"Kamu datangnya on-time, ya? Kayak bukan orang Indonesia normal."
"Kamu suka baca juga? Wah, jarang saya nemu orang Indonesia yang bener-bener suka baca!"
"Kebanyakan orang Indonesia suka usil sama urusan pribadi orang lain. Untung kamu enggak."
Hah? APAA?! Waduh!!!
Dan masih banyak lagi komentar sejenis tentang betapa berbedanya saya dengan orang Indonesia 'kebanyakan'. Rata-rata dari teman ekspat pula.
Reaksi tiap orang Indonesia bisa beragam. Ada yang tersinggung dan langsung bersikap defensif. Ada yang pasrah dan malah membenarkan. (Habis memang kenyataannya gitu, sih...hiks!) Ada juga yang...hmm, mungkin seperti saya.
Jujur, hingga kini saya masih bingung. Ada rasa senang dan bangga kelebihan saya dipuji-puji, meski bukan berarti saya lantas merasa lebih baik daripada orang Indonesia lainnya. Saya takut jadi sombong.
Namun, saya juga sedih. Sudah berapa lama stereotipe tentang bangsa ini berkembang sedemikian...buruknya? Serius. Mulai dari hobi ngaret (kecuali yang telat gara-gara hal lain di luar kuasa mereka, seperti macet di Jakarta yang tiada habisnya yang kerap jadi alasan nomor satu). Terus yang sebenernya nggak doyan baca tapi sotoy, cuma biar dianggap nggak ketinggalan berita. Yang paling menjengkelkan mereka yang hobi kepo - ngurusin urusan pribadi orang lain (sampai yang di tampuk pemerintahan pun ikut-ikutan latah bikin aturan yang meng-kepo-kan urusan pribadi masing-masing rakyat, agar rakyat teralihkan dan tidak jadi 'mengurusi' belang-bentong catatan reputasi mereka!)
Alasan mereka pun tak kalah basi:
"Gue 'kan care sama elo!"
"Ini demi kebaikan elo juga, kok!"
Lalu mulailah mereka menguliahi seolah-olah hidup mereka sendiri sudah yang paling beres sejagat.
Dan masih banyak lagi yang - sayangnya - makin membuat saya sinis sekaligus miris. Tukang korupsi, oportunis sejati, hingga...hiks, munafik. Sudah terlalu banyak contoh di sekitar kita - atau jangan-jangan malah kita sendiri yang lupa berkaca. (Apa boleh buat. Memang lebih enak kalau lihat orang lain yang kena hujat!) Banyak juga yang mengaku beragama, tapi ternyata diam-diam bisa lebih bejat dari mereka yang enggak. Nah, lho! Gimana, tuh?
Saya bahkan enggan mengulang uraian Mochtar Lubis tentang 'sisi kelam' manusia Indonesia pada umumnya yang sudah berulang kali dibahas. Sisanya bisa Anda baca sendiri di sini: http://chillinaris.blogspot.com/2013/01/12-sifat-negatif-mayoritas-orang.html
Kenyataan pahit ini kembali mengingatkan saya bahwa mau tak mau, stereotipe selalu menjadi salah satu acuan awal saat kita tengah mencoba mengenal sesuatu atau seseorang. Sayangnya, stereotipe pun bisa menyesatkan. (Contoh: masih banyak yang terkaget-kaget saat tahu saya bukan tipe perempuan yang suka belanja karena ingin, bukan sekedar butuh.)
Suka atau tidak, perbuatan setiap orang pun ternyata berpengaruh pada persepsi masyarakat tentang kelompok/komunitas tertentu. Apa yang kita lakukan tak hanya menjadi representasi diri kita di mata orang lain, tapi juga representasi identitas-identitas yang kebetulan kita bawa.
Kita hanya bisa menunjukkan versi terbaik kita dengan usaha maksimal. Sisanya terserah mereka, mau memilih melihat kita apa adanya atau masih berkutat dengan stereotipe tentang orang-orang seperti kita.
Apakah saya salah satu anomali negeri ini? Mungkin tidak juga. Saya hanya memilih untuk tidak mudah 'tenggelam' dalam stereotipe yang sudah kepalang tercipta. Saya yakin saya bukan satu-satunya, Masih banyak di luar sana.
R.
(Jakarta, 14 April 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar