau berhasil memperoleh sesuatu yang membuat mereka merasa beruntung dan tidak lagi 'dikecilkan', mereka merasa perlu memamerkannya pada orang-orang yang dirasa dulu pernah memandang mereka sebelah mata.

Bagaimana dengan saya? Hmm, seperti kebanyakan orang, ada masa naik-turun dalam hidup saya. Yang pasti, Tuhan selalu mempunyai cara untuk mengingatkan manusia bahwa mereka beruntung - menurut yang sudah Beliau jatahkan.

R.

(Jakarta, 28 Maret 2013)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar